Jumat, 03 Juni 2011

Rahasia Orion Part 2

Rahasia Orion Part 2
"Tante, Bukan Mama"

***    

Shilla masih terlongo-longo. Benar kata Pamannya dulu, Jakarta tidak pernah tidur. Waktu telah beranjak setengah jam dari pukul sembilan malam. Tapi jalan-jalan raya di kota ini sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda akan sepi. Lampu-lampu gemerlapan disana-sini, melumpuhkan fungsi benda-benda langit yang seharusnya berpijar terang ketika malam. Gedung-gedung bertingkat berdiri kokoh, seolah ingin berlomba mencakari langit-langit Jakarta. Dan belum usai keterkesimaan Shilla, ia lagi-lagi ternganga lebar, saat mobil yang ditumpanginya memasuki komplek sebuah perumahan. Komplek perumahan ini pastilah termasuk kawasan elite, terlihat dari kebersihannya, lalu pohon-pohon di sepanjang jalan yang terawat rapi. Gapura depan yang indah, bertulis Orion Estate.
Semua bangunan di komplek perumahan ini, benar-benar mewah. Terlihat bahwa keseluruhannya dibangun dengan perhitungan matang arsitek-arsitek handal. Tapi tetap saja, rumah yang ada di depannya ini adalah yang paling indah, yang paling cantik di banding yang lain. Rumah 3 lantai itu tidak terlalu besar, cukup manis dan sederhana, yang membuatnya unik dan berbeda adalah halamannya. Shilla bahkan sempat berfikir, itu bukan halaman sebuah rumah, melainkan taman nasional, kebun raya, atau sebagainya.
Dari pintu gerbang menuju rumah, yang menjadi titik pusat tempat ini, sebelumnya, harus melewati jalan dengan batu-batu kerikil hitam. Tanaman mandeville, dengan bunganya yang putih terjuntai dan daun-daunnya meliuk-liat pada batang-batang besi berwarna putih membentuk kanopi, memayungi jalanan tadi.
Meski dalam remang malam, Shilla masih bisa menangkap ada beberapa pohon apel di halaman itu. Tidak jauh dari rumah, ada juga gazebo yang atapnya dibuat dari jerami-jerami kering. Dibeberapa titik, tersebar pohon-pohon Kiara. Ada juga rumpun tanaman Tebu disudut-sudut halaman rumah ini dan yang paling menarik adalah tumbuhnya satu pohon berbunga orange menyala, pohon Flamboyan.
Disisinya yang lain, terdapat rumah berukuran sedang seperti terbuat dari kaca sepertinya berisi bunga-bunga cantik. Dari komposisi warna-warni yang sangat harmonis, Shilla yakin, halaman ini pun hasil dari tangan dingin arsitek handal.

"Hei! Kok bengong sih?" suara baritone sekaligus tepukan pelan dipundaknya, membuat Shilla terkejut.

"Eh, iya. Kenapa?"

"Lo, kenapa bengong?"

"Hehe. Nggak kok. Nggak apa-apa. Aku terpesona aja sama rumah kamu. Hehe." balas gadis itu, jujur. Sambil melempar seringai lebar.

Sejurus kemudian, ia lagi-lagi ternganga. Shilla memutar kepalanya, mengamati keadaan sekelilingnya. Sejak kapan ia memasuki rumah ini? Pasti saking asyiknya memikirkan betapa 'wah'nya halaman rumah keluarga Haling, Shilla sampai tidak menyadari kakinya sudah berpijak dan menyusuri keramik-keramik mengkilat, lantai rumah ini, sejak tadi. Ia dan Rio kini sedang meniti anak-anak tangga menuju lantai atas.

"Eh, Yo... Em... Kita mau kemana ?"

Rio menghentikan langkahnya, menoleh pada Shilla yang tertinggal dua undakan darinya, "Ke kamar lo, lah." jawab Rio.

"Oh," Shilla mengangguk faham, "Eh, itu biar aku aja yang bawa." Shilla mengulurkan tangannya, meminta tas hitam berisi baju-bajunya yang tengah dijinjing Rio.

"Walaupun badan gue kurus, kalau cuma bawa ginian doang gue kuat kok." timpal Rio, asal. Pemuda yang didaulat Papanya mengantarkan Shilla ke kamar itu, terus berjalan mendahului Shilla.

"Rumah kamu unik banget ya, Yo." ungkap Shilla.

"Halamannya maksud lo?"

"Semuanya sih, kayaknya natural banget. Nuansa alamnya berasa banget."

"Dari buyut sampai Papa-Mama gue, maniak banget sama yang berbau alam-alaman gitu. Gue yakin ni ya, kalau gunung bisa dipindahin, mereka dari dulu pasti bakal taruh di belakang rumah. Papa malah dulu punya ide gokil piara hewan-hewan gitu, tapi dibiarin hidup bebas tanpa kandang." tutur Rio yang sekarang mulai menarik kenop pintu bertulis Krisan Room, di depannya.

"Pantesan alam banget. Itu dinding-dinding yang di teras juga lucu banget, dari pecahan batu-batu kali asli ya, gazebonya juga. Mirip banget sama saung di desaku."

Rio tersenyum tipis, menanggapi antusiasme Shilla bercerita tentang rumahnya yang memang selalu menuai kagum orang-orang yang baru pertama kali mengunjunginya. Apalagi kalau bukan karena halamannya dan desainnya yang 'alam banget' itu, "Besok gue ajak lo keliling-keliling deh. By the way, ini kamar lo. Kuncinya gue taruh sini ya." Rio menaruh sebuah kunci diatas meja rias dekat sebuah lemari besar.

"Hah ? Serius ? Ini kamarku ?" tanya Shilla tak percaya, "Luas banget !!"

"Masa sih? Perasaan yang paling Luas itu kamar gue deh." timpal Rio santai, memasang tampang sok polos.

"Iya, ini sih hampir sama luasnya kayak satu rumah Bi Asih." ujar Shilla, masih dengan nada takjub. Ia berkeliling kamar dan asyik mengamati pernak-pernik ruangan itu yang hampir semua berbau Krisan, dari background, selimut, lukisan, "Ini tema kamarnya bunga Krisan ya, Yo?" tanya Shilla penasaran.

"He-em,  karena Eyang Putri sama Mama gue itu suka banget bunga-bungaan, jadilah setiap kamar di rumah ini ada tema dan namanya, yang diambil dari nama bunga-bunga gitu. Tapi ngasih namanya juga nggak asal lho. Kayak kamar gue misalnya, dikasih nama Matahari Room, soalnya dari atas balkon kamar gue, bisa keliatan Matahari terbit. Ya, walaupun nggak sejelas kalau di gunung atau tepi pantai juga sih. Terus, kamar yang di ujung, namanya Edelweiss Room, itu karena kamarnya paling terpencil. Jadi sepi gitu deh. Mana setiap buka jendela pemandangannya cuma rumpun tebu sama pohon Kiara, benar-benar sepi, kayak di puncak gunung tempatnya bunga Edelweiss. Kamar lo juga ada sejarahnya. Krisan Room. Lo sini deh, Shil !!" Rio melambaikan tangannya, mengisyaratkan agar Shilla mendekat kearah jendela.

Dan saat daun jendela berukiran rumit itu terbuka, terlihat halaman samping rumah itu. Ada beberapa bale panjang dari kayu. Disana, sekumpulan orang berseragam tengah bercengkrama dalam gurau dan obrolan seru.

"Kata Papa, dulu nyokap lo punya toko florish, Lo pasti tau arti warna-warna krisan kan Shil?"

"Merah itu simbol dari cinta, pink itu kasih sayang, kuning kebahagian, orange keinginan dan putih itu ketulusan." jawab Shilla, lancar.

"Mereka itu pegawai-pegawai Rumah Besar, dari supir, tukang kebun sampai pelayan. Bale-bale itu tempat mereka melepas lelah, setiap malam. Mereka itu kayak Krisan, Shil. Mereka punya 'cinta' dan 'kasih sayang' yang 'tulus'. Mereka punya 'keinginan' buat 'membahagiakan' keluarga mereka, di rumah ataupun di desa, yang lagi nunggu kiriman gaji mereka. Lengkapkan ? Bunga Krisan itu simbol, dan mereka wujud aslinya. Dan dari Krisan Room, lo bisa liat mereka tiap malam."

"Yeee!" sorak Shilla, entah untuk apa, "Kamar aku, mengagumkan banget ya. Hehe."

