Rahasia Orion Part 10
"Hari
Bersamanya."
***
Prok-Prok-Prok
Tepuk tangan penonton membahana. Pertunjukkan drama musikal
yang baru saja disuguhkan dalam malam seni tahunan Veronna High School telah
usai. Seluruh tamu undangan memberikan applause mereka. Dari atas panggung, Rio
dkk membungkuk hormat seraya bergandengan. Lalu tirai besar berwarna merah tua
bergerak menutup panggung.
"Keren
guys. Tadi tu keren keren keren banget tauuu." puji Shilla. Mata gadis itu
terlihat merah seperti habis menangis, "Sedih banget ceritanya." ia
mengibas-ngibaskan tangannya di depan mata, "Ceritanya yang buat kamu kan
Fy ? Juara banget deh."
"Thanks
Shil." balas Ify singkat. Ia, Shilla dan Rio saat ini sudah berasa di backstage.
Ify masih berkutat membersihkan make up tipis yang mewarnai wajahnya, setelah
rampung berganti pakaian.
"Gue
udah selesai Shil, yuk !" ajak Rio yang muncul dengan wajah yang basah,
sepertinya baru selesai cuci muka. Tetes-tetes air juga masih terselip diantara
poninya yang terjuntai mencapai alis.
"Eh,
tunggu. Emm, gue pulang bareng kalian ya, malas tunggu jemputan." pinta
Ify, beralih menatap Rio dan Shilla bergantian.
"Tapi
gue naik motor Fy, nggak bawa mobil. Lo kenapa nggak bareng Alvin ?" balas
Rio enteng.
"Alvin
masih sibuk Yo, diakan ketua panitia acara ini." jawab Ify.
"Ya
udah Yo, kamu antar Ify aja dulu, nanti balik lagi jemput aku. Atau nggak, biar
aku naik taksi aja." usul Shilla.
Rio
mendelik tidak setuju, "Kok jadi lo yang naik taksi ? Lagian kan kita mau
nonton Shil." Rio melirik jam digital hitam kesayangannya, lewat 15 menit
dari pukul 8 malam, mereka masih sempat nonton kalau tidak harus mengantar Ify
dulu.
"Kan
bisa kapan-kapan Yo."
"Udah-udah,
nggak pa-pa kok, gue balik naik taksi aja." putus Ify, dibuangnya setumpuk
kapas yang digunakan untuk membersihkan wajah tadi, kemudian ia meraih tas
selempangnya dan berlalu keluar ruangan, "Duluan ya Shil, Yo." pamit
Ify.
"Gue
antar cari taksi deh. Shil, tunggu sebentar ya." Rio bergegas menyusul Ify
yang telah berjalan lebih dulu.
Dengan
langkah-langkah panjang, Rio akhirnya berhasil menyejajarkan diri dengan Ify.
Berdua, mereka berjalan menyusuri koridor utama yang sepi. Kedua terdiam,
seperti malam yang membisu malu karena tak berbintang.
"Lo
naik motor ?" suara halus Ify terdengar diantara aduan hak sepatu dengan
jalan beraspal.
Rio
tidak bersuara, hanya mengangguk dua kali.
"Malam-malam
naik motor, bawa jaket nggak ?"
Rio
menoleh, mendapati Ify yang tertangkap basah tengah menatapnya lekat-lekat,
sebelum gadis itu kemudian memalingkan muka, "Bawa. Ada di Shilla."
jawab Rio.
"Hati-hati
ya. Jangan ngebut." pesan Ify. Gadis tirus itu tahu betul, Rio kalau sudah
bertemu dengan motor sering tidak terkendali. Memacu kecepatan, bersaing dengan
angin. Oleh karena itu, Papanya dan Eyang Putri hanya sesekali memberi izin Rio
untuk mengendarai motor.
Lalu hening. Tidak ada bunyi-bunyian lain selain helaan
napas yang teratur. Rio dan Ify sudah sampai di tepi jalan raya besar di depan
sekolah mereka, menunggu taksi yang lewat. Rio mengamati pemudi manis yang
berdiri di sisinya, entah dimana lagi ia bisa mendapatkan sahabat seperti Ify
yang begitu peduli dan mengerti dirinya, "Maaf ya Fy." ujarnya dengan
suara lemah.
Ify
mengangkat sebelah alis matanya, "Untuk ?"
"Untuk
yang kemarin. Lo jadi batal jalan sama Gabriel. Thanks juga buat nasehat lo."
"Apaan
sih gapapalah gue sama Iel juga kan cuma mau nonton," Ify tersenyum seraya
mengulurkan kedua tangannya untuk mencubit pipi Rio, "Eh, iya. Gue ada
sesuatu buat lo. Ayo tutup mata dulu." instruksi Ify.
Rio
menurut. Kedua kelopak matanya mengatup. Rambut-rambut matanya terjalin,
menganyam dengan sempurna.
"Sebutin
dalam hati, satu hal yang pengin banget lo raih saat ini."
"Shilla."
gumam Rio yakin dalam hatinya. Pemuda itu masih menutup kedua bola matanya.
"Open
your eyes!"
Dihadapan
Rio tersodor sebuah amplop berwarna biru muda dengan gambar pita putih disudut
kanannya.
"Apa
ni ?" tangan Rio, menimang-nimang isi amplop dalam genggamannya.
"Dibukanya
nanti ya, kalau lo udah berhasil raih apa yang lo mau."
"Nggak
boleh sekarang ?"
"Nggak
boleh. Pokoknya janjinya, amplop itu dibukanya nanti."
Rio
mengendikkan bahu, "Ok deh. Eh tu udah ada taksinya." seru Rio saat
taksi pertama muncul. Sebuah mobil mungil bernuansa biru muda meluncur kearah
mereka. Rio melambaikan tangan, mengisyaratkan agar taksi itu menepi. Roda-roda
taksi yang bergulir, berhenti tepat dihadapan Rio dan Ify. Pengemudinya
tersenyum ramah, menyambut calon menumpang yang akan menggunakan jasanya malam
ini.
Rio
membukakan pintu penumpang untuk Ify, "Hati-hati ya." pesan Rio.
"Kamu
juga," timpal Ify.
Rio
mengangguk. Setelah Ify duduk manis dikursi belakang. Sejurus kemudian taksi
yang ditumpangi Ify mulai bergerak menjauh dalam keremangan. Kuda besi itu
membelah angin malam dengan deru mesinnya yang begitu kalem.
***
Ify merentangkan kedua tangannya. Meregangkan semua
otot-ototnya yang kaku, diajak berlembur ria, mengerjakan proposal OSIS
mengenai camping tahunan Veronna yang harus diserahkan besok kepada Kepala
Sekolah untuk ditanda tangani, belum lagi tugas-tugas sekolahnya yang juga
menumpuk. Yang paling bikin kesal tentu saja tugas dari guru seni yang menyuruh
kelompoknya membawa gambar-gambar jenglot. Padahal Ify benar-benar paranoid
dengan sesuatu yang berbau mistik semacam itu. Sekilas, Ify melirik jam weker
ayam yang tertengger diatas meja kecil dekat double bednya, hampir pukul 11
malam rupanya.
