Sabtu, 02 Maret 2013

Ketika Aku Seusiamu

Tulisan ini, untuk adik kesayanganku. Kuncup-kuncup mungil yang sedang menunggu masanya untuk bermekar. Nada-nada ceria yang sedang menanti waktunya untuk berlagu.
Dik, dulu… ketika aku seusiamu,
aku berfikir akan menyenangkan sekali jika cepat tumbuh jadi orang dewasa. Akan menyenangkan sekali jika boleh melakukan apa saja, pergi kemana saja dan bermain sepuasnya. Jangan ada lagi teriakan Ibu menyuruh mandi atau omelan Ayah saat aku nakal pada anak tetangga. Jangan… mereka itu pengganggu. Sungguh, perusak waktu bersua dengan kawan-kawanku.
Aku ingin segera bebas. Lepas.
Terbang seperti kupu-kupu, bergerak tanpa belenggu.
Ketika aku seusiamu,
terapal bermacam cita-cita, jumlahnya sebanyak pasir di gurun sahara. Tanpa sekerat takut, tanpa secuil ragu, impianku, kuabsen satu-persatu.
Nanti, saat aku dewasa,
aku ingin jadi penguasa kata, ingin jadi pemahat warna, ingin jadi pahlawan tanpa tanda jasa, ah jadi semakin tidak sabar menunggu masanya tiba.
Ketika aku seusiamu,
aku benci, benci sekali jadi aku yang seusiamu.
Ketika aku seusiamu,
Aku tidak mau, tidak mau terus-menerus jadi aku yang seusiamu.
Aku ingin berkuasa atas hidupku, tidak selalu diatur-atur seperti bocah.

Tapi itu dulu… dulu sekali…
Sekarang,
Saat aku tidak lagi seusiamu,
semuanya berubah, jadi serba susah, resah… dan masalah layaknya tumpukan sampah yang tumpah ruah.
Kegagalan demi kegagalan mulai teralami. Impian dan cita-cita mulai terhapusi. Waktu dan hari-hari terasa memusuhi.
Dik, aku jadi takut bemimpi, aku tidak lagi yakin pada kemampuan diri. Jadi sering menyalahkan keadaan. Mengeluhkan takdir Tuhan yang bersimpang dengan keinginan.
Ternyata dik, sekarang itu sulit. Banyak perkara rumit seumpama sulur yang melilit-lilit.
Ternyata dik, jadi dewasa itu tidak enak. Mahal untuk bisa tidur nyenyak. Hati dipaksa bekerja lebih keras mencerna kecewa. Keringat mengalir lebih deras diperas usaha.
Saat aku tidak lagi seusiamu,
Aku belum siap, belum siap jadi dewasa. Aku ingin tetap jadi putri kecilnya Ibu. Tetap jadi bocah manjanya Ayah.
Saat aku tidak lagi seusiamu,
aku bertanya, bisakah aku kembali pada masa ketika aku seusiamu?

Tapi…tenanglah, tegarlah.
Kuncup-kuncup mungilku tidak perlu takut pada masa yang akan datang.
Ketika adik seusiaku, adik pasti akan lebih siap, adik pasti akan lebih tangguh. Kesalahan hanya milik aku yang bodoh. Gelap hanya milik aku yang penakut. Penyesalan… itu juga milikku, kakakmu yang pemalas. Sedang kamu, tidak akan sepertiku, tidak boleh seperti aku.
Nada-nada ceriaku tidak perlu sendu, hadapi masa depanmu.
Ketika adik seusiaku, adik akan buat bangga Ayah serta Ibu. Jangan ragu, tuntaskan perjuanganmu, obati kegagalanku.
Ketika adik seusiaku, dunia akan tunduk kepadamu,
Tunduk kepada adik kesayanganku.

Best regard
via

0 komentar:

Posting Komentar