***
Bila ada tawa didunia ini
maka ada tangis disampingnya.
Bila ada keberhasilan didunia ini
maka ada kegagalan disampingnya.
Bila aku bisa memilih, antara sekarang dan masa lalu.
Aku ingin kembali ke masa lalu.
Masa dimana aku masih hidup tanpa rasa sakit.
Masa dimana aku masih bisa menangis karena haru.
Bukan karena kesedihan, melihat tangis orang tuaku.
Tuhan. . .
Hidupku mungkin hanya sesaat.
namun biarkanlah hidupku menjadi cahaya bagi mereka.
Bagi siapapun yang ku cintai.
Bawa aku kembali, Tuhan. . .
Dalam masa indah itu, walau hanya sesaat.
( Agnes Davonar )
***
Mataku mengerjap beberapa kali. Belum terbiasa dengan cahaya putih menyilaukan dari benda bulat yang terpasang dilangit-langit ruangan ini, kamar Anggrek no. 24. Ah, kenapa sih, aku mesti kembali lagi ketempat laknat ini?
Belum sempat pertanyaan itu terlontar, tubuhku sudah menjawabnya. Karena aku sakit lagi, ya mungkin kurang lebih begitu jawabannya.
Seperti ikan yang dipaksa mengunjungi daratan, aku merasa sulit bernafas. Satu-persatu udara yang masuk ke paru-paru serasa seperti batu-batu besar yang semakin ku hirup, semakin terasa menyesakkan. Aku membuka mulutku, berharap dengan begini akan lain ceritanya. Bernafas dengan hidung dan bantuan mulut, haah... Adakah yang hidupnya lebih sesangsara dari ku. Perlahan, aku mengurut dada, deru nafasku mulai teratur. Lantas, ku alihkan fokusku qada 4 siluet yang tengah terduduk di sofa pandang dalam kamar ini. Tidak perlu di beritahupun aku sudah bisa menebaknya. Ekspresi cemas itu, pasti karena aku, lagi-lagi-lagi dan selalu karena aku. Ck.
4 tahun aku tidak lagi melihat sorat kekhawatiran semacam itu, dan ketikan sorot itu kembali berbinar dari mata-mata indah mereka, aku benar-benar merasa menjadi gadis paling tidak berguna di dunia.
Ya allah, sampai kapan aku akan merepotkan mereka seperti ini ?
4 siluet itu terdiam khidmat. Kak Riko bersama Kak Shilla, dan Acha yang terlihat bersandar sedih di pundak Ozy. Entahlah, apa yang ada dalam benak mereka, sampai-sampai mereka terlihat seperti orang-orang terpilih yang kebagian menanggung beban dan keluh kesah dunia, diatas pundak mereka.
Sedangkan satu makhluk disisi kiriku ini, pun tak luput dari perhatianku. Rio. Pemuda jangkung itu, tengah menyangga kepala yang tertunduk dengan kedua tangannya. Tidak jauh berbeda dengan empat orang tadi, wajah Rio kali ini juga sama sekali tidak enak dilihat.
"Yo.." lirihku, berusaha mengalihkan pemuda itu dari lamunannya.
"Eh ? Ify. Kamu sudah sadar ? Tunggu ya, biar ku panggilkan dokter." katanya, seraya bergegas bangkit dari kursi besi tempatnya duduk.
"Tidak perlu. Kamu disini saja." cegahku, menarik satu lengan kokohnya.
"Ify ?" sapa Kak Riko yang mendekat bersama 'pasukannya'. Setelah kelima orang tadi masing-masing berdiri mengelilingi ranjangku, datang lagi 2 orang baru yang aku yakin pasti juga akan turut mengerumuniku. Aku jadi merasa seperti hewan-hewan dalam kerangkeng yang sering dikerumuni para pengunjung kebun binatang.
Bunda dan dokter Aiman menyeruak masuk. Tampak bunda tengan berusaha menyeka sisa air mata dengan selembar tissue ditangannya. Dari gestur tubuh 2 orang ini, aku bisa menyimpulkan bahwa ada sesuatu yang tidak beres.
"Kamu sudah sadar, sayang ?" tanya bunda lembut.
Aku mengangguk lemah.
"Bagaimana keadaanmu Ify ? Apa yang kamu rasakan, sekarang ?" giliran Dokter Aiman yang bersuara.
"Nafas saya sedikit sesak, dok. Tapi saya merasa baik-baik saja."
"Kamu yakin, baik-baik saja ?"
Aku mengangguk mantap. Tentu tidak ingin wajah-wajah cemas itu kian menjadi, kalau aku mengeluh yang macam-macam.
"Saya sudah membicarakan hasil pemeriksaanmu dengan bundamu, Ify. Dan hasilnya sama sekali tidak menunjukkan kondisi kamu baik-baik saja. Kenapa kamu tidak pernah berkonsultasi dengan saya perihal sesak nafas yang belakangan sering kamu alami ?"
"Karena saya rasa, sesak nafas itu hanya efek dari aktifitas saya yang terlalu banyak akhir-akhir ini. Bukan sesuatu yang membahayakan bukan ?" balasku santai.
"Apa kamu lupa ? Kamu berbeda dengan yang lain !!" ujar dokter Aiman sedikit geram, "Maaf, saya tidak bermaksud menyinggungmu, tapi sudah selayaknya kamu itu mengerti bahwa fisikmu tidak sekuat orang-orang pada umumnya. Ada pengkhianat di dalamnya, Lupus. Yang sepele itu bisa jadi berbahaya buatmu. Apa kamu lupa ?"
