Rahasia
Orion Part 12
Lilin-lilin
***
Pinus-pinus
berbaris rapat. Pucuknya menari rancak, saat angin mengadukan diri dengan
mereka. Bayangannya menghitami tanah. Terutama pohon-pohon besar yang berdiri
angkuh diatas batang yang perkasa. Bunyi kresek-kresek dari ranting kering yang
bergesekkan, melagukan riuh-rendah yang sempurna. Dedaunan terjalin, membentuk
kanopi yang mengukung hutan kecil ini. Tidak diizinkan cerca cahaya gemintang,
menghujani tempat ini. Empat remaja berjalan lambat-rambat, menerobos semak.
Aduan kaki dengan tanah yang tak luput
dari rumput terdengar jelas mencabik sunyi. Seleret cahaya dari center yang
dipegang Rio menjadi penerang bagi keempatnya. Rintik air turun jarang-jarang,
menambah risau dan keinginan segera menamatkan ekspedisi menyusuri hutan malam
ini. Gemericik air lamat-lamat mengusik pendengaran, pertanda untuk kesekian
kalinya mereka harus meniti sungai.
"Yo,
lo benar nggak sih baca petanya ? Kok perasaan daritadi ketemunya sungai
lagi-sungai lagi." keluh Ify yang berjalan disisi kanan Rio.
Rio
mengarahkan center pada secarik kertas ditangannya. Pemuda itu melirik Ify
dengan sebal, "Ini udah yang keempat kalinya lo tanya begitu. Nggak
percaya banget sih lo sama gue, Fy." geramnya.
"Kalau urusan beginian kan emang lo nggak bisa diandalin. Jangan-jangan sekarang kita malah nyasar." gerutu Ify yang sudah frustasi berada ditempat seperti ini sepanjang malam.
"Kalau urusan beginian kan emang lo nggak bisa diandalin. Jangan-jangan sekarang kita malah nyasar." gerutu Ify yang sudah frustasi berada ditempat seperti ini sepanjang malam.
"Jalannya
benar kok Fy, tu ada petunjuk jalannya." jelas Shilla.
Keempatnya
kemudian lanjut berjalan. Biasanya kalau sudah ada tanda panah penunjuk jalan,
berarti mereka sudah cukup dekat dengan pos berikutnya.
"Mendingan
gue aja deh yang baca petanya." Gabriel mengajukan diri.
Rio
berusaha menahan diri untuk tidak menyahut. Tetap fokus dan menulikan
pendengarannya dari suara-suara pasukan alitnya yang terus saja memprotes
kepemimpinan Rio.
"Aduuuh,
nyamuk, malesin banget sih." gerutu Ify (lagi).
"Sebentar
lagi juga sampai kok Fy, kamu mau pakai cardiganku dulu ?" tawar Shilla.
"Sebentar
lagi ? Iya, mending kalau kita nggak dibawa nyasar sama Rio."
Tanpa
disangka, Rio yang sejak tadi memilih diam, meradang. Ia tiba-tiba melemper
peta yang dipegangnya. Ify berikut Shilla tersentak, terutama karena peta itu
mendarat tepat dipundak kanan Ify.
"Gue paling nggak suka diremehin cewek," tegas Rio, tidak terima, "Ok. Gue tahu lo kedinginan, lo takut gelap, disini banyak nyamuk, gue tahu Fy. Tapi yang ngerasain juga bukan cuma elo, jadi please, berhenti ngeluh. Shilla aja nyantai. Sekarang silakan, lo yang bawa petanya, cari jalan yang benar buat kita. PUAS LO !! Nyusahin."
"Gue paling nggak suka diremehin cewek," tegas Rio, tidak terima, "Ok. Gue tahu lo kedinginan, lo takut gelap, disini banyak nyamuk, gue tahu Fy. Tapi yang ngerasain juga bukan cuma elo, jadi please, berhenti ngeluh. Shilla aja nyantai. Sekarang silakan, lo yang bawa petanya, cari jalan yang benar buat kita. PUAS LO !! Nyusahin."
"Oh jadi menurut lo, gue nyusahin Yo ? Kalau lo nggak suka sekelompok sama gue, bilang dong dari awal." balas Ify dengan suara bergetar.
"Udah-udah. Jangan pada berantem. Kalian sama-sama capek, sama-sama ngantuk jadi gampang ke sulut emosi. Udah ya, jangan ribut, kita lanjut jalan lagi." Shilla mencoba menengahi.
"Kalau
lo nggak suka gue disini, gue bakal pergi Yo." ancam Ify.
"Oh
silakan Fy, silakan. Bagus malah. Sana pergi !!"
Seperti
bensin yang diberi api, Rio yang pada dasarnya bertemperamen tinggi, semakin
meletup-ketup menimpali semua perkataan Ify. Urusan gender tidak lagi Rio
perhitungkan.
Ify tergugu. Pundaknya kebas, lemas rasanya. Tapi dipaksakan kedua kakinya untuk bergerak. Ia berlari meninggalkan teman-temannya sambil menahan tangis. Ify sedikit berharap Rio akan mencegahnya, tapi ternyata tidak. Rio tetap berdiri ditempatnya, meski setiap partikel tubuhnya berorasi menyuruhnya agar mengejar Ify, tapi ia bergeming. Sampai akhirnya, Rio merasakan hantaman dipipi kanannya, kemudian tubuhnya tersungkur memeluk tanah. Rupanya Gabriel telah melayangkan tinjunya tepat diwajah Rio. Rio melotot marah, tertatih, ia mencoba bangun, "Apaan sih lo ?"
Ify tergugu. Pundaknya kebas, lemas rasanya. Tapi dipaksakan kedua kakinya untuk bergerak. Ia berlari meninggalkan teman-temannya sambil menahan tangis. Ify sedikit berharap Rio akan mencegahnya, tapi ternyata tidak. Rio tetap berdiri ditempatnya, meski setiap partikel tubuhnya berorasi menyuruhnya agar mengejar Ify, tapi ia bergeming. Sampai akhirnya, Rio merasakan hantaman dipipi kanannya, kemudian tubuhnya tersungkur memeluk tanah. Rupanya Gabriel telah melayangkan tinjunya tepat diwajah Rio. Rio melotot marah, tertatih, ia mencoba bangun, "Apaan sih lo ?"
"Bangsat
banget ya lo. Kalau ngomong, mikir dulu kek, punya otak kan lo ? Cepat susulin
Ify."
"Nyuruh gue ? Ck, kayak gue bakal peduli aja sih, " balas Rio tak acuh, "Ngapain disusul, kan dia sendiri yang mau pergi."
"Nyuruh gue ? Ck, kayak gue bakal peduli aja sih, " balas Rio tak acuh, "Ngapain disusul, kan dia sendiri yang mau pergi."