Setelah terlebih dulu mematikan laptopnya, karena belum
merasa ngantuk, Ify memutuskan membuka account twitter yang sudah dua minggu
tidak terjamah olehnya. Sambil merebahkan tubuh pada doublebed empuknya, Ify
mulai mengutak-ngatik handphone. Dalam hitungan detik, gadget serba guna itu
segera saja menghubungkannya dengan orang-orang di berbagai pelosok negri
bahkan dunia. Ify menekan trackball handphonenya ke bawah, malam ini
timeline-nya dipenuhi keluh kesah teman-teman sekelas Ify tentang UTS fisika
yang baru mereka hadapi pagi tadi. Ify memang tidak mem-follow banyak user.
List followingnya hanya berisi teman-teman sekelas, teman-teman OSIS, kerabat
dan sahabat-sahabatnya di Belanda, jumlahnya pun tidak lebih dari 80 account
yang di follow.
@feldyridla:
Sabar ya Beb :'P RT @KhaerunisaAsna: *bukasoal* *liat* *kicep*
*jedotinkepalakemeja* mamaaa... Fisika susah.
@muthiarefisya:
dear #Fisika lo pengin banget ya bikin rapor gue suram. Pengin bgtbgtbgt apa
pengin aja? sial-_-
@MarioHaling:
yakin deh, fisika minimal dapat 80. Thanks dear @AzahraShilla :*
Ify
merengut kesal, membaca tweet yang diupdate Rio sekitar 5 menit yang lalu.
Dengan antusiasme yang menurun drastis, Ify menekan trackball handphonenya
secara asal.
@AlvinHaling:
Abis tanding basket one by one sama si @MarioHaling dan hasilnyaaa
*jengjengjeng* gue kalah. Selalu. HA-HA.
Ify
tertawa kecil, olahraga dan seni memang Rio pakarnya. Dua hal itu yang tidak
pernah bisa ditandingi Alvin dari saudara tirinya.
@MarioHaling:
Sial RT @AzahraShilla: Jenglotnya mirip Rio eee
Ify
mengerucutkan bibirnya, meremas bantal strawberry kesayangannya dengan sepenuh
hasrat sebagai pelampiasan kekesalannya, "Nyebeliiin." jeritnya,
tertahan.
Dengan
semangat '45 dan caps yang menyala-nyala, Ify menulis satu kalimat, lalu
meng-updatenya.
@SaufikaIfy:
ENVY YA SAMA YANG DIPANGGIL DEAR :'(
Sekitar
3 menit setelah kalimat yang diupdate Ify ikut meramaikan timeline malam ini,
gadis berdagu runcing itu memeriksa replies. Ada beberama teman yang me-retweet
tweetnya barusan, salah satunya adalah Rio.
@MarioHaling:
Hi dear ;) wkwk RT @SaufikaIfy: ENVY YA SAMA YANG DIPANGGIL DEAR :'(
Ify terduduk. Berulang kali dibacanya retweet dari Rio.
Senyum malu-malu terulas dikedua sudut bibirnya. Ada perasaan senang bercampur
takut. Apa mungkin Rio mengerti apa yang Ify maksud ? Apa Rio sadar kalau Ify
cemburu pada Shilla ? Ah, tapi ya sudahlah. Toh Ify tadi tidak menuliskan nama,
jadi terserah saja Rio mau menafsirkannya seperti apa. Demi kerahasiaan
perasaannya, Ify segera men-sign out account twitternya, sebelum ia (tanpa
terkontrol) menuliskan tweet-tweet yang lebih frontal dari yang tadi.
1
new message
Ify
mendapati gambar amplop kuning yang menari-nari pada display handphonenya.
From:
Rio
Hi
Fy ;)
Ify
segera mengetikkan jawaban. Jemarinya bergerak lincah diatas keypad handphonenya.
To:
Rio
Hai
Yo ? What's ?
Tidak
perlu menunggu lama, gadget canggih dalam pegangan Ify kembali bergetar.
From:
Rio
Nothing.
Pgn sms aja. Blm tidur?
To:
Rio
Ini
baru mau.
From:
Rio
Oh,
ganggu dong aku ?
Ify
mengerutkan kening.
To:
Rio
Tmbn
pke aku? Ksambt setan mna?
From:
Rio
Sial
>,<
To:
Rio
Wkwk.
Gmn kmrn nontonya sm Shilla?
From:
Rio
Seru.
To:
Rio
Nonton
film apa?
From:
Rio
udahan
dulu ya. Ngantuk ni. Good night :*
To:
Rio
Oh,
ya udah. Night too :*
Ify menatap layar handphonenya. Emot yang digunakan ia dan
Rio untuk menutup percakapan mereka via SMS malam ini benar-benar diluar kadar
kegenitan. Ify menggeleng-gelengkan kepala, kemudian menutup wajahnya dengan
bantal, "Aduh salah emot deh, pasti kesannya gue kecentilan banget. Rio
kan wajar cowoook..." gerutu Ify, sembari menggigit ujung gulingnya.
Akan tetapi terlebih dari apapun, perasaan gembira pastilah
yang paling dominan dirasakan Ify malam ini. Rio mengiriminya SMS setelah
memanggilnya dear di twitter. Lalu isi SMSnya juga bukan sekedar permintaan
tolong seperti biasanya. Ift senang sekali. Seolah-olah, tubuhnya hanya terdiri
dari molekul-molekul Hidrogen yang siap membawanya terbang bersatu dengan konstelasi
bintang malam ini.
***
Langit sore benar-benar menawan hari ini. Warna orange penuh,
bersih tanpa segumpal mendung pun. Sinar matahari sore yang remang-remang menghangatkan,
jatuh menerpa rerumputan hijau.
Pemuda sipit itu yang melepas lelah di gazebo Rumah Besar
ditemani segelas jus apel, setelah usai berjogging sore mengelilingi komplek
perumahan Orion Estate. Peluh masih bercucuran menuruni pelipisnya. Pagi tadi
ia gagal untuk jogging karena alaDi sekitar bibir terdapat buliran sisa-sisa
jus yang baru saja ditegukkya. Dengan napas yang tersengal, Alvin duduk
berselonjor.
"Happy
birthday Alvin. Happy birthday Alvin. Happy birthday. Happy birthday. Happy
birthday Alviiiinn..."
Alvin menoleh ke belakang. Keningnya berkerut rapat, melihat
Shilla yang berjalan ke arahnya, membawa piring ceper berisi brownies dengan
lilin angka 1 dan 8 bermahkotakan api kecil yang meliuk-liuk didera angin.
Shilla tampak sudah rapi dengan setelah jeans dan t-shirt putih bergambar tokoh
cartoon. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai indah dihiasi bandana putih.
Shilla yang sudah cantik bertambah cantik ketika gadis itu tersenyum cerah,
"Make a wish." katanya sambil menyodorkan brownies hasil karyanya
sendiri pada Alvin.
Alvin
baru saja akan berbicara, saat Shilla lebih dulu membuka mulutnya,
"Please. Hari ini aja, kamu jangan galak-galak sama aku. Bisa kan Vin
?"
Alvin
menatap Shilla dingin. Ia berdecak keras, lalu dengan ogah-ogahan ditiupnya
kedua lilin, hingga padam. Api yang semula menyala, hanya menyisakan kepulan
asap kecil yang segera menghilang disapu angin.
"Udah
make a wish ?"
"Penting
buat lo ?"
"Emm,
nggak juga sih," jawab Shilla jujur, "Eh, cobain dong browniesnya,
aku sendiri lho yang buat." bangga Shilla.
