Rahasia Orion Part 8
"Sisi yang Lain"
***
Shilla mengurangi kecepatan ayunan
kakinya, sebelum akhirnya berhenti tepat di depan avanza biru tua milik Rio. Ia
menyandarkan tubuh pada kap mobil, dadanya naik-turun selaras napas yang
memburu setelah dibawa berlari. Beberapa pengunjung ada yang meliriknya heran
dan melontarkan umpatan saat Shilla tanpa sengaja menubruk beberapa diantara
mereka. Shilla berusaha menenangkan diri, mengatur napas sambil memejamkan
mata.
"Cemburu." begitu yang dibisikkan angin, ketika
Shilla bertanya dalam hati, tentang apa yang sebenarnya ia rasakan. Sesak itu
masih ada, tidak berkurang sedikit pun.
Detik itu juga, Shilla merasa sudah mempunyai jawaban untuk
pertanyaan Alvin sore tadi.
"Lo suka sama Rio ?"
Ya, koar Shilla dalam hati. Ia
menyukai Rio dan ia tidak rela melihat Rio dengan gadis lain. Entah sejak
kapan, perasaan itu mulai muncul ? Mungkin sejak tangan kokoh pemuda itu menjabat
jemarinya di bawah naungan bulan di desa Cihideung, dulu. Atau perasaan itu
tumbuh, seiring senyum manis pemuda itu yang mengiringi Shilla menjalani
hari-hari barunya ?
Entahlah. Yang Shilla tahu saat
ini, perasaan apapun yang Shilla punya, harus segera Shilla kubur, karena Rio
telah memilih. Dan pilihan pemuda tampan itu bukan jatuh pada dirinya, bukan
Shilla.
Shilla menghirup udara malam,
membiarkan dinginnya yang khas memenuhi rongga dada, hingga tidak ada lagi
sudut yang terasa kosong dan hampa. Ia menegakkan tubuh, mencoba menarik kedua
sudut bibirnya, dalam hati berdoa semoga senyumnya tidak terlihat sangat aneh. Dengan
tangan kanan, disisir tatanan rambutnya yang sedikit berantakan.
Adakah yang bisa diperbuat untuk cinta yang tak berbalas ?
Jawabannya, tidak. Dan Shilla berusaha menerima kenyataan
itu.
"Hosh.. Hosh.. Hosh.. Hhh Shil," masih dengan
napas yang terengah, Rio memanggil Shilla. Ia membungkuk dengan kedua tangan
bertumpu pada lutut, "Shil hhh, kenapa sih ? Lo kok lari ?" tanya Rio
sembari menghampiri Shilla.
"Emm, nggak pa-pa kok Yo, maaf ya kamu sampai harus
lari-lari." Shilla tersenyum tipis untuk meyakinkan Rio.
Rio tidak mengerti makna dari tatapan Shilla yang tidak
biasa. Yang ia tahu, gadis itu sedang bersedih, entah karena apa, "Lo
nggak bakat bohong deh Shil," Rio menyentuh dagu Shilla dengan ibu jari
dan telunjuknya, agar gadis cantik itu menatapnya, bukan malah terus-menerus
merundukan wajah, "Ada apa Shil ?"
Shilla tidak habis fikir, kalau Rio
ini ternyata tipe cowok pengobral kata-kata manis yang gemar mempermainkan
perasaan seorang gadis. Jelas-jelas tadi Shilla mendengar sendiri, Rio
menyatakan cinta pada Ify. Lalu apa maksud pemuda itu berlaku demikian lembut
pada Shilla sekarang ?
Shilla menepis tangan Rio dengan
kasar, pemuda itu sedikit terkesiap. Tapi sedetik kemudian Rio tersenyum penuh
arti, matanya berbinar, "Gue tahu lo kenapa." celetuknya sok tahu,
"Lo jealous ya lihat tadi gue sama Ify tadi ?" Rio memasukkan kedua
telapak tangan pada saku jeansnya, matanya berkeliling menyapu area sekitarnya
sambil sesekali melirik nakal pada Shilla.
"Apaan sih ? Ada-ada aja deh. Ngapain jealous, bukan
urusan aku." jawab Shilla ketus.
"Ck, yang tadi cuma bercanda kok Shil. Nggak usah
ngambek gitu dong."
"Siapa yang ngambek sih Yo, aku biasa aja kok. Udah
ah, aku pingin pulang."
"Masa sih nggak ngambek ? Ngambek aja deh."
Shilla menekuk wajahnya. Benar-benar tidak paham dengan
kata-kata Rio. Bercanda, Rio bilang? Memang yang seperti itu lucu apa untuk
dijadikan bahan bercandaan ? Lagi pula yang tadi itu, tidak terlihat seperti
sedang pura-pura atau bercanda. Shilla juga melihat sendiri kok, Rio begitu
dalam menatap Ify yang duduk didepannya.
Okelah, bakat acting Rio memang
tidak bisa diragukan. Keikut sertaan pemuda itu dalam suatu pertunjukan seni
peran, seolah jadi jaminan bahwa pertunjukan tersebut pasti akan menuai sukses.
Karena itu juga, kelompok ekskul Drama Musikal atau DM yang diikuti Rio, tidak
jarang menyabet berbagai penghargaan dalam setiap ajang yang diikuti. Klub
ekskul Drama Musikal, memang menjadi wadah untuk siswa-siswi Veronna yang
menyukai dan mempunyai bakal dibidang seni peran. Meskipun bertajuk Drama
Musikal, tadi ekskul ini tidak hanya stuck pada dunia drama musika, didalamnya,
diajarkan pula seni peran lainnya seperti teater, kabaret, wayang orang, juga
pantomim. Dan karena bakat acting Rio yang disebut-sebut bisa memainkan
berbagai karakter secara total, pemuda itu didaulat sebagai ketuanya. Tapi
benarkan pernyataan manis Rio pada Ify tadi, hanya bagian dari acting yang
meyakinkan dari seorang Rio ?
"Gue bosen nungguin lo, makanya gue godain Ify. Lucu
aja lihat mukanya merah setiap kali gue bilang sayang. Itu cuma pura-pura kok,
cuma acting Shil, sekalian latihan kan, udah lama gue nggak ngumpul sama
anak-anak DM. Lo nggak usah jealous, sampai kabur-kaburan segala," Rio
menyilangkan tangan didada, kaki kanannya dihentak-hentakkan ke tanah dengan
santai, "Nah tu ada Ifynya, lo tanya aja sendiri."
Ify berjalan gontai kearah Rio dan Shilla, "Tanya apa
?" sambungnya, karena sempat mendengar kalimat terakhir yang Rio ucapkan.
Shilla terdiam. Memandang Rio dan Ify bergantian.
Rio mendengus tidak sabar, "Gini lho Fy, Si Shilla ini
kayaknya patah hati, lihat gue nembak lo tadi. Padahal itu kan cuma acting ya,
main-main doang, kita kan sama-sama anak DM, sering juga kok latihat berdua.
Iya nggak Fy ? Shilla ini ada-ada aja. " cerocos Rio, tanpa mempedulikan
perubahan raut wajah gadis didepannya. Rio menyikut Ify, seketika gadis itu
tergagap, "Woy, malah bengong deh lo."
"Eh, i.. i.. iyaa Shil. Yang tadi nggak serius
kok." Ify terceguk, menelan bulat-bulat rasa kecewanya, "Cu.. Cuma
pura-pura. Ya, main-main aja." lanjutnya dengan suara mengawang.
"Hahaha," Ify tertawa sarkatis dalam hati,
"Bodoh." makinya pada diri sendiri. Bisa-bisanya tadi Ify menyangka
kalau Rio sungguh-sungguh, "Ya Tuhan, memalukan sekali." ia terus
merutuk dalam diam. Bukankah Rio sudah sering menggodanya seperti tadi, pemuda
tampan itu akan bilang sayang, lalu setelah kedua pipinya memerah, Rio akan
tertawa terbahak-bahak dan bilang kalau itu semua hanya kelakar isengnya.