"Bagaimana mungkin aku lupa dengan penyakit sialan ini." desisku pelan, nyaris tak terdengar.
Dokter Aiman menghela nafas panjang. Dokter tampan itu terlihat begitu lelah, mungkin menghadapi pasien menyebalkan sepertiku, benar-benar menyedot tenaga ekstra.
Ia melepas kaca mata bulan separonya, lalu dengan tatapan penuh kasih sayang, ia berujar, "Ify kamu sudah saya anggap seperti putri saya sendiri. Bahkan, saya begitu kagum dengan usahamu berdamai dengan Lupus. Sungguh saya tidak rela kalau pada akhirnya apa yang kamu perjuangkan hanya akan jadi sesuatu yang sia-sia. Dari awal sudah saya katakan, jaga pola hidup sehatmu, agar Lupus tidak menemukan titik celah untuk menyerang paru-parumu.
Tapi sepertinya pesan itu hanya akan jadi sebuah pesan. Dengan berat hati saya harus memberitahumu, bahwa Lupus telah menemukan celah itu. Paru-parumu mulai terganggu. Di beberapa titik, saluran pernafasanmu mengalami peradangan. itulah penyebab sesak nafas yang belakang sering kamu alami."
Aku melirik bunda sekilas, menelusui lekuk sempurna wajahnya dengan pandanganku. Ada kecemasan disana, juga sisa-sisa air mata. Dan aku tau betul, apa alasan buliran bening itu, meleleh ?
"Oh. Baguslah." tanggapku dingin, "Aku akan cepat mati kan ? Aku juga sudah capek. Aku bosan melihat kalian menangis. Bosan terus-menerus merepotkan kalian." lanjutku sarkatis.
"IFY !!" sentak kak Riko. Aku menoleh, sedikit kaget, karena sebelumnya kak Riko tidak pernah membentakku seperti tadi.
"Kamu bicara apa ? Tega sekali kamu bicara seperti itu didepan kami, orang-orang yang sangat menyayangimu." lanjutnya, kecewa.
"Kalian menyayangiku ? OK. Lalu ? Apa kalian bisa menahan kematian saat ia datang padaku, eh?"
"Ify..." panggil bunda lemah, "Apa kamu mau menyerah Nak ? Tidak kasian pada bunda, Fy ? Bunda tidak ingin kehilangan lagi."
Aku membisu.
Sepasang mata sendu itu, menghayutkanku.
membawaku, mengarungi samudera kasih seorang ibu...
"Dokter pasti salah memeriksa. Kak Ify kan sudah sembuh." tukas Acha, tak terima dengan vonis dokter.
"Acha, dokter akan jadi orang pertama yang mengucap syukur kalau diagnosa ini salah. Tapi itu sangat tidak mungkin, 98 % hasil pemeriksaannya akurat.
Tapi kamu harus selalu ingat kata-kata saya Ify. Seganas apapun, Lupus tidak akan bisa membunuh semangatmu untuk sembuh." tutur dokter Aiman, membesarkan hatiku.
"Tanpa kalian mintapun aku selalu berjuang untuk sembuh. Dan aku ingin disemangati, bukan di tangisi. Melihat kalian sedih karena aku, itu membuatku ingin segera mati saja." imbuhku.
Tok-tok-tok
suara pintu putih disisi kanan kamar ini terdengar diketuk. Seorang suster dengan baju kebangsaannnya -putih-putih-, menyembulkan kepala dari pintu yang sedikit terbuka.
"Dokter Aiman, dokter ditunggu keluarga pasien kamar anggrek no 11 di ruangan dokter." tutur suster tadi dengan suara lembut.
Dokter aiman mengangguk singkat, "Baiklah Ify, istirahatlah. Semoga lekas sembuh. Ingat, Allah bersama orang-orang yang sabar." ujarnya seraya melempar seular senyum.
Aku mengangguk kecil.
"Aku permisi dulu. Segera hubungi aku kalau terjadi sesuatu." Dokter Aiman menepuk pundak bunda, aku tersenyum kecil melihatnya.
Setelah sosok dokter Aiman hilang dibalik daun pintu bercat putih di depan sana, bunda pun pamit sebentar untuk shalat isya' di masjid rumah sakit ini.
"Berhentilah memandangiku seperti itu, Rio." tegurku setelah sekian menit dua manik kecoklatan itu memandangiku tanpa berkedip.
"Apa jadinya aku, kalau tanpa kamu." lirihnya datar.
"Ya, kamu akan tetap jadi kamu. Jadi Rio, manusia normal yang akan tetap melanjutkan kehidupannya."
"Aku tidak yakin, bisa."
"CK. Rio coba kamu lihat sekitarmu, banyak hal-hal indah yang Tuhan ciptakan untuk kau nikmati. Lantas, jangan hanya karena seorang gadis, kamu mengabaikan semua itu."
"Gadis itu nyatanya lebih indah dari dunia dan isinya, apa aku salah kalau begitu enggan merelakan dia pergi ?"
"Tidak ada yang salah. Yang salah, kalau kamu tidak segera pulang ke rumahmu. Besok kembali ke Jakarta kan ?" aku tersenyum manis. Ku tutup pembicaraan sebelumnya, topik semacam tadi tidak akan ada habisnya kalau dibahas dengan Rio. Aku hanya berharap, apapun yang terjadi kelak, Rio akan selalu bahagia dengan atau tanpa aku.
