Well ini sebenarnya cerbung lama yang udah pernah gue post tahun 2010an kalo nggak salah. tapi waktu itu tulisannya masih berantakan banget, jadi iseng-iseng gue betulin tulisannya dan sedikit alurnya yang juga nggak keruan, habis itu gue repost. kalau yang ada waktu buat baca lagi, silakan dibaca lagi, kalaupun nggak ya ini kayak yang gue bilang tadi cuma sekedar iseng-isengan aja.
***
Malaikat Hidup Gue Part 1
***
Plukk. Seorang gadis memukul jam weker berbentuk ayam yang bertengger nyaman dekat tempat tidurnya. Jarum pendek dan panjangnya berkombinasi menunjukkan pukul lima pagi.
"hahaha, hari ini lo kalah cepet bangunnya, sama gue," ujar pemilik tangan halus yang tadi dengan serampangan memukul bagian atas jam weker.
Ia keluar dari selimutnya, mengucek mata, merentangkan kedua tangan dan melakukan ritual bangun tidur yang lainnya sebelum akhirnya memutuskan beranjak kearah jendela. Disibaknya tirai biru muda yang menjuntai dihadapannya dengan satu tangan, mata bulatnya sontak melebar, mulutnya ternganga melihat pemandangan didepannya.
Barisan awan putih berarak teratur mengelilingi matahari yang muncul malu-malu di ufuk timur. Sinarnya yang kemilau, jatuh berlandas pada punggung burung-burung cantik yang riuh kicauannya beradu dengan suara ibu-ibu yang tengah sibuk tawar-menawar dengan pedagang sayuran. tertangkap pula pemandangan segerombol bocah SD yang akan berangkat ke sekolah. Ia lagi-lagi mengucek mata, memastikan tidak ada yang salah dengan penglihatannya.
"Sejak kapan jam lima pagi mataharinya udah tinggi? Jangan-jangan beneran udah mau kiamat," batinnya. Ia segera keluar dari kamarnya, saat melihat jam dinding cantik di ruang keluarga, ia menjerit heboh, "HUWAAAA, ify telaaat."
Kiara Saufika atau ify, begitu ia akrab disapa. Ify adalah gadis kelas 2 SMA berperawakan kurus yang biasa saja, tidak cantik ataupun populer. Hanya mungkin senyum khasnya yang membuat gadis ini selalu terlihat manis dan ceria. Ify adalah anak tunggal, orang tuanya adalah pebisnis yang sedang giat-giatnya merintis usaha mereka. Jadilah di rumahnya yang cukup besar itu, ify hanya tinggal bersama pembantu dan supirnya.
*
"hosh... hosh..., Pak bukain dong, pak!" pinta ify dengan napas yang masih tersengal-sengal, pada satpam sekolahnya.
Satpam dengan kumis tebal melintang diantara mulut dan hidungnya itu menggeleng, "Aduh ify lagi, ify lagi. Tidak tidak, kamu ini kebiasaan tau tidak, telat terus," tolak pak satpam.
"Yah, ayolah pak. Bapak ganteng deh, baik lagi bukain ya pak, sekali ini aja" rayu ify sambil memasang wajah termelas sedunia.
"Ya sudah, ya sudah, cepat masuk tapi ingat ya satu kali ini saja, tidak untuk lain kali," pak satpam membukaan gerbang untuk ify.
"wahh pak, makasih ya. Selamat deh saya dari si mulut petir." ucap ify, sambil menyeka keringat di dahinya.
"Mulut petir?"
“Iya itu lho, pak. Bu Nanik, dia itu kan ya pak, galak banget, suaranya cempreng, jutek pula. Pantes aja nggak laku-laku." cibir ify dengan nada jengkel yang tersirat jelas pada suaranya. Ify memang amat sangat membenci guru BKnya itu, karena sering dihukum lantaran telat.
"Siapa yang nggak laku-laku, Kiara?" tanya seorang wanita di belakang ify.
"Ya bu Nan-" ify mendadak merasa tidak enak hati untuk melanjutkan kata-katanya, dengan perlahan ia menoleh ke belakang, "Eh, Ibu Nanik, pagi bu..." sapanya, takut-takut.
"selamat siang, Kiara." balas bu Nanik dengan sinis.