Ify tersenyum hambar. Setelah dilambung begitu tinggi,
kemudian dihempas jatuh hingga ke dasar palung lautan. Rasanya, masih sanggup
berdiri tegak saja, ia sudah layak untuk mendapatkan standing applause
besar-besaran.
"Rio…” lirih Ify dalam hati. Ya hanya nama itu dan
akan selalu nama itu.
Tin tiiin
Suara klakson mobil yang
melengking, membuyarkan lamunan Ify. Gadis manis itu reflek bergerak mundur,
beberapa langkah. Saat menoleh, dilihatnya Rio dan Shilla sudah berada didalam
mobil.
"Ngapain lo masih bengong disitu Fy, cepat masuk!"
Rio menyembulkan kepalanya dari kaca jendela yang terbuka.
Ify mencoba melangkah, tapi kedua kakinya seperti beku,
yang terjadi malah tubuhnya melorot jatuh, terduduk di tanah.
"Lho Fy ?" Rio yang melihat hal itu, dengan panik
segera keluar dari mobilnya dan menghampiri Ify, "Lo kenapa Fy ?"
Airmata yang sejak tadi coba Ify
bendung, akhir menetes juga, bergulir lambat di pipinya. Rio yang sangat jarang
melihat Ify menangis, jadi khawatir dibuatnya. Sisi lain dalam diri seorang Ify
yang nyaris tidak pernah diperlihatkan dihadapan Rio (kecuali diawal pertemuan
mereka) akhirnya mencuat. Ify menangis. Gadis yang selalu terlihat kuat dan
tegar di mata Rio, bahkan setelah perpisahan kedua orangtuanya, malam ini
tampak begitu rapuh dan lemah.
"Fy, lo kenapa ?" Rio berjongkok, mengelus
punggung tangan Ify dengan lembut.
"Sakit Yo." jawabnya, dengan suara tertahan.
"Sakit ? Sakit apanya Fy ? Yang mana yang sakit
?"
"Rio..." Ify menyebutkan nama itu dengan sejuta
makna tak tersingkap, di sela-sela tangisnya.
"Iya, kenapa Fy ? Aduh kamu jangan nangis dong, yang
mana yang sakit, kita ke rumah sakit ya?"
"Kaki.. Kaki aku sakit." tiba-tiba jawaban itu
yang tercetus diotaknya, kemudian terlontar dari bibirnya.
"Kaki ?" Rio membimbing Ify agar meluruskan
kakinya, "Yang mananya yang sakit ? Kok bisa tiba-tiba sakit Fy, tadi
nggak pa-pa kan ?" Rio melepas sandal cantik yang mengalasi kaki Ify, ia
memijat pergelangan kaki Ify, sebisanya, "Bisa jalan ke mobil ?"
Ify menggeleng lemah, sentuhan hangat tangan Rio masih
terasa pada pergelangan kakinya.
"Shil !! Shilla ! Tolong bukain pintu belakang."
seru Rio, lantas membopong Ify, menuju mobilnya.
Ify melingkarkan kedua tangannya pada leher Rio, dirasakan
aliran ketenangan yang berasal dari setiap jengkal tubuhnya yang bersentuhan
dengan kulit Rio.
"Kita ke rumah sakit ya ?"
"Nggak Yo. Aku mau pulang aja." tolak Ify.
"Tapi.."
"Pulang aja Yo, please."
"Ya udah. Shil, lo duduk di belakang aja ya, temenin
Ify."
Shilla mengangguk patuh.
Sejurus kemudian, sedan mungil yang dikemudikan Rio, sudah
merayap meninggalkan sepetak lahan yang dijadikan area parkir untuk para
pengunjung PRJ.
***
Bulan dan bintang masih bercokol di
atas sana, meski langit malam ini sedikit kelabu. Warna kuning terang ditambah
kilau keperakan, terpantul cantik pada permukaan air kolam yang tenang.
Sesekali oleh mata, tertangkap pijaran berwarna merah dari lampu pesawat
terbang yang tampak sangat kontras bersanding dengan titik-titik putih yang
bertaburan menghias langit malam.
Alvin duduk bersila ditepi kolam
renang rumah Ify, tertegun senyap dengan pandangan menerawang. Hari ini
keluarga Alvin bertemu dengan keluarga Ify yang hanya diwakili oleh sang Papa
karena Ibunda Ify sedang berhalangan untuk hadir. Kedua keluarga itu berkumpul
di rumah Ify untuk membicarakan perjodohannya dengan salah satu putra keluarga
Haling, Alvin.
"Kami tidak memaksa, kalau suatu saat kalian menemukan
orang yang lebih cocok, kami sebagai orang tua tidak akan menghalang-halangi.
Tapi tidak ada salahnya kan kalau kalian mencoba dekat terlebih dulu. Bagaimana
Alvin, Ify ? Kalian setuju ?"
"Alvin terserah Papa sama Mama aja."
"Ify juga Oom Rendra. Papa pasti pilih yang terbaik
buat Ify."
Kalimat-kalimat itu seakan
menemukan sound terbaik untuk terus bergaung di kepala Alvin. Membuat pemuda
itu resah dalam lamunannya.
Narendra dan Cakra memang
bersahabat, sejak mereka tanpa sengaja dipertemukan disebuah toko buku di
Negara Inggris. Pada waktu itu keduanya, sedang melanjutkan study
masing-masing. Setelah lulus, sebelum berpisah, mereka berangan-angan, akan
menjodohkan putra-putri mereka kelak, setelah menikah. Kebetulan ketika
dipertemukan kembali, Cakra mempunyai seorang putri, sedangkan Narendra
dikarunianya seorang putra.
Tapi beberapa minggu yang lalu,
saat Narendra membicarakan semua itu dengan Rio, pemuda itu dengan tegas
langsung menolaknya. Narendra tidak ingin memaksakan kehendak, akhirnya pilihan
jatuh pada Alvin. Gladys yang memang menyukai Ify, tidak merasa keberatan dan
ikut membujuk putranya, hingga akhirnya Alvin setuju dengan rencana perjodohan
itu.
"Menurut Rio itu konyol, pasti rasanya aneh."
Komentar Rio dulu di depan kedua
orang tuanya, di-iya-kan oleh Alvin. Ya, betapa konyol dan menggelikan ia dan
Ify. Keduanya sama-sama tahu, tidak pernah ada sebersit pun perasaan istemewa
yang tumbuh diantara mereka, tapi untuk bilang 'tidak' saja, sulitnya bukan
main.
Alvin terus melamun, walaupun apa
yang dilamunkan benar-benar tidak sesuai dengan topik obrolan antara ia dan
gadis manis d isebelahnya. Tadi Ify sedang menceritakan kejadian beberapa waktu
yang lalu di PRJ, tapi fokus Alvin malah merembet kemana-mana.
"Vin, lo dengerin gue nggak sih ?" Ify
mengguncang-guncangkan pundak Alvin.
Alvin tersadar, "Hm ? Iya, iya dengar kok Fy."
sahutnya.
Mereka lantas terdiam, tersedot dalam dunia masing-masing.
"Lo yakin Fy, sama semua ini ?" Alvin menatap
Ify, "Gue takut, pada akhirnya semua ini cuma bakal menambah daftar orang
yang tersakiti."
Ify tidak menjawab, berusaha
merangkai jawaban pun sama sekali tidak. Entah sejak kapan, memikirkan hari
esok dengan segala kemungkinan yang bisa terjadi, menjadi begitu menakutkan
untuknya.