"Apa kamu fikir, aku tega meninggalkanmu dengan kondisi seperti ini ?"
"Kamu tidak perlu khawatir. Aku akan baik-baik saja. Lagi pula disini sudah banyak yang akan merawatku."
"Aku mau disini menjagamu."
"Tidak ada yang tau pasti kapan kondisiku membaik, kalau kamu terlalu lama di Jogja, kuliahmu akan bermasalah. Kamu bisa ketinggalan banyak materi pelajaran dan kuis dari dosen-dosenmu. Akan lebih baik kalau kamu kembali ke Jakarta."
"Kamu tidak mau aku temani ?"
"Bukan tidak mau, Rio. Tapi manusia itu harus pandai-pandai mengatur apa yang harus dijadikan prioritas, atau waktumu akan terbuang sia-sia, hanya karena menuruti perasaan."
"Ya baiklah, baiklah. Aku memang tidak ditakdirkan menang, kalau berdebat denganmu. Aku akan kembali ke Jakarta besok. Senang ?"
Aku terkekeh kecil.
"Kalau begitu, cepat sana pulang. Kamu harus istirahat dan packing kan ?"
"Tidak. Malam ini, aku mau disini."
"Kamu itu kenapa sih ? Senang sekali membantah." gerutuku, kesal.
"Dan kamu Alyssa, kenapa sih senang sekali memaksa, eh ?" balasnya, tak mau kalah.
"Sudahlah Yo. Memang sebaiknya kamu pulang. Besok sebelum berangkat kan bisa kemari lagi." Imbuh kak Riko.
Yeah. Syukurlah, aku punya sekutu. Aku benar-benar tidak enak kalau Rio tetap disini. Selama 5 hari dia di Jogja, selalu menemaniku. Malam ini, sebelum Rio kembali ke Jakarta, biarlah, orang tuanya melepas rindu pada putra tunggal mereka.
Tapi bukannya segera beranjak pergi, Rio malah duduk di sisi ranjangku. Perlahan, pemuda tampan itu mengulurkan tangannya, merengkuh tubuhku dalam pelukan.
"Berjanjilah untuk lekas sembuh. Aku menyayangimu Fy, lebih dari yang kamu tau." bisiknya lembut.
Aku tidak menjawab. Terbius aroma tubuhnya, sentuhan lembutnya, desah suaranya. Darahku berdesir, jantungku bertalu riuh, benar-benar sensasi yang menyenangkan.
Ya Allah betapa Engkau dzat yang maha adil. Masih mengizinkan manusia sepertiku menikmati ketulusan dari sosok sempurna seperti Rio.
Sobat, kalian boleh mengasihani aku, tapi aku tidak pernah merasa layak untuk itu. Lihat !! Aku punya sesuatu yang mungkin begitu kalian idamkan. Kekasih yang bukan hanya tampan, pintar dan baik, tapi juga cukup tangguh untuk kau mintai perlindungan, cukup dewasa untuk menerima segudang kekuranganmu, cukup kuat untuk kau ajak bertahan dalam susah.
Pemuda seperti itu kan yang kalian cari ?
"Aku akan baik-baik saja. Believe me, dear." tuturku menenangkan.
Perlahan, pemuda berkulit sawo matang itu melepas pelukannya. Tubuhnya yang menjulang, lantas berdiri lalu berjalan keluar kamar ini, setelah sebelumnya berpamitan pada aku dan yang lain. Sebelum menghilang, ia sempat melempar senyum manisnya. Senyum yang tak pernah kusangka, akan jadi senyum terakhir yang bisa ku rekam dalam otakku.
"Kakak juga pamit sebentar ya, mau mengantar Shilla pulang. Sudah malam." izin kak Riko, "Yuk, Shil !!" ajaknya, meraih tangan kak Shilla.
"Kakak pulang ya adik-adik, semoga lekas sembuh ya Fy. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam." balasku, Acha dan Ozy hampir bersamaan.
"Kalian tidak ikut pulang ? Sudah malam lho. Kamu juga pasti belum istirahat kan Cha, sejak dari Bandara ?" kataku, melirik kearah Acha dan Ozy yang masih berdiri disamping ranjangku.
"Acha tunggu ibu kembali dulu saja kak. Tidak mungkin kan kalau kak Ify, Acha tinggal sendirian."
"Maafkan kakak ya Cha, seharusnya hari ini kita bisa makan-makan atau jalan-jalan bersama untuk menyambut kedatanganmu, tapi penyakit sial ini benar-benar tidak bisa diajak kompromi."
"Sudahlah kak, tidak apa-apa. Yang penting kak Ify sehat dulu, jalan-jalannya kan bisa kapan-kapan."
aku hanya mengangguk kecil menanggapi kata-kata Acha barusan.
"Maaf ya kak, Ozy akhir-akhir ini tidak pernah membantu kakak lagi di Panti. Kakak jadi sakit begini, pasti karena terlalu sibuk ya ?" tutur Ozy yang sedari tadi hanya jadi lakon pasif dalam ruangan ini.
"Tidak apa-apa Zy. Akhir-akhir ini, kak Shilla juga membantu kok di Panti."