Rio yang sudah berhasil
bangkit, beberapa detik kemudian kembali tersungkur jatuh. Gabriel
menghajarnya. Mendaratkan pukulan-pukalan tanpa jeda dengan kalap, ke sekujur
tubuh Rio.
Teriakan Shilla yang melerai keduanya, tak diindahkan sama sekali. Gabriel baru berhenti setelah merasakan dirinya kepayahan. Pemuda itu lantas meninggalkan Rio dan Shilla, berlari kearah yang sama dengan yang dilalui Ify tadi. Entah sudah seberapa jauh Ify pergi. Tapi Gabriel bertekad harus bisa menemukan Ify secepatnya. Kasihan gadis iti, Gabriel tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padanya.
Teriakan Shilla yang melerai keduanya, tak diindahkan sama sekali. Gabriel baru berhenti setelah merasakan dirinya kepayahan. Pemuda itu lantas meninggalkan Rio dan Shilla, berlari kearah yang sama dengan yang dilalui Ify tadi. Entah sudah seberapa jauh Ify pergi. Tapi Gabriel bertekad harus bisa menemukan Ify secepatnya. Kasihan gadis iti, Gabriel tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padanya.
Sementara
Rio, masih terkapar lemas di atas tanah. Napasnya tersengal, terbatuk-batuk
sambil memegangi perutnya yang jadi sasaran empuk pukulan-pukulan Gabriel.
Rahang dan rusuknya berkedut nyeri, “shit !” makinya entah pada siapa.
Shilla
ikut terduduk disamping Rio, "Yo, kamu nggak apa-apa?" tanyanya,
cemas.
"Ya."
jawab Rio sembari tersenyum sebisanya.
Shilla
membantu Rio untuk duduk, "Aku tahu kamu pasti capek, kamu sebal diprotes
terus, tapi seharusnya kamu bisa lebih kontrol emosimu, apalagi Ify itu kan
cewek." nasehat Shilla dengan lembut.
Rio
tidak menjawab. Sudah cukup Gabriel menghakiminya sampai babak-belur seperti
ini, jangan tambah Shilla yang ikut-ikutan menceramahinya. Jadilah tempat itu
diselimuti kesunyiaan total. Tidak ada gelombang bunyi sekecil apapun yang
tertangkap indera pendengaran. Bahkan anginpun seperti enggan berdesau di sekitar
mereka. Tapi ternyata waktu tetap merambat, bergulir tanpa henti, meski dunia
di sekitar Rio dan Shilla seperti mati.
Rio
menggerakkan kepalanya, melirik Shilla yang duduk memeluk lutut disisinya. Ia
tersenyum. Gadis itu tetap saja terlihat cantik, meski dilihat dalam cahaya
minim seperti sekarang. Perlahan, Rio merogoh saku jaket, terdapat satu batang
lilin dan korek gas didalamnya. Dua benda itu sengaja dibawa Rio, untuk sekedar
berjaga-jaga kalau di perjalanan, mereka membutuhkan lebih dari sekedar cahaya
senter. Melihat dua benda di tangannya, Rio secara mendadak mendapatkan ide.
Mungkin waktunya tidak tepat, tapi bukankah kesempatan yang sama tidak pernah
datang dua kali ?
Untuk
merealisasikan idenya, pertama-tama, Rio mematikan center, yang kontan langsung menuai protes Shilla,
"Kok dimatiin sih Yo ? Gelap tahu." Omel gadis itu.
Kemudian
dinyalakannya sebatang lilin hingga sekelilingnya kembali terang. Cahaya dari
sumbu lilin yang mungil berpendar kesana-kemari lantas terpantul cantik pada
kedua bola mata jernih milik Shilla. Paras ayu gadis itu terlihat semakin
anggun dilatari keremangan. Pun dengan Rio, meski lebam kebiruan tercetak di beberapa
tempat diwakahnya, tetap tidak bisa mengurangi ketampanan yang dianugrahkan
Tuhan secara cuma-cuma pada pemuda itu.
"Yo,
luka kamu-"
"Shil,"
Rio menyela kalimat rumpang Shilla.
"Hm
?"
"Mm...
Guesayangsamalo." aku Rio, bicaranya cepat tanpa titik koma, membuat
kening mulus Shilla mendadak berkerut, bingung, "Kamu ngomong apa Yo
?"
Rio
membuang napas, mengacak-ngacak rambutnya, tampak salah tingkah dan tidak
nyaman, "Mm...guesayangsamalo.” lagi-lagi Rio berbicara seperti dikejar
bencong. Tanpa jeda dan hanya membuat Shilla tambah bingung.
“Nggak
ngerti.” Celetuk Shilla.
Rio
meremas ujung-ujung jaketnya, gemas sekali. Kenapa sih Shilla masih saja sulit
memahami kalimatnya, padahal kalimat itu hanya terdiri dari empat kata ?
Setelah mengatur napasnya dan menyeting pita suara agar terdengar normal, Rio
kembali memulai kalimatnya, “Shilla, dalam keadaan gelap kayak tadi, semua
orang butuh bantuan penerangan, gue pun gitu. Masa-masa sebelum gue kenal elo,
adalah masa tergelap di kehidupan gue. Gue kehilangan banyak hal. Selama ini,
gue selalu cari lilin mana yang paling pas buat terangi jalan gue dan sekarang
ketemu. Shilla Azahra, you're my everything, would you be mine? Kalau lo
bersedia, tiup lilin ini karena gue udah nggak butuh cahaya-cahaya lain, lo aja
udah lebih dari cukup."
Shilla
hampir kehabisan napas, karena dipandangi dengan begitu intens oleh Rio. Belum
lagi, kata-kata Rio yang membuatnya meleleh seleleh-lelehnya, didukung oleh
suasana yang begitu romantis. Lilin, cahaya, sederhana tapi mengena.
Dengan
usaha maksimal untuk mengendalikan dirinya, Shilla mengangkat wajahnya,
"Kalau aku tolak ?" tanyanya, menantang.
Rio
mendelik sekilas, dengan suara pelan ia menjawab, "Biarin aja apinya nyala
sampai lilinya habis."
Mata
Shilla beralih menatap lilin yang dipegang Rio. Shilla menggigit bibir bagian
dalam, baru sadar ternyata selama percakapan tadi tetesan-tetesan dari lilin
yang meleleh, jatuh tepat di atas telapak tangan Rio. Pasti rasanya sangat
panas. Tapi biar saja, Shilla ingin tahu, seberapa besar perjuangan Rio
untuknya. Seberapa gigih usaha pemuda itu untuk mendapat apa yang ia mau. Dan
Rio bergeming. Seolah panas yang membakar kulitnya, bukanlah hal yang berarti.