"Hayoo.... Pacaran aja lo berdua." tegur Rio,
seraya menyusup duduk ditengah-tengan antara Alvin dan Ify.
"Kalau tahu kita pacaran, ngapain lo kemari ?"
timpal Alvin, dingin.
"Habis disana gue dianak-tirikan sama Papa." Rio
menggerakkan dagu kearah patio kecil yang terletak di halaman samping rumah
Ify.
Terlihat, orang tua mereka
bercakap-cakap sangat seru, disana. Narendra tampak begitu semangat
membicarakan segala hal tentang Shilla, yang diketahuinya melalui cerita Eyang
Putri, Rio dan istrinya sendiri. Pria itu merangkul Shilla yang duduk di antara
ia dan Gladys, dengan penuh kasih sayang. Shilla hanya kadang-kadang mengangguk
dan tersenyum manis, saat Narendra ataupun yang lain memuji dirinya. Gadis
dengan balutan short dress pastel itu, melotot geram saat Rio yang sudah
kebosanan, pamit keluar tanpa mengajaknya turut.
"Masa Papa puji-puji Shilla terus, padahal gue kan
anaknya juga." dumel Rio.
"Lo nggak guna sih Yo." tanggap Alvin.
"Sialan lo." Rio meninju pelan, bahu saudaranya
tirinya itu, "Eh, kaki lo gimana Fy ?" Rio beralih menanyai Ify.
"Udah baikan kok Yo."
"Syukur deh kalau gitu." Rio mengacak poni Ify,
"Sekarang lo udah ada yang punya ya Fy, gue nggak bisa sembarang nembak lo
lagi deh." Rio tertawa kering di ujung kalimatnya.
Ify menghela napas dengan dramatis, "Lo bahagia, Yo
?"
"Maksudnya ?"
"Apa lo bahagia kalau gue sama Alvin ? Lo nggak sedih
?"
"Ck, gue paling benci kalau suasananya jadi mellow
begini." Alvin beranjak dari duduknya, lalu berjalan meninggalkan Ify dan
Rio.
"Lho, Vin ! Mau kemana lo ?"
"Gue mau cari orang yang nggak peka, buat gue tonjok."
sahut Alvin, asal.
Rio menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal,
rasanya aneh ditinggal berdua Ify seperti sekarang. Apa kedatangannya sangat
mengganggu, sampai-sampai Alvin memilih pergi.
"Lo belum jawab pertanyaan gue, Yo." tagih Ify.
Rio tersenyum sumringah, digenggamnya kedua tangan Ify,
"Nggak ada alasan buat gue untuk nggak bahagia, Ify. Pertanyaan lo aneh
deh. Alvin itu saudara gue, dan lo sahabat terbaik gue, jelas gue bahagia lah
kalau kalian akhirnya bisa sama-sama."
Ify mengangguk samar, "Semoga gue juga bisa bahagia
ya."
Rio mendekatkan wajahnya, menatap Ify lekat-lekat dalam
diam. Ify berharap, kali ini saja, wajahnya tidak memerah. Ify tidak ingin Rio
terus-menerus menggodanya dengan cara seperi ini. Hembusan napas pemuda itu,
terasa hangat menerpa wajah Ify, "Pasti lo bahagia, Fy." bisik Rio.
Ify masih mematung, tenggelam dalam
pesona Rio yang tak pernah bisa ditolaknya. Rio, pemuda yang selalu terlihat
sempurna di mata Ify. Ujung bibirnya yang selalu melengkung keatas, meski tidak
sedang tersenyum. Sorot matanya yang teduh, garis wajahnya yang ramah, suaranya
yang lembut, selalu berhasil membuat Ify kepayang. Meski dalam kebisuan yang
sunyi, Ify menikmati setiap detik yang terlewati bersama pemuda tampan itu,
yang akhir-akhir ini tidak jelas karena apa menjadi semakin jarang terjadi. Ify
menyandarkan kepalanya pada pundak Rio, pemuda itu mengelus rambut Ify dengan
lembut, "Kita udah besar ya Fy. Nggak kerasa, bertahun-tahun udah berlalu semenjak
gue nemuin lo nangis di bawah pohon gara-gara nyasar. Makasih ya Fy, atas semua
yang udah lo kasih ke gue. Makasih karena lo udah mau kenal sama gue."
"Iya, bertahun-tahun...”Jawab Ify mengawang, “Dan lo
tetep nggak bisa ngerti perasaan gue, Yo” lanjutnya dalam hati.
Rio mengulum senyum, "Semoga kita tetap bisa sahabatan
kayak gini ya Fy."
Ify mengangguk setuju. Mungkin
sudah suratan, seperti yang Rio bilang tadi, selamanya mereka akan jadi
sahabat. Tidak seharusnya Ify berharap lebih dari itu.
Keduanya lagi-lagi membisu, membiarkan sepi bercerita lebih
banyak pada mereka. Membiarkan potret-potret perjalanan hidup yang terekam
dalam ingatan, menari mengusik pikiran masing-masing.
***
Sofa panjang yang semula menghadap kearah
TV plasma 24" dalam ruangan itu, digesernya menghadap langsung ke arah
jendela yang dibiarkan terbuka. Membentangkan lukisan malam karya Sang Maestro
dengan kuas ajaibNya, terlihat sangat indah tanpa cela, dengan bulan dan
bintang, serta semburat ungu, biru dan hitam yang berpadu di atas cakrawala.
Malam semakin larut, bahkan udara mulai menghantarkan bau embun. Tapi rasa
kantuk, tak kunjung menyerangnya. Ia sudah mencoba membenamkan tubuhnya di balik
selimut, AC disetel sedemikian rupa agar nyaman untuk membuat matanya lekas
terpejam. Musik-musik dengan ritme lambat juga sudah diputar untuk
mengiringinya kealam mimpi. Tapi nihil. Hingga detik ini, ia masih saja betah
terjaga.
"Kamu belum tidur, Vin?"
Saking asyiknya termenung, Alvin
tidak menyadari kedatangan Mamanya yang telah ikut duduk disampingnya, turut
melirik sebuah foto yang mulai menguning usang berbingkai kayu, yang kini
menghuni genggaman Alvin.
"Mama..."
"Kamu belum tidur ?"
"Nggak bisa tidur, Ma..."
Gladys tersenyum lembut, "Sini !!" wanita asli
Malang itu mengisyaratkan agar Alvin berbaring diatas pangkuannya. Alvin
menurut, direbahkan kepalanya diatas pangkuan Sang Mama, "Kenapa nggak
bisa tidur ? Kepikiran soal perjodohan itu ya ?" tangan Gladys bergerak
menelusuri setiap helaian rambut putra kebanggaanya itu.
"Nggak kok Ma." Alvin memindahkan foto yang
diambil sekitar 10 tahun yang lalu di sebuah desa kecil, di sebelah timur kota
Bandung itu kedalam pelukannya. Mendekapnya begitu erat, seakan tidak
mengizinkan seorang pun untuk menyentuh benda itu. Gestur kecil itu, terbaca
oleh Gladys.
Alvin terduduk kembali, dipandangi Sang Mama tanpa
berkedip, "Ma," Alvin seperti ragu mengeluarkan kalimat yang sudah
tersangkut di ujung lidahnya, "Emm, mungkin ini kedengarannya konyol,
tapi... tapi… Aya…" Alvin menggantung kalimatnya, telunjuknya menelususr pada
foto gadis cilik yang tengah menyeringai lebar, memamerkan deretan giginya yang
mulai tanggal satu-persatu karena doyan sekali makan makanan yang manis.
Aaaahh, dasar mengembala kambing
yang usil. Kenapa ia begitu tega membiarkan Alvin menghabiskan bertahun-tahun hanya
sekesar untuk menunggunya?