"Tapi ini masih jam 9 lho bu."
"Saya tidak peduli, sekarang cepat kamu ikut saya ke kantor."
"Tapi bu-"
"Shut up and follow me Kiara Saufika. I have a lot of special punishment for you." ketus bu Nanik.
Ify pun berjalan mengikuti bu Nanik dengan langkah lemah, letih, lesu, lemas dan lunglai layaknya orang terserang anemia. Ia pasrah akan kelanjutan hidupnya setelah ini.
*
"Kiara-"
"Ify, bu," sela ify yang kurang nyaman dipanggil dengan nama depannya.
"Whatever, kamu tau? Ibu pastikan tahun ini kamu akan mendapat award sebagai murid yang paling sering terlambat. Kamu itu generasi muda dan........ " bu Nanik mulai berkicau dengan riang gembira, membuat telinga ify panas membara. entah apa yang disantap guru ini saat sarapan pagi, hingga mempunyai energi yang luar biasa untuk marah-parah di pagi hari yang cerah ceria (namun suram bermendung untuk Ify)ini. Pada intinya, akhirnya ify dihukum membersihkan seluruh piala yang dimiliki sekolahnya dengan catatan harus bersih bening seperti tanpa noda, clinggg.
Saat sedang sibuk menikmati hukumannya membersihkan piala, Ia mendengar percakapan bu Nanik dengan seseorang yang sepertinya murid baru.
"Oh jadi kamu mario stevano, murid pindahan dari manado itu ya? Baiklah, mari saya antar ke kelasmu" ucapnya dengan nada yang menurut ify dimanis-maniskan.
"mario? hm, pasti spesies cowok ganteng ni, keliatan banget bu Nanik jadi sok manis begitu." batin ify.
*
Setelah bel istirahat kedua berbunyi, ify baru selesai mengerjakan hukumannya. Ia benar-benar berjanji tidak akan terlambat lagi seumur hidupnya, hukuman kali ini benar-benar menyiksa, "Bu Nanik kayaknya dendam banget sama gue, sial!" gerutunya, kesal. Ify berniat ke kantin sebelum masuk kelas, saat melewati lapangan basket, ia melihat fenomena yang tidak biasa terjadi di sekolah tercintanya. Ify melihat siswi-siswi terpana, mata mereka seperti mau loncat dari tempatnya. Ada yang menjerit gemas, menunjuk-nunjuk ke arah lapangan dengan ekspresi yang sulit diartikan.
"Woy! Ngapain lo bengong disini?" tegur seorang gadis pada ify.
"Eh, elo vi, ngagetin aja. Itu ada apaan sih? rame banget" tanya ify.
"Nggak tau, ada aki-aki shuffle kali, apa gangnam style ya? " jawab gadis yg bernama via itu, sekenanya, "ekh iya, lo kemana aja jam segini baru nongol?" tanya via.
"Abis pemotretan dulu." jawab ify, enteng.
"Ngek, paling juga lo telat, lo kira gue nggak tau prinsip lo, 'nggak akan bangun sebelum matahari bersinar cerah' iyakan bu? huu sok pemotretan badan ceking begini aja," ledek via seraya menyenggol tubuh ify.
"Kalo lo tau, trus ngapain nanya. Ekh liat yuk, ada apaan," ajak ify, sambil menarik tangan via kearah lapang basket, "Ohh, pantes pada mupeng, ada cowok-cowok sok kegantengan lagi main basket." gumam ify.
"Siapa?" tanya via ingin tau, iya yang sedikit lebih pendek dari Ify berjinjit-jinjit untuk melihat apa yang terjadi di lapangan basket.
"Biasa Vi sobat lo tuh, Gabriel sama Alvin. Udah ah nggak penting, ke kelas aja yuk. Jam istirahat kedua kayaknya juga udah mau abis." ajak Ify.
Via menurut, dengan santai ia mengekor Ify menuju kelas mereka.
*
"Eh tau nggak kayaknya Gabriel sama Alvin bakal punya CS baru ni." ucap Seruni, siswi berkulit hitam manis pada Ify.
"Siapa?" tanya Ify ingin tau, sambil menoleh ke arah Seruni yang duduk tepat di belakangnya.