Alvin
melipat kedua tangannya di dada, "Lo racun ?"
Shilla
menahan dongkol dalam hatinya. Kalau bukan karena Shilla terlanjur menyanggupi
permintaan Gladys untuk menemani Alvin dihari jadinya, sudah sejak tadi Shilla
lemparkan piring berisi brownies ditangannya, kewajah sok cuek milik Alvin,
"Yang ini sayang sekali nggak. Tapi lain waktu pasti aku kasih racun,
senang ?" timpal Shilla santai.
"Gue
udah kenyang." Alvin bangkit, berniat secepatnya menjauhkan diri dari
Shilla.
Shilla
berjalan cepat, menyusul Alvin. Ia berdiri menghadang jalan pemuda itu,
"Kalau gitu cepat ke kamar. Simpan browniesnya, mandi dan siap-siap. Kita
jalan-jalan hari ini."
"Gue
sib-"
"Kalau
udah siap, kamu susulin aku di dapur ya." potong Shilla sebelum Alvin
menyelesaikan ucapannya, ia memutar tubuhnya membelakangi Alvin, kemudian
berlalu dengan riang menuju pintu samping. Setelah Shilla berikut bayangannya
menghilang, Alvin memutuskan untuk segera ke kamarnya. Tawaran Shilla untuk
jalan-jalan di hari secerah ini tampaknya cukup menarik minat Alvin.
***
Sebuah bus tua dengan penumpangnya yang over capacity,
terbatuk-batuk, menyemburkan asap kehitaman. Mengeluarkan sisa-sisa pembakaran
tidak sempurna yang ikut berkontribusi menjadi faktor penyebab ISPA. Bus yang
sudah layak dimuseumkan itu, tentu saja sudah tidak nyaman, tapi anehnya, fans
kendaraan umum yang satu itu masih begitu banyak, di setiap harinya. Sebelum
roda-roda besarnya yang kotor berhenti berputar total, Alvin sudah melompat
turun, lalu menepi. Di bahu jalan, pemuda itu berjongkok dan memuntahkan semua
isi perutnya. Wajahnya yang putih, semakin tak berwarna.
"Hoeks.
Hoeks. Uhukhuk."
Shilla
yang baru saja berhasil menyusul Alvin, turut berjongkok dan mengurut tengkuk
pemuda itu, "Manja banget sih. Masa naik bus aja sampai muntah-muntah
begini." cibir Shilla, sambil membalurkan cairan hijau bening dari botol
minyak angin yang dibawanya, kebagian tengkuk Alvin.
"Nggak
usah bawel deh. Tu ayam buang kotoran sebanyak itu ditangan gue, lo fikir nggak
mual apa. Menjijikkan." balas Alvin kesal.
Ini memang bukan kali pertama Alvin naik bus, biasanya kalau
hunting foto, ia dan teman-temannya juga lebih senang naik bus, lebih praktis
karena tidak harus mencari tempat parkir untuk kendaraan mereka. tapi kali ini
jelas berbeda. Selain busnya yang sudah menyerupai besi rongsokkan, penumpang
yang berdesakan dengan sebagian besar adalah kaum pedagang beserta barang
bawaannya yang segunung, aroma tidak sedap (campuran keringat, asap rokok dan
sayur-mayur), plus hadiah dari ayam jago mikik seorang bapak tambun. Nah,
bagaimana Alvin tidak mual berada didalamnya selama hampir 3 jam karena
terjebak macet. Maklum hari ini weekend.
"Mana
tangannya, biar aku bersihin." Shilla mengeluarkan sebotol air mineral dan
tissue dari dalam tas selempangnya. Dibersihkan tangan kiri Alvin dengan
telaten, "Udah tu." ujarnya beberapa saat kemudian.
Alvin
mengendus-ngendus punggung tangannya, "Mendinglah." komentarnya.
Shilla
lantas berdiri, "Ya udah yuk, jalan. Panas disini." ia menyipitkan
matanya. Jam 2 siang. Sinar matahari sudah tidak sehangat pagi tadi, "Ini
dimakan dulu. Perut kamu pasti kosong, habis muntah-muntah kayak gitu."
sambil berjalan, Shilla mengangsurkan sebungkus roti. Untung ia terbiasa
membawa bekal setiap kali bepergian, meskipun hanya roti dan sebotol air
mineral.
Alvin
menerimanya tanpa banyak komentar. Segera melahap roti coklat yang disodorkan
Shilla, "Kita mau kemana sih ?" tanyanya, baru sadar, kalau Shilla
sejak tadi belum memberitahu kemana mereka akan pergi.
"Pasar
Malam." jawab Shilla santai, "Kita main-main disana ya, itu tempat
yang direkomen Tante Gladys. Katanya waktu kecil kamu suka banget ke pasar
malam"
"Oh."
tanggap Alvin singkat. Alvin ketar-ketir dalam hati, ia tahu, dulu ia suka
sekali pergi ke pasar malam di desa. Iya dulu sekali, saat teman kecilnya masih
ada. Tapi saat ini, Alvin tidak akan pernah baik-baik saja setiap kali
mengunjungi pasar malam.
"Pasar
malam. Bocah banget sih lo." Komentar Alvin.
Shilla memutar bola mata. Menjulurkan lidahnya, saat Alvin
telah berjalan lebih dulu di depannya. Mereka segera memasuki pasar malam yang
sudah ramai oleh pengunjung. Tapi baru lewat beberapa langkah dari pintu masuk,
Alvin tiba-tiba menghentikan langkahnya, membuat Shilla yang berjalan di belakangnya
menubruk tubuh jangkung Alvin. Roti yang tinggal setengah, meluncur ketanah,
terlepas begitu saja dari genggaman Alvin.
Bagaimana mungkin Alvin akan baik-baik saja. Setiap kali ia
mengujungi pasar malam justru bayangan Aya menjadi semakin jelas dan hidup.
Bagaimana Alvin bisa menganggap Aya tidak lebih dari sekedar kenangan, jika
rasanya masih terlalu nyata seperti sekarang. Alvin melihat Aya. Gadis kecil
berkuncir kuda itu berlari, tertawa, melambaikan tangan kearahnya, berteriak
memanggil namanya, "Cukup." bentak Alvin, sambil memejamkan mata.
Dengan cepat, Alvin berbalik. Ingin meninggalkan tempat itu secepat ia bisa.
Datang kemari (terlebih bersama Shilla) tidak akan membuatnya bisa terlepas
dari sosok Aya. Justru akan semakin memupuk harapannya akan kehadiran teman
kecilnya itu lagi.
"Mau
kemana ?" suara Shilla membuat Alvin berhenti sejenak.
"Gue
nggak bisa disini." jujur Alvin.
"Vin,
kita udah jauh-jauh pergi ke pinggiran kota Jakarta kayak gini supaya bisa
ketemu sama yang namanya pasar malam. Terus udah gitu kamu bilang kamu nggak
bisa disini? Ini onyol Alvin," sergah Shilla.
“Lo
nggak ngerti”
“Kalau
gitu bikin aku ngerti Alvin. Mama cuma pengen bikin kamu seneng dengan nyuruh
aku nemenin kamu kesini. Tante Gladys nggak bisa nemenin kamu karena lagi hamil,
dia juga nggak mungin minta tolong sama Rio, Ify juga sibuk. Jadi akhirnya
disinilah kita. Aku sama kamu. Kita udah jauh-jauh kesini dan kamu mau pulang
gitu aja?”