"Dan nggak tau karena kekuatan magic atau apa, setiap kamar juga biasanya mencerminkan karakter penghuninya. Misalnya, Cattleya Room, dulu kamar itu ditempatin sama sepupu gue dari Mama, asli dia tuh cantik dan anggun banget kayak Cattleya. Terus Rose Room, dulu ditempatin cucu angkatnya Eyang Putri, yang manis tapi jago karate jadi bisa lindungin diri sendiri kayak mawar. Lalu Edelweiss Room, lo bisa liat sendiri deh, nanti gimana penghuninya. Dan Krisan's room... Gue rasa, lo cocok dapat kamar ini. Polos dan tulus, kamu banget kan?" Rio melempar senyum terbaiknya, membuat Shilla tanpa sadar ikut menarik kedua ujung bibirnya.

"Sok tahu, kamu. Kita kan baru kenal. Bisa-bisanya udah bilang aku polos dan tulus."

"Feeling cowok seganteng gue tu jarang meleset, Shil."

"Ish, pede banget"

"Eh, iya Shil, sebenernya gue pengen tanya. Lo itu... anak selingkuhannya Papa ya? Atau jangan-jangan lo istri mudanya?" celetuk Rio.

"Ih, apaan sih? Kalau kamu memang nggak suka aku tinggal disini, bilang aja. Nggak usah pakai nuduh yang aneh-aneh kayak gitu deh."

"Hehehe. Iya, iya. Gue bercanda kali Shil. Tapi penasaran juga, apa alasannya Papa mau bela-belain jemput cewek udik kayak lo, jauh-jauh ke Cihideung."

"Rioo... Kamu rese banget sih. Siapa juga yang udik." protes Shilla yang sudah berniat melempari Rio dengan apa saja yang ada dalam genggamannya. Sayangnya yang dipegang adalah HP butut pemberian terakhir Ibunya untuk ulang tahun Shilla yang ke-17. Jadilah diurungkannya niat mulia itu.

"Yang udik elo lah, masa gue. Gue kan anak gaul metropolitan, hahaha." Rio tertawa renyah, "Eh, ya udah deh Shil, lo mau istirahat kan? Udah malam pula, gue tinggal ya. Kalau perlu apa-apa, kamar gue disebelah kamar lo, pas." Rio mulai berjalan kearah pintu, sebelum benar-benar keluar dari kamar Shilla, pemuda itu lagi-lagi tersenyum manis, membuat Shilla spontan menunduk dalam-dalam untuk menyembunyikan pipinya yang memerah.

"Kalau panas, ACnya nyalain aja. Pipi lo sampai merah, gitu." Goda Rio sambil berlalu.
Setelah pintu berdebam, tertutup, shilla masih bertahan ditempatnya dengan bibir masih menyunggingkan seulas senyum. Sejurus kemudian gadis cantik itu berbalik, lantas menjatuhkan tubuhnya dikasur empuknya, kedua tangan gadis itu mendekap dadanya.

"Rio baik banget." ujarnya, tersipu-sipu.

***

"Mau kemana, Vin ?" suara bernada tanya itu, membuat Alvin menghentikan langkah sekaligus siulannya. Ia menoleh, didapati saudara laki-lakinya bersama sebuah majalah otomotif.

"Main layangan." jawab Alvin singkat. Ya, memang begitulah, singkat dan seperlunya. Dua kata yang paling tepat untuk mendeskripsikan seorang Alvin.

"Gue ikut, gue ikut." pemuda yang sejak tadi merebahkan tubuhnya di sofa empuk berwarna biru laut itu, dengan cepat-cepat berjingkat bangun, "Eh, tapi... Lo main dimana ?" selidiknya.

"Taman komplek."

"Bareng siapa?"

"Ify."

Pemuda tadi memutar bola matanya, "Kalau gitu, gue nggak jadi ikut deh. Ntar ganggu lagi." ia kembali duduk dan menekuni majalahnya.

"Ganggu apa sih, Yo ? Biasanya juga kita main bertiga. Buruan ambil layangan lo, kalau mau ikut."

"Nggak jadi ikut, Vin." tolak Rio, "Eh lo udah kenalan belum sama penghuni baru rumah kita ?"

"Penghuni baru?"

Rio menganggukkan kepala, "Namanya Shilla. Anaknya cantik lho."

"Elo sih cewek model gimana juga di bilang cantik semua." balas Alvin santai.

"Alvin, kamu gimana sih?" Seorang wanita anggun berparas keibuan, menghampiri Alvin beserta
segelas minuman ditangannya, "Tadi katanya minta mama buatin jus apel. Nih, udah jadi, diminum dulu kek, main pergi aja." cerewet wanita tadi, sambil menyodorkan gelas ditangannya pada Alvin. Sejurus kemudian, kedua lengannya mulai sibuk membenahi rambut putra kesayangannya itu.

Gerak-gerik ibu dan anak itu tertangkap jelas oleh dua telaga bening milik Rio. Membuatnya, merasakan buncahan rindu pada Sang Mama yang kemudian menggiring pemuda itu pada rasa sakit yang tidak biasa. Sudah berapa lama ia tidak dibelai seperti itu, sudah berapa tahun Rio tidak bisa memeluk dan di peluk Mama tercintanya. Sudah berapa waktu yang harus Rio lewati tanpa seorang Ibu. Bahkan Rio sendiri kerap tak menyangka, ia yang sejak dulu begitu manja dengan Mamanya, bisa tumbuh sampai sebesar ini tanpa Sang Mama.
Seperti hukum aksi-reaksi yang dicanangkan Newton, aksi Alvin dan Mamanya menimbulkan reaksi yang tidak sederhana pada Rio.  

BRAAK 

Rio melempar majalah otomotifnya dengan kasar. Alvin dan Mamanya tersentak kaget, dipandanginya tubuh tegap Rio yang sekarang melenggang menaiki tangga, dengan tatapan heran.

"Emang dasar anak aneh." cela Alvin.

"Hush, jangan ngomong begitu." komentar Mamanya.

***

Shilla masih asik memandangi halaman samping rumah ini dari jendela kamarnya yang dibiarkan terbuka. Masih setengah empat sore, pantas baru segelintir pegawai yang sudah duduk-duduk di bale panjang yang kemarin Rio tunjukkan. Desau angin menerpa wajah cantiknya dengan lembut, menebar wangi khas buah apel ranum yang sepertinya telah siap petik.
Gadis berambut panjang itu, baru 20 menit yang lalu berhasil menyelesaikan prosesi membilas tubuh, yang kali ini benar-benar menyulitkan. Di kamar mandinya, terlalu banyak botol-botol berisi cairan yang Shilla sendiri tidak tau pasti apa fungsinya. Juga beberapa alat yang sama sekali tidak berani Shilla sentuh, "Ngeri tiba-tiba meledak." begitu fikirnya.
Shilla tertawa geli, mengingat acara mandinya tadi, "Orang kaya emang aneh. Sukanya yang ribet-ribet." gumamnya.

Tok-tok-tok

"Shil... Shilla.."

Shilla menoleh cepat, berjalan ke arah pintu dengan cepat pula, tak ingin pemilik suara yang menyerukan namanya tadi menunggu terlalu lama. Tapi sebelumnya, entah untuk apa, gadis itu merasa perlu untuk melirik cermin besar di meja riasnya. Merasa ia sudah cukup 'siap', Shilla segera menarik kenop pintu kamarnya.

"Heii, udah mandi kan ?" sapa, sekaligus tanya Rio.

Shilla mengangguk.

"Sip. Kalau gitu, jalan yuk!"

"Jalan?"

"Iya, kita ke Mall aja, mau nggak ? Gue lagi BT nih di rumah. Lo juga perlu buku-buka sama alat tulis kan buat sekolah ?"

"Ya udah, kalau gitu aku ganti baju dulu ya," pamit Shilla. Beberapa detik kemudian, gadis itu kembali, "Emm, Yo, aku titip aja deh ya."

"Lho, kenapa ?"

"Emm... Aku... Aku... nggak ada baju yang bagus Yo." jawab Shilla, pelan.

"Hahaha, Shilla, Shilla. Emang kalau ke Mall kudu pakai baju bagus apa ? Yang penting sopan aja kali Shil, yang lo pake  itu juga nggak pa-pa." ujar Rio, masih sambil menahan tawa geli.

"Beneran nggak apa-apa pakai ini ?"

Rio memperhatikan Shilla dari ujung kaki sampai pangkal kepala, rok putih polos dipadu-padankan dengan baju lengan panjang berwarna coklat muda, plus rambut kuncir dua, "Emm, paling lo di kira pembantu gue, Shil."

"Ih, Riooo udah ah, aku nggak mau ikut."

"Hehe, nggak ko. Tapi..." Rio mengetuk-ngetukkan telunjuknya di dagu, "Ininya, mending dilepas aja kali ya." Rio mengulurkan kedua lengan kokohnya, melepas tali rambut coklat muda yang di gunakan Shilla untuk mengikat rambutnya. Helaian hitam berkilau itupun langsung terurai lembut melewati bahu pemiliknya. Membuat Rio tanpa sadar menahan lengannya disana, membiarkan helaian rambut gadis itu menyelusup halus diantara jemarinya.