"Yang tadi main basket barengan Gabriel sama Alvin, sama lo nggak tau, anak-anak kan heboh banget," jelas Seruni, "Eh tu orangnya," ia mengangkat dagunya menunjuk ke arah pintu.
Terlihat Gariel, Alvin, dan seorang pemuda jangkung dengan kulit hitam manis yang asing bagi Ify, berjalan ke dalam kelas sambil bercanda. Semua mata langsung tertuju pada mereka, yang putri sih tentu saja dengan tatapan kagum plus senyum manis yang dibuat-buat sedangkan yang putra lebih ke arah iri dan jengkel karena pemuda-pemuda kelewat sempurna seperti Gabriel, Alvin dan anak baru itulah, kaum adam di sekolah ini banyak yang bergelar jomblo.
"Siapa dia?" lagi-lagi Ify bertanya pada Seruni.
"Mario, murid baru pindahan dari Manado."
Ify mengangguk paham, kemudian memutuskan menghampiri tempat duduk kosong didepannya yang sekarang dihuni sang murid baru, "Oh, ini toh murid barunya, manis sih pantes bu Nanik jadi sok manis tadi," Ify membatin. dirasa sepertinya hanya dirinya saja yang belum memperkenalkan diri karena menjalani hukuman tadi, maka Ify berniat untuk beramah-tamah pada penghuni baru kelasnya, "Hai, kenalin gue ify. Nama lo siapa?" sapa ify ramah seraya mengulurkan tangannya dan tersenyum manis.
"Tadi gue udah perkenalan." jawab pemuda di depan ify, dingin, "kalo lo mau tau banget nama gue tanya aja sama yang lain," tambahnya masih dengan suara datar.
Ify menarik kembali tangannya dan segera menuju ke tempat duduknya sambil memasang wajah super duper kesal.
"Hahaha, muke lo apa kabar, non?" goda via, teman sebangku ify.
"diem deh lo vi, tu cowok belagu banget sih. dih, sok cakep," gerutu ify.
Hari ini, guru yang seharus mengajar jam terakhir dikelas ify, kelas XI IPA 1, tidak dapat hadir. Alhasil, kelas menjadi sangat gaduh. Ada yang bermain bola dalam kelas, ada yang bergosip-gosip ria, ada yang nyanyi-nyanyi, dan masih banyak kelakuan-kelakuan ajaib lainnya yang dilakukan para penghuni kelas.
Semua siswa sibuk dengan kegiatan nggak penting mereka masing-masing, begitu pula dengan sang murid baru. Mario atau Rio, begitu ia akrab disapa. Ia juga tengah sibuk. Sibuk dengan dunianya sendiri, dunia yang mengurungnya dalam jurang penyesalan, yang mengubur semua tawa dan senyum manisnya. Dunia yang menjadikannya pendiam dan tertutup, yang ingin ia tinggalkan namun memeluknya begitu erat. Dunia yang tidak pernah ia bagi dengan orang lain. Ia memejamkan mata, membiarkan fikirnya melayang jauh menyapa sosok gelap dari masa lalunya.
"Hai, Rio"
"Shit!" umpar Rio tertahan. Ia paling benci diganggung apalagi oleh makhluk yang berjenis kelamin perempuan.
Rio membuka mata, seorang gadis berdiri dihadapannya. gadis cantik berkulit putih, tinggi semampai dengan rambut panjang yang terurai melewati bahunya. Gadis itu tersenyum. Kalau tidak salah gadis ini (seperti teman-teman yang lain) tadi memperkenalkan namanya, tapi apa peduli Rio? Sekarang saja ia sudah lupa siapa nama gadis berperawakan model dihadapannya.
"Kok diam aja, nggak gabung sama yang lain?" tanya gadis tadi, "Eh, aku boleh duduk disini ya," sambungnya.
Rio, bergeming.
"Kamu pindahan dari Manado ya?" kembali terlontar satu pertanyaan, padahal pertanyaan-pertanyaan sebelumnya bahkan belum menemui jawaban, "kenapa pindah kesini?" gadis tadi terus saja mengoceh, tidak menyadari ketidaksukaan si lawan bicara.