“Shilla,
ini nggak segampang yang lo kira. Gue nggak bisa disini.”
Shilla
menghela napas, ia membiarkan jari-jari tangannya yang halus terjalin dengan
jemari Alvin, "Pasti bisa." imbuhnya menyemangati.
Ekspresi
wajah Alvin melunak.
Shilla
memanfaatkan kesempatan itu untuk menarik tangan Alvin menuju salah satu wahana
permainan yang ada disana, "Kita naik komidi putar ya Vin."
Alvin
menepis genggaman Shilla pada tangannya, "Malas." tolaknya, lantas
berjalan memasuki area taman ria lebih kedalam.
"Ya
udah ombak banyu aja gimana ?"
"Lo
mau jadi tontonan bocah-bocah ?"
Shilla menggerutu sebal, dengan geram, akhirnya diseretlah
Alvin menuju wahana komidi putar. Shilla tahu Alvin hanya cari-cari alasan
untuk tidak mencoba wahana-wahana permainan yang ada disana. Kali ini kendali
ada pada Shilla, Alvin tidak boleh (dan tidak ingin) protes. Shilla menyeret
pemuda itu kesana kemari. Mencoba hampir semua wahana yang ada dan berwisata
kuliner dengan mencicipi jajanan-jajanan yang dijajakan pada stand-stand yang
bertebaran disetiap sudut taman ria. Setelah cukup lelah menjelajahi tempat
itu, mereka memilih beristirahat. Duduk pada sebuah bangku kayu panjang dekat
pintu keluar. Suara tawa yang sejak kapan mulai hadir diantara mereka masih
terdengar jarang-jarang. Sepertinya Shilla telah menepati janjinya pada Gladys
untuk membuat Alvin senang hari ini.
Tidak
terasa, sudah pukul 8 malam. Bulan dan bintang sudah mulai terpeta pada langit
gelap di atas sana.
"Vin,
aku mau itu." Shilla menunjuk-nunjuk pedagang arum manis, lantas
menengadahkan tangan pada Alvin.
"So
?" Alvin mengangkat sebelah alis matanya.
Shilla
menyeringai lebar, dimiringkan wajahnya kesisi kanan, "Uangnya ?"
Alvin
bergeming.
"Ayo
dong Alvin, jangan pelit-pelit. Ini kan hari ulang tahun kamu. Anggap aja,
traktiran buat aku. Tapi kalau nggak mau traktir juga nggak pa-pa deh, nanti
aku ganti dirumah. Aku pinjam dulu uangnya. Aku pengin banget beli. Ayolah,
kamu kan ba-"
"Nih.
Bawel." Alvin menempelkan selembar uang seratus ribuan dikening Shilla,
"Beliin semua sono. Biar sakit gigi. Dasar aneh, lo yang ngajak jalan tapi
dari mulai transport sampai konsumsi gue yang tanggung." gerutu Alvin.
"Hehehe.
Jangan itungan gitulah Vin. Kan dompetku nggak kebawa," bela Shilla,
"Handphone juga. Padahal Rio pasti dari tadi SMSin aku minta
disemangatin." imbuh Shilla lebih pelan, mengingat pertandingan yang
diikuti Rio hari ini.
Alvin
tersenyum sinis, "Lo jalan sama gue tapi masih sempat-sempatnya ya ingat
sama Rio ?"
Shilla
mendelik, "Ya iyalah. Kenapa nggak suka ?"
"Biasa
aja. Udah sana pergi." jawab Alvin datar.
"It's
Oke,” sahut Shilla enteng. Kemudian berlari kecil menuju stand penjual arum
manis yang memang sedikit jauh dari tempatnya dan Alvin duduk tadi. Setelah
mendapatkan dua bungkus arum manis berukuran besar, Shilla berniat segera
kembali ketempat Alvin.
Tiba-tiba
seorang gadis cantik dengan tinggi sedikit lebih pendek dari Shilla,
menabraknya dari belakang.
"Auw..."
pekik Shilla, satu bungkus arum manisnya melompat jatuh dari genggamannya.
"Eh.
Aduh, maaf, maaf. Aku nggak sengaja. Maafnya." gadis itu memasang ekrpesi
menyesal, "Biar aku ganti ya arum manisnya. Sorry banget, tadi buru-buru
soalnya."
Shilla
tersenyum ramah, "Iya nggak pa-pa kok. Nggak usah diganti juga."
"Nggak.
Pokoknya aku ganti. Ayo beli." gadis berblazer kuning dengan badge lambang
universitas Indonesia itu, menarik tangan Shilla.
"Hey,
buruan bisa kali Non." tegur gadis lain yang juga mengenakkan blazer
kuning terang.
"Tu
udah dipanggil sama temannya. Nggak pa-pa kok, nggak perlu diganti."
seloroh Shilla.
"Beneran
?"
"Iya."
"Emm,
ya udah kalau gitu sekali lagi aku minta maaf ya. Next time, kalau kita ketemu
lagi, pasti aku ganti arum manisnya. Duluan ya. Bye." gadis itu berlalu,
rambut panjangnya yang bergelombang, melayang ringan saat Si Pemilik
membalikkan tubuh untuk kemudian berlari kearah temannya. Ia menoleh dan
melambaikan tangannya lagi Shilla.
Shilla
mengangguk lalu tersenyum simpul.
"Manis
banget sih." puji Shilla.
"Woy,
lama deh lo." Alvin menepuk pundak Shilla dari belakang.
Pemuda itu mengikuti arah pandangan Shilla yang masih
tertuju kedepan. Kebetulan pada saat yang bersamaan, gadis tadi menoleh kembali
kearah Shilla. Entah siapa yang lebih kaget, tapi baik Si Gadis maupun Alvin
sama-sama ternganga, merasa saling mengenal satu sama lain. Alvin memutuskan
untuk memastikan apa yang dilihatnya, ia berniat untuk segera mengejar gadis
berblazer tadi, tapi Shilla lebih dulu mencekal pergelangan tangannya.
"Eh,
mau kemana kamu ? Aku tahu ya cewek tadi tu cantik, tapi ingat, kamu udah ada
Ify."
"Aduh,
lo apa deh Shil, lepas." Alvin menyentakkan lengannya dengan kasar.
Pandangannya kembali beralih, mencari-cari sosok gadis tadi, tapi terlambat, Si
Gadis dan temannya telah lebih dulu masuk kedalam mobil. Terano silver
metallic. Alvin kenal mobil itu. Ya, walaupun tentu saja, mobil seperti itu
tidak diproduksi hanya satu, tapi Alvin benar-benar merasa yakin mengenal mobil
berikut gadis didalamnya, "Siapa cewek tadi ?" tanyanya pada Shilla.
"Nggak
tahu. Tadi dia nggak sengaja nabrak aku." Shilla angkat bahu.
"Ck."
Alvin berdecak,"Ya udah, sekarang lo ikut gue." perintahnya dengan
nada tak terbantah.
"Kalau
aku nggak mau ?"
"Wah,
sayangnya lo harus mau." tegas Alvin, mengukuhkan dugaan Shilla bahwa suka
ataupun tidak suka ia tetap harus ikut bersama Alvin.
Dari
kejauhan, sepasang mata yang seharusnya tidak melihat Alvin dan Shilla disana
mangamati dua remaja itu dengan pandangan kecewa.