"Yo, jadi pergi kan ?" tegur Shilla yang mulai jengah dipandangi Rio tanpa kedip.

"Eh iya jadi, jadi. Yuk!!"

 Rio berjalan lebih dulu, disusul Shilla yang sengaja berjalan dua langkah dibelakangnya.

***

Karena Shilla ngotot ingin lewat bale-bale yang sekarang mulai terisi pelayan-pelayan wanita yang sepertinya telah menyelesaikan tugas-tugas mereka, akhirnya ia dan Rio terpaksa harus lewat pintu samping untuk menuju halaman depan.

"Mas Rio sama Shilla cocok banget ya."

"Iya, cantik sama ganteng. Serasi."

"Tapi kan Si Shilla cuma keponakannya Bi Arum."

Bisik-bisik para pelayan itu semakin santer saat Shilla dan Rio berjalan beriringan melewati mereka.

"Hayo, gosipin saya ya?" tegur Rio.

"Cie, Mas Rio mau kemana ni?" tanya salah seorang dari Mereka.

"Kemana aja boleh dong, kan udah gede." timpal Rio ramah, disertai seringai lebar.

Lebih sering ditinggal sendiri dirumah sebesar itu, membuat Rio jadi lebih akrab dengan para pegawai Rumah Besar.
Tidak jarang Rio bergabung dengan Mereka, berbincang-bincang, bergurau bersama bahkan kadang-kadang minum teh bersama. Kebanyakan dari mereka, terutama yang sudah sepuh dan telah lama bekerja pada keluarga Haling, telah menganggap Rio seperti putra mereka sendiri. Dan Rio sama sekali tidak keberatan.
Rio masih mempertahankan senyum di bibirnya setelah melewati kerumunan para pelayan tadi. Tapi air wajahnya segera berubah saat melewati rumah kaca berisi berbagai jenis bunga yang menurut cerita Rio dan Bi Arum pada Shilla, rumah kaca itu memiliki arti yang mendalam untuk Rio maupun Papanya. Kening Shilla berkerut rapat mendapati pemuda di sampingnya berdiri kaku dengan kedua tangan terkepal kuat dan rahang yang mengeras.

"TANTE GLADYS!! JANGAN SENTUH BUNGA-BUNGA MAMA!!" raung Rio, sangat marah.
Baik Shilla ataupun wanita bernama Gladys itu terlonjak kaget, mendengar bentakan Rio.

"Ri... Rio.."

"APA? Tante itu ngeyel banget sih, udah aku bilang jangan pernah sentuh bunga-bunga Mamaku ?" hardik Rio.

"Ri... Rio.. Mama cuma... Cuma mau bersihin daun-daun mawar yang kering ini aja kok. Mama nggak akan merusaknya. Sungguh."

Rio tersenyum sinis, "Nggak usah sok baik deh. Papa masih sanggup bayar tukang kebun. Jadi tante gak perlu repot-repot ngurusin bunga-bunga Mama." tegas Rio.

"Yo, jangan kasar gitu dong. Niat tante itu baik kok, bunga-bunga mawar kalau daun keringnya nggak secepatnya dipotong bakal mengganggu banget." bela Shilla yang tidak tega melihat Gladys di hujani bentakan-bentakan oleh Rio. Gadis itu juga masih heran, kenapa tiba-tiba Rio bisa semarah dan sekasar itu.

"Gue nggak suka dia sentuh bunga-bunga Mama."

Rio memang lebih suka, kalau rumah kaca beserta isinya dirawat oleh tukang kebun. Ia akan sangat marah kalau sampai Gladys berani masuk apalagi menyentuh bunga-bunga mamanya. Rio tidak ingin, ibu tirinya itu merusak tempat yang dibangun Mamanya dengan 'susah payah'. Ia sangat membenci Gladys. Menurut Rio, Gladys telah berusaha menggantikan posisi Mamanya di rumah dan di hati Sang Papa.

"Ngapain masih di situ. Ayo keluar! Keluar Tante!" salak Rio, telunjuknya mengarah lurus ke pintu keluar, "Keluar, saya bilang!"

"Yo, Mama minta ma-"

"Nggak usah banyak ngomong, cepat keluar!"

"Yo, lo bisa nggak sih sopan dikit. Itu Mama kita, Yo." seorang pemuda sipit dengan layangan ditangannya ikut berkoar, mengimbangi suara keras Rio yang diyakini terdengar sampai gerbang utama. Shilla menoleh ke arah datangnya suara. Bersamaan dengan itu pemuda tadipun melihat kearah Shilla. Sejenak dua pasang mata itu beradu pandang.

"Aya…" Alvin membatin, lirih. Otaknya langsung bekerja, memunguti kembali puzzle-puzzle kenangan yang kemarin sempat ia buang, lantas menyusunnya hingga memunculkan berbagai dugaan. Memunculkan sebuah harapan yang sempat hilang di telan waktu yang kian menua.

"Nyokap lo kali, Vin. Tapi bukan nyokap gue." kilah Rio sinis.

Alvin mengakhiri kelebatan masa lalu yang tiba-tiba berpusar cepat sejak dua manik hitamnya bertumbukan dengan coklat terang milik gadis yang berdiri dengan ekspresi bingung,disisi Rio. Ia melayangkan tatapan dingin pada saudara tirinya, "Gue aja bisa terima Papa lo, kenapa sih lo nggak bisa terima Ma-"

"Gue nggak nyuruh," potong Rio, cepat, "Gue sama sekali nggak pernah nyuruh lo, buat terima Papa. Vin, gue mungkin bisa terima lo sebagai saudara, karena jauh sebelum ini, kita emang sahabatan dan gue udah anggap lo saudara gue. Tapi kalau Tante Gladys, sorry, tapi gue nggak mau dan nggak akan pernah bisa terima dia, gantiin posisi Mama."

"Nggak ada yang menggantikan ataupun di gantikan Yo. Semua punya porsi masing-masing di rumah ini dan di hatinya Papa. Lo harusnya bisa lebih dewasa nanggapin semua ini."

"Ck. Udahlah, mending cepat lo bawa nyokap lo pergi dari sini. Atau gue yang bakal seret dia keluar." ancam Rio.

"Rio, maafkan Mama, kalau menurut kamu, Mama salah. Mama janji nggak akan lancang lagi."

"Udahlah Ma, kebagusan banget minta maaf sama dia, nanti makin kurang ajar." cibir Alvin, yang langsung menghampiri dan menggandeng Mamanya keluar. Meninggalkan Rio dan Shilla dalam rumah kaca itu.

"Yo !!" panggil Shilla pelan, sedikit takut.

"Maaf ya Shil, lo jadi harus liat yang kayak tadi. Gue cuma... Gue-"

"Nggak pa-pa Yo," sahut Shilla cepat. Lengan lembut gadis itu, mengelus pundak Rio, "Kita jadi pergi... atau..."

"Jadi kok. Yuk !!"

***

Kalau bukan karena permintaan Shilla, seorang Mario Haling tentu saja tidak akan pernah mau makan di tempat seperti ini. Apa enaknya, makan di pinggiran jalan, banyak asap, bising, pengamen, debu, haah, sangat jauh untuk bisa dikatakan nyaman-untuk standart seorang Rio-. Rio benar-benar tidak habis fikir kenapa warung tenda ini, masih begitu banyak peminatnya. Sepulang berbelanja segala macam kebutuhan sekolah Shilla, Rio mengajak gadis itu makan dan menawarkan agar Shilla sendiri yang memilih tempat makannya. Dan Rio benar-benar sadar kalau hal itu adalah salah besar, setelah Shilla menjatuhkan pilihan pada warung tenda pinggir jalan ini.

"Shil, yakin mau makan disini ?"

"He-em. Warung ini rame banget, pasti masakannya enak."

Glek. Rio menelan ludah. Ia baru tau, kalau campuran debu ditambah sedikit kontaminasi asap kendaraan akan membuat makanan lebih enak.

"Eh, tadi gimana Yo ? Jadi Veronna itu nama Mama kamu ?"

"Iya. Jadi setelah Mama meninggal, perusahan keluarga, atas permintaan Papa di ganti nama jadi Veronna corporation. Jadi semua usaha yang ada dibawah naungan Veronna corporation, namanya juga Veronna." papar Rio, “termasuk sekolah gue.”

"Oh, gitu. Jadi perusahan Papa kamu itu bergerak dibidang pariwisata ya dari mulai hotel, travel agent, penerbangan gitu-gitu ya? Pantes kamu kaya." tutur Shilla polos, "Terus kenapa sih, orang-orang nyebut rumah kamu itu Rumah Besar ?"