Detik berikutnya terisi oleh keheningan. Bunyi srek-srek-srek dari daun-daun palem yang bergesekan diluar sana, menandakan angin malam ini bertiup cukup kencang. Dinginnya terasa begitu tajam, menembus dinding-dinding tebal ruangan ini, merayapi setiap jengkal tubuhku, dan menusuk-nusuk tulang-belulang dalam balutan kulit.
"Oh ya, Cha. Boleh, kakak meminta satu hal ?" tanyaku, mencoba mencairkan suasana yang beku tadi.
"Tentu saja. Selagi permintaan itu bisa Acha penuhi, kak Ify boleh minta apa saja."
"Mmh.. Tinggallah disini Cha. Jangan kembali ke Perancis. Teruskan kuliahmu disini saja, kamu mau kan ?" pintaku, memohon. Ku pandangi bola mata indah milik Acha, lekat-lekat. Berharap, adik semata wayangku itu, memberikan jawaban 'Ya', karena hanya jawaban itulah yang mau aku dengar.
"Bukan apa-apa Cha, hanya saja kamu kan putrinya bunda. Walau bagaimanapun, anak perempuan kan akan lebih telaten mengurusi orang tuanya dibanding anak laki-laki." lanjutku, memaparkan alasanku.
"Lha, kak Ify kan juga perempuan tah ?" tukas Acha.
"Acha, kamu kan tau sendiri bagaimana kondisiku. Aku malah akan lebih sering merepotkan bunda dibanding merawatnya.
"Akan Acha pertimbang kan kak. Tapi Acha tidak janji, karena walau bagaimanapun kuliah di Perancis itu kan beasiswa. Sayang kalau di lepas begitu saja."
"Lalu ? Lalu apa, kak ?" tanya Acha tak mengerti.
"Lalu bagaimana dengan hubungan kalian berdua ? Sudah sejauh apa kalian memikirkan kelanjutannya ? Apa kamu tidak berniat melamar adikku Zy ?"
Ozy mendelik, "Mmh, niat baik seperti itu tentu saja ada kak." sahutnya, "Tapi kan tidak mungkin dalam waktu dekat ini. Kita kan masih sama-sama sibuk mengejar impian masing-masing. Toh, kalau jodoh tak akan kemana kan ?" tambahya diplomatis.
"Ya, yang penting kalian sudah memikirkannya. Aku akan lebih tenang, kalau adikku tersayang ini sudah memiliki pendamping yang benar-benar cocok untuknya."
"Kakak ini apa sih, dari pada mengurusi hubunganku dengan Ozy, lebih baik kakak fikirkan saja hubungan kakak dengan kak Rio, kapan kalian akan menikah ?" goda Acha.
"Cie, Acha balas dendam nih, ceritanya ?" ledekku.
"Eh, tapi kita juga mau bilang terimakasih yang sebesar-besarnya pada kak Ify, iya kan Cha ?" Ozy melirik Acha, yang tersenyum tipis kearahnya.
Acha mengangguk.
"Terimakasih untuk apa memangnya ?"
"Karena, kalau dulu kak Ify tidak membesarkan hatiku, mungkin sampai detik ini pun aku masih menganggap aku tidak cukup pantas untuk seorang Acha." jawab Ozy, jujur.
Tok-tok-tok
Lagi-lagi, terdengar suara ketukan pintu. Sejurus kemudian, seorang wanita cantik berkulit hitam manis dengan pakaian semi formal, menyeruak masuk.
"Haii !! Mbak sekretaris." selorohku padanya.
Wanita itu lantas berjalan kearahku sambil tersenyum.
"Bonjour kak Dea ? Comment allez-vous ?" sapa Acha, pada wanita tadi, Dea.
"Je vais bien. Mercy." balas Dea, sambil tersenyum.
"Nah Cha, sudah ada kak Dea. Kamu pulanglah, istirahat. Pasti kamu sangat lelah. Zy, antarkan Acha pulang ya." suruhku.
"Baiklah. Acha pulang ya kak, Assalamualaikum." pamit Acha, yang kemudian melangkah keluar disusul Ozy yang mengekor dibelakangnya.
"Waalaikumsalam. Hati-hati ya dijalan."
tak lama, dua sejoli itu pun menghilang dibalik daun pintu yang kembali menutup rapat.
"Hai, ibu sekretaris. Sibuk ya ? Sampai-sampai tidak pernah sempat membesuk Jogja barang sebentar." cerocosku pada Dea, yang sekarang memang telah menjadi seorang sekretaris di salah satu perusahan di Jakarta.
"Kamu kenapa ?" ia malah balik melontarkan pertanyaan padaku, dengan ekspresi sedih.
"Kamu seperti baru mengenalku saja De. Seorang Ify masuk rumah sakit, apa masih perlu ditanya kenapa ? Sudah ah, tidak usah bersedih seperti itu. Aku tidak suka. Kamu tumben pulang ke Jogja, ada apa ?"
"Aku juga baru sampai tadi pagi, kakak menyuruhku pulang. Katanya mamaku kangen sampai sakit."
"Oh begitu, semoga mamamu cepat sembuh ya, salam untuk beliau. Lalu, kamu tau dari siapa aku disini ?"
"Rio mengirimiku SMS, katanya kamu masuk rumah sakit biasa, aku langsung kemari saja. Aku benar-benar merindukanmu Fy, sudah hampir 2 tahun ya kita tidak bertemu. Kamu cepat sembuh, supaya kita bisa jalan-jalan dan mengunjungi SMA Budi dharma."