Ia tetap teguh memegang lilin putih itu, seteguh perasaan yang sudah tertonggak
mantap di hatinya. Ia biarkan sorot dari dua manik kecoklatan milik Shilla
menelanjangi hatinya. Mengizinkan gadis itu mengorek kejujuran dan segenap
ketulusan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, lewat dua jendela
hatinya.
Shilla
menyilangkan tangannya didada, mengetuk-ngetuk dagunya sambil tertawa pendek,
"Kebanyakan gaul sama Feldy sih kamu, jadi gombal deh." ia meninju
pelan pundak kanan Rio.
"Yang
penting kan cuma sama lo gombalnya."
"Masa
?"
"Iya."
"Oh," sahut Shilla singkat. Melihat Rio yang meringis kesakitan karena semakin banyak lelehan lilin yang terakumulasi dalam telapak tangannya, Shilla jadi tidak tega. Ia mengambil-alih lilin dari Rio, lalu meletakkannya dibawah, "Bisa banget sih ? Kalau udah sampai luka begini mana tega aku mau nolaknya." tambah Shilla kalem.
"Oh," sahut Shilla singkat. Melihat Rio yang meringis kesakitan karena semakin banyak lelehan lilin yang terakumulasi dalam telapak tangannya, Shilla jadi tidak tega. Ia mengambil-alih lilin dari Rio, lalu meletakkannya dibawah, "Bisa banget sih ? Kalau udah sampai luka begini mana tega aku mau nolaknya." tambah Shilla kalem.
"Jadi
?" tanya Rio, memastikan bahwa ekspektasinya tidak berlawanan dengan
maksud perkataan Shilla.
"Kalau
aku terima kamu, apa yang bisa kamu janjikan buat aku ?"
"Nothing."
jawab Rio, tenang.
Bibir
Shilla mengerucut tipis, "Kok gitu ?" gusarnya.
Rio
menaruh kedua telapak tangannya di bahu Shilla. Dengan senyum lembut yang
menawan ia menjawab, "Gue nggak bisa janjiin apa-apa, Shil. Karena semua
bisa berubah ke depannya. Cinta gue nggak timeless and happy ever after kayak
cerita pangeran sama Cinderellanya, yang perlu lo tahu, gue sayang sama lo,
sekarang dan mudah-mudahan sampai nanti."
Shilla
mengangguk samar. Lega rasanya mendengar jawaban Rio. Sesimple itu, semudah
itu, tidak perlu ada janji atau sodoran mimpi yang muluk. Karena sebetulnya,
setiap wanita memiliki intuisi yang kuat. Tidak selamanya, semua hal harus
diungkapkan secara gamblang apalagi dibubuhi dengan obralan kata-kata manis,
kebanyakan kaum hawa bisa membaca apa yang tersurat dalam hati.
"Kamu teh jangan terlalu dekat
dengan den Rio, Geulis !!"
Shilla
terhenyak. Tiba-tiba saja, ucapan Bi Arum tempo hari menghujam sadarnya.
Melibas taman bunga warna-warni yang baru saja bersemi dihati Shilla. Ia
sejujurnya tidak mengerti, kenapa Bi Arum melarangnya dekat dengan Rio. Tapi
Kakak dari Ibunda Shilla itu sepertinya tidak main-main atas larangannya.
Melihat
ekspresi Shilla yang berubah muram, Rio menjentikkan jari, "Hei !!"
"Eh,
hah ? Apa Yo ?" gagap Shilla.
"Ck,
kok malah bengong sih ?"
"Maaf
Yo. Eh, emm.. Pertanyaan kamu tadi, aku jawabnya nanti nggak apa-apa ? Emm, aku
juga pengen kamu yakinin dulu perasaan kamu buat Aku, benar sayangkah atau cuma
selingan karena… karena nggak ada Acha."
Shilla
butuh waktu, bukan untuk memikirkan jawaban untuk Rio, karena detik ini pun
jawaban itu sudah ada. Lebih kepada Bibinya, Shilla mungkin harus bertanya
sekali lagi, apa alasan Bi Arum melarangnya terlalu dekat dengan Rio. Shilla
juga ingin Rio memastikan terlebih dahulu tentang perasaannya pada Shilla dan
berapa besar porsi Shilla di hati Rio, lebih besarkah dari Acha?
"No
problem. I'll wait." sanggup Rio, dengan sedikit nada kecewa.
"Yo,
menurut kamu, apa orang tua kita punya hubungan dimasa lalu ? Selain hubungan
pertemanan, pastinya."
"Maksudnya
?"
"Emm..
udahlah lupain aja. Sekarang mendingan
kita cari Ify aja yuk ! Kasihan, malam-malam sendirian ditempat kayak
gini." usul Shilla.
Rio
mengangguk setuju. Ia juga merasa tidak enak sudah membentak Ify tadi, walau
tetap saja baginya Ify kelewat manja malam ini. Kemudian dua remaja itu
berjalan bersisian, menyisir setapak dalam kegelapan. Nama Ify sesekali
diserukan, agar gadis tirus itu (dimanapun dia) menyadari bahwa Rio dan Shilla
sedang berusaha mencarinya.
***
Dia, masih saja
menangis untuk orang yang tak pernah merasa ditangisi.
Ify
terduduk. Menyandarkan tubuh mungilnya pada sebatang pohon besar yang entah
berjenis apa. Ditumpukan dagu runcingnya pada lutut yang tertekuk. Pandangan matanya
nanar, tapi tidak ada airmata. Ya, Ify berusaha tidak menangis, tidak untuk
kesekian kalinya, tidak untuk orang dan hal yang nyaris sama.
Gelap dan terang
bertukar seirama hari yang berganti. Semua berubah. Banyak hal telah terjadi.
Suka ataupun tidak, Ify harus mengakui, segalanya tidak lagi sama. Rio bukan
lagi sahabatnya yang dulu, bukan lagi pemuda yang selalu ada untuk Ify. Dulu,
meski telah berstatus sebagai kekasih Larissa Kinara, Rio tidak pernah
mengabaikannya seperti ini. Tapi sekarang ?
Sering, lelah menyuruhnya menyerah. Tapi selalu saja ia dikalahkan perasaan yang terlanjur berjelaga.
Sering, lelah menyuruhnya menyerah. Tapi selalu saja ia dikalahkan perasaan yang terlanjur berjelaga.
Ify
menghela napas berat. Satu tetes airmata, lepas dari kontrolnya, meluncur
menuruni pipi Ify. Tapi airmata tadi tidak lantas tertanam dalam tanah,
melainkan berlantas pada telapak tangan kokoh milik Gabriel.
"Tanah
paling nggak suka jadi landasan airmata." ujarnya lembut. Gabriel menengadahkan
tangan kanannya dan disanalah bulir airmata Ify bermuara.
"Ngapain
lo disini ?"