"DIAM!!!" sentak Rio, kesal, "Bisa diam nggak lo? Bawel banget jadi cewek." bentak rio, lalu pindah ke samping tempat duduk ify.
Semua anak menatap heran pada Rio. Aneh juga melihat Rio bisa semarah itu hanya karena disapa, padahal yang menyapanya juga gadis secantik Shilla Azahra, ketua OSIS perempuan pertama di Citra Bangsa High School. Dan yang paling parah, Rio berlalu begitu saja seperti tanpa dosa meninggalkan Shilla yang tertegun saking kagetnya untuk pertama kali disentak seperti itu di depan umum.
"Eh eh ngapain lo duduk disini? Sana hush hush." usir ify pada rio yang tiba-tiba duduk disebelahnya.
"Lo kira gue kucing? nggak, gue nggak mau pindah." balas rio, cuek.
"Tapi ini tempat duduk temen gue."
"Gue juga kan sekarang temen lo."
"Ih sudi amat," gumam Ify.
"Apa loe bilang?"
Ify tidak menjawab, malah melengos tak acuh.
"Gue Rio," ujar Rio, memperkenalkan diri.
"Oh."
"Oh doang?"
"Lha emang harusnya gimana? ntar kalo bawel-bawel gue disentak lagi kayak Shilla."
"Bagus deh kalo lo ngerti," komentar Rio, lalu kembali memejamkan mata dan tenggelam dalam pelukan masa lalunya.
*
Malam ini, Gabriel dan Alvin diundang untuk mengunjungi kediaman Rio. Rumah Rio berada di salah satu komplek perumahan mewah tak jauh dari sekolah mereka. Bangunan yang berdiri angkuh di hadapan Gabriel dan Alvin saat ini, cukup mewah dan besar. halamannya luas, pagarnya tinggi menjulang. Awalnya Rio tinggal di Manado bersama Ayah, Ibu dan Kakaknya, tapi karena satu dan lain hal sekarang Rio memutuskan untuk tinggal bersama Omanya di Bandung.
"Weis, rumahnya Rio gede ya," celetuk Gabriel.
"Norak lo!!" ejek Alvin.
"Pasti bokapnya pengusaha sukses," tebak Gabriel.
"Dokter kayaknya," tebak Alvin.
"koruptor barangkali," ceplos Gabriel.
"Heh koruptor, nenek lo ngedance, asal nyablak aja lo."
"Lhokok malah ngobrol depan pintu, ayo masuk," ujar Rio yang tiba-tiba muncul dari balik pintu.
Mereka bertiga, langsung menuju kamar Rio di lantai dua. Kamar rio termasuk rapi untuk ukuran seorang anak laki-laki. Setelah mengambil posisi yang nyaman, mereka lalu bercakap-cakap, berbagi cerita, tertawa, saling ejek, larut dalam obrolan dari yang penting sampai hal-hal konyol yang tidak perlu diperbincangkan. Walaupun baru saling mengenal tapi Gabriel dan Alvin tampaknya sudah tidak merasa canggung dengan keberadaan Rio. Gabriel dan Alvin sendiri adalah saudara, tapi bukan saudara sekandung. Ayah Alvin sudah meninggal sejak usia Alvin satu tahun, sedangkan ibunya adalah wanita karir yang sukses, karenanya ia kesulitan membagi waktu untuk sekedar menemani Alvin bermain. Ketika usia Alvin menginjak lima tahun, ibunya semakin sadar bahwa putra tunggalnya kesepian dan membutuhkan teman main. Diputuskanlah untuk mengadopsi seorang anak yang seusia dengan Alvin dari panti asuhan dan Gabriellah yang beruntung. Diangkat anak oleh keluarga yang cukup berada, mempunyai ibu dan saudara yang juga sangat menyayangingya. Gabriel dan Alvin sangat kompak, sama-sama tampan dan aktif, tidak heran jika keduanya jadi idola di sekolah.
*
Kantin sudah sangat ramai, padahal bel istirahat baru berbunyi lima menit yang lalu. Nampaknya seluruh siswa merasa perlu memberi asupan pada perut mereka sesegera mungkin sebelum cacing-cacing penghuninya berorasi atau bahkan bertindak anarkis. Ify dan Via menjadi bagian dari sekian banyak siswa yang tumpah ruah di dalam kantin. Sedang asik-asiknya menikmati makanan, tiba-tiba saja ada tiga orang kakak kelas menghampiri mereka dengan wajah pongah luar biasa.