"Aku juga sangat merindukanmu. Amin, doanya saja ya De, aku juga tidak betah kalau harus berlama-lama ditempat ini. Eh, kata Rio tempat kostnya dekat ya dengan rumah pamanmu ? Kalian juga sering hang-out bareng ya ? Pasti seru."
"Iya Fy, tapi kami tidak ada apa-apa kok, sungguh. Rio cukup setia untuk menjaga perasaanmu. Kamu jangan berfikir macam-macam ya." tegas Dea.
"Hahaha," aku tertawa kecil, "Santai saja De. Ada apa-apapun tidak apa-apa kok, aku tidak akan marah."
"Maksud mu ?"
"Rio berhak mendapatkan wanita yang lebih baik dari aku. Kalau memang dia menyukaimu, aku tidak masalah. Kamu memang jauh lebih baik, segala-galanya dariku. Apalagi.....aku juga tau, kalau kamu.....menyukainya." tuturku hati-hati.
Dea menggeleng, "Kamu tega sekali Fy. Apa kamu kira aku sejahat itu, menyukai orang yang sudah jelas-jelas milik sahabatku. Aku tidak sepicik itu."
Aku bisa melihat kilatan kecewa dimata Dea. Ah, apa aku salah bicara ? Aku tidak bermaksud menyinggung perasaan Dea, aku hanya membukakan jalan untuk menyatukan apa yang sebenarnya memang lebih pantas bersatu.
"Dea, kalaupun kamu menyukainya aku tidak akan marah. Jujur saja, kamu tidak perlu merasa tidak enak."
"Dia punyamu Fy." tegas Dea, sekali lagi. Terlihat ekspresi tidak sukanya dengan topik yang sedang kami bicarakan.
"Entahlah. Aku rasa, akan lebih baik, kalau sekarang Rio menjauh atau membenciku. Aku hanya bisa merepotkannya."
Dea tersenyum sinis, sebelum berkata, "Kamu tidak pernah tau kan Fy, bagaimana Rio membanggakanmu di depan teman-temannya di Jakarta, bagaimana matanya selalu berbinar setiap kali dia membicarakanmu, bagaimana Rio selalu tersenyum setiap menerima telfon darimu. Bagaimana mungkin kamu bisa bilang, Kamu merepotkannya ? Kamu itu sumber kebahagiaan Rio, Fy."
"Tapi De, aku tidak ingin melihatnya hancur saat penyakitku akhirnya membawaku pergi jauh darinya. Aku tidak ingin Rio jatuh, dan itu tidak akan terjadi kalau Rio sudah menemukan penggantiku dari sekarang. Dan kalaupun aku sembuh, aku tidak mungkin bersama Rio. Keyakinan kami berbeda, dia tidak akan bisa jadi imam yang baik unukku." aku mulai terisak, membicarakan hal ini memang tak pernah bisa luput dari iringan air mata, walaupun seluruh tenagaku telah ku kerahkan untuk membendungnya.
"Cukup Ify !! Beberapa minggu lagi kalian akan bertunangan kan, aku yakin kalian sudah membahas soal keyakinan ini berulang kali, sebelumnya. Saat kamu memilih seorang muslim sekalipun belum tentu ia lebih baik dari Rio, Fy. Dan kalau kamu tidak ingin melihat Rio hancur, berjuanglah untuk sembuh, bukan menyodorkannya pada sahabatmu."
"Tapi kamu menyayanginya kan De ? Aku mau kamu bahagia, kamu sahabat terbaikku De."
"Fy..." Dea mengangkat daguku dengan ibu jari dan telunjuknya, mata indahnya menatapku dengan penuh kasih sayang, "Sekalipun benar, aku menyayangi Rio, aku tidak akan pernah mengganggu hubungan kalian. Rio terlihat begitu bahagia disampingmu, Rio bahkan bisa terus tersenyum hanya dengan memandangimu kala terlelap. Jangan melepasnya Fy, aku tidak ingin melihatnya sedih. Kamu beruntung memilikinya. Percayalah."
Aku menangis dalam hati. Dea, bahkan tanpa ia sadari, kata-katanya barusan betapa jelas menggambarkan kecintaannya pada Rio. Aku jadi berfikir. Selama ini, bagaimana perasaan Dea, setiap kali melihat aku dan Rio bersama ? Pasti sakit.
Aku menarik kedua ujung bibirku, berusaha tersenyum semanis mungkin untuk sahabat terbaikku, "Eh, kamu bawa apa ?" Aku menunjuk kantong kresek putih yang Dea letakkan diatas meja. Sepertinya, objek itu bisa mengalihkan kami dari pembicaraan tidak penting, tadi.
"Bubur ayam. Aku selalu ingat, kamu tidak suka masakan rumah sakit, jadi aku sempatkan membeli bubur ayam sebelum kemari tadi. Kamu mau makan ?" tawar Dea.
"Mmh, boleh deh. Sepertinya enak."
"OK. Aku suapi ya ?"
"Tidak ah, aku mau sendiri saja."
"Tidak apa-apa. Sekali-kali. Ayo buka mulutmu !! Aaa..."
Dea menyodorkan satu sendok bubur ke arah mulutku. Ia tersenyum manis, begitu pun aku."
"Kamu tau Dea ? Aku tidak pernah menganggapmu sahabat. Aku rasa kamu adalah saudara yang lupa Tuhan titipkan dalam rahim bundaku." ujarku, tulus.