"Oh, itu karena kakek buyutku dulu kan orang Belanda. Kamu tahu sendiri kan, orang-orang Belanda jaman dulu kayak gimana?" Rio mengamati Shilla yang masih asyik mendengarkannya, "Mereka suka punya banyak istri. Nah, kakek buyutku juga gitu. Setiap istri-istrinya ditempatkan di rumah-rumah yang berbeda, tapi salah satu istri kesayangannya bakal diajak tinggal di rumahku itu, kalau ada acara-acara besar, semua istri akan dikumpulkan di rumah itu, kayak semacam rumah utama gitu lah, makanya disebut Rumah Besar, sampai sekarang sebutan itu juga masih berlaku, tapi dikalangan pegawai aja sih. Soalnya kalau aku sama Papa, udah nggak pernah nyebut begitu."

"Oh, kalau gitu pasti Papa kamu itu keturunan dari istri kesayangan kakek buyut kamu ya? Makanya rumah itu diwariskan ke Papa kamu."

"Ya, kurang lebih begitu."

Shilla mengangguk faham,”Sekolah kamu itu katanya punya Papa kamu juga ya?”
Rio mengangguk, “Iya Shil, namanya juga Veronna, sekolah pertama dan satu-satunya yang dibangun sama Eyang Kakungku sebelum beliau meninggal.”

"Permisi Mas, Mbak. Ini pesanannya." ujar seorang pelayan yang kemudian mengatur 2 mangkok soto betawi dan 2 gelas es teh manis di atas meja. Setelah itu, pelayan belia itu pun segera pergi.

"Kalau Papamu sendiri, Shil ?"

"Emm, aku juga nggak tau, Yo. Kata ibu, Ayah udah meninggal sejak aku kecil, tapi nggak tahu kenapa aku belum pernah diajak ibu ke makamnya. Sekedar foto pun, Ibu nggak pernah tunjukkin ke aku."

"Rio," sapa seorang pemuda tinggi denagn kresek hitam dalam jinjingannya, "Kok lo sama dia? Harusnya kan lo sama Ify." ujarnya tiba-tiba.

Rio mengangkat alisnya tinggi-tinggi, heran juga atas pertanyaan yang di lontarkan teman satu sekolahnya itu, "Emang di muka gue ada tulisannya ya, ha-rus-sa-ma-I-fy ? Perasaan nggak ada deh." timpal Rio, santai.

"Ya, nggak ada sih. Eh, tapi tumben lo makan di tempat beginian, kenapa ? Bokap lo bangkrut ya ? Lo jadi miskin ?" ledek Orang tadi seraya melempar senyum meremehkan, "Keluarga busuk, emang pantesnya makan di tempat begini." tambahnya dalam hati.

"Ck." Rio berdecak kesal, "Lo ada masalah apa sih Yel, sama gue ? Mulut lo kayaknya ngajak ribut banget."

"Ah, perasaan biasa aja deh. Elonya aja kali yang berlebihan nanggapinnya." tambahnya. Pemuda bersenyum menawan itupun lantas pergi tanpa permisi, persis jelangkung. Datang tak dijemput, pulang pun tanpa diantar.

"Kurang ajar banget tu anak." Rio merutuki pemuda yang berjalan kaki dengan santai kearah sebuah toko Florish itu, "Shil, pulang aja yuk. Gue udah nggak mood makan nih."

Rio segera berdiri, lalu merogoh sakunya, mengeluarkan dompet untuk membayar semua pesanan.

"Mampus. Gue nggak ada uang cash, Shil. Lo bawa uang nggak ?"

"Nggak. Abis tadi kamu ngajak akunya, buru-buru sih. Bayar pakai kartu yang tadi di pakai di Mall aja. Bisa kan ?"

"Kalau tadi lo pilih tempat makan, resto atau cafè, mungkin bisa. Tapi kalau wareng tenda begini, ya nggak mungkin dong, Shillaa..."

"Lha? Emang apa bedanya? Pasti bisa kok." jawab Shilla sok tau, "Pak !!" Shilla memanggil seorang bapak dengan tubuh gempal.

"Eh Shil, lo mau ngapain ?"

"Sstt," gadis itu meletakkan telunjuk pada bibir tipisnya, "Pak, kami nggak bawa uang cash, bayar pakai kartu ini bisa kan ?" tanya gadis itu pada bapak pemilik warung tenda ini.

"Kartu ?" bapak bertubuh gempal tadi, tampak kesal, "Mbak, Mas, saya belanja bahan-bahan makanan ini tu pakai uang, bukan kartu. Kalau nggak punya uang mendingan nggak usah makan."

"Sabar Pak, Sabar. kami pasti bayar kok." ujar Rio, seraya menyeringai lebar. Dalam hati mencibir gadis sok tau di sampingnya, "Lo main langsung panggil aja sih, Shil." batin pemuda itu.

"Sabar, sabar, kamu kira anak istri saya bisa dikasih makan sabar. Dasar anak muda jaman sekarang. Gayanya aja keren, tapi kere. Sudah sana, kalau kalian tidak bisa bayar, cuci piring-piring kotor itu." Pak gempal tadi menunjuk tumpukan piring dan gelas kotor.

"Waduh, ini Bapak songong amat ngomongnya." bisik Rio pada Shilla.

"Budek ya, udah cepat sana, tunggu apa lagi ? malah bisik-bisik." perintah Bapak gempal berkumis lebat itu.

"Iyeee. Tapi nggak usah pakai melotot juga kali, Pak." celetuk Rio.

"Cepat sana! Begajul." Si Tubuh Gempal tadi pun berlalu setelah sebelumnya melempar lap kotor yang mendarat tepat diwajah Rio.

"Puih, dasar gendut, botak. Lap bekas apa sih tu, bau, gila." Rio mencak-mencak. Shilla hanya tersenyum geli melihatnya, kemudian melangkah menuju tempat tumpukan piring dan gelas kotor yang tadi di tunjukkan bapak pemilik warung.

Setelah beberapa menit, mengamati Shilla membersihkan perabot-perabot itu, Rio tertarik untuk mencoba. Sepertinya gampang, fikir pemuda itu. Ia pun mulai meraih satu piring kotor ang paling dekat dengannya.

"Eh, mau apa Yo ?"

"Bantuin lo, biar cepat selesai."

"Eh, nggak usah Yo, biar aku aja, nanti tangan kamu kotor. Biar sama aku."

"Nggak pa-pa lah, Shil. Sekali-kali, aku pengen coba cuci piring. Lagian kayaknya gam-"

PRAANGG

"O-ow." Rio membulatkan mulutnya.

"Tu kaaan, pecah deh."

"Ada apa ini ?" Si Bapak tadi, muncul dan langsung sangat marah melihat ulah membeli kerenya itu,

"Saya suruh kalian membersihkannya bukan memecahkannya. Kalau cuma mecahin, anak balita juga bisa." salaknya tidak terima, seolah-olah yang hancur adalah harga diri dan kehormatannya, bukan sekedar sebuah piring.

“Ya Tuhan, cobaan apa lagi ini." ujar Rio, seraya menengadahkan wajah kearah langit. Membuat Shilla tidak bisa menahan tawa geli, melihat ekspresi berlebihan itu.

"Malah ketawa-ketiwi. Sudah, cepat kalian keluar sana. Lama-lama disini, bisa-bisa warung saya kalian hancurkan."

"Tapi Pak, diluar kan hujannya deras banget." tutur Shilla dengan tatapan setengah memohon agar diijinkan tinggal, paling tidak sampai derasnya rinai hujan diluar sana berubah jadi rintik gerimis.

"Bukan urusan saya. Sudah sana, sana, sana." Usir Si Bapak Gempal, sungguh-sungguh.

Rio dan Shilla menurut, mereka tidak ingin membuat lebih banyak lagi mata-mata para pengunjung, melirik kearah mereka.

BYUURR

Sebelum Rio dan Shilla benar-benar keluar dari warungnya, Si Bapak tadi membuang air cucian piring dengan semena-mena, dan lagi-lagi tepat mengenai Rio. Seluruh tubuh pemuda itu basah kuyup, padahal air hujan sama sekali belum sempat menyentuhnya.

"Makan aja, udah kayak mau nikahan ya, pakai prosesi siraman segala. Orang Indonesia emang unik." celetuk Rio.

Shilla tersenyum masam, "Maaf ya Yo, coba kalau aku pilih makan di restoran, pasti nggak kayak gini jadinya." sesal Shilla.

"Never mind, pengalaman juga lah buat gue." pemuda jangkung itu, lantas menyuguhkan senyumnya yang biasa. Senyum yang selalu membuat orang-orang disekitarnya ingin ikut tersenyum.

***

"Darimana kamu, Vin?" tanya Gladys, saat mendapati putranya menyeruak masuk menenteng notebooknya.