Reflek,
Ify segera bangkit dari duduknya. Mundur beberapa langkah. Dari gestur tubuhnya
yang menegang, jelas sekali bahwa Ify masih sangat enggan berdekatan dengan
Gabriel. Semenjak kejadian dirumah Ify beberapa bulan lalu, gadis itu menjadi
sangat antipati terhadap Gabriel. Untuk urusan majalah Aruna pun, Ify sekarang
lebih suka bekerjasama dengan Iley.
"Fy..."
"Jangan dekat-dekat gue !!" salak Ify.
"Jangan dekat-dekat gue !!" salak Ify.
"Masih
sebenci itu Fy, kamu sama aku ?"
Ify
tertawa mencela, "Masih dan akan selalu benci, tolong dicatat."
tandas Ify.
"Tapi
aku kan udah jelasin semuanya Fy, waktu itu gelap dan ya... Aku nggak
sengaja."
"So
? Gue mesti percaya gitu sama omongan lo ? Waktu gue minta lepasin pelukan lo,
apa yang lo lakuin Gabriel ? Hah ?"
"Jadi
kamu tetap mggak mau maafin aku, walaupun Rio yang suruh ?"
Ify
mendelik, "Tahu darimana lo kalau Rio nyuruh gue maafin lo ?"
selidiknya. Memang sempat beberapa kali setiap bercakap-cakap via SMS, Rio
menyuruh Ify memaafkan Gabriel, tapi tentu saja tidak semudah itu.
"Nggak
penting aku tahu darimana. Saufika Ayyara, maafin aku."
Gabriel
mengepalkan kedua telapak tangannya, kuat-kuat. Mungkin untuk mengalihkan
luapan emosinya agar tidak lepas kendali lantas berbuat sesuatu yang buruk pada
gadis manis didepannya, "Ok. Nggak masalah, kamu nggak maafin aku
sekarang. Tapi kamu harus ikut aku Fy, kita mesti cepat-cepat sampai di
perkemahan sebelum tengah malam."
"Nggak
mau!"
"Kenapa
? Apa kamu masih mau tunggu Rio yang jemput kamu ? Ify, dia bahkan nggak peduli
sama kamu." cibirnya penuh kemenangan.
"Fy
!!" panggil Rio dari kejauhan.
"Dia
amat sangat peduli sama gue !" Ify balas tersenyum menghina, lalu berlari
menyongsong kedatangan Rio dan Shilla.
"Kamu
nggak apa-apa Fy ?" tanya Shilla, setelah teman semejanya itu sampai
dihadapannya. Ify hanya menggeleng kecil, lantas memeluk Shilla dengan penuh
kelegaan, "Syukurlah." lirih Shilla.
Dalam diam, Ify pun sangat bersyukur karena Rio dan Shilla segera datang. Ia benar-benar takut Gabriel akan berlaku yang tidak pantas lagi terhadapnya. Masih dalam kesibukkan merapal puji syukur pada Tuhan, Ify merasakan dua tangan kokoh menyentuh pundaknya setelah ia melepas pelukannya pada Shilla.
Dalam diam, Ify pun sangat bersyukur karena Rio dan Shilla segera datang. Ia benar-benar takut Gabriel akan berlaku yang tidak pantas lagi terhadapnya. Masih dalam kesibukkan merapal puji syukur pada Tuhan, Ify merasakan dua tangan kokoh menyentuh pundaknya setelah ia melepas pelukannya pada Shilla.
"Gue
selalu aja bikin lo sedih. Maaf." ujar Rio, datar, seraya menyematkan
jaketnya pada pundak Ify.
"Gue
juga. Maaf udah bikin lo kesal." lirih Ify.
"Segampang
itu kamu maafin Rio, Fy. Padahal dia udah sering banget buat kamu sedih."
komentar Gabriel, "Lo tau Rio, Ify itu cinta banget sama lo, lebih dari
seorang sahabat. Sekarang kasih tau gue, apa lo juga punya perasaan yang sama
kayak Ify?"
"Gabriel !!" sentak Ify.
"Apa
? Kamu mau marah ? Silakan. Toh daritadi juga kamu udah marah sama aku. Aku
cuma pengin bantu kamu, biarin Rio tahu semuanya dan kamu bakal sadar kalau dia
nggak pernah punya perasaam buat kamu. Sedikit pun. Berhenti berharap sama Rio,
Fy." papar Gabriel berapi-api.
Rio
terlongong maksimal. Ify menyukainya ? Tuhan, lindungilah Gabriel. Pasti pemuda
itu sedang dirasuki makhluk halus makanya bicaranya ngawur seperti itu. Cerdas,
bertanggung jawab dan dewasa, Rio masih begitu ingat kriteria pemuda idaman
dari sahabatnya itu. Dan jelas sekali, ketiga sifat itu nggak Rio banget.
Ify sendiri tak kalah shock. Tidak menyangka Gabriel akan bicara frontal seperti itu. Apa sih hak Gabriel membongkar rahasia yang sekian lama Ify tutupi ? Rahasia yang ia bagi hanya pada selaksa langit. Perasaan tersembunyi yang ia titipkan diam-diam pada keremangan malam. Secretly love, yang bahkan desau angin pun tak Ify izinkan mengusiknya, "Apa sih urusan lo ?" gumam Ify, pelan.
Hening
yang ditawarkan malam berakhir, ketika suara baritone Gabriel kembali merambati
udara, "Rio sekarang punya Shilla, selamanya kamu cuma akan jadi bayangan
yang setia dan selalu ada didekat Rio, tapi nggak pernah dianggap penting. Apa
kamu bahagia Fy dalam keadaan kayak gini. Masih banyak cowok yang lebih baik
dari Gabriel, open your eyes !" Gabriel bicara dengan penuh kelembutan,
matanya tak lepas menatap Ify yang terus menunduk. Saat gadis itu mengangkat
wajah dan pandangan mereka beradu, Gabriel tidak bisa menampik tatapan penuh
kebencian dari dua bola mata Ify. Sorot tajam yang menghunus titik kelemahannya,
menghujam tepat di hatinya.
"Gabriel, lo gila ya?”
“Do
you still want to deny ?"
"Of
course, ‘cause everything you say is a lie."
Gabriel
mengendikkan bahunya, kemudian menggeleng kecil, "Ok. Kalau gitu, anggap
aja gue nggak pernah ngomong apa-apa malam ini." katanya kalem.
Gabriel
sebetulnya ingin menguak semuanya di depan Rio. Tapi sepertinya tidak malam
ini. Untuk sementara, yang tadi itu sudah cukup, ia masih punya banyak waktu
untuk permainan-permainan selanjutnya. Ada begitu banyak luka yang tertoreh di hidupnya.