Apakah ia sadar telah menawan hati
Alvin dan tidak pernah membebaskannya sampai detik ini. Gejolak perasaan rindu,
terpajang sangat jelas pada raut wajah tampan Alvin. Seolah-olah pemuda itu
akan bersedia menukar semua yang dimiliki, untuk sekedar bertemu dengan gadis
cilik pengembala kambing itu lagi. Tidak ada yang tahu kecuali Alvin sendiri
bahwa beberapa kali ia sudah berusaha mencari teman kecilnya itu. Bukan hanya
sekali, Alvin pernah mengujungi rumah tempat tinggal teman kecilnya itu, tapi
tetangganya bilang bahwa gadis kecil yang dicari Alvin sudah pindah bersama
keluarganya.
Gladys tersenyum menenangkan. Masa
kecil Alvin adalah masa-masa yang sulit untuk Alvin bahkan untuk Gladys
sendiri. Alvin harus pindah ke desa, kehilangan teman-temannya, kehidupan
kotanya, bahkan akhirnya kehilangan Ayahnya. Kemudian gadis kecil itu datang,
Gladys memang belum pernah bertemu dengan gadis kecil itu tapi berdasarkan
cerita yang didengar dari Alvin, gadis kecil itu adalah teman yang baik bagi
putranya. Ia pastilah anak yang ceria yang bisa menularkan keceriaannya pada
sosok Alvin yang dingin dan tertutup. Teman kecilnya itu datang disaat yang
tepat. Dialah ramai yang ditunggu Alvvin dalam sepinya. Dialah suara yang
ditunggu Alvin dalam bisunya, karena itu Gladys sangat mengerti bahwa teman
kecilnya itu begitu berarti untuk Alvin.
“Alvin, di dunia ini banyak yang datang dan pergi. Saling
bertemu lalu berpisah. Saling mengenal lalu melupakan. Aya. Mama yakin dia
gadis yang baik, tapi Vin dia bukan satu-satunya gadis di dunia ini. Sampai
kapan kamu akan menunggunya? Apa kamu yakin dia masih mengingatmu?” Gladys
menatap Alvin dengan sungguh-sungguh. “Lagipula kamu juga sudah menyetujui
perjodohanmu dengan Ify. Dia gadis yang cantik dan baik, tidak akan sulit untuk
belajar menyayanginya." Alvin merasakan sentuhan lembut pada puncak
kepalanya, Gladys tersenyum kecil sembari menegakkan tubuhnya. Sepertinya
wanita dalam balutan piyama merah marun itu sedikit kesulitan menggapai puncak
kepala Alvin yang tidak pasti sejak kapan, kedua tungkainya tumbuh begitu
cepat, hingga sekarang tinggi pemuda itu jelas-jelas melampaui Gladys.
Alvin tercenung. Tidak tahu harus
bicara atau berbuat seperti apa. Mamanya benar. Tapi siapa sih yang bisa
mengingkari hati nurani ? Kalau ternyata ia belum lelah untuk menunggu dan
berharap. Alvin mengulur napas, berat. Tidak seperti biasanya, percakapan malam
ini dengan Mamanya tidak membuatnya merasa jauh lebih baik, justru sebaliknya.
Gladys kembali membuka suara, kali
ini dengan arah pandangan memagut langit kelam diluar sana, “Sekarang cepat
tidur, besok sekolah kan. Selamat malam sayang."
Bunyi ceklik dari daun pintu yang
tertutup, kemudian disusul suara ketukan samar dari sandal yang beradu dengan
lantai keramik yang dingin, menandakan Gladys sudah bergerak menjauh dari
Edelweiss Room. Wanita itu berjalan sambil menggelung rambutnya menjadi konde
mungil di belakang kepala. Ia sedikit terhuyung saat melewati ruang
perpustakaan keluarga menuju tangga, mungkin karena rasa kantuk yang mulai
melanda. Kedua kaki jenjangnya sudah meniti dua anak tangga untuk naik kelantai
atas menuju kamarnya. Tapi diurungkan niat itu, ketika melihat pintu Matahari
Room sedikit terbuka. Semula, ia hanya ingin menutupnya, tapi ternyata tubuhnya
menginginkan yang lebih dari itu. Gladys melepas sandalnya di depan pintu,
dengan berjingkat-jingkat ia masuk dan menghampiri ranjang Rio. Penerangan
dalam kamar itu remang-remang, hanya berasal dari lampu tidur yang diletakkan
diatas meja kecil disamping tempat tidur Rio.
Gladys menggigit bibir, berusaha
tidak mengeluarkan bunyi-bunyian sekecil apapun. Dengan hati-hati, ia duduk
ditepi ranjang Rio, pemuda itu terlihat begitu lucu saat tertidur sambil
memeluk guling seperti itu. Ekspresi keras dan dingin yang biasa diperlihatkan
pada Gladys, luruh tersapu damai dalam buaian mimpi. Saat terlelap, topeng
berbahan dasar kebencian yang selalu Rio kenakan setiap kali bertatap muka
dengan Gladys, tentu saja dilepas sementara. Pemuda itu jadi lebih terlihat
seperti Rio yang dulu, Rio yang 6 tahun lalu dikenalkan Alvin sebagai sahabat
barunya. Rio yang manis dan menggemaskan. Rio yang mudah sekali tertawa, untuk
hal-hal yang sebenarnya tidak lucu.
Gladys merindukan bocah laki-laki
berseragam putih-biru yang setiap hari mengunjungi rumahnya dengan mengendarai
sepeda kebanggaanya, bocah laki-laki yang tidak pernah keberatan makan dari
tangannya, bocah laki-laki yang selalu melontarkan pujian untuk setiap masakan
Gladys.
Meskipun rasa benci yang dimiliki
Rio, telah menyumsum dalam belulang, telah merekat kuat pada jantung pemuda
itu, Gladys tidak merasa perlu untuk mempedulikannya. Karena pada dasarnya, Rio
yang dikenalnya adalah anak yang baik, dan selamanya akan seperti itu. Mungkin
yang dihadapinya saat ini tidak lebih dari perkara waktu.
"Rio tahu ? Kenapa ya sekarang kita jadi jauh ? Kenapa
kita nggak bisa main kayak dulu lagi ? Bertiga sama Alvin, Eh, berempat mungkin
ya, sama Papa." Gladys berbicara sepelan mungkin, nyaris tak bersuara,
hanya bibirnya yang bergerak-gerak.
Dulu, Gladys adalah orang pertama
yang dicari Rio saat ia merindukan Mamanya, pada Gladys pula, Rio pertama kali
bercerita tentang rasa sukanya pada Acha. Gladys juga yang pertama memeluk dan
mengucapkan selamat, saat Rio memenangkan perlombaan badmintonnya yang pertama,
tapi sekarang jangankan untuk memeluk Rio, bersentuhan kulit pun pemuda itu
tampak jijik.
"Mama kangen Rio..."
Mungkin yang bernama takdir itu
memang ada dan telah berhasil merubah segalanya. Dulu dan sekarang tak ubahnya
dua kutub yang berlawanan.
Awalnya, Gladys berfikir, dengan
menyetujui tawaran Narenda untuk memulai rumah tangga baru adalah keputusan
yang tepat. Ia dan Narendra, sama-sama berharap, keluarga kecil mereka akan
hidup rukun dan bahagia. Ia dan Alvin yang sejak meninggalnya Ayah Alvin, hanya
hidup berdua, pasti tidak lagi kesepian dengan kehadiran Narendra dan Rio.
Terlebih Rio itu termasuk anak yang bawel dan ramah. Rio juga akan mendapatkan
sosok seorang Ibu yang akan merawat dan menjaganya dengan sungguh-sungguh.
Alvin dan Rio juga pasti akan sangat senang, menjadi saudara dan tinggal satu
rumah.