***
"Ini
rumah siapa Vin ?"
Shilla
masih berdiri didepan pagar dengan besi-besinya yang berjejer rapat. Polesan
catnya sudah terkelupas disana sini. Dibalik pagar, terdapat sebuah rumah
berukuran sedang. Tampaknya sudah lama tidak ditempati. Warna pastel yang
menempel pada didindingnya mulai memudar. Rumput-rumput liar tumbuh tinggi,
ditaburi daun-daun kering dari pohon mangga besar yang tidak berbuah.
Kusen-kusen kayunya juga sudah lapuk jadi santapan rayap.
"Cepat
sini !!" Alvin yang telah lebih dulu melompati pagar, menyuruh Shilla agar
mengikuti jejaknya.
"Manjat
?"
"Iya.
Buruan."
Shilla
mengangguk. Dipanjatnya pagar setinggi leher orang dewasa dihadapannya dengan
lihai. Setelah pijakan terakhir, gadis berambut panjang itu melompat menjejak
tanah.
"Kenapa
?" tanya Shilla melihat Alvin yang melongo melihatnya memanjat pagar.
"Apa
?"
"Kamu
kenapa ?"
"Emang
gue kenapa ?"
"Ck.
Tau ah." Shilla melengos, kemudian memilih tempat yang pas untuk duduk.
Kakinya sudah pegal diajak memutari taman ria seharian. Pilihannya jatuh pada
ayunan usang yang terletak disudut halaman. Besi-besinya sudah berkarat, saat
Shilla mendudukinya terdengar bunyi krekek-krekek yang jelas.
"Ini
rumah siapa Vin ?"
"Rumah
lama gue." jawab Alvin seraya mengambil posisi duduk disamping Shilla.
"Oh,"
Shilla mengangguk paham, "Jadi ceritanya kangen rumah ini ya ?"
"Iya
sih. Tapi jauh lebih kangen sama Ayah. Kalau beliau masih hidup, kira-kira gue
dikasih apa ya pas ulang tahun ke-18 ?" tutur Alvin. Tanpa sadar, ini
adalah pertama kalinya ia bicara sepanjang itu dan tanpa nada dingin pada
Shilla.
Shilla terdiam. Tidak ingin menanggapi ucapan Alvin barusan.
Bagi Shilla, Alvin masih jauh lebih beruntung. Setidaknya pemuda itu punya
sesuatu yang bisa dikenang tentang Ayahnya. Sedangkan Shilla? Ingat bagaimana
rupa Sang Ayah saja tidak. Shilla selalu tidak nyaman setiap kali mengobrol
dengan tema Ayah.
"By
the way, Shil, thanks for today." Alvin menyandarkan punggungnya pada
sandaran ayunan, "Gue senang hari hari ini." jujur Alvin.
"Sama-samaaaa.
Aku juga senang." jawab Shilla riang.
"Terus
?"
"Terus
apanya ?"
"Aduh,
lo tu lemot banget ya Shil. Apa-apa harus dijelasin panjang lebar, baru deh
ngerti."
"Kamunya
aja yang terlalu irit ngomong." balas Shilla tidak mau kalah.
"Terus
sebenarnya apa tujuan lo tiba-tiba baik sama gue hari ini. Sampai mau nemenin
jalan segala ?"
"Oh
itu. Kalau soal baik, dari dulu juga aku mah baik. Kamunya aja yang nggak bisa
dibaikin. Terus, tentang hari ini, kan dari tadi aku udah bilang sebenarnya aku
cuma penuhin permintaannya Tante Gladys. Tante Gladys minta supaya aku temenin
kamu pas hari ulang tahun kamu," jawab Shilla kelewat polos, pemuda di sampingnya
tentu akan merasa lebih baik kalau mendengar jawaban basa-basi yang lebih manis
dibanding kalimat blak-blakkan yang baru saja diperdengarkan Shilla.
"Oh."
Alvin membulatkan bibirnya, dalam hati sedikit kecewa karena Shilla ternyata
mau menemaninya hari ini hanya lantaran permintaan Mamanya.
"Eh,
cerita dong Vin."
"Cerita
apa ?"
"Apa
aja deh, tentang kamu. Soal masa kecil kamu juga boleh." Shilla memperbaiki
duduknya menghadap Alvin.
Alvin
diam saja kenapa pula tiba-tiba Shilla memintanya bercerita tentang masa
kecilnya, ia melirik Shilla yang tampak antusias, “Lo mirip dia, Shil,” ujar
pemuda sipit itu pelan, “Lo mirip temen kecil gue,”
“Oh
ya? Kok bisa?” tanggap Alvin.
“Entahlah"
Alvin mengangkat bahu, “Gue juga nggak yakin sih karena gue udah lama nggak
ketemu dia, gue juga nggak tau sekarang dia kayak apa. Tapi kadang ada
saat-saat dimana lo keliatan mirip dia,” papar Alvin menjelaskan.
Shilla
mengangguk paham, “Masa kecil itu indah ya Vin, berkesan banget. Temen kecil
kamu itu pasti berarti banget ya buat kamu.” Shilla tersenyum manis, “Kamu
punya fotonya? Aku mau lihat dong! Penasaran, emang bener ya dia mirip aku?"
Alvin
menunduk. Sambil menghela napas berat, ia beringsut bangun, "Punya ntar kapan-kapan
gue kasih lihat ke elo.”
"Emm
Vin, jangan kasih tahu Rio ya kalau hari ini kita jalan bareng. Please."
Shilla menelungkapkan kedua tangannya didepan dada.
Senyum
tipis Alvin yang semula terpeta pada wajah tampan pemuda itu mendadak hilang.
Matanya memicing tajam pada Shilla, "Ya." jawabnya dingin.
Shilla
memang bilang pada Rio bahwa ia pergi bersama Gladys menghadiri gathering
cabang Veronna yang di Bandung. Gladys yang mengusulkan alasan itu pada Shilla.
"Makasih.
Sebagai imbalannya, nanti aku kasih tips ampuh menghilangkan galau deh.
Hehe." Shilla melempar cengiran pada Alvin yang sama sekali tidak
menggubrisnya sejak beberapa detik yang lalu.
Bahkan,
Alvin menganggap Shilla seperti tak kasat mata, ketika ia segera berlalu
setelah berhasil melompati pagar, tanpa menunggu Shilla dulu.
Untung,
perumahan di sekitar situ tidak begitu ramai. Jadi tidak ada yang meneriaki
mereka maling atau menuduh mereka telah melakukan tindakan asusila dengan
berdua-duaan dirumah kosong seperti ini.
"Oke."
balas Alvin, setelah Shilla berhasil menyejajarkan langkah dengannya.
Berdua
mereka berjalan. Menapaki gelap. Siluet keduanya, tampak sempurna dan begitu
serasi, dengan langit yang biru tua sebagai backgroundnya.
Satu
hari bersamanya.
Tidak
special, tapi cukup indah untuk dikenang sebelum terlelap malam ini.
***
Rio
menjejalkan sebungkus arum manis yang dibelinya tadi siang kedalam tempat
sampah di pantry lantai 2. Ekspresinya kalut dan marah. Dengan serampangan,
didorongnya sebuah kursi kayu yang menghalangi jalannya kepintu pantry, hingga
terjungkal, "Sial." umpatnya, penuh emosi.