Sahabat. Bukan mereka yang selalu mengamini perkataanmu. Yang selalu membenarkan semua polahmu, memberikan jutaan pujian atau rangkaian sanjungan.
Sahabat, ada mereka yang selalu bersedia menemanimu meski ke tepian jurang sekalipun. Mereka adalah yang tidak pernah bosan mendengarkanmu, meski yang terucap haya keluh serta kesah. Mereka, yang tidak akan pergi, meski kau berteriak tidak lagi membutuhkannya.
Sahabat, adalah yang selalu ada untukmu, bagaimanapun keadaanmu.
Sudahkah kamu mendapatkan sahabat yang sepertimu ?
Jika belum. Berkacalah !!
***
Tiga minggu berselang. Meski kondisiku tidak juga membaik, aku memilih untuk di rawat di rumah saja. Karena, seperti yang sering aku bilang, sakitku hanya akan bertambah parah selama berada di rumah sakit.
Jarum pendek dan panjang, jam antik besar yang dipasang diruang keluarga, berkombinasi menunjukkan waktu yang baru 10 menit beranjak dari pukul 9 pagi. Seperti hari-hari sebelumnya, aku masih dilarang beraktifitas diluar rumah. Merasa bosan, terus-menerus berbaring dikamar akhirnya aku memutuskan untuk keluar. Ku langkah kaki menuju dapur. Haah, sejak kapan rumah menjadi begitu luas. Sampai-sampai untuk menuju dapur saja kok rasanya jauh sekali ya ? Kakiku lemas sekali, tapi ku paksakan tetap melangkah. Bunda sepertinya sedang sibuk memasak, dan aku akan merasa sangat-tidak-berguna, kalau tidak bisa sekedar membantu merajang bawang atau mencuci sesuatu.
"Sedang sibuk ya bun ?" tanyaku basa-basi. Aku mencoba tersenyum, tapi bibirku yang dipenuhi sariawan, tampaknya enggan diajak bekerja sama. Berbeda dengan Lupus yang dulu menyerang fisikku habis-habisan, kali ini justru fisikku tidak mengalami banyak perubahan. Hanya ruam-ruam pada wajah, yang terlihat bertambah banyak.
Tapi rasanya malah jauh lebih sakit. Aku bahkan pernah memohon agar Tuhan segera mencabut nyawaku setiap sakitnya mendera tanpa ampun. Tapi melihat semangat orang-orang terkasihku, yang selalu mengharapkan kesembuhanku, aku tidak ingin menyerah. Puluhan tablet obat ku telan tiap harinya, berbagai prosedur pengobatan kujalani, akan ku lakukan semua hal agar aku bisa lebih lama hidup bersama orang-orang yang aku sayangi.
"Boleh Ify bantu, bun ?" tawarku seraya mulai mengirisi buncis dan wortel dalam wadah disamping bunda.
"Tidak usah, Fy. Kamu istirahat saja."
"Tidak apa-apa bun, Ify mau membantu. Sudah lama Ify tidak membantu bunda memasak. Bunda mau masak apa ?"
"Ify mau bunda masakan apa ?"
"Mmh, apa ya ? Ify sih, kangen bakwan jagungnya bunda."
"Ya sudah nanti bunda buatkan ya."
Aku mengangguk senang, "Bun, dokter Aiman itu, istri dan anaknya sudah meninggal ya ?"
"Iya. 10 tahun yang lalu, karena kecelakaan mobil."
"Dulu kata ayah, dokter Aiman itu mantan pacarnya bunda ya ?"
Bunda menghentikan aktifitasnya sebentar. Lantas menoleh kearahku yang berdiri disampingnya. Aku hanya melempar cengiran pada bunda, yang sepertinya tidak suka masa lalunya diungkit-ungkit.
"Ya. Bunda, Ayah dan dokter Aiman dulunya bersahabat. Bunda memang lebih dulu berpacaran dengan dokter Aiman, tapi tidak berjodoh. Lalu kami berpisah saat kuliah, bunda kemudian dijodohkan dengan Ayah, karena orang tua kami saling mengenal."
"Oh begitu. Bun, boleh Ify tanya sesuatu ? Tapi bunda jangan marah ya ?"
bunda hanya mengangguk, tanpa melepas tangan dan pandangannya dari sebaskom adonan dihadapannya.
"Apa bunda tidak berniat.....menikah lagi ?" tanyaku takut-takut, "Maksudku, walau bagaimanapun bunda kan butuh seseorang yang akan mendampingi bunda diusi senja nantinya. Kami tidak apa-apa kok kalau bunda menikah lagi." aku buru-buru menambahh perkataanku.
"Kalian bertiga sudah lebih dari cukup untuk menemani bunda diusia senja nanti."
"Tapi kita kan akan punya kehidupan sendiri nantinya, Bun. Apalagi Ify dan Acha, wanita. Harus ikut sama suami kan. Dan kak Riko juga pastinya akan menetap di Solo, sedang bunda juga kukuh mau tinggal di rumah ini."
"Apa kalian sudah tidak ada yang mau merawat bunda ?"
"Bukan begitu Bun, menurut Ify akan lebih baik kalau bunda menikah lagi. Nantinya akan ada yang selalu menemani bunda, tempat berbagi cerita, mencurahkan kasih sayang." kataku, sambil berjalan untuk mencuci beberapa buah apel.
"Iya, iya. Tapi Fy, apa masih ada yang mau dengan bunda ? Bunda ini sudah tua Fy, sudah kepala empat."