"Kenapa Papa bawa dia ? Rio nggak mau punya Mama, dia.
Rio nggak mau. Jangan perempuan itu !!"
Kata-kata Rio saat pertama kali Narendra memboyongnya
beserta Alvin ke Rumah Besar, kembali terngiang ditelinga Gladys. Menyayat
relungnya, merobek jalinan angan-angan manisnya tentang keluarga kecil yang
bahagia.
Tapi mau diapakan lagi ? Awan telah
tergugus jadi hujan. Kayu telah dilebur jadi abu. Sekarang mungkin Rumah Besar
tidak lebih dari sekedar kastil es yang menawarkan dingin dan kesenyapan.
"Mama nggak tahu, kenapa Rio jadi benci sama Mama.
Tapi Rio sekarang Putra Mama dan Mama akan selalu sayang sama kamu, Nak."
Kalimat barusan, diucapkan Gladys
seraya mendaratkan satu kecupan lembut didahi Rio, disertai setetes airmata
yang menitik di pipi kiri Rio. Gladys segera menyusutnya.
Sejurus kemudian, wanita berambut
ikal itu berdiri dan meninggalkan kamar Rio. Sepeninggalan Gladys, pemuda yang
sejak tadi memejamkan mata dengan tubuh dibalut selimut tebal bergambar lambang
salah-satu klub sepak bola ternama itu, bergerak dengan kikuk. Perlahan, Rio
membuka matanya. Disentuh kening dan pipi kirinya. Ada perasaan menohok yang
membuat dadanya sesak. Rio mendengar semuanya, setiap kalimat yang diucapkan
Gladys dengan kesedihan yang nyata. Tanpa sadar, hatinya ikut menangis saat
airmata itu leleh di atas pipinya, "Rio juga Bu, Rio juga..." tidak
ada kalimat yang cocok untuk menggambarkan apa yang Rio rasakan, "Kangen
Ibu.. Rio kangen Ibu..." Saat matanya bertumbuk dengan foto Veronna yang
terbingkai cantik di dekat tumpukan buku-buku sekolahnya, Rio menggelengkan
kepala, "Tapi Rio nggak mau ada satu orangpun yang gantiin Mama di rumah
ini."
***
Shilla berjalan sedikit cepat
dengan dua buah novel di tangannya, yang baru saja dibeli dari toko buku di seberang
sekolah. Ia baru akan kembali ke Aula untuk menunggui Rio yang sedang mengikuti
ekskul badminton. Tapi di depan pintu gerbang Veronna High School, gadis itu
menghentikan langkahnya. Menyipitkan mata, melihat penuh konsentrasi pada satu
titik. Gadis itu mengamati gerak-gerik dua orang laki-laki yang cukup
membuatnya tertarik. Seorang bocah dengan seragam putih merah yang dilumuri
lumpur, menenteng Si Kulit Bundar dan terlihat berdiri cemas menatap laki-laki
satunya yang berlutup didepan Si Bocah. Laki-laki berkulit putih itu mengenakan
blazer yang sana dengan yang dipakai Shilla, dia Alvin. Sepertinya Alvin baru
saja menyelamatkan Si Bocahi dari kelalaian pengendara sepeda motor yang
dikemudikan kendaraanya tanpa aturan. Padahal sudah jelas-jelas terpampang
rambu-rambu lalu lintas yang mewajibkan pengendara mengurangi kecepatan saat
melewati jalanan sekitar situ, tapi tetap saja diabaikan.
Alvin menepuk-nepuk lutut bocah laki-laki itu, kemudian
tersenyum lebar sembari mengatakan sesuatu yang tidak terdengar jelas dari
tempat Shilla berdiri, "Lain kali, kalau mau nyebrang lihat kanan-kiri
dulu ya. Ayo, sekarang cepat pulang, pasti adik dicari sama Mama."
Shilla tersenyum simpul, "Aku tahu Vin, kamu
sebenarnya baik. Kenapa mesti pura-pura jadi orang yang nyebelin sih ?"
komentar gadis itu.
Sedangkan dari arah lain, Alvin menyampirkan ranselnya ke
pundak, lantas berjalan terpincang-pincang. Shilla tetap mempertahankan senyum
kecilnya, dan berniat untuk menawarkan pertolongan. Memapah pemuda itu sampai
Ruang Kesehatan, atau sekedar membantu membawakan ransel dan setumpuk kertas
fotocopy-an yang masih ditenteng Alvin. Tapi niat mulia itu, langsung pupus
seketika, setelah Alvin melengos begitu saja. Melewati Shilla tanpa melirik
sedikitpun, seolah-olah Shilla ini adalah patung selamat datang yang memang
sudah biasa dipajang dipintu gerbang Veronna.
Shilla menyilangkan tangannya di dada, "Emang ya,
sekali belagu, tetap aja belagu." ceplos Shilla karena jengkel.
Tanpa disangka, Alvin berbaik, menatap Shilla tajam,
"Lo bilang apa ?"
"Oh dengar toh. Bukan apa-apa, lagian peduli apa kamu
sama apa yang aku bilang ?" Shilla menaikan sebelah alis matanya dan
mengangkat dagu.
Sebagai makhluk sosial, kita harus pandai-pandai
menyesuaikan diri bukan ? Terutama dengan lawan bicara, dan apa yang Shilla
praktekkan barusan merupakan salah-satu wujud adaptasi terbaik kalau berbicara dengan
orang-orang pongah macam Alvin.
Alvin menarik satu ujung bibirnya,
memasang ekspresi tersinis di dunia (menurut Shilla) plus tatapan tidak suka
yang amat sangat mengesalkan. Shilla menghentakkan kaki kanannya, betul-betul
dibuat sebal oleh kelakuan Alvin yang kelewat cuek terhadapnya. Padahal ia
hanya ingin membantu kalau memang diperlukan. Kenapa sih pemuda itu selalu saja
membuatnya ingin marah-marah, padahal jelas-jelas tadi Shilla melihat sosok
Alvin yang begitu lembut dan peduli pada sekitarnya. Apa jangan-jangan Alvin,
berkepribadian ganda ?
Shilla tetap berdiri di tempat,
matanya mengikuti Alvin yang bergerak kearah sedan hitamnya. Pemuda itu
mengeluarkan kotak P3K berwarna putih dari dalam mobil, kemudian terlihat
mencoba mengobati lukanya sendiri. Tapi ia sedikit mengalami kesulitan. Kapas
yang dipegangnya berulang kali jatuh, pun dengan cairan alkhohol yang coba
diteteskan untuk membersihkan lukanya, malah tercecer kemana-mana. Shilla
menggelengkan kepala. Ia tahu pasti, Alvin tidak akan bisa mengotati lukanya
sendiri, karena telapak tangan kanan pemuda itu, sedikit sobek.
Shilla sempat melihatnya sekilas tadi, "Butuh bantuan
?" Shilla membungkuk, melihat luka yang tercetak pada kedua tangan Alvin.
Blazer yang digunakan pemuda itu sampah sobek dibagian siku kiri. Untung
seragam sekolah itu cukup tebal sehingga siku Alvin tidak cidera parah, hanya
lecet ringan, tidak seperti telapak tangan kanannya yang masih meneteskan
darah, "Nggak usah gengsi. Sini kotak obatnya."
Alvin tidak menggubris Shilla, masih bersikukuh bahwa ia
bisa melakukannya sendiri.
Shilla mengerucutkan bibir, "Kalau kamu nggak suka aku
yang obatin lukanya, kamu tutup mata aja. Bayangin yang ngobatin luka kamu itu
Ify atau siapa kek gitu."
"Lo sama Ify beda, nggak usah pingin
disama-samain."