Dan semua orang yang pernah menorehkan luka itu, harus merasakan sakit yang
sama atau bahkan lebih, tanpa terkecuali. Jika Tuhan tidak pernah berlaku adil
padanya, maka Gabriel yang akan menciptakan keadilan untuk dirinya sendiri.
***
Sore begitu tenang
dengan jingga yang memulas tipis kaki langit, merapuhkan lazuardi terang.
Daun-daun Angsana mungil tertawa renyah digelitiki angin, menarik minat
pipit-pipit kecil untuk hinggap sejenak didahannya yang tegar. Rio menikmati
pesona senja hari itu lewat pintu kaca yang membatasi area kamarnya dengan
balkon.
Pagi
tadi, ia baru saja pulang dari acara camping tahunan Veronna, bersama
teman-teman seangkatannya. Bicara soal fisik, Rio tentu saja letih dan
merasakan seluruh persendiannya pegal-pegal, tapi anehnya, tubuh lelah itu
menolak diistarahatkan. Bahkan dua telaga beningnya, sulit sekali terlelap.
Untuk kesekian kalinya, bahkan setelah pemuda berkulit coklat itu berada
dikamarnya yang super nyaman, ia tetap gagal dalam usahanya tertidur pulas.
Matanya malah nyalang, mengamati langit-langit putih kamarnya.
“Ify cinta sama lo lebih dari
sebagai sahabat.”
Kalimat Gabriel itu lagi-lagi berpusar dalam benaknya. Itulah kalimat tersakti yang membuat Rio galau belakangan ini. Sebetulnya Rio tidak ingin memikirnya, berusaha tak acuh dan menganggapnya tidak lebih dari guraun Gabriel. Tapi logikanya menolak. Ify bilang Gabriel yang berbohong, itu artinya Ify tidak pernah menyukai Rio. Lantas untuk apa gadis itu menghindarinya sekarang.
Kenapa setiap kali bertemu, Ify jadi
kelihatan kikuk dan canggung ?
Apa mungkin, Ify lah justru yang
berbohong ?
Kalau benar begitu, apa yang mesti Rio
perbuat ?
Ify sendiri sudah cukup
tahu bahwa Rio menyayangi Shilla, tapi apa Rio tega menyakiti hati gadis sebaik
Ify ? Apa Rio harus menjauh, agar sahabatnya itu bisa pelan-pelan melupakannya
? Atau... Rio boleh memiliki keduanya, Shilla dan Ify ? Ah, tidak-tidak, yang
terakhir itu sepertinya terlalu jahat.
Berbagai
pertanyaan silih berganti menyambangi pikirannya. Sedang asyik-asyik mencari
jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan tadi, mendadak Rio mengerjat. Cepat-cepat
ia bangun, mendekat kearah meja berukuran sedang disisi kanan tempat tidurnya.
Rio ingat sesuatu. Sepucuk surat yang diberikan Ify kepadanya tempo hari. Ya,
mungkin di sana Rio akan dapat jawaban.
Pelan, ditariknya sebuah amplop biru muda dari laci meja, "Maaf ya Fy, gue ingkar janji." gumam Rio. Ia tidak lupa kalau sebetulnya amplop ini baru boleh dibuka saat Rio telah mendapatkan apa yang ia mau. Tapi mau bagaimana lagi, Rio jadi penasaran apa yang Ify tulis di dalamnya.
Tidak butuh waktu lama tentunya, untuk Rio mengeluarkan selembar kertas warna biru pucat dari dalam amplop di tangannya. Lalu dengan seksama matanya bergerak, memindai huruf demi huruf yang berbaris apik, tulisan khas Ify.
Pelan, ditariknya sebuah amplop biru muda dari laci meja, "Maaf ya Fy, gue ingkar janji." gumam Rio. Ia tidak lupa kalau sebetulnya amplop ini baru boleh dibuka saat Rio telah mendapatkan apa yang ia mau. Tapi mau bagaimana lagi, Rio jadi penasaran apa yang Ify tulis di dalamnya.
Tidak butuh waktu lama tentunya, untuk Rio mengeluarkan selembar kertas warna biru pucat dari dalam amplop di tangannya. Lalu dengan seksama matanya bergerak, memindai huruf demi huruf yang berbaris apik, tulisan khas Ify.
Aku biarkan kamu pergi. Untuk
menemukan apa yang kamu cari. Meski dengan begitu, aku akan kehilanganmu. Aku
harus belajar melewati malam tanpa ceritamu tentang Orion, Sirius atau
Andromeda. Hahaha... Ya. Ya. Aku harus terbiasa tidak lagi mendengar celotehmu
tentang pasir-pasir langit itu. Dan itu tidak mudah. Sungguh. Tapi aku tahu,
memang inilah yang seharusnya aku lakukan. Membiarkanmu pergi, semata-mata
karena aku menyayangimu. Karena aku tahu, seberapa ingin kamu meraih...... dia.
Aku benar bukan ? Dia. Namanya yang kamu rapal dalam hati, setiap aku tanya apa
yang ingin kamu raih. Aku terlalu mengenalmu. Untuk menebak isi hatimu saja itu
terlalu mudah bagiku. Tak peduli seberapa tebal masa lalu itu berkerak,
kesungguhanmu pasti mampu mengikisnya. Aku percaya, kelak kamu akan berhasil
meraihnya dan semoga saat itu, aku bisa ikut berbahagia. Teruslah berjalan,
meski itu berarti kita semakin jauh. Ah ya, andai kamu memiliki beberapa detik
saja untukku saat ini. Aku tidak berharap kamu kembali, hanya ingin kamu
dengar, akan kubisikkan sesuatu dari hatiku. Mario, aku merindukanmu (yang
dulu).
Rio tercenung setelah
membaca surat dari Ify. Matanya masih tertancap pada secarik kertas
ditangannya. Perlahan, seulas senyum mengembang. Benar kan, akhirnya Rio
mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang membuatnya risau. Sekarang Rio yakin
Gabriel yang bohong besar. Ify tidak menyukainya, karena dalam surat jelas
sekali Ify mendukung Rio untuk memperjuangkan Shilla. Menurut analisnya (yang
lebih sering meleset), Rio menyimpulkan surat itu sebagian besar hanya berisi
ketakutan Ify kalau-kalau Rio akan mengabaikannya setelah mengenal Shilla lebih
jauh. Tapi gadis itu pastilah tidak khawatir lagi sekarang, karena akhir-akhir
ini Rio sudah menunjukkan bentuk-bentuk perhatiannya pada Ify. Semoga itu sudah
cukup, untuk memupuskan ketakutan Ify.
Seandainya
Rio mau sedikit saja peka, mau sediit saja berusaha mencari tahu. Bukankah
tulisan dalam kertas biru itu, sama seperti tulisan pada elembar kertas yang
lain. Tulisan pada pesawat kertas yang dulu ‘menghampiri’ Rio. Seandainya Rio
sedikit saja mau mencari tahu, bahwa dua tulisan itu milik orang yang sama.