"Heh, awas lo semua, ini tempat gue," ujar kakak kelas berbehel biru.
"Oh iya kah? kok nggak ada tulisannya ya?" sahut Via.
"Banyak omong banget sih lo. Adik kelas aja songong." bentak yang lain.
"Kakak ini nggak liat kalo kita duluan yang duduk di sini?" timpal Ify.
"Kalian nggak tau siapa kita? tinggal minggir aja susah banget." lanjut kakak kelas terakhir, yang berbadan paling tinggi diantara ketiganya.
"Tau kok, kalian ini kakak kelas nggak mutu yang doyannya ngebully adik kelas doang kan? gitu aja bangga. dikira gue takut sama lo semua?" Via menjawab dengan lantang, tak peduli mereka sudah jadi bahan tontonan orang sekantin, termasuk Gabriel, Alvin dan Rio yang juga sedang menghabiskan waktu istirahat mereka.
"Apa lo bilang?" salah seorang kakak kelas yang berdiri paling dekat dengan Via sudah mengangkat tangan sebagai ancaman, "Coba ngomong seklai lagi!"
"Ah males!!! udah yuk Fy kita cabut, ambil tu tempat duduk sama lo semua sekalian makan jajanan BEKAS kita juga boleh kok, kita SUMBANGIN!!!" Via lantas menarik tangan Ify menerobos berikade kecil kakak kelas mereka.
"Sialan lo, anak kecil belagu." umpat kakak kelas berbehel biru dengen wajah memerah.
"Cewek-cewek tempat duduk aja diributin," komentar Rio sinis.
"Gila berani banget tu si Via, kakak kelas bro," kagum Alvin.
"Sobat gue gitu," bangga Gabriel.
"Iya sobat lo dan gebetan gue hehehe," balas Alvin.
"Apa?" Gabriel terkeju, "Tapi kita kan sahabatan Vin, gue fikir kita nggak boleh-"
"Ah sekarang kan sahabat jadi cinta udah zamannya Gab, sampai dibikin lagu kan sama Zigaz." jawab alvin enteng.
Gabriel terdiam. Mendadak saja ada denyutan nyeri yang menyerangnya saat mendengar penuturan Alvin.
"Jangan-jangan lo juga suka ya GAb sama Via?" tebak Rio asal, "Udah nggak usah patah hati Gab, lo sama gue aja soalnya gue nggak suka cewek, lo kan ganteng ni." lanjut Rio semakin ngawur.
"Idih ngaco amat lo, gue normal kali."
"Tapi lo serius kan nggak suka sama Via? lo nggak keberatan kan kalo gue jadian sama Via? soalnya gue ada rencana mau nembak dia dalam waktu dekat." tutur Alvin, mengabaikan ekspresi wajah saudaranya yang kian masam.
"Nembak? tapi lo nggak mau pdkt atau apa gitu, masa langsung nembak?
"Kita kan kenal Via udah dari kecil kali Gab, dari SD masa masih harus pakai pdkt segala."
"Oh," Gabriel hanya bergumam singkat, "Kenapa harus Via, Vin?" batin Gabriel, perih.
*
Ify entah bagaimana lupa mengumpulkan buku tugas matematikanya padahal semalaman ia bergadang mengerjakan tugas yang diberikan. Karena tidak mau rugi, Ify bergegas mengumpulkannya ke ruangan guru, semoga saja ia beruntung dan tugasnya masih diterima. Dengan tergesa dibukanya pintu sekencang mungkin karena tadi pagi kenop pintu kelasnya sempat macet. Sementara itu Rio dari luar berniat masuk kelas, alhasil... DUUGGG
"AWW!!!" pekik rio yang terbentur pintu kelas hingga tersungkur ke lantai.
"Waduh, Yo. Ngapain lo tiduran di lantai?" tanya Ify polos.
"Tiduran pale lo kotak, buka pintu liat-liat dong!!!" Marah Rio.