Kali ini Shilla yang menulikan pendengarannya, ia tetap
duduk disamping Alvin, lalu memindahkan kotak P3K ke pangkuannya.Mulai
menesetkan cairan pada kapas.
"Lo peduli sama gue ?"
"Nggak usah GR, aku cuma pingin bantu orang yang
memang lagi butuh bantuan." Shilla menutulkan kapas tersebut pada luka
Alvin
"Aargh." Alvin meringis.
"Tahan ya..." tutur Shilla, pelan. Ia
menyunggingkan senyum, meski tidak ada yang berubah dari ekspresi pemuda
dihadapannya. Tetap datar, tanpa bisa diterka.
"Kenapa lo baik sama gue ?" Alvin kembali
melontarkan sebuah pertanyaan.
Shilla menghentikan aktivitasnya sejenak, "Apa di
Jakarta, berbuat baik itu harus ada alasannya ?" Shilla balik bertanya.
Alvin tidak menyerukan sebuah jawaban ataupun sanggahan. Ia
merunduk. Tidak ingin terlalu lama menatap paras ayu Shilla yang akan kembali
menyeretnya pada pusaran kenangan. Pemuda itu memilih diam, teremas dalam satu
dunia bernama masa lalu. Sementara Shilla masih dengan telaten membalutkan
perban pada tangan Alvin.
"Kenapa lo datang Shil ?"
Empat kata sejuta makna. Shilla tidak begitu pandai untuk
mengartikan getar suara Alvin yang kali ini terdengar begitu jauh dan gamang,
padahal pemuda itu berada tepat disebelahnya. Yang Shilla tahu, pemuda itu
tengah menahan kekecewaan yang menyayat, itu terbaca dari sorot mata Alvin.
"Vin, maksud kamu a-"
"Gue nggak nyuruh lo bicara."
"Tapi Vin, ak-"
"Lo ngerti bahasa Indonesia kan ? JANGAN BICARA, KALAU
GUE NGGAK MINTA."
Shilla tersentak. Ingin sekali meninju wajah Alvin, ada hak
apa dia membentak Shilla seperti tadi. Sudah untung Shilla mau membantu
mengobatinya, kenapa malah dibentak-bentak seperti itu. Karena jengkel, Shilla
menekan kuat-kuat luka pada telapak tangan Alvin, "AAARGGH..." Alvin
mengerang kesakitan. Reflek ditepisnya tangan Shilla dengan kasar. Tangan gadis
itu membentur sandaran kursi besi panjang yang mereka duduki.
"Auww.." pekik Shilla.
Tanpa menunggu lebih lama lagi,
gadis itu segera bangkit. Kotak P3K dipangkuannya, berhambur jatuh dengan bunyi
debam kecil ketika membentur aspal yang melapisi sebagian besar area parkiran
Veronna. Tanpa melihat pun Alvin bisa menebak, dua bola mata jernih milik
Shilla pasti sedang menatap marah kearahnya. Tapi tadi Alvin benar-benar tidak
sengaja, lagi pula apa maksud Shilla menekan lukanya seperti itu. Jelaslah,
Alvin kesakitan. Kalau harus meminta maaf, sayangnya Alvin belum terbiasa.
Akhirnya, ia hanya memalingkan wajah, menatap barisan rapi kendaraan bermotor
ditempat itu.
"Maaf." ujar Shilla singkat, sebelum melenggang
pergi. Alvin baru berani melirik siluet Shilla setelah pemiliknya sudah sampai
didepan koridor utama.
"Maaf, Shil." lirihnya, pasrah.
***
Sementara itu, Shilla berjalan menyusuri koridor utama yang
sudah sepi, diatur ayunan kedua kakinya agar lebih lambat. Berharap lebam
kebiruan yang membekas pada punggung tangannya akibat benturan keras tadi,
sedikit berkurang. Atau Rio akan bertanya macam-macam kalau melihatnya. Shilla
tidak merasa heran, mendapat perlakuan seperti tadi dari Alvin yang menurut
Shilla memang tipe pemuda kasar yang arogan setengah mati.
"Alvin tu beda banget sama Rio." Shilla mulai
membandingkan keduanya, seraya mengelus-ngelus punggung tangannya. Rio itu
ibarat lautan, semua yang ada dalam diri pemuda itu selalu bisa menghanyutkan
setiap orang yang mengenalnya. Sedangkan Alvin layaknya puncak gunung. Untuk
menggapainya saja, seseorang harus susah payah mendaki tebing yang terjal dan
jurang berbatu.
"Nyebelin !! Dikira nggak sakit apa. Nggak bisa ya
bersikap lebih lembut kalau sama cewek. Dasar cowok aneh, rese, ih sok oke."
cibir Shilla. Ungkapan 'selalu ada sisi baik dalam diri seorang hamba'
benar-benar mentah di mata Shilla. Yang seperti Alvin itu tu yang menurut
Shilla nggak ada baik-baiknya. Ia yakin, beberapa waktu yang lalu Alvin pasti
sedang kerasukan malaikat makanya mau menolong bocah laki-laki tadi.
"Hayoo !! Kenapa sih manyun aja Non ?" tegur Ify
yang sudah berdiri dibelakang Shilla, membawa setumpuk pamflet berisi
pengumuman acara camping tahunan Veronna High School.
"Eh, Ify. Nggak pa-pa kok." kilah Shilla.
"Kok belum pulang Shil ?"
"Belum. Rio ada ekskul dulu."
"Oh, emang belum berani pulang sendiri ya ?"
"Hehe," Shilla terkekeh, "Berani sih. Tapi
mendingan pulang sama Rio, di rumah juga nggak ngapa-ngapain. Eh, sini Fy, biar
aku bantu, lagi tempel-tempelin pamflet kan ?" Shilla mengulurkan
tangannya.
"Makasih Shil. Tapi nggak usah. Gue bisa handle
sendiri kok."
"Ify..." dengan paksa, Shilla meraih setengah
dari tumpukan pamflet ditangan Ify, "Kalau dibantu kan bisa lebih cepat
kelar," Shilla melepaskan doubletipe yang merekat pada bagian belakang
pamflet, lantas menempelkannya pada mading di belakang mereka.
***
"Halo Mrs. Mario." Feldy menepuk pundak Shilla.
Pemuda itu menyeringai lebar saat Shilla menoleh, "Dicari Rio tu, kangen
katanya." pemuda dengan gaya slengekan itu, bicara sambil
menggerak-gerakkan tangan dan kakinya mengikuti irama musik yang mengalun lewat
aerphone yang terjuntai dari sebelah telinganya.
Shilla menyikut lengan Feldy, "Apaan sih ?"
balasnya malu-malu.
"Cie tersipu-sipu cie." goda Feldy yang sukses
menambah rona merah dipipi Shilla, "Udah buruan sono !! Masih disini aja
lo."
"Ya udah, kalau gitu, aku titip ini ya, kasih sama
Ify, bilangin maaf aku nggak bisa bantu sampai selesai." pesan Shilla
sambil mengangsurkan lembaran pamflet yang tinggal beberapa.
Feldy tidak menjawab, hanya mengacungkan ibu jarinya.
Shilla tersenyum, "Sip. Makasih ya. Aku duluan,
Fel." pamit Shilla.
"Ok. Bye Shilla."
Keduanya lalu terpisah. Feldy yang
sudah menenteng ranselnya, pasti akan segera pulang sedangkan Shilla
meninggalkan area lapangan futsal yang berada in door, menuju Aula yang saat
ini untuk sementara digunakan klub badminton berlatih, karena lapangan
badminton sedang direnovasi. Shilla berbelok diujung koridor yang menikung,
disana ia berpapasan dengan Gabriel yang tersenyum kecut. Seperti biasa, ketua
kelas XII MIPA 1 itu selalu terlihat kaku. Shilla tidak berani dan tidak
berniat untuk menyapa, gadis itu mempercepat langkahnya karena perasaannya
mulai tidak enak.