"Dari rumah Ify mah, ngerjain proposal OSIS."

"Kalau ngerjain tugas di rumah Ify tu ya jangan sampai malam begini dong, Vin. Liat, udah jam 10, nggak enak sama tetangga."

"Tapi kan ada pembantu, supir, sama satpamnya rumahnya Ify juga kali, Ma. Kita nggak cuma berdua-duaan kok."

Alvin merebahkan diri disamping Gladys yang tengah menekuni rajutannya yang sudah setengah jadi. Hampir empat jam, duduk di depan notebooknya, menyusun proposal untuk dua agenda OSIS sekaligus, membuat leher dan punggungnya pegal-pegal. Untung ada Ify, gadis itu memang cukup cerdas dan cekatan dalam mengerjakan semua tugasnya, bahkan terkadang bagian Alvin pun, Ify yang handle.

"Ma," Alvin melirik Mamanya penuh arti, "emmh, Alvin boleh minta tolong nggak ?"

"Boleh, minta tolong apa ?"

"Gini Ma, Alvin kan mau ikut lomba fotografi, emang sih masih rada lama, tapi Alvin maunya belajar dari sekarang. Lombanya tingkat nasional lho, Ma."

"Terus ?"

"Emmh, Alvin pengen... SLR baru, Ma. Tapi Alvin udah nabung kok, cuma belum cukup. Mama tambahin yaaa, please... Paling 30 persenan lagi lah. Mau ya Ma, yayaya.. Mau ya ?" pinta Alvin.

"Kan katanya lombanya masih lama, ya udah nabung aja dulu sampai uangnya cukup. Lagian, kalau beli sekarang, nanti pas lomba udah rusak lagi."

"Ya, nggak akan lah, Ma. Mama pelit nih, nggak asik. Rio aja minta mobil gampang banget, Alvin kan cuma minta SLR." Alvin mulai menggerutu, merasa tidak adil, mengingat 2 minggu yang lalu sebuah avanza biru tua sudah terparkir diselasar Rumah Besah, dan tentu saja atas permintaan Ri

Gladys tersenyum tipis pada putranya, di elus kepala Alving dengan lembut, "Vin, Mama paling nggak suka, kalau kamu mulai membanding-bandingkan segala sesuatunya dengan Rio. Kalian berbeda. Jauh. Kamu ingat kan ?"

"Iya, Ma. Maafin Alvinnya, Alvin cuma-"

"Nanti Mama tambahin ya, uang tabungannya, minggu depan kita beli SLR yang kamu mau." potong Gladys, sebelum Alvin menyelesaikan kalimatnya.

"Nyonya, Mas Alvin, itu... itu... itu Mas Rio..." Bi Arum datang dengar tergopoh-gopoh, dari wajahnya tersirat kepanikan yang luar biasa.

"Rio kenapa, Bi ?"

"Itu Nyonya, Mas Rio dia... di kamarnya, itu Mas Rio..."

***

Jumat, 27 Mei 2011

Rahasia Orion Part 1

Rahasia Orion Part 1
"Malam di Bulan Januari"

***

Ketika sosok-sosok mungil itu masih gemar berlari mengejar kunang-kunang. Ketika bibir-bibir kecil itu masih ramai berceloteh memamerkan mainan baru mereka. Ketika mereka masih begitu bangga dengan seragam putih-merah mereka. Dulu. Ya, 10 tahun silam.

Ketika kaki gadis kecil ini bahkan belum cukup panjang untuk menjejak bumi saat ia terduduk di saung di tepi jalan yang becek ini. Kedua kakinya terayun, mendepaki udara malam yang mulai menebar dinginnya. Sudah 15 menit ia lewati dengan hanya duduk dan menatapi bintang-bintang yang Tuhan taburkan pada langit gelap di atas sana. Gadis berkuncir ekor kuda itu, ia menyukai malam. Entah karena apa? Mungkin karena saat malam begini tak ada matahari. Ia selalu benci matahari. Ya. Karena matahari adalah ‘ayahnya’.

"Hei !!"

Gadis kecil tadi menoleh. Mengalihkan kedua mata bulatnya dari langit. Ia langsung tersenyum lebar saat tahu, siapa yang memanggilnya dan kini tengah mengambil posisi duduk di sampingnya. Anak laki-laki dengan topi hitam yang dikenakan terbalik. Kaos biru tuanya yang kebesaran, membuat tubuh anak laki-laki itu terlihat lebih kurus.

"Lana, lama banget sih." keluh gadis kecil itu.

Anak laki-laki tadi menyeka keringat dipelipisnya, "Maaf, tadi rantai sepedaku putus." katanya, sambil mengarahkan dagu ke sebuah sepeda yang diparkir sembarang di depan saung.

"Oh. Makanya sepeda butut itu dijual aja. Hehe." Timpal gadis kecil itu, "Eh, iya, katanya Lana mau pamit. Mau pindah ke Jakarta ya? Asik dong?"

"Asik apanya, nanti kita nggak main bareng-bareng lagi."

"Iya, ya. Nanti aku main sama siapa, kalau Lana pindah?"

"Kamu kan cantik, baik lagi. Pasti banyak kok yang mau jadi teman kamu." Lana mencoba menghibur teman kecilnya itu.

"Aku punya sesuatu buat Lana, supaya Lana gak pernah lupa sama aku. Ni..." Si gadis menyodorkan sebuah pajangan berukuran kecil dari kaca berbentuk kuda, "Ini yang palsunya, kalau Lana udah besar nanti, jemput aku disini pakai kuda yang asli ya. Nanti Lana ajak aku jalan-jalan ke Jakarta. Oke?"

"Hehehe," Lana terkekeh lucu, "Oke. Ini aku simpan ya. Tapi kalau jemput kamu nanti, kayaknya bakal lebih keren kalau pakai mobil deh."

"Ya, mobil juga boleh deh, walaupun jadinya nggak kayak pangeran-pangeran di dongeng gitu. Yang penting, Lana janji, kita bakal ketemu lagi."

"Pasti."

"Janji ?" Si Gadis mengacungkan kelingkingnya, yang disambut tautan kelingking Lana.

Dan tersuratlah janji itu. Di malam pada bulan januari yang dingin dan basah, di bawah naungan Orion yang berpijar indah, janji itu terguguslah. Janji yang tanpa disadari akan membawa para pengikrarnya, dalam penantian yang menelan banyak masa, mengubur sekian banyak waktu, menghabiskan ribuan hari, minggu, bulan bahkan tahun.

Gadis kecil tadi masih bertahan di tempatnya. Setelah siluet bocah laki-laki bersepeda itu menghilang di telan gelap malam, dua tetes air matanya luruh. Tapi ia masih terlalu kecil untuk bisa menamai rasa sesak yang tengah dirasakannya. Ia masih terlalu kecil untuk mengerti alasan mengapa ia harus menangis. Yang ia tahu, esok tidak akan ada lagi Lana. Tidak ada lagi teman kecilnya itu, tidak ada lagi yang menemaninya bermain, melindunginya dari anak-anak nakal. Sederhana saja. Ia ditinggalkan sahabatnya, ia sedih, lalu menangis.

***

Berbeda dengan Lana dan teman kecilnya yang harus menjumpai perpisahan, di malam yang sama, di bulan januari. Dengan formasi bulan dan bintang yang sama, dengan lantunan orkestra alam yang sama -derik jangkrik dan suara kung-kong dari katak-katak yang memanggil hujan-, dua penduduk bumi dipertemukan takdir dengan caranya.

Bocah laki-laki berkemeja lengan pendek, berjalan ringan, menyusuri tepian jalan berumput basah ini. Sesekali terdengar senandung kecil dari bibir mungilnya. Tangan kanan bocah itu menggenggam ranting kering, yang akan segera dilayangkan setiap kali dijumpai entah kambing, sapi, kerbau atau tumbuh-tumbuhan.

"Heh kamu yang jelek itu, wlek!" goda bocah tadi pada seorang gadis kecil yang padahal baru kali ini di jumpainya.

Gadis kecil itu, tampaknya sedang berusaha menyeret-nyeret kambingnya yang enggan diajak pulang, padahal hari sudah gelap. Gadis kecil berkuncir satu itu memutar bola matanya, mengacuhkan bocah laki-laki aneh yang menjulur-julurkan lidah kearahnya.

Karena tidak mendapat respon dari si gadis kecil yang diganggunya, bocah itu berkacak pinggang, matanya memicing tajam pada gadis cilik yang terlihat sudah frustasi terhadap kambingnya. Gadis kecil berbaju terusan bunga-bunga itu, berselonjor pasrah dan hampir menangis, di bawah sebatang pohon Randu tempatnya mengikat tali kambing tadi.

"Apa Kamu ?" sentak gadis kecil itu, galak.