"Kok
dibuang ?" suara lembut Shilla yang merambat diudara membuat Rio yang
mendengarnya terpaksa mengangkat wajah, menatap Shilla. Gadis itu memiringkan
wajah, melirik arum manis berukuran jumbo yang teronggok ditempat sampah.
"Lo
mau ? Ambil aja." sahut Rio ketus. Kalau saja Shilla tidak berdiri didepan
pintu, pasti sudah sejak tadi Rio keluar dari tempat ini.
Melihat
aura neraka yang terpancar hebat diwajah Rio, Shilla berusaha mencari topik
pembicaraan lain, "Eh iya tadi gimana tanding badmintonnya ?"
"Peduli
apa lo ?"
Shilla
merengut, "Kamu kenapa ?" tanya gadis itu heran terhadap Rio yang tak
acuh seperti itu kepadanya.
"Minggir,
gue mau lewat." usir Rio.
Shilla
memilih bergeming.
"Minggir
!!" sentak Rio.
"Apaan
sih bentak-bentak." Shilla berkacak pinggang, matanya memelototi Rio,
"Kenapa ? Ngambek ya ? Aku salah lagi ?"
Rio
tersenyum kecut, "Oh, nggak kok. Lo nggak salah, Shilla. Sorry, guenya aja
yang kayak anak kecil, maybe," Rio bersidekap, "Udah puas ? Sekarang
minggir."
"Nggak
mau."
"Jangan
salahin gue kalau elo, gue dorong."
"Coba
aja." Shilla mengangkat dagu.
Rio
mendengus kesal, "Lo bohongin gue." dakwanya.
Shilla
memucat, dengan kikuk ia bersuara, "Bohong apa sih ? Nggak ngerti
deh."
Rio
melirik jam bundar dengan tepiannya yang berwarna hijau, terpasang didinding
pantry, "Jam 9 malam. Kemana aja lo seharian ini ?"
"Nemenin
Tante Gladys lah, kan aku udah bilang sama kamu."
Keduanya
terdiam cukup lama. Shilla menunduk dalam, sementara Rio menghujami gadis itu
dengan tatapan kecewa, "Oya ? Yakin nemenin Tante Gladys ? Atau... Nemenin
anaknya ?"
Shilla
menyembunyikan wajahnya lebih dalam lagi. Tidak berani memandang Rio, karena
dengan beradu mata, pemuda itu pasti akan langsung bisa menebak bahwa Shilla
tengah menyembunyikan sesuatu darinya. Ia menggigit bibir bagian dalam.
"Tadi
sore gue lihat lo sama Alvin ditaman ria, kebetulan banget ya ? Tadinya gue
pengin beli arum manis itu buat lo."
Shilla
membeku di tempatnya. Ia tidak berani mengangkat wajah dan menatap Rio. Ingin
sekali ada lubang besar yang menelannya saat itu juga. Dengan gugup, Shilla
berusaha memutar otak mencari alasan. Tapi tetap saja tidak berhasil.
"Kalau
mau jalan-jalan, ngapain bohongin gue. Takut gue ikut ya ? Takut gue gangguin
?" Rio sepertinya tidak menunggu jawaban dari Shilla, karena setelah
selesai berujar demikian ia segera pergi.
Shilla
menatap punggung tegap Rio dengan perasaan menyesal. Seberapa lama Rio akan
marah seperti itu kepadanya ?
***
Shilla berjalan membawa sebuah modul yang dititipkan Ify
kepadanya, untuk diberikan kepada Alvin. Sekarang, ia sedang menuju kamar
pemuda itu yang terisolasi disudut lantai dua. Shilla baru saja akan mengetuk
pintu berukir edelweiss room dihadapannya, ketika lamat-lamat terdengar suara
obrolan Alvin dan Gladys dari dalam. Ia mengurungkan niatnya.
"Udah
tahu alergi coklat pakai makan brownies segala." suara Gladys terdengar
kesal. Baru setengah jam yang lalu Alvin mencicipi brownies buatan Shilla,
efeknya sudah langsung terasa. Seluruh badannya gatal-gatal.
"Kan
nggak enak Ma sama Shillanya kalau nggak dicoba. Dianya udah susah-susah
buatin."
"Kan
kamu bisa jujur kalau kamu alergi coklat, Alvin."
Alvin
sepertinya tidak menyahut, karena kemudian hening, tidak ada yang bersuara. Shilla
termangu di depan pintu, merasa bersalah karena telah memaksa Alvin mencicipi
brownies buatannya. Gadis itu akhirnya berbalik menuju kamarnya, batal
memberikan modul titipin Ify pada Alvin, “nanti saja” pikirnya.
***
"Pokoknya
Bibi teh nggak suka kamu terlalu dekat dengan den Rio. Kamu harus nurut sama
Bibi." Suara Bi Arum terdengar tegas diantara bunyi tak-ta-tak dari mata
pisau yang tertandas pada tatakan.
"Tapi
kan sesuatu itu harus ada alasannya Bi, kenapa Shilla nggak boleh dekat sama
Rio ? Dia baik kok."
"Jangan
karena den Rio baik, kamu jadi lupa, kita siapa, den Rio itu siapa."
Shilla
menghentikan aktivitasnya sejenak, membiarkan air yang mengalir dari kran
berkeracak membasahi tangannya, "Tapi Rio nggak pernah keberatan dekat
sama Shilla. Walaupun Shilla cuma keponakan pembantu dirumah ini." tutur
Shilla sangat pelan.
Bi
Arum yang berdiri memunggungi Shilla, memejamkan mata. Satu tetes airmata
bergulir diatas pipi berkerut milik wanita paruh baya itu. Bi Arum harus segera
menyusutnya, kemudian berbalik menghampiri Shilla. Dielusnya puncak kepala
Shilla dengan sayang, "Kamu ke Jakarta untuk sekolah kan ? Untuk mengejar
cita-cita kamu kan ? Jadi fokus saja pada semua itu Shilla, jangan dulu
memikirkan hal-hal yang lain." nasehat Bi Hanum.
Shilla
hanya mengangguk. Setelah Kakak dari Sang Ibu itu pergi dari dapur, Shilla
memajukan bibirnya. Ia mengerti yang dimaksudkan Bi Arum adalah supaya Shilla
fokus pada sekolahnya, dan pasti yang dimaksud hal-hal lain adalah urusan
cinta-cintaan, "Aku kan udah besar. Lagian kalau udah terlanjur suka
gimana dong ? Iya nggak ?" Shilla berbicara dengan pantat panci kinclong
yang merefleksikan bayangan wajahnya.
"Penting
ya, diajak ngobrol dulu pancinya sebelum dicuci ?" suara dingin yang
sangat Shilla kenal mengusik gendang telinganya.
"Alvin.
Hehe." Shilla menyeringai, "Eh, gimana alerginya ? Maaf ya, aku nggak
tahu kalau kamu alergi coklat." sesal Shilla.
"Never
mind." Alvin membungkuk, mengeluarkan blender dari lemari bawah, lalu
menaruhnya diatas meja. Ia lantas berjalan kearah lemari pendingin mengambil
beberapa buah apel dan sebilah pisang, yang kesemuaan juga diletakkan diatas
meja.
"Lagian
aneh. Alergi kok sama coklat, kan enak."
"Sekedar
info, Rio juga nggak suka coklat.”