"Bunda masih cantik kok, masih menarik. Masih pantas untuk menikah lagi, lagi pula Ayah sudah 4 tahun yang lalu meninggalkan kita. Dan.....sepertinya dokter Aiman itu, calon suami yang baik. Beliau belum beristri lagi kan Bun ?"
"Kamu ini apa sih, Fy. Kok malah jodoh-jodohin bunda."
"Ih, pipinya bunda merah lhoo" godaku, "Bun, dokter Aiman itu sering menanyakan banyak hal tentang bunda lho pada Ify."
bila ada bohong yang diperbolehkan, aku harap kebohonganku pada bunda kali ini termasuk ke dalam salah satu diantaranya. Juga kebohonganku pada dokter Aiman tempo hari. Hehehe. Aku juga bilang bunda sering memuji dokter Aiman. Bukan apa-apa, aku hanya ini 2 mantan kekasih ini bisa bersatu. Doter Aiman sosok yang baik hati dan lembut. Bunda pasti akan bahagia bersamanya. Dan bukankah tidak ada yang lebih menggembirakan untuk seorang anak, selain melihat orang tuanya bahagia.
"Sudah ah jangan menggoda bunda, kamu ini ada-ada saja. Ngawur." bunda menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Ify tu serius lho bun, bunda maukan menikah dengan dokter Aiman ?"
"Kamu meminta bunda menikah lagi kok ya kayak nyuruh orang beli gula kewarung saja. Semuanya tentu harus dipertimbangkan dulu, Fy. Sudah sana, lebih baik kamu temani mas mu dan mbak Shilla di ruang tamu. Mereka sedang memilih-milih nama untuk calon cucu bunda sepertinya."
"Woo, bunda tu yang ngawur. Wong nikah saja belum, masa sudah memilih nama untuk anak." seruku, sembari melengos meninggalkan dapur, setelah menerima isyarat hush-hush dari lambaian tangan bunda.
Aku berjalan keruang tamu. Benar saja, disana ada kak Riko dan kak Shilla yang duduk berhadap-hadapan dan berbincang cukup seru.
"Lho Fy, kok sudah jalan-jalan, kamu kan harus banyak istirahat." nasehat kak Riko.
"Bicaramu seperti aku baru pulang tamasya dari Parang Tritis saja, kak. Aku juga daritadi istirahat. Ini baru saja keluar kamar."
"Kamu pucat sekali Fy, sudah makan ?" tanya kak Shilla.
"Tiap hari juga pucat seperti ini mbaknyaaa."
Detik berikutnya, jadilah aku obat nyamuk bakar. Kak Riko dan kak Shilla, mulai asik berbincang-bincang, mengamalkan asas "dunia milik berdua". Aku dijadikan patung hias, asbak rokok, taplak meja. Errr... Aku dikacangin.
"Kak Shilla tinggal disini saja ya, setelah menikah. Supaya bunda ada yang menemani." pintaku, berusaha menarik perhatian dua anak manusia ini. Kak Riko dan kak Shilla, 2 minggu lagi akan menikah. 3 hari setelahnya, aku dan Rio, akan bertunangan. Itulah rencana yang telah disusun manusia. Perlu di garis bawahi, MANUSIA bukan Tuhan. Karena nyatanya Tuhan punya rencanya sendiri.
"Ya tidak mungkin dong, Fy. Kamu kan tau, kampus tempat Shilla mengajar itu ya di Solo. Lagi pula, aku kan sudah membeli rumah disana." jawab kak Riko.
"Kan bisa dikontrakkan." sergahku.
"Kita pasti tetap akan sering mengunjungi bunda kok Fy, walaupun menetap di Solo." imbuh kak Shilla.
"Ya sudahlah. Tapi kalau begitu, kakak berdua harus membantu membujuk bunda ya untuk menikah dengan dokter Aiman."
"Kamu serius Fy, akan menjodohkan mereka ?" tanya kak Riko.
"Tentu saja serius. Jangan bilang kalau kakak tidak setuju."
"Selama itu memang akan membuat bunda bahagia, aku sih setuju saja."
"Kami pasti membantu, Fy." sanggup kak Shilla.
Lantas kami terdiam. Aku mamainkan ujung cardigan ungu yang ku kenakan. Kak Shilla sibuk membolak-balikkan sebuah majalah, sedangkan kak Riko tampak sibuk dengan ponselnya.
Diluar sana, pagi sedang mengumbar pesonanya. Dimana ada sisa-sisa embun yang berkilauan diterpa sinar mentari. Bunga-bunga segar dengan kupu-kupu yang menari disekelilingnya. Diufuk timur, bola bumi mulai merambat naik diiringi arak-arakan awan putih. Lalu yang tak kalah istimewa adalah teriakan tukang sayur keliling yang bersahutan dengan cicit-cuit burung gereja.
Ah, pagi memang selalu jadi sesuatu yang sangat ditunggu setelah semalaman berkutat dalam gelap.
"Kak !!" seruku.
"Ya..." sahut kak Riko dan kak Shilla, bersamaan.
"Aku memanggil kak Shilla, bukan kamu, wlek." aku menjulurkan lidah kearah kak Riko.
"Masih untung aku menyahut. Itu berarti aku masih menganggapmu sebagai adik." rutuk kak Riko.
Aku terkekeh sebentar, "Selamat menempuh hidup baru ya kak Shilla. Semoga kerasan jadi nyonya Riko." ujarku.