"Oh salah gue? Ya, maaf gue kan nggak tau, lo sih pake berdiri di situ,"
Rio mengelus-elus kening malangnya, "Buku lo gue sita sebagai balasannya," Rio dengan cekatan merebut buku dalam dekapan Ify, tapi sesaat kemudian air wajah pemuda itu berubah dari galak menjadi suram dan menyedihkan setelah mebaca nama yang tercantum dalam sampul buku Ify, "Nama lo Kiara?" tanyanya tak percaya.
"Iya, udah ah Rio nggak lucu, gue lagi buru-buru, mana balikin buku gue!"
"Tapi lo bilang nama lo Ify?"
"Ya udah sih suka-suka gue. Kepo banget lo." sewot Ify lantas balas merebut bukunya dari tangan Rio, kemudian kabur ke arah ruang guru.
Sementara itu Rio tercenung, "Nggak mungkin," katanya seraya menggeleng. Ia sudah pergi sejauh ini, melarikan diri dari Manado ke Bandung, meninggalkan keluarga tercintanya, masih belum cukupkah? akan sia-siakah semuanya hanya karena nama yang sama?
Kiara Anastasya dan Kiara Saufika.
*
Kamis, 28 Maret 2013
Sabtu, 02 Maret 2013
Ketika Aku Seusiamu
Tulisan ini, untuk adik kesayanganku. Kuncup-kuncup mungil yang sedang menunggu masanya untuk bermekar. Nada-nada ceria yang sedang menanti waktunya untuk berlagu.
Dik, dulu… ketika aku seusiamu,
aku berfikir akan menyenangkan sekali jika cepat tumbuh jadi orang dewasa. Akan menyenangkan sekali jika boleh melakukan apa saja, pergi kemana saja dan bermain sepuasnya. Jangan ada lagi teriakan Ibu menyuruh mandi atau omelan Ayah saat aku nakal pada anak tetangga. Jangan… mereka itu pengganggu. Sungguh, perusak waktu bersua dengan kawan-kawanku.
Aku ingin segera bebas. Lepas.
Terbang seperti kupu-kupu, bergerak tanpa belenggu.
Ketika aku seusiamu,
terapal bermacam cita-cita, jumlahnya sebanyak pasir di gurun sahara. Tanpa sekerat takut, tanpa secuil ragu, impianku, kuabsen satu-persatu.
Nanti, saat aku dewasa,
aku ingin jadi penguasa kata, ingin jadi pemahat warna, ingin jadi pahlawan tanpa tanda jasa, ah jadi semakin tidak sabar menunggu masanya tiba.
Ketika aku seusiamu,
aku benci, benci sekali jadi aku yang seusiamu.
Ketika aku seusiamu,
Aku tidak mau, tidak mau terus-menerus jadi aku yang seusiamu.
Aku ingin berkuasa atas hidupku, tidak selalu diatur-atur seperti bocah.
Tapi itu dulu… dulu sekali…
Sekarang,
Saat aku tidak lagi seusiamu,
semuanya berubah, jadi serba susah, resah… dan masalah layaknya tumpukan sampah yang tumpah ruah.
Kegagalan demi kegagalan mulai teralami. Impian dan cita-cita mulai terhapusi. Waktu dan hari-hari terasa memusuhi.
Dik, aku jadi takut bemimpi, aku tidak lagi yakin pada kemampuan diri. Jadi sering menyalahkan keadaan. Mengeluhkan takdir Tuhan yang bersimpang dengan keinginan.
Ternyata dik, sekarang itu sulit. Banyak perkara rumit seumpama sulur yang melilit-lilit.
Ternyata dik, jadi dewasa itu tidak enak. Mahal untuk bisa tidur nyenyak. Hati dipaksa bekerja lebih keras mencerna kecewa. Keringat mengalir lebih deras diperas usaha.
Saat aku tidak lagi seusiamu,
Aku belum siap, belum siap jadi dewasa. Aku ingin tetap jadi putri kecilnya Ibu. Tetap jadi bocah manjanya Ayah.
Saat aku tidak lagi seusiamu,
aku bertanya, bisakah aku kembali pada masa ketika aku seusiamu?
Tapi…tenanglah, tegarlah.
Kuncup-kuncup mungilku tidak perlu takut pada masa yang akan datang.