"Galak banget sih, pantes kambingnya nggak mau jalan sama kamu." cibir bocah laki-laki tadi dengan gaya pongah luar biasa.

Gadis kecil tadi mendelik, ia sepertinya pernah melihat bocah laki-laki itu tapi entah dimana, dengan ketus gadis kecil itu menjawab, "Si Enuy mau kok sama aku. Ayo Enuy kita pulang!" balas Si Gadis tak mau kalah. Dengan kasar ditariknya tali yang mengikat leher kambing bernama Enuy itu. Alhasil, dua kaki kambing betina tadi mendepak lucut Si gadis sambil meng-embe dengan heboh.

"Aduuh..." erang Gadis cilik tadi.

"Huuuu, makanya jangan sok, kamu. Nih !! Buat bersihin lukamu." bocah tadi mengangsurkan sapu tangannya, "Kok bengong sih ? Ayo ambil, masih bersih kok."

Gadis Cilik tadi memicing mata, memperhatikan penampilan bocah laki-laki seusianya yang tengah berdiri di depannya dengan tangan menyodorkan sebuah sapu tangan, berhias hurus K. Sepertinya sapu tangan itu, hasil sulaman tangan, langsung.

"Ish, udah jelek, budek pula." gerutu bocah tadi jengkel, "Aku Kia. Kamu bisa panggil Aku, Kak Kia. Aku bukan orang jahat kok. Ayo ambil sapu tangan ini."

Sedikit ragu, Gadis Kecil tadi menerimanya, "Kenapa harus panggil Kakak." tanyanya, heran.

"Karena, kamu sama aku lebih tinggi aku. Jadi kamu mesti panggil aku, Kakak. Nama kamu siapa ?"

"Aku-"

"Kia, ya ampun, kamu kok mainnya jauh-jauh banget sih. Ayo cepat pulang, udah malam, nanti papamu marah." seru seorang nenek, yang datang dengan napas tersengal. Sepertinya, ia sudah kewalahan membututi bocah laki-laki gembil itu.
Kia mengerucutkan bibir, "Selalu di susulin. Aku kan udah besar." gerutunya.

"Udah pulang sana, disuruh minum susu kali." ledek Si Gadis Cilik, seraya tersenyum jahil.

"Eh, tapi besok kita main ya, aku bakal kemari lagi." ujar Kia, semangat.
Gadis kecil penggembala kambing itu, mengacungkan kedua ibu jarinya.

"Yeyeye... Kia punya teman baru." sorak Kia kesenangan. Maklum, dikukung dalam 'kastil'nya membuat Kia jarang sekali punya teman, "Ayo kita pulang, tapi besok aku boleh main lagi kan?"
Si Nenek tadi mengangguk, setuju.

"Dadaaaah, adik tukang kambing. Besok Kakak kemari lagi." Kia melambaikan tangannya.

"Ok. Aku tunggu ya Kak Kia..."

Sebuah pertemuan manis dengan sentuhan takdir, yang karena jalan takdir pulalah kelak harus ditutupi. Harus di rahasiakan, agar kedua lakon pertemuan tanpa disengaja itu, tidak menderita luka dan patah hati.

Seperti Peter Pettigrew dalam serial buku cerita fantasi Harry Potter karya J.K Rowling, yang didaulat menjadi penjaga rahasia James dan Lily Potter, Orion malam ini pun kebagian tugas yang sama. Tapi bedanya, Orion sama sekali tidak berniat membongkarnya pada siapapun. Setiap peristiwa, entah pertemuan, perpisahan ataupun janji, semua terekam sempurna, di simpan rapi sebagai suatu rahasia yang kelak akan diuraikan bila memang tiba saatnya.

Orion yang muncul menghias malam di bulan januari, adalah penjaga rahasia paling ulung. Karena jauh sebelum Lana dan teman kecilnya, serta Kia dan Gadis penggembala kambing, telah banyak orang-orang terdahulu, sebelum mereka yang juga menitipkan janji, kenangan manis, aib dan segala hal, untuk disimpan Orion sebagai rahasia. Bahkan, orang tua mereka, mungkin termasuk dalam salah satu dari orang-orang terdahulu itu.

***

Detik-detik pun menguap. Menyisakan sesal untuk orang-orang yang telah menyia-nyiakannya. Meninggalkan senyum, bagi mereka yang telah sempat menorehkan kisah-kisah manis sepanjang perjalanan yang telah tertempuh.

Malam dan siang ikut berganti, memaksa tahun demi tahun bergulir, masa demi masa menua, pun dengan bumi yang kian merenta. Bocah-bocah berseragam putih-merah itu, entah telah sebesar apa mereka sekarang. Kaki-kaki kecil itu, entah telah berapa jauh jarak yang telah tertapaki. 10 tahun telah berlalu. Semua berjalan sesuai alurnya, berputar selaras porosnya. Perubahan banyak terjadi, tapi tidak dengan malam di bulan januari. Tetap dingin, tetap basah, tetap dengan Orion yang menghiasinya.

***

Pemuda berkulit sawo matang itu terus menyusuri jalanan dengan langkah-langkah ringan.
"Belok kiri dan sampai." cetus otaknya.

Ya, seperti halnya nama dan tanggal lahirnya sendiri, pemuda ini begitu hafal jalan-jalan yang akan ia lalui untuk akhirnya sampai di depan rumah mewah bercat putih dengan sepetak kebun mawar dan dua pohon mangga, rumah gadis pujaanya.

Seraut wajah cantik itu membuainya, membuat ia terus menarik kedua ujung bibirnya, di sepanjang malam ini. Dua bola mata indah yang dihiasi tatanan lengkungan alis sempurna di atasnya. Kedua pipinya yang bersemu merah saat ia tertawa, hidungnya yang bangir, dagu tirusnya yang membuat wajah lonjong itu kian sempurna, aroma apel yang terkuar saat kuncir kudanya berayun. Ah, gadis itu cantik. Sangat cantik malah.

"Sampai." sorak pemuda tadi dalam hati.

Seperti sabtu malam sebelum-sebelumnya, ia akan mengunjungi kediaman keluarga Umari ini, menaruh satu buket mawar putih favourit gadisnya di atas kotak surat yang dipasang di pintu gerbang rumah mewah itu, dan selanjutnya, ia akan merasa cukup puas hanya dengan memandangi siluet gadis cantiknya yang tengah berkutat di dalam kamarnya, dari luar. Atau cukup dengan mendengarkan alunan piano yang dimainkan gadis itu. Tapi untuk mengunjunginya langsung, pemuda dengan senyum menawan itu sama sekali tidak punya keberanian. Pemuda tadi sangat tahu, gadis pujaannya sama sekali belum terikat suatu hubungan apapun dan dengan siapapun. Gadis yang menjabat sebagai sekretaris OSIS di sekolahnya itu, hanya akan diam dalam kamar atau bermain piano setiap sabtu malam. Tapi sepertinya tidak untuk malam ini. Tirai kamar di lantai dua tertutup rapat, dentingan piano pun sama sekali tidak terdengar. Pemuda itu masih tercenung di depan gerbang, "Kemana ya ?" gumamnya, tak jelas.

Ia lalu berbalik, berniat pulang dan terpaksa harus merasa cukup puas menatapi rupa gadisnya di alam mimpi. Tapi niat itu segera terabai, saat melihat pagar tinggi yang berdiri kokoh di sebrang jalan. Besi-besi itu berjejer angkuh, membentengi 'kastil' mewah di dalamnya.

"Anak manja. Keluarga busuk." umpatnya sinis.

Pemuda tadi kini ingat, kemana perginya gadis berdagu runcing itu.

Satnite. Dinner w/ his family. Yeaah (y)

Ia ingat, potongan tweet yang di update gadis itu pada akun twitternya sore tadi.

"Errr, Shit!!"

Ia melempar buket bunga yang dibawanya dengan kasar. Kelopak bunga-bunga mawar cantik itupun rontok seketika.

"Nggak elo, nggak bokap lo, sama aja. Sukanya ngerebut hak orang laik. Sok sempurna, gue benci. Benci banget sama lo." raungnya, kalap.

Berkali-kali dilayangkan tinjunya ke udara. Belum merasa puas, diraihnya sebongkah batu berukuran sedang dan dilemparnya kuat-kuat dengan sasaran lampu taman bulat yang menerangi halaman rumah di sebrang jalan sana. Rumah pemuda yang sangat ia benci. Ia tidak begitu ingat, sejak kapan senyum ramah pemuda itu jadi begitu memuakkan di matanya. Ia juga tidak ingat, sejak kapan sosok asyik pemuda itu jadi begitu menyebalkan untuknya. Mungkin beberapa bulan yang lalu. Ya, sejak kejadian pada malam di bulan januari itu. Malam yang menjadi akhir dari mimpi-mimpinya, serta jadi awal, kehancurannya.