"Yo ?" panggilnya, setelah berdiri dihadapan
orang yang menurut Feldy tadi sedang mencarinya.
"Eh, Shilla." Rio mengangkat wajahnya. Sudut
bibir Rio terlihat lebam kebiruan.
"Ini kenapa ?" Shilla menyentuh lembut bagian
wajah Rio yang seperti dihantam dengan keras oleh sesuatu.
"Auw," Rio memundurkan wajahnya, "Nggak
Shil, nggak pa-pa kok."
"Gabriel ya ?"
"Hah ? Bu..bukan kok."
"Bohong ?"
Rio menghembuskan napas panjang, "Cuma salah paham
kok. Tadi gue tanya apa Iel lihat HP gue, dia salah sangka dikiranya malah gue
nuduh dia yang ambil." papar Rio. Ia mengelus rahangnya yang berdenyut
nyeri. Tampaknya Gabriel menghadiahi Rio dua pukulan dengan segenap hasrat,
"Eh, Shil. Lo lihat HP gue ?"
Shilla ikut duduk dilantai bersama Rio, gadis itu
menggeleng, "Nggak lihat. Emang kenapa ? Hilang ?"
Rio mengangguk dua kali, "Iya hilang. Padahal tadi
sebelum latihan gue taruh di tas, tapi sekarang nggak ada."
"Ketinggalan di kelas mungkin. Udah dicari ?"
"Udah di check sama Feldy tadi. Tapi nggak ada."
"Terus gimana ?"
"Ya udah, nggak gimana-gimana. Udah gue cari, kalau
emang udahh ilang, mau diapain lagi ?" jawab Rio enteng.
Shilla lagi-lagi mengangguk, maklum. Sebuah handphone saja
sih bukan perkara sulit buat Rio. Kalau mau, ia bisa saja gonta-ganti handphone
setiap harinya. Yang membuat heran, justru kalau Rio mencarinya mati-matian,
"Yo !! Emm..." Shilla memilin-milin rok abunya, sedikit ragu untuk
melanjukan perkataannya, "Emm... Yo.."
"Kenapa ?"
"Aku... Mau... tanya aja sih, nggak pa-pa ya. Emm...
Itu.. kenapa sih Yo, Alvin itu kok aneh banget ya kalau ke aku ? Dia nggak suka
ya aku tinggal di Rumah Besar ?"
"Aneh gimana ?"
"Gimana ya, pokoknya gitu deh. Intinya sih, dia
kayaknya kurang nyaman sama kehadiran aku. Sebenarnya dia kenapa sih ? Apa aku
pernah salah ngomong ya sama Alvin ?"
"Kok lo tanya sama gue, ya tanya aja langsung ke
Alvinnya."
"Ya kan siapa tahu Alvin pernah cerita sama kamu.
Padahal kalau memang dia nggak suka sama aku karena suatu hal, aku mau kok
berubah. Tapi Alvinnya nggak penah mau ngomong baik-baik sama aku. Jadi
bingung." keluh Shilla. Ia menerawang, membayangkan wajah dingin Alvin
yang akan berubah ratusan kali lebih dingin setiap berpapasan dengannya.
"Gue duluan."
Dua kata tadi memecah lamunan singkat Shilla. Saat
tersadar, didapatinya Rio sudah berjalan sampai ambang pintu. Shilla terhenyak.
Sejak kapan pemuda itu meninggalkannya. Kenapa Shilla sampai tidak sadar ?
"Rio !!" Shilla berlari menyusul pemuda jangkung
dalam balutan kaos resmi klub badminton itu, yang terus menjauh.
Setelah berhasil menyusul dua
langkah dibelakang Rio, Shilla menarik lengan kiri Pemuda itu, agar berhenti
sebentar. Tanpa sengaja, karena jarak mereka yang sudah cukup dekat, saat tubuh
Rio berbalik, bibir pemuda itu menyentuh tepat pipi kiri Shilla. Kecupan
singkat mendarat disana. Dengan cepat, Rio mundur satu langkah kebelakang.
"So..sorry Shil. Gue... Gue nggak sengaja." Rio
tergagap. Baru kali ini merasa sangat malu. Wajahnya seperti terbakar, desiran
darahnya mengalir dengan cepat, "Aduh bego banget sih gue." Rio merutuk
dalam hati. Menepuk bibirnya dengan telepak tangan.
Shilla melirik sekilas, kemudian
menunduk lagi, menyembunyikan kedua pipinya yang merah padam. Susah payah ia
mengatur debaran jantungnya, atau organ krusial itu akan rusak seketika karena
berdenyut sangat cepat. Keduanya terdiam cukup lama.
"Maaf." Shilla dan Rio berujar secara bersamaan,
terlihat sangat kikuk dan salah tingkah. Persis seperti bocah-bocah SD jaman
sekarang yang baru mengenal cinta monyet.
"Tangan lo..." Rio melirik lengan kirinya yang
masih dipegangi Shilla.
"Eh iya, maaf." tutur Shilla (lagi), dengan cepat
ditarik tangannya dari lengan Rio.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Rio berbalik dan langsung
pergi.
Shilla menuntaskan aksi tersipu-sipunya dan segera menyusul
Rio yang sudah berjarak puluhan langkah didepannya, "Rio !! Tunggu dong.
Kok ninggalin aku gitu sih ?" rajuk gadis itu.
"Tadi juga lo udah gue panggil-panggil, tapi kayaknya
lo lagi asyik ya, mikirin Alvin." balas Rio santai, sambil meneguk botol
air mineralnya, "Emang sih, cewek aneh aja yang nggak kepikiran Alvin.
Cakep, pintar, keren, beda banget sama gue. Lo juga tadi pakai acara mau
berubah-berubahan segala, manis bener." tanpa terasa, suara Rio terdengar
sinis.
Shilla mengernyit heran. Kalau boleh berbangga diri, apa
Rio sedang cemburu ??
Shilla berdiri didepan Rio, membuat pemuda itu terpaksa
harus menghentikan langkahnya, "Siapa sih yang mikirin Alvin ? Gini ya Yo,
aku kan cuma numpang di Rumah Besar, kalau memang ada sifat aku yang bikin
penghuni lain nggak nyaman, udah seharusnya dong aku berubah. Itu bukan berlaku
buat Alvin aja kok. Maaf deh kalau tadi aku nggak dengar, kamu jangan marah
dong Yo." pinta Shilla.
"Ya udah nggak perlu di bahas." Rio melengos.
"Ck," Shilla berdecak, "Kamu marah deh.
Kalau kamu nggak suka aku tanya-tanya soal Alvin, aku janji deh nggak akan
tanya-tanya lagi."
"Kalau aku maunya kamu jauh-jauh dari Alvin gimana
?" Rio memasang ekspresi menantang.
Shilla balas menatap Rio tanpa berkedip, "Kalau kamu
yang minta aku setuju aja. Lagian selama ini emang aku nggak dekat juga kan
sama Alvin. Asal kamu jangan marah sama aku." kata Shilla tanpa ragu.
Rio mengulurkan tangannya, menepuk-nepuk puncak kepala
Shilla, "Maaf ya, gue juga nggak ngerti, kenapa tiba-tiba jadi kesal lo
tanya-tanya tentang Alvin. Hehe. Gue nggak akan minta lo jauhin siapapun
kok." Rio tersenyum lembut, lalu melingkarkan tangannya dipundak Shilla,
"Pulang yuk. Ni sekolah jadi serem kalau udah sepi gini." Rio
bergidik ngeri.
Keduanya lalu meninggalkan sekolah, sambil mengumbar tawa
yang menggema disepanjang koridor antar kelas.