Ketika adik seusiaku, adik pasti akan lebih siap, adik pasti akan lebih tangguh. Kesalahan hanya milik aku yang bodoh. Gelap hanya milik aku yang penakut. Penyesalan… itu juga milikku, kakakmu yang pemalas. Sedang kamu, tidak akan sepertiku, tidak boleh seperti aku.
Nada-nada ceriaku tidak perlu sendu, hadapi masa depanmu.
Ketika adik seusiaku, adik akan buat bangga Ayah serta Ibu. Jangan ragu, tuntaskan perjuanganmu, obati kegagalanku.
Ketika adik seusiaku, dunia akan tunduk kepadamu,
Tunduk kepada adik kesayanganku.
Best regard
via
Dik, dulu… ketika aku seusiamu,
aku berfikir akan menyenangkan sekali jika cepat tumbuh jadi orang dewasa. Akan menyenangkan sekali jika boleh melakukan apa saja, pergi kemana saja dan bermain sepuasnya. Jangan ada lagi teriakan Ibu menyuruh mandi atau omelan Ayah saat aku nakal pada anak tetangga. Jangan… mereka itu pengganggu. Sungguh, perusak waktu bersua dengan kawan-kawanku.
Aku ingin segera bebas. Lepas.
Terbang seperti kupu-kupu, bergerak tanpa belenggu.
Ketika aku seusiamu,
terapal bermacam cita-cita, jumlahnya sebanyak pasir di gurun sahara. Tanpa sekerat takut, tanpa secuil ragu, impianku, kuabsen satu-persatu.
Nanti, saat aku dewasa,
aku ingin jadi penguasa kata, ingin jadi pemahat warna, ingin jadi pahlawan tanpa tanda jasa, ah jadi semakin tidak sabar menunggu masanya tiba.
Ketika aku seusiamu,
aku benci, benci sekali jadi aku yang seusiamu.
Ketika aku seusiamu,
Aku tidak mau, tidak mau terus-menerus jadi aku yang seusiamu.
Aku ingin berkuasa atas hidupku, tidak selalu diatur-atur seperti bocah.
Tapi itu dulu… dulu sekali…
Sekarang,
Saat aku tidak lagi seusiamu,
semuanya berubah, jadi serba susah, resah… dan masalah layaknya tumpukan sampah yang tumpah ruah.
Kegagalan demi kegagalan mulai teralami. Impian dan cita-cita mulai terhapusi. Waktu dan hari-hari terasa memusuhi.
Dik, aku jadi takut bemimpi, aku tidak lagi yakin pada kemampuan diri. Jadi sering menyalahkan keadaan. Mengeluhkan takdir Tuhan yang bersimpang dengan keinginan.
Ternyata dik, sekarang itu sulit. Banyak perkara rumit seumpama sulur yang melilit-lilit.
Ternyata dik, jadi dewasa itu tidak enak. Mahal untuk bisa tidur nyenyak. Hati dipaksa bekerja lebih keras mencerna kecewa. Keringat mengalir lebih deras diperas usaha.
Saat aku tidak lagi seusiamu,
Aku belum siap, belum siap jadi dewasa. Aku ingin tetap jadi putri kecilnya Ibu. Tetap jadi bocah manjanya Ayah.
Saat aku tidak lagi seusiamu,
aku bertanya, bisakah aku kembali pada masa ketika aku seusiamu?
Tapi…tenanglah, tegarlah.
Kuncup-kuncup mungilku tidak perlu takut pada masa yang akan datang.
Ketika adik seusiaku, adik pasti akan lebih siap, adik pasti akan lebih tangguh. Kesalahan hanya milik aku yang bodoh. Gelap hanya milik aku yang penakut. Penyesalan… itu juga milikku, kakakmu yang pemalas. Sedang kamu, tidak akan sepertiku, tidak boleh seperti aku.
Nada-nada ceriaku tidak perlu sendu, hadapi masa depanmu.
Ketika adik seusiaku, adik akan buat bangga Ayah serta Ibu. Jangan ragu, tuntaskan perjuanganmu, obati kegagalanku.
Ketika adik seusiaku, dunia akan tunduk kepadamu,
Tunduk kepada adik kesayanganku.
Best regard
via
Label:
Random