***

Suasana jadi hening. Tidak seperti beberapa menit yang lalu dimana masih terdengar derai tawa renyah, ejekkan-ejekkan, ataupun celoteh manja gadis bawel yang duduk tepat di samping Alvin. Semua berubah jadi sepi, setelah pemuda berwajah oriental itu melontarkan sebuah pertanyaan.
Halaman rumah ini luas, sangat luas. Cukup untuk membangun satu studion olah raga, mungkin. Tapi karena terlalu lama kedua orang ini terdiam, dua pasang bola mata mereka sampai-sampai kehabisan objek untuk diperhatikan.

"Kok nggak dijawab?" tegur Alvin tanpa menoleh pada gadis yang duduk termangu disisi kirinya,

"Gimana kalau perjodohan itu betul-betul terjadi, lo bakal terima?" pemuda bermata sipit itu mengulangi pertanyaannya.

"Vin. Itu nggak mungkin." tukas Si Gadis dengan cepat.

"Nothing impossible. Gimana kalau seandainya it-"

"Gue nggak suka berandai-andai."

"Oke. Oke. Kalau gitu biar gue yang berandai-andai. Gimana kalau dugaan gue betul? Gimana kalau keluarga kita memang merencanakan sebuah perjodohan?"

Gadis itu tetap bungkam. Lebih memilih mengabaikan pertanyaan Alvin.

"Fuihh," Alvin menghela napas, "Bukan apa-apa. Tapi kalau lo punya niatan buat nolak, sebaiknya lo fikirin alasannya dari sekarang, sebelum dugaan gue benar-benar terjadi. Karena kalau dari gue sih, gue nggak akan pernah bisa nolak permintaan orang tua gue." tegas Alvin.

Si Gadis mengerutkan kening, ekor matanya melirik siluet tampan pemuda yang tengah asyik memaku pandangan kearah langit itu. Cerah, ya, malam yang sangat indah untuk ukuran kota Jakarta. Langit kotor Jakarta yang mungkin, bintang-bintang paling malas menyinggahinya, malam ini terlihat begitu cantik dihiasan kerlipan benda langit mungil itu.

"Gue anak tunggal, Vin," Gadis itu mulai bersuara, "Dari kecil, gue selalu jadi pelampiasan keinginan-keinginan orang tua gue, karena emang cuma gue yang mereka punya, terutama papa. Dari mulai negara tempat gue tinggal, sekolah gue, jurusan yang harus gue pilih, excul, les, bahkan mungkin cita-cita gue juga orang tua gue yang pilih. So, gue nggak akan ngerasa aneh, kalau pendamping hidup gue nanti juga orang pilihan, orang tua gue. Jadi... Ya... Kalau perjodohan itu betul-betul terjadi, sama kayak elo, gue juga nggak yakin bakal bisa nolak."

Alvin tersenyum tipis, "Lo jawab begitu, karena lo masih punya option kan? Keluarga gue punya 2 anak laki-laki. Tapi gimana kalau orangnya udah pasti? gimana kalau elo dijodohin sama gue, Put? Bukan sama... Pangeran lo."

Gadis tadi mendelik, heran. Sebegitu kentarakah perasaannya, hingga Alvin bisa dengan mudah menebaknya. Lalu, kenapa orang yang dimaksud Alvin, 'pangeran lo' itu malah sama sekali tak acuh. Kurangkah sinyal-sinyal yang telah ia berikan ?

Gadis tadi menatap tajam tepat di dua manik hitam milik Alvin. Dan disana, bayangan masa lalu itu seperti menemukan media untuk merefleksikan diri. Kenangan itu, hari dimana gadis tadi baru kembali menjejakkan kaki di Indonesia, setelah beberapa tahun menetap di negeri kincir angin, Belanda. Ia yang tidak begitu pandai berbahasa Indonesia, sering dikerjai dan jadi bulan-bulanan teman-temannya. Ia kerap menggunakan kata-kata kotor dan kasar kepada guru-guru, karena diajari demikian oleh teman-temannya. Ia yang sering di tertawakan saat tes pidato atau membaca puisi. Dan saat itulah, pemuda itu datang. Bermula dari kejadian kecil, yang tak akan pernah ia lupakan. Pemuda itu mengantarkannya pulang ke rumah, setelah seharian ia tersasar. Tidak tahu jalan dan angkutan umum apa yang mesti dinaikinya. Sejak saat itu, keduanya berteman. Dan sejak saat itu pula, gadis tadi jadi buta. Tidak lagi bisa melihat sosok lain yang lebih indah dan sempurna daripada pemudanya. Ia jadi tuli, tidak mau lagi mendengar suara merdu dari yang lain, selain suara pemudanya. Dan sialnya orang itu bukan Alvin, melainkan orang yang sangat dekat dengan pemuda tampan itu, saudara laki-lakinya. Ya, kedua telaga bening milik saudara laki-laki Alvin telah lebih dulu memagut pandangannya, hingga sampai detik ini, gadis tadi tak pernah bisa berpaling.

"Hei!!" jentikan jari Alvin, yang tepat di depan wajahnya membuat gadis manis itu terkesiap,

"Ditanya malah bengong." cibir Alvin.

"Ehm, gue...gue..."

"Nggak perlu di jawab, Put," Sela Alvin, "Aku udah tau jawabannya. Kadang mata itu bisa bercerita lebih banyak ya, dibanding mulut." Alvin mengacak poni Gadis di depannya.

PRAAANGG

Suara bola lampu yang pecah tertimpuk batu itu, membuat Alvin reflek menarik tubuh Gadis Manis itu, ke dalam rengkuhannya. Tanpa maksud tertentu, tanpa getaran istimewa, tanpa hasrat, tanpa rasa. Ya, itu hanya kejadian sederhana. Dimana seorang pemuda berniat melindungi seorang gadis agar tidak terkena serpihan kaca dari bola lampu yang pecah, tak jauh dari tempat mereka duduk berselonjor.

Tapi sepasang mata lain yang melihat adegan itu, mengartikan lain. Apa yang di tangkap oleh 2 telaga bening itu, membuat pemiliknya harus menggali dan memunguti lagi benih-benih asa yang bahkan baru saja ia semai. Ia tersenyum tipis, "Ify buat lo, Vin."

***

"Jadi sekarang itu rumahnya, Bi ?"

"Iya Tuan. Rumah yang lama, yang menyatu dengan toko florish itu sudah dijual untuk biaya masuk sekolah Shilla waktu baru mau masuk SMA."

"Astaga... Kenapa Lisha tidak pernah menghubungi saya soal ini?"

"Adik saya bukan orang yang suka merepotkan orang lain, Tuan."

"Apa separah itu? Apa aku terlihat seperti orang lain? Kasihan mereka."

"Tuan tidak perlu mengasihani Lisha ataupun Shilla. Keduanya, selalu terlihat bahagia selama ini, walaupun kehidupan mereka tidak seberuntung keluarga Tuan. Lisha tidak pernah mengeluhkan apa-apa."

"Ya. Ya. Aku tau. Lisha memang wanita yang sederhana dan menyenangkan."

"Shilla pun demikian. Gadis itu benar-benar cetak biru ibunya."

"Aku jadi tidak sabar untuk menemuinya. Ayo, kita jemput dia!"

"Tapi Tuan..... Apa benar, tidak apa-apa kalau Shilla diajak tinggal di Rumah Besar? Apa... Kehadiran Shilla yang tiba-tiba, tidak akan jadi masalah untuk keharmonisan keluarga Tuan?"

"Keharmonisan yang mana yang kamu maksud, Bi? Mama yang selalu membanding-bandingkan Gladys dengan almarhumah istriku, atau Rio yang tidak pernah bisa menerima kehadiran Gladys? Itu yang kamu bilang harmonis? Justru saya berharap, hadirnya Shilla bisa membawa keceriaan di Rumah Besar, seperti dulu."

"Tapi Tuan..."

"Sudahlah Bi, saya yakin Lisha juga pasti akan lebih senang melihat Shilla mendapat penghidupan yang layak."

Sudah sejak tadi mewah berwarmna hitam itu terparkir rapi di bawah sebuah pohon trembesi, tak jauh dari sebuah rumah yang salah satu penghuninya tengah jadi fokus pembicaraan seorang bapak berusia sekitar 40 tahunan, dengan seorang wanita paruh baya.
Pembicaraan singkat tadi, nampaknya berdampak cukup hebat. Hingga kedua orang tadi membutuhkan waktu yang cukup lama untuk memutuskan, apa yang harus mereka lakukan atau katakan selanjutnya. Tidak ada yang mengerti. Mungkin hanya malam dan segala ornamennya yang faham, bagaimana perih yang dirasakan dua orang ini setelah koreng lama itu, terkelupas kembali, dan dicucuri air cuka. Sakitnya, tak terbilang.