Rio
tertawa pendek, "Ke-pede-an banget sih gue. Mana mungkin Ify suka sama
gue, sama Alvin aja dia nggak tertarik." Rio menggeleng-gelengkan kepala,
seraya mengacak rambut tebalnya, "Tapi penasaran juga sama cowok yang Ify
suka kalau bukan Alvin."
Sejauh
ini, pemuda yang paling dekat dengan Ify hanyalah Alvin dan Rio sendiri. Kalau
pun sebelumnya Ify sempat akrab dengan Gabriel, itu juga hanya karena mereka
satu teamwork di redaksi majalah Aruna. Kalau Ify bilang tidak ada perasaan
lebih pada Alvin, So, who he ?
"Ah, biar deh, entar juga Ify cerita." batinnya santai.
"Ah, biar deh, entar juga Ify cerita." batinnya santai.
Rio
mendengus dengan satu tangan, dibuka laci meja, lalu tangan yang lain melempar
kasar dua benda yang ia pegang kedalam laci yang ternganga.
Tok-tok-tok
Terdengar
ketukan samar dari balik pintu jati disudut kamar. Sebelum sempat sang empunya
ruangan mempersilakan tamunya masuk, seorang wanita menerobos masuk. Membawa
sebuah nampan berisikan segelas coklat hangat. Asap masih mengepul tipis dari
bibir gelas yang tidak tertutup. Wanita
itu tersenyum lembut, menghampiri Rio yang berdiri tak jauh darinya. Rio
memandang angkuh, mengangkat sebelah alis mata yang memayungi bola mata
teduhnya, seolah bertanya, "Mau apa kemari ?"
Wanita
tadi, Gladys, membutakan diri, tak acuh terhadap penolakan yang digencarkan
putranya, dengan suara lembut ia berujar, "Sore Rio. Mama buatkan coklat
hangat, diminum ya." segaris senyum terukir pada bibirnya yang merah tanpa
gincu. Rio tidak membalas. Malah membalikan tubuh kearah doublebednya, lantas
mengotak-atik handphone.
"Ya
sudah, Mama keluar ya." pamit Gladys.
"Tunggu
!" seru Rio.
Gladys
berhenti, "Ya ?"
"Bawa
lagi minumannya, Rio lagi nggak pengin." perintah Rio.
"Tapi,
Mama kan sudah buatkan untuk kamu, Yo."
"Rio
nggak minta." sahut Rio, enteng.
"Apa
Mamamu tidak sempat mengajari cara menghargai orang lain, Mario ?" tanya
Gladys, marah. Jelas wanita itu tersinggung. Rio selalu bersikap seenaknya,
padahal Gladys hanya berusaha bersikap baik pada anak itu.
Mendengar
Mamanya jadi terbawa-bawa, Rio meradang. Ia segera bangkit. Menjulangkan tubuh
tingginya persis dihadapan Gladys, "Mama mengajarkan saya untuk menghargai
orang baik. Tante merasa baik, hah ?" balas Rio angkuh.
"Menurutmu
saya jahat ? Tunjukkan ! Dimana letak kejahatan yang saya lakukan."
Rio
melipat tangannya didada, "Bawa minuman itu dan cepat keluar dari kamar
saya. Bisa kan ? Itu pintunya, TANTE !!" Rio menekankan kata Tante yang
seharusnya berganti jadi Mama semenjak Gladys resmi menjadi istri Narendra
Haling, Papa Rio. Telunjuknya mengarah lurus pada pintu.
Gladys
tidak ingin menyulut percikan api yang sudah timbul, tidak mau memperburuk
hubungannya dengan Rio. Maka, dengan segera wanita berbusana daster dengan
corak batik itu membawa lagi minuman yang tadi ia bawa. Tapi tanpa sengaja,
saat ia akan mengangkat nampan yang ia gunakan, Gladys menyenggol sebuah figura
berisi foto Veronna yang dipajang Rio, diatas meja.
Praangg
Rio menoleh, Gladys tampak terburu-buru menaruh nampannya lagi, lalu berusaha merapikan pecahan-pecahan kaca dari figura yang pecah, "Jangan sentuh foto Mama !!" salak Rio.
Praangg
Rio menoleh, Gladys tampak terburu-buru menaruh nampannya lagi, lalu berusaha merapikan pecahan-pecahan kaca dari figura yang pecah, "Jangan sentuh foto Mama !!" salak Rio.
"Maaf
Rio, Mama nggak sengaja."
"Tante..."
Rio menatap Gladys dengan penuh amarah, segala macam umpatan seharusnya meluncur
deras dari mulutnya, tapi sulit. Sulit sekali. Dan Rio benci saat-saat seperti
ini, "Rio benci sama Tante. KELUAR !!" lagi-lagi Rio menggunakan nada
tinggi dalam bicaranya.
"Yo..."
"Tante munafik. Tukang cari perhatian. Sok baik. Tante pengin semua orang dirumah ini lupain Mama kan ? Tante mau gantiin posisi Mama di rumah ini. Dihatinya Papa. Jangan mimpi. Sampai kapanpun Tante nggak akan bisa lebih baik dari Mama Rio." Rio menggempur Gladys dengan tuduhan-tuduhan tajamnya, "Rio nggak akan pernah terima Tante. Dan anak itu," Rio menunjuk perut Gladys yang kian membuncit tiap bulannya, "Jangan harap, Rio akan anggap dia adik, apalagi Eyang, cuma Rio cucu tunggal keluarga Haling. Nothing else. Anak itu nggak lebih dari orang baru yang nggak diinginkan."
"Yo..."
"Tante munafik. Tukang cari perhatian. Sok baik. Tante pengin semua orang dirumah ini lupain Mama kan ? Tante mau gantiin posisi Mama di rumah ini. Dihatinya Papa. Jangan mimpi. Sampai kapanpun Tante nggak akan bisa lebih baik dari Mama Rio." Rio menggempur Gladys dengan tuduhan-tuduhan tajamnya, "Rio nggak akan pernah terima Tante. Dan anak itu," Rio menunjuk perut Gladys yang kian membuncit tiap bulannya, "Jangan harap, Rio akan anggap dia adik, apalagi Eyang, cuma Rio cucu tunggal keluarga Haling. Nothing else. Anak itu nggak lebih dari orang baru yang nggak diinginkan."
"KIA
!!" suara berat berwibawa milik Narendra menggelegar dalam ruangan,
"Bicara apa kamu ?"
"Kenapa
memangnya ? Papa mau belain Tante Gladys."
"Pasti.
Dia istri Papa, Rio !"