"Hahaha. Sepertinya kamu jadi orang pertama yang mengucapkan selamat pada kami ya, Fy. Padahal masih 2 minggu lagi lho."
"Ya, lebih cepat kan lebih baik Kak. Hehe." aku melempar cengiran.
"Aku juga mau bilang trimakasih Fy. Karena kalau dulu, kamu tidak meyakinkan aku untuk menyatakan perasaanku pada Shilla, mungkin sampai detik ini, kami masih bertahan dengan status sahabat." seloroh kak Riko, ia tersenyum manis kearahku.
"Sama-sama kak, aku juga turut bahagia. Lagi pula, bukankah hidup yang sebenar-benarnya adalah hidup yang memberikan manfaat untuk orang lain ?" balasku.
"Woalah, sudah dewasa tah, rupanya adikku ini ?" kak Riko mengacak poniku yang duduk disisinya.
"Pasti dong. Memang kamu kak, dari dulu tidak ada dewasa-dewasanya."
"Enak saja. Sudah tentu aku lebih dewasa darimu. Aku kan lebih tua darimu."
"Usia itu tidak menentukan seseorang sudah bisa bersikap dewasa atau belum. Kau tau ?" balasku tak mau kalah, "Kak kalau nanti sudah jadi istrinya kak Riko, aku sarankan bakar saja semua buku-buku tebalnya. Karena buku-buku itu bisa jadi sainganmu dalam hal merebut perhatian kak Riko, kak." aku beralih pada kak Shilla, malas berdebat dengan kak Riko. Buang-buang energi, apalagi saat ini kondisiku tidak benar-benar prima untuk adu mulut.
"Kalau Shilla sampai melakukan itu, lihat saja kamu Fy." ancam kak Riko.
"Eh, eh, kakak-kakak, aku boleh request ya, kalau nanti kakak-kakak ini punya putri, sertakan namaku ya, Alyssa..."
"Kenapa memangnya ?" tanya kak Shilla.
"Tidak apa-apa, hanya supaya kalian tetap mengingatku." jawabkku santai.
Aku tersenyum tenang. Paling tidak, kalau 'sesuatu' itu memang benar-benar kian dekat, aku sudah lega karena orang-orang yang aku sayangi sudah mendapatkan pasangan yang akan terus mendampingi mereka, dan selalu siap membahagiakan mereka.
Semoga kalian semua selalu ada dalam naungan dan cinta kasih-Mu, Ya Allah.
***
satuan waktu, yang begitu singkat, bagaimana jadinya hidup seorang Ify.
Dihinakan, dikecilkan, dianggap tak kasat mata.
Yang sempurna ?
Adakah ?
Bisakah diraih ?
Nyatanya, sempurna dan cacat bukan lagi pilihan, bukan ?
Tuhan telah mendesain keduanya buat hidupmu, jauh sebelum engkau di lahirkan.
Sempurna dan Cacat.
Tidak perlu dikejar atau dijauhi. Keduanya akan menghampirimu dengan sendirinya sesuai dengan jatah yang telah diatur Tuhan.
Yang sempurna ?
Sahabatku,
jadikan Tuhan tujuanmu. Jangan lagi memacu langkah, menuju sempurna.
Berlarilah kearah ridho Rabb-mu, karena setelah kamu meraihnya, segalanya akan mudah kau dapatkan.
Pasti akan ada batas saat kita mengurai tentang ruang, juga akan ada ujung saat bicara tentang sang waktu dan pasti akan ada akhir saat bercerita tentang sebuah kisah.
Kurasa kalam-Nya telah bergaung, menyeruku agar menjangkau rengkuhannya. Maka ku tulis satu pandanganku tentang hidup. Semoga kelak yang membacanya, memperoleh hikmah tak terbilang, bak selaksa langit.
THE END
***
1 komentar:
Halo semua nama saya Lewis, berkat orang besar dari semua orang dia adalah manusia terbesar yang pernah saya lihat sejak saya datang ke dunia ini saya frustrasi tapi satu hari yang baik saya hanya mengatakan biarkan aku pergi ke internet sehingga saya datang di pekerjaan yang baik dari orang besar ini besar Dr. Malaikat jadi saya menghubungi dia untuk dia untuk membantu saya membawa kembali mantan kekasih dan dia berkata apakah ini masalah Anda dan saya mengatakan ya maka dia mengatakan kepada saya untuk membebaskan diri sendiri bahwa itu hanya akan membawanya 3 hari untuk membawa kembali setelah saya memberinya semua yang diperlukan saya menunggu sampai 3 hari datang dan hari setia saya melihat beberapa mengetuk pintu saya yang tidak saya temukan, mantan kekasih dia mulai memohon maaf yang bagaimana saya punya saya ex kembali melalui Dr. Malaikat besar, saya saran Anda untuk menghubungi dia dalam setiap jenis masalah seperti:
1) jika Anda ingin mantan kekasih Anda kembali
2) Anda ingin menjadi kaya
3) jika Anda selalu memiliki mimpi buruk
4) Anda ingin mengikat suami / istri menjadi milik Anda selamanya
5) perawatan herbal
6) Bantuan keuangan
7) Anda ingin dipromosikan di kantor Anda.
8) anda telah scammed dan Anda ingin kembali uang Anda hilang
Dan masalah lain yang Anda temui dalam kehidupan Anda.
Hubungi Dr Malaikat melalui: theangelsofsolution@outlook.com
Posting Komentar