"Udah
tahu kok." timpal Shilla. Rio memang sudah bilang sendiri pada Shilla soal
itu, "Itu lukanya berbekas ya, Vin ?" Shilla mengamati telapak tangan
Alvin yang dulu terluka setelah menolong seorang bocah SD dijalan raya didepan
sekolah mereka.
"Oh
ini," Alvin mengangkat telapak tangan kanannya, "Lihat aja sih lo.
Iya berbekas. Jadi aneh ya ?"
Shilla
membersihkan tangannya dengan lap. Tugasnya mencuci tangan setelah makan malam
telah rampung, "Nggak kok. Justru itu tangan yang bagus, karena
dipergunakan sesuai fungsinya. Untuk berbuat kebaikan. So cool." komentar
Shilla.
PRAANG
Tiba-tiba
satu set rantang susun jatuh berkelontang membentur lantai. Alvin dan Shilla
kompak menengok. Seorang pelayan berdiri diambang pintu dapur, membawa beberapa
peralatan rumah tangga. Pelayan dengan baju kebangsaan mereka yang berwarna
pink pucat itu menggerakkan dagunya kearah lain. Sekilas, Alvin dan Shilla
dapat melihat sosok Rio yang berjalan santai. Pastilah Rio yang melempar
rantang-rantang itu karena melihat Alvin dan Shilla berduaan.
"Ngambek
tu." seloroh Alvin.
"Dari
kemarin kali." sahut Shilla, "Lucu ya, banting-banting barang
gitu." Shilla menggeleng-gelengkan kepala.
"Lucu
apanya ?"
"Hehe.
Eh, kamu mau buat apa sih ? Mau dibantu ?"
"Nggak
usah."
"Oh,
ya udah. Aku duluannya."
Alvin
tidak menjawab. Mulai sibuk merajang buah apel. Shilla juga tidak ambil pusing,
ia segera berlalu seraya membawa buah jeruk yang dilempar-lempar ke udara
dengan tangan kanannya.
***
"Kalau
elo disini semalaman, di rumah, Shilla sama Eyang juga nggak akan tidur. Ayo
pulang."
Suara
baritone Alvin memecah keheningan yang meliputi area pemakaman itu. Rio hampir
saja histeris saking kagetnya tiba-tiba mendengar suara yang menyapanya.
Setelah tahu yang berbicara padanya adalah Alvin, Rio melengos dan kembali
memainkan kelopak-kelopak bunga segar yang baru ia tabur dipusara Sang Mama.
"Ngapain
lo disini ?" sinis Rio.
"Sambutan
yang manis," puji Alvin tak kalah sinis, "Lo kenapa ? Ada masalah
?"
Rio
tertawa mencibir, mendengar orang yang merupakan pangkal permasalahannya
bertanya demikian, "Lo peduli ?"
"Ya...
Samalah kayak lo yang juga peduli sama gue."
"Gue
nggak pernah peduli sama lo."
"Masa
sih ? Yah, sedih dong gue." ujar Alvin dengan nada datar.
"Jayus
lo."
Alvin
tidak menimpali, memilih diam dan ikut memandangi nisan tempat peristirahatan
terakhir Veronna dengan khidmat.
"Kenapa
diam ?" tanya Rio, dingin.
"Lo
pengin gue ngomong ?" Alvin menoleh kearah Rio, baru sadar saudara tirinya
itu terlihat begitu berantakan.
"Ck.
Lo mau ngapain sih kesini. Ganggu aja. Pulang sana." usir Rio, berang.
"Gue
nggak akan pulang kalau elo nggak ikut pulang."
"Jadi
terharu." balas Rio dengan suara yang dibuat persis dengan nada bicara
Alvin, dingin dan datar.
"Jangan
GR, gue cuma malas diamuk Eyang kalau balik tanpa elo." Alvin menepuk
pipinya. Baru beberapa menit tinggal, ia sudah merasa sangat tidak nyaman
dengan nyamuk-nyamuk, aroma kamboja dan nisan-nisan yang berjejer rapi ditempat
ini. Heran juga, melihat Rio betah sejak maghrib tadi sampai sekarang hampir
pukul 1 dini hari masih duduk menyindiri dipemakaman seperti ini. Dan Alvin
bisa langsung menebak, pastilah saudara tirinya itu tidak dalam keadaan yang
baik.
"Apa
perlu gue telepon Eyang, biar Eyang yang seret lo dari sini '" gertak
Alvin.
"Iya,
iya, kita balik. Bawel deh lo." Rio cepat bangkit, setelah sebelumnya
mengecup nisan marmer berpahatkan nama Veronna Nugraha, "Rio pulang ya
Ma..." pamitnya dengan suara lembut.
"Seumur-umur,
akhirnya ada juga yang bilang gue bawel." celetuk Alvin saat membuntuti
Rio, menuju mobilnya. Sementara Rio sama sekali tak menghiraukannya.
"Ngapain
lo ngintilin gue ?" tanya Rio, setelah sadar mereka tidak berpisah jalan
sampai didepan mobil Rio.
"Mau
balik kan ? Gue nggak bawa mobil." Alvin melengos melewati Rio, membuka
pintu mobil lantas duduk santai disisi kursi pengemudi.
Rio menggeram. Tinjunya terkepal kuat-kuat. Saat ini, justru
Alvinlah orang yang paling ingin ia hindari. Ada rasa cemburu dan kemarahan
yang bergolak di hatinya, setiap kali Rio bertemu muka dengan pemuda yang dulu
berstatus kawan kentalnya itu. Sia-sialah berjam-jam ia 'bersemedi' di makam
Sang Mama, kalau ujung-ujungnya harus pulang bersama Alvin.
Suara pintu mobil yang ditutup dengan tidak santai oleh Rio,
segera teredam oleh suara lembut Reza Herlambang dengan lagu lamanya yang
berjudul Menyesal. Sepertinya saat datang kemari Rio benar-benar kacau,
terlihat dari tape mobil yang tidak dimatikan, bahkan kuncinya pun masih tergantung
ditempatnya. Untung mobil itu tidak raib digondol maling.
bila
cinta tak lagi untukku
bila
hati tak lagi padaku
mengapa
harus dia yang merebut dirimu
(Reza
Herlambang - Menyesal)
"Matiin
tape nya." perintah Rio.
"Kenapa
? Lagunya enak kok."
"Kalau
elo nggak mau gue turunin, cepat matiin."
Alvin
bergerak dengan malas, memajukan tubuhnya dan menekan tombol off. Kalau bukan
Rio, mana mau Alvin disuruh-suruh pakai acara mengancam seperti itu. Sedan Rio
terus bergerak, menyusuri jalan beraspal yang kian hitam setelah ditempa
gerimis kecil.
"Soal
Shilla itu, lo marah juga sama gue, Yo? Atau soal Mama yang hamil?"
Rio
tidak menjawab. Mempraktikan metode diam seribu bahasa dengan sangat sempurna.
Mengunci mulutnya rapat-rapat dan berkonsentrasi penuh pada jalanan didepannya.
"Shilla
kan udah minta maaf dan kalau menurut lo gue juga salah. Ok. Gue juga minta
maaf. Tapi soal hamilnya Mama gue nggak bisa bilang apa-apa," imbuh Alvin.