"Dan
aku anak Papa." sambar Rio, "Oh, atau mungkin Papa lupa ? Papa nggak
peduli lagi sama Rio ? Iya sih, untuk apa Papa peduli pada anak dari perempuan
yang sudah mati."
Plaakk
Tamparan
keras mendarat dipipi kanan Rio sebagai hadiah ucapan lancangnya. Pemuda itu
sampai tersungkur, pelipisnya terantuk ujung meja. Tapi tanpa takut, Rio segera
bangun. Matanya menantang dua manik mata Sang Papa. Dua tubuh menjulang itu
saling berhadapan. Memamerkan ego yang sama besar. Kedua tangan Rio mengepal
kuat, sedangkan Narendra yang berada didepannya, meski samar tapi terlihat
menyesal atas apa yang ia lakukan pada putra tunggalnya dengan Veronna itu.
"Papa sangat menyayangi kamu, sangat mencintai Mamamu, jangan bicara seperti itu lagi pada Papa."
Rio tertawa hambar, "Dua kali Papa tampar Rio demi orang lain. Rio nggak akan lupain ini semua, " ujar Rio, lugas. Pemuda itu kemudian berjalan ke bebepapa titik kamarnya, mengumpulkan tiga buah benda lantas kembali berhadapan dengan Narendra, "Kunci mobil, handphone dan dompet," Rio membuat absen untuk satu-persatu benda yang ia taruh pada telapak tangan Papanya, "Rio pergi. Maaf udah ganggu kebahagiaan kalian selama ini." setelah berkata demikian. Rio segera berlalu.
Sampai
diambang pintu kamar, ia dihentikan oleh suara Narendra, "Kabur-kaburan.
Begitu saja terus ! Kamu memang tidak pernah berubah. Selalu memilih lari dari
masalah." cibir Narendra.
Rio
tidak menimpali perkataan Narendra, namun dalam hatinya bersumpah. Tidak akan
pernah kakinya menyambangi rumah ini lagi, sebelum Papanya menceraikan Gladys.
Siapapun yang memohon atau meratap dikakinya sekalipun, Rio tidak akan pulang.
Sudah saatnya Papanya bisa mempertimbangkan pendapatnya mulai sekarang. Kaki-kaki
panjang pemuda itu melangkah tak terbendung. Meninggalkan kamarnya beserta
Narendra dan Gladys yang diam-diam dalam hati bermunajat agar Rio berubah
pikiran. Tapi Rio terlalu tangguh, terlalu 'cowok' untuk menganulir
keputusannya sendiri. Ia tidak akan main-main dengan apa yang keluar dari
mulutnya. Sampai diluar Matahari Room, Rio berpapasan dengan Alvin. Tidak bisa
dibilang kebetulan, tentu saja, karena Rio yakin, Alvin sudah berada disana
sejak tadi.
"Rio..."
"Gue benci nyokap lo."
"Gue benci nyokap lo."
"Lo
nggak perlu pergi."
"Nggak
usah sok baik."
"Lo
mau kemana ?"
"Bukan
urusan lo." tutup Rio.
***
TV plasma itu
sepertinya sudah kehilangan fungsi sejatinya. Layar ajaib yang menampilkan
gambar bergerak warna-warni yang seharusnya jadi tontonan, sekarang malah ganti
menontoni wajah lucu seorang pemuda yang
tertidur pulas di sofa. Pemuda itu tampak begitu nyaman menikmati tidur siang
yang berlanjut hingga petang datang. Ia tak peduli pada keadaan sekitarnya yang
lebih dari sekedar semrawut. Kulit-kulit kacang dan bungkus makanan ringan
berserakan dilantai. Belum lagi kaleng bekas soft drink, keping-keping CD dan
bantal bercecer dimana saja. Ruang nonton TV ini benar-benar hancur tak terkendali.
Pemuda
tadi, Feldy, mendengus malas saat terdengar pintu rumahnya diketuk keras-keras.
Merasa tidak rela ritual tidurnya terusik, Feldy janji pada dirinya sendiri,
untuk menghajar siapapun orang diluar sana kalau datang tanpa alasan yang
jelas.
Ia
berjalan dengan mata setengah terpejam. Rambutnya berantakan, wajahnya kusut,
penampilan yang cukup mengenaskan untuk ukuran seorang most wanted boy, "Awas
aja kalau tamunya nggak penting banget, gue aniaya sekalian. Ganggu aja."
sengitnya, sambil meraih knop pintu.
"Lama banget sih lo, Fel. Pasti molor." seloroh Sang Tamu tak diundang.
"Lama banget sih lo, Fel. Pasti molor." seloroh Sang Tamu tak diundang.
"Hah
? Oh, sorry hehe. Lo siapa ?" tanya Feldy melantur.
"Ck.
Nggak beres lo. Udah awas minggir-minggir, gue mau masuk. Mulai hari ini gue
tinggal disini ya.”
"HAH
?" mata Feldy membulat maksimal, detik itu juga ia baru sadar siapa yang
pelesir kehuniannya, "Rio ?"
Rio
berdiri sembari mengangkat sebelah alis matanya tinggi-tinggi. Heran, melihat
respon Feldy yang berlebihan seperti itu, "Iya ini gue."
"Lo
mau nginap ?"
"Iya.
Kenapa sih lo ? Biasanya juga gue nginap disini kan."
Feldy
masih terlongong. Untung ia termasuk jajaran pemuda tulen, karena kalau tidak,
Rio pasti sudah berpikir Feldy adalah korban kesekian dari pesonanya yang
memang sulit ditolak (menurut Rio). Apalagi sore ini, ia berdiri didepan pintu
sebuah rumah dengar latar jingga yang syahdu dan guyuran daun-daun trembesi
kering. Rambutnya sedikit berantakan, terkena angin. Sweet sekali bukan ?
Rio
memang sudah terbiasa bermalam di rumah Feldy, terutama kalau ia sedang ada
masalah dengan keluarganya. Hanya saja, saat ini kondisinya sedang tidak
memungkinkan untuk menampung Rio, "Oh, emm ya udah. Lo tu..tunggu sebentar
ya, gue suruh Bibi siapin kamar lo dulu." tanpa memberi kesempatan Rio
untuk sekedar mengangguk, Feldy sudah ngacir kekamar yang biasanya ditempati
Rio. Tanpa ketuk pintu apalagi mengucap salam, Feldy nyelonong masuk.
"Aduh, bisa nggak sih ketuk pintu dulu. Nggak sopan deh." omel seorang gadis imut yang sedang menata rambut panjangnya, menatap cermin oval didekat lemari pakaian.
"Aduh, bisa nggak sih ketuk pintu dulu. Nggak sopan deh." omel seorang gadis imut yang sedang menata rambut panjangnya, menatap cermin oval didekat lemari pakaian.