"Mungkin memang sebaiknya lo jauhin gue Shil."
desis Alvin yang sejak tadi mencuri dengar pembicaraan Shilla dan Rio dari
dalam ruang klub fotografi, tak jauh dari tempat Shilla dan Rio tadi
bercakap-cakap.
Sedangkan dari sudut tempat yang
lain, seseorang gadis bukan hanya mendengar, bahkan melihat kecupan singkat
yang dilayangkan Rio pada pipi pualam Shilla. Awalnya, Ify ingin mengucapkan
terima kasih atas bantuan yang Shilla berikan. Tapi sepertinya, Ify harus
double mengucapkan terima kasih. Karena adegan manis yang disuguhkan kepadanya,
membuat Ify semakin yakin, bahwa cintanya memang hanya tumbuh untuk kemudian
mati perlahan. Meskipun membuatnya muak, tapi tidak apa-apa. Tidak perlu
dipusingkan. Anggap saja yang tadi itu, ia sedang menonton cuplikan dari drama
korea yang sedang booming akhir-akhir ini. Begitu kurang lebih cara Ify,
mensugesti dirinya sendiri untuk bisa move on.
Ify melihat lagi sekilas, tampak
Rio sedang tersenyum seraya menepuk-nepuk puncak kepala Shilla. Ify memiringkan
kepalanya, tanpa sadar ikut tersenyum. Setelah puas megoleksi pesakitan yang
akan menambah endapan nyeri dalam hatinya, Ify memutuskan berbalik. Mencoba mengayunkan
kakinya yang seperti digelayuti beban ribuan kilo, berat sekali. Ia sengaja
tidak memilih pulang bersama Alvin, karena hari ini Ify ingin sekali menemui
Bundanya dan bercerita banyak hal pada wanita yang mengandungnya selama 9 bulan
itu.
Langit mulai berwarna orange.
Burung-burung yang berterbangan untuk kembali ke sarang, tampak seperti
garis-garis hitam yang bergerak kesana kemari. Matahari membulat sempurna,
berwarna merah darah, dengan paduan semburat jingga. Ditemani semilir angin
yang menyejukkan, Ify menapaki trotoar jalan menuju perumahan tempat Bundanya
tinggal. Hari menjelang malam, tapi pedagang-pedagang kaki lima belum juga
menutup 'lapak' mereka, bahkan mungkin semakin malam sepertinya para penjajak
makanan akan semakin ramai memadati bahu jalan.
Ify tertawa kecil, keramaian
seperti ini sangat ia sukai, karena membuatnya merasa tidak lagi kesepian.
Kring kriingg
Ify menepi, sepertinya ia menghalangi laju sebuah sepeda.
Kring kriingg
"Sendiri aja Non ?"
Ify memutar tubuhnya, "Gabriel ?"
"Hehe, baru pulang ya Fy ?" Gabriel menghentikan
sepedanya. Menjejakkan satu kaki ke tanah. Ia sudah mengenakkan pakaian rumahan
dengan kaos biru tua dan celana selutut berwarna hitam, ditambah topi yang
dikenakan terbalik. Pemuda itu terlihat lebih santai dan keren, tidak kaku
seperti saat berseragam sekolah. Gabriel memang senang sekali mengenakan topi
yang bagian belakangnya menghadap kedepan, itu kebiasaannya sejak kecil.
"Iya Yel, ini juga untung dibantuin Shilla."
"Oh, kok pulangnya lewat sini Fy ? Jalan kaki
pula."
"Hehe iya. Lagi nggak pingin naik mobil. Sekalian mau
ke rumah Bunda, dulu."
"Ya udah, aku antar aja yuk. Searah kan ?"
Bunda Ify dan Gabriel memang tinggal dikomplek perumahan
yang sama. Malahan mereka tetangga, rumahnya hanya berselang dua rumah lain.
"Emm... Nggak usah deh Yel. Tapi makasih atas
tawarannya."
"Kenapa ? Nggak mau ya naik sepeda ?"
"Eh bukan. Bukan gitu kok. Cuma kan sepedanya nggak
ada boncengannya, Yel."
"Ya, didepan dong Fy." sahut Gabriel gemas,
dilepasnya satu tangan dari stang, "Ayo !!"
"Tapi..."
"Di jamin nggak akan jatuh kok. Udah ayo, tenang
aja."
"Beneran ya ? Kalau sampai jatuh, awas lho."
ancam Ify, mengangkat tinjunya ke depan wajah Gabriel.
Ify akhirnya setuju. Menuruti semua
yang Gabriel instruksikan agar perjalanan mereka selamat sampai tujuan. Sejurus
kemudian, Gabriel mulai mengayuh sepadanya. Kedua rodanya segera berputar,
sepeda mulai bergerak teratur membelah udara.
Gabriel bersyukur sekali, hari ini
akhirnya Tuhan mendengarkan doanya. Memberikan kesempatan padanya untuk
merasakan sedekat ini dengan gadis pujaannya. Ia bisa mencium wangi rambut Ify,
mendengar dengan jelas suara tawa Ify, mengamati dengan puas setiap lekuk wajah
cantik Ify. Benar-benar hasil pahatan Tuhan yang tanpa cacat dan cela.
Jeritan kecil dari Ify saat sepeda
oleng setelah melintasi polisi tidur, membuat Gabriel tertawa kecil. Atau
cubitan pada punggung tangannya yang dilayangkan Ify setiap kali Gabriel
menambah kecepatan sepedanya, membuat pemuda itu tiba-tiba saja bercita-cita
ingin jadi seorang sutradara untuk kemudian menyisipkan adegan bersepeda
seperti ini disetiap film buatannya.
Di belakang mereka, senja mulai
luruh. Seiring cipratan keemasan di kaki angit yang turut memudar. Matahari
sudah tenggelam sempurna.
Angin berdesau kian kencang,
memuntahkan risalah yang dititipkan bumi pada manusia.
Katanya,
Anakku...
malam akan segera datang beserta kegelapan. Tapi tak perlu
risau, karena Tuhan selalu menitipkan lentera kasih dan sayangnya pada bulan
dan bintang hingga pagi menjelang.
***
Alvin menarik pegangan pintu besar
di depannya. Kemudian menyeruak masuk, sambil bersiul-siul santai. Matanya
memaku fokus pada foto-foto hasil jepretannya. Alvin ini memang maniak sekali
dengan yang namanya fotografi, sejak usia 8 tahun, saat Ayahnya menghadiahi
Alvin kamera pertamanya. Semenjak itu alvin serius menekuni dunia fotografi.
Saat kamu memotret sesuatu, mungkin kamu mengabadikan satu hal yang tidak akan
pernah terulang dua kali didunia ini. Begitu kata Ayah tercintanya, yang
merupakan salah-satu fotografer handal.
"Darimana kamu ?"
Suara sinis Eyang putri, memaksa
Alvin menghentikan langkahnya. Ia mengangkat wajah. Semua terlihat memicing
mata, seperti menguliti Alvin dari ujung kaki sampai pangkal kepala dengan tatapan
tajam.
"Ada apaan sih ?" batin Alvin bingung,
"Habis hunting foto, Eyang." jawab Alvin takut-takut.
Diruang keluarga itu, terdapat Gladys yang memasang
ekspresi kecewa, sedangkan Eyang Putri terlihat begitu marah, sementara Rio dan
Shilla duduk sambil menundukkan kepala.
"Hunting foto ? Hunting foto-foto apa, HAH ? Foto-foto
seperti ini ?" Eyang Putri melempar dua lembar foto, tepat di depan wajah
Alvin, "Memalukan !!" umpatnya.
"Kamu tega sekali Alvin, kamu bikin Mama malu. Malu
Alvin." Gladys berujar dengan suara bergetar.
Alvin terlongong.
***