Rio tetap saja mematung. Seolah ucapan Alvin tidak lebih
dari desau angin yang sangat tidak penting untuk ditanggapi. Alvin dongkol
setengah mati. Serasa menghadapi kloningannya secara sifat. Dalam hati,
diam-diam Alvin berterima kasih pada semua orang yang masih begitu setia berada
didekatnya. Karena saat ini, Alvin tahu, sangatlah menyebalkan menghadapi
manusia es seperti yang sedang dilakonkan Rio.
"Lagi
pula ya Yo, sebenarnya lo nggak berhak marah sama Shilla," Alvin
meneruskan ucapannya, ingin tahu seberapa lama Rio bisa diam tanpa buka suara
untuk membela diri, "Lo kan bukan siapa-siapanya Shilla. Terserah dong dia
mau jalan kemana dan sama siapa aja, itu hak dia. Apalagi ini lo juga marah
sama gue ? Atas dasar apa coba ? Gue kan cuma diajak Shilla bukan salah gue
kalau dia nggak ngajak lo kan?" Alvin berkicau dengan santai, tak acuh
pada pemuda disebelahnya yang harus mati-matian menahan emosinya.
"Lo
keterlaluan Vin," tutur Rio, lirih, "Lo punya Ify, tapi masih aja
berharap sama Aya dan sekarang... Sekarang... Lo dekatin Shilla juga. Emang
masih jaman ya, mainan perasaan cewek dengan cara kayak gini ?"
Alvin menarik satu sudut bibirnya. Rio tidak tahu apa-apa,
tapi bisa-bisanya mengeluarkan statement semacam itu. Rio tidak tahu bagaimana
Ify bahkan tidak menyisakan secuil saja ruang dihatinya untuk diisi oleh orang
lain selain Rio. Rio juga tidak tahu, kalau nyatanya Shilla mau menghabiskan
sepanjang hari bersama Alvin, itupun tidak lebih karena permintaan Gladys.
Justru dia, justru Riolah yang tanpa sadar, telah menggiring dua gadis itu ke
tepi jurang, mereka rela melompat kedalamnya demi Rio. Sedangkan pemuda itu ?
Hah, kita lihat saja, sebetulnya siapa yang ada dan akan selalu ada dalam
hatinya. Tapi menurut Alvin, tidak keduanya.
"Lo
nggak tahu apa-apa."
"Ya.
Itu yang gue harap. Gue bakal merasa jauh lebih baik, kalau nggak tahu tentang
semua ini. Tentang lo sama Shilla. Tentang nyokap lo. Semuanya."
Alvin
mengulur napas sejenak membalas ucapan Rio, "Lo sendiri? Foto siapa yang
ada di dompet lo, di laci kamar lo, di loker sekolah ? Heh ? The most beautiful
one. Larissa Kinara." Alvin menekankan nama gadis cinta pertama Rio itu
dengan nada kemenangan, "Apa lo yakin, lo suka sama Shilla ? Oya, satu
lagi, lo juga dekat kan sama Ify." tambahnya, ringan.
"Gue
sahabatan sama Ify."
"Gue
juga temenan sama Shilla. Impas kan ? So, lo nggak perlu marah gini dong sama
gue. Nggak perlu membesar-besarkan masalah sepele kayak gini Yo."
Emosi Rio memuncak. Tangannya terkepal kuat pada stir mobil.
Rahangnya mengeras, mimiknya kaku, matanya nyalang menatap penuh kemarahan pada
Alvin. Jalanan di depan sana terabaikan sudah, padahal mobil masih terus
melaju. Rio merasakan ada ribuan sendok yang mengaduk-ngaduk isi hatinya. Alvin
benar, dari dalam lubuk hatinya, Rio mengakui itu. Rasa bersalah itu mematenkan
nama Acha dalam hatinya. Acha yang begitu ia sayangi tapi tak pernah ia beri
kesempatan untuk sekedar menjelaskan semuanya. Acha, gadis pertama yang Rio biarkan
menangis dan berlutut di hadapannya. Airmata gadis itu masih tersimpan dalam
benaknya . Ia merasa bersalah pada Acha dan itu yang membuat Rio tidak pernah
rela menepikan Acha dari hatinya. Tapi saat ini, ia menyayangi Shilla. Sungguh.
Ia membutuhkan Shilla. Shilla yang menawarkan warna-warna baru dalam dunianya
yang menjemukan. Shilla yang setiap kali berada didekatnya, bayangan Acha mulai
memudar perlahan. Kenapa Tuhan harus mempertemukan Rio dengan Acha dan Shilla.
Kenapa tidak salah satu diantaranya saja ? Jawabannya mungkin sama dengan
kenapa Tuhan menciptakan bintang sementara bulan saja sudah lebih dari cukup
untuk membuat malam benderang, Karena kelak, bila salah satunya absen, yang
lain akan secara otomatis menggantikannya.
Rio tidak mengerti, apa yang sebenarnya dilesakkan kedalam
dadanya saat ini, hingga rasanya begitu menyesakkan. Dengan emosi yang
tidak terkontrol dengan baik, Rio menginjak gas mobilnya lebih kedalam. Jarum
pada spidometer berputar dengan cepat, menunjukkan angka yang extreem. Ratusan
kilometer per jam. Alvin segera memasang seat beltnya. Dengan panik, ia
memperingatkan Rio untuk mengurangi kecepatan laju mobilnya, "Yo, pelanin
mobilnya. Jangan aneh-aneh deh Yo."
Rio
tidak peduli, terus menginjak gas mobilnya. Roda-roda mobil bergulir lebih
cepat lagi.
"Yo,
dengerin gue. Pelanin mobilnya. Kita bisa mati berdua kalo kanyak gini."
Rio
tidak melunak, "Romantis kan ??" sahutnya asal. Dengan kalap,
ditekannya klakson gila-gilaan, padahal tidak ada satu objekpun yang
menghalangi jalan mobilnya.
TTIIIIIIINNN
TIIINNN
"Rio.
Gue mohon Yo. Jangan konyol. Berhenti. Kita bisa mati kalau lo kayak
gini."
Sadar ia tidak akan berhasil menghentikan Rio hanya dengan
kata-kata, Alvin berusaha mengambil alih kemudi. Merebut stir dan sebisa
mungkin membelokkan mobil ketepian jalan. Tapi Rio mempertahannya.
Dalam kecepatan yang tidak berkurang, kedua pemuda dalam
avanza biru tua itu masih terus bergelut memperebutkan kemudi. Beruntung
jalanan lengang. Tapi maut tepat saja waspada, mengintip mereka dengan senyum
misterius yang menakutkan. Tidak sabar ingin segera mendekap salah satu atau
mungkin keduanya, dua pemuda yang tanpa sadar menantang maut. Elegi perpisahan
dengan dunia, lamat-lamat disenandungkan. Dan Sang Maut bersorak sorai ketika akhirnya
mendapatkan celah untuk melahap nyawa dua remaja intaiannya.
Sebuah truk dengan kecepatan penuh, meluncur dari jalan
menikung dari arah yang berlawan. Penerangan yang minim, membuat sopir truk
maupun Rio tidak menyadari ranjau yang telah dibentangkan maut.
Dan sepersekian detik kemudian, seleret nyala lampu,
menyilaukan mata. Semuanya terjadi begitu saja.
"RIO
AWAAASS..."
Tiiiiinnn
"Aaaaarghh."
Ciiiittt.
BRAAKK.
Rem
diinjak sekuat tenaga oleh kedua pengemudi. Tapi usaha terakhir itu dilakukan
terlambat. Sangat terlambat.
***