"Bi, kemana-"

"Ke warung sepertinya, Tuan. Beli air mineral." sahut Bibi bernama Arum itu, dengan cepat.

"Ya sudahlah, kita kesana duluan." laki-laki tadi mengarahkan dagunya pada sebuah rumah berdinding anyaman bambu, lantas berjalan pelan ke tempat itu. Bi Arum mengangguk pasrah, berjalan mengekor majikannya dengan langkah gontai. Dalam benaknya, kini berkecamuk kecemasan akan hidup keponakannya, kelak.

"Punten..." sapa Bi Arum dalam bahasa sunda yang fasih.

Seorang wanita berusia lebih muda darinya keluar dari dalam rumah, "Eh, Teteh. Mangga, mangga, kalebet." ujar wanita berdaster yang sibuk menggelung rambut panjangnya itu, "Hayu atuh, calik.
Kumaha damang, Teh?" wanita tadi mempersilahkan tamunya untuk duduk, dan menanyakan kabar kakak kandungnya yang telah lama menetap di Jakarta itu.

"Damang." balas bi Arum, "Mmh, begini, Teteh kemari ada perlu sama... Shilla. Shillanya ada?"
Wanita tadi yang adalah adik bungsu Bi Arum, langsung mengerti kenapa kakaknya menggunakan bahasa Indonesia. Ada orang kota rupanya.

"Oh, Shilla, ada, ada. Shillaaa. Neng, geura kadieu !!" (cepat kemari)

"Iya Bi, ada apa?" seorang gadis cantik berambut panjang, mengenakan rok bunga-bunga dan kaos putih lusuh muncul dari salah satu kamar di rumah itu.

"Shillaaa..." bi Arum segera memeluk keponakan yang sudah bertahun-tahun tak ditemuinya itu. Matanya berkaca-kaca, "Sudah sebesar ini sekarang kamu teh. Meuni geulis."

"Ah, nggak atuh Bi, Shilla mah biasa aja, masih kayak dulu. Bibi kapan datang dari Jakarta teh ? Kok nggak bilang-bilang, kalau mau kemari."

"Bibi juga baru sampai, Shil," jawab Bi Arum kalem, ia lalu membimbing Shilla agar duduk di dekatnya, "Mmh, begini Shilla. Bibi kemari sebetulnya mau mengajak kamu untuk tinggal bersama bibi, di Jakarta. Kamu tau kan setelah suami dan putra Bibi meninggal, bibi tinggal sendiri. Shilla mau kan tinggal bersama Bibi!"

Shilla tidak perlu berpikir 2 kali, ia tahu betul jawaban yang berpusar di otaknya. Ia tidak mungkin meninggalkan desa ini, "Maaf Bi, tapi Shilla nggak mau. Shilla lahir dan besar di desa ini dan lagi makam ibu juga ada disini. Shilla nggak mungkin pergi."

"Ya, Bibi tahu kamu pasti akan bicara seperti itu. Tapi Shilla, coba kamu fikirkan! Kalau kamu disini, bagaimana dengan sekolahmu, masa depanmu. Apalagi sekarang ibu kamu sudah tidak ada, apa kamu mau menambah beban Bi Asih ? Kalau di Jakarta kamu bisa melanjutkan sekolah, sayang kan kalau putus. Kamu sudah naik kelas 12 kan ?" desak Bi Arum, "Oh iya, kenalkan, ini Tuan-"

"Haling." sambar laki-laki tadi, memperkenalkan nama belakangnya.

"Shilla."

"Beliau majikan Bibi, Shil. Sekaligus sahabat, emmh..... Ayah dan Ibumu. Beliau yang akan menyekolahkanmu sampai perguruan tinggi. Kita juga akan tinggal di rumah beliau." papar Bi Arum.

"Tapi-"

"Shilla, saya yakin ibumu sudah mengajarkan bahwa menolak niat baik seseorang itu tidak sopan. Ibumu telah menyelamatkan nyawa putra saya. Sebelum saya membalas hutang budi, dia telah tiada. Jadi saya mohon izinkan saya membayar semuanya lewat kamu."

Bohong! Apa yang diberikan ibunda Shilla, sebetulnya adalah pertolongan yang tidak perlu, dan tentu saja tidak bisa dikategorikan menyelamatkan nyawa seseorang. Tapi menurut Haling, untuk sementara biar hanya itu yang Shilla ketahui. Ia akan menunggu, sampai semuanya siap. Menunggu sampai tiba saat yang tepat, untuk menceritakan segalanya pada Shilla. Tanpa pernah disadarinya, sebelum saat yang tepat itu tiba, akan ada banyak hati yang terlukai lebih dulu, termasuk hati putra-putranya.

"Dan saya tau, kamu sangat menyukai bunga-bunga seperti Lisha. Kamu bisa merawat kebun milik almarhumah istri saya di Jakarta." sambung Haling.

Bi Arum mendelik heran, "Kamu juga bisa bantu-bantu pekerjaan Bibi, Shil." Tambahnya.

"Maksudnya... Aku disana sebagai, emh... Pembantu ?"

"Oh, bukan, bukan. Kamu akan saya anggap putri saya sendiri." Sambar Haling.

Shilla terdiam. Melihat kondisi ekonomi Bi Asih dan keluarganya, dengan lima orang anak. Rasanya tentu mustahil kalau tahun ajaran baru ini Shilla tetap bisa melanjutkan sekolahnya. Padahal impian terbesar Shilla adalah sekolah tinggi dan jadi dokter spesialis jantung. Agar kelak tidak ada lagi, orang-orang yang menderita seperti ibunya. Agar tidak ada lagi, gadis-gadis belia yang harus kehilangan ibu mereka.

"Bi Asih, apa Shilla boleh ikut ke Ja-"

"Silakan Shil,” Sambar Bi Asih, “Bibi rasa, tinggal bareng Si Teteh bakal lebih menjamin masa depan kamu." sahut Bi Asih, seraya tersenyum lembut.

"Kalau gitu..... Shilla mau ikut, Bi."

***

Pemuda itu masih asyik menatap langit malam. Setelah beberapa tahun, ia baru melihat lagi taburan bintang sebanyak malam ini.

"Di Jakarta, mana ada yang kayak begini." batinnya, mencela.

Kota itu benar-benar payah menurutnya. Hanya berisi polutan dan limbah. Bahkan bulan dan bintang harus berusaha lebih keras, agar pesonanya dalam terlihat, mengiasi langit-langit kota Jakarta. Pemuda tadi menyandarkan tubuhnya, pada badan mobilnya. Mengedarkan pandangannya dengan sorot penuh kerinduan. Desa ini, ah... Sudah banyak berubah rupanya. Jalan-jalannya sudah diaspal. Obor-obor yang dulu, sudah di ganti lampu-lampu neon. Cihideung memang sudah di resmikan sebagai salah satu ikon pariwisata oleh pemerintah daerah setempat. Kota yang mayoritas di huni keluarga penjual bunga hias itu sudah cukup maju. Tapi tetap saja, alunan musik dangdut dengan suara khas dari gendangnya yang ditabuh rancak, masih terdengar dari rumah-rumah penduduk. Ia juga masih yakin, begitu ia berjalan lurus masih akan ditemui pertigaan yang kalau berbelok ke kiri akan di jumpai sebuah saung di bawah pohon randu yang rindang. Dan kalau ambil jalan ke kanan akan dilihatnya air terjun tiga tingkat, tempat bermain favouritenya dulu.

Pemuda itu terus meneliti, matanya kemudian menangkap kerumunan bapak-bapak bersarung yang tengah larut dalam senda gurau ditemani secangkir kopi hitam plus potongan-potongan singkong goreng. Lalu terlihat pemudi karang taruna yang melewatinya, dan berbisik-bisik sambil melirik malu-malu kearahnya. Pemuda tadi tersenyum tipis, "Emang ya, pesona gue nggak di kota, nggak di desa, tetap nggak bisa di tolak." ujarnya, percaya diri.

"Mau pada bantu acara hajatan kali ya, mereka ?" gumamnya, dalam hati. Karena lamat-lamat terdengar suara degung yang seingatnya dulu, hanya akan terdengar kalau jurLana kampung tengah menggelar hajatan.

Ia tersenyum sendiri. Desa ini manis, seperti mama dan bunga-bunga kesayangannya. Manis, seperti masa kecilnya. Manis, seperti... seperti... Gadis di depannya.

"Nah, kenalkan ini putra, Om."

Suara berat itu membuat pemuda tadi terkesiap. Astaga, sejak kapan Papanya berdiri disini ??

"Shilla." Gadis cantik itu, mengulurkan tangannya.

"Rio."

***