"Ada
Rio di bawah." ujar Feldy. Matanya tertaut lekat pada wajah cantik
sepupunya. Ingin tahu seberapa cepat ekspresi ceria akan luruh dari paras itu.
Tidak perlu menunggu lama rupanya, karena pergantian raut wajah itu berlangsung
cepat. Gadis yang berdiri bersebrangan dengan Feldy itu tampak memaksakan seulas
senyum, ia mengangguk pelan, "Aku juga mau pamit pulang, pintu belakang
nggak dikunci kan ?"
"Nggak
mau ketemu dulu ?" tawar Feldy.
Rindu
aku. Rindu kamu.
Mengalir.
Kita
berjarak, tapi tak lapang.
Cukup
ku ulurkan tangan.
Kau
akan terjangkau.
Tapi
kenapa air-air rindu kita...
Tak
bersuara pada muara yang sama.
Adakah
rindu kamu bukan buatku.
Hingga
aku tidak bisa mencicipinya agar hangus semua dahaga.
Kita
dekat.
Tapi
rindu kian merekat.
Feldy jadi ingat
potongan puisi yang ditulis Ify untuk edisi Majalah Aruna minggu lalu. Mungkin
kapan-kapan, akan diberikan puisi itu pada sepupunya ini. Sudah sedekat ini,
sudah serapat ini, masih bisakah takdir menghalangi pertemuan sepupunya dengan
Rio ?
"Semakin lo sembunyi, semakin lo
kesiksa."
"Aku tahu." balas gadis
bermata coklat terang itu. Ia lalu berjalan kearah pintu, menarik knop yang
terasa dingin ditelepak tangannya. Ketika selembar kayu dari Aras itu berderik
terbuka, kontak ia terbelalak. Cepat-cepat membekap mulutnya yang ternganga dan
kembali menutup pintu, "Rio." lirihnya sambil mengarahkan telunjuk
keluar.
"Serius ? Ya udah temuin aja."
celetuk Feldy.
"Fel, lo ngapain sih di dalam ?
Sama siapa ? Ada orangnya." Rio berkoar dari luar.
"Ya udah lo minggir, biar gue
keluar." Putus Feldy, karena jelas sepupunya itu tidak ingin menemuai Rio.
Feldy membukakan pintu, lalu secepat mungkin menutupnya lagi.
"Ada siapa sih ? Saudara lo ? Kalau
dipakai, gue pakai kamar lain juga nggak apa-apa kok." cerocos Rio, saat Feldy
muncul dari balik pintu.
"Nggak kok, tadi gue lagi terima
telfon. Lo tolong ambilin bedcover yang bersih dikamar gue ya, yang disini udah
kotor." pinta Feldy.
"Ok." patuh Rio, lalu bergerak
menjauh kearah kamar Feldy.
Sepeninggalan sosok Rio, Feldy membuka
pintu, "Buruan cabut." instruksinya.
"Thanks ya."
Feldy tertawa, melihat
tubuh mungil sepupunya yang lari pontang-panting menuju pintu belakang.
Berselang beberapa detik, Rio datang membawa satu set bedcover warna biru gelap.
"Kenapa lo ketawa ?"
"Kenapa lo ketawa ?"
"Nggak. Bukan apa-apa."
"Ni bedcovernya."
"Terus ? Ngapain lo kasih gue ?
Pasang sendiri sono."
"Ogah. Sama lo dong. Tamu itu harus
diperlakukan sebaik mungkin."
"Elo sih pengecualian Yo. Pasang
sendiri. Kalau perlu yang lama lo cuci, sobat !" pesan Feldy enteng,
menepuk pundak Rio dua kali lalu pergi.
Rio memicing mata.
Mengiringi kepergian sobat kentalnya itu dengan senyum kecut. Mengingat ia
menumpang dikediaman Feldy, jadilah ia manut saja disuruh apapun. Hunian Feldy
ini memang lebih sering sepi. Kedua orang tua Feldy menetap dikota Bandung,
karena bisnis keluarga Eyang Feldi buka cabang anyar di kota kembang itu. Feldy
menempati rumah yang terhitung luas ini bersama seorang pembantu yang sudah
mengasuh Feldy sejak kecil. Karena itu pula, Feldy tidak pernah keberatan
setiap kali ada teman yang menginap. Biar ramai, katanya.
Kamar di rumah Feldy
ini memang tidak seluas Matahari Room, tapi Rio cukup menyukainya. Berbeda
dengar kamar aslinya yang menyuguhkan pesona matahari terbit, kamar yang ia
tempati sekarang justru sebaliknya. Dari kaca jendela yang menghadap barat, Rio
bisa melihat bayang-bayang langit senja yang dipulas jingga dengan sedikit
warna merah, juga mega-mega yang mengiri matahari menutup siang. Seperti yang
tengah ia lakukan sekarang. Berdiri didepan jendela yang ia buka lebar-lebar.
Rio memejamkan mata, merasakan semilir angin membelai setiap inci permukaan
kulitnya. Ketenangan mengalir, memenuhi rongga dadanya. Seluruh ketegangan,
kekesalan serta amarah, dibiarkan tersapu udara petang. Alamlah yang akan
meredam emosinya. Biar gelap yang meramurkan kekecewaannya.
Dari satu titik dibawah sana, sepasang mata
milik seorang gadis, meruncing. Mengamati sekecil apapun pergerakan yang Rio
lakukan. Ketika Rio memilih untuk menutup matanya, hati gadis itu bersorai. Ia
bisa menatap wajah Rio sepuasnya. Penuh konsentrasi, dipahatnya wajah damai Rio
dalam ingatan, "Malam ini, aku semakin mengagumimu, tapi dengan keyakinan
yang juga bertambah. Bahwa semestinya rasa ini tidak usah ada." lirih
gadis dengan shortdress putih susu yang melambai ujung-ujungnya diterpa angin.
"Nice to meet you again, Miss."
Suara bernada datar yang tertangkap
indera pendengarannya, membuat gadis tadi beku ditempatnya. Ia kenal suara itu.
Tiba-tiba saja, ia berharap ada gempa dahsyat yang mampu membelah bumi
tempatnya berdiri, lantas tanah akan menelannya bulat-bulat.
"Kapan sampai di Indonesia ?" pemilik suara tadi sudah berdiri dihadapannya. Seorang pemuda tampan, berkulit putih dengan kedua matanya yang tidak bertambah besar sejak terakhir mereka bertemu.
"Kk... Kak Alvin."
"Kapan sampai di Indonesia ?" pemilik suara tadi sudah berdiri dihadapannya. Seorang pemuda tampan, berkulit putih dengan kedua matanya yang tidak bertambah besar sejak terakhir mereka bertemu.
"Kk... Kak Alvin."
"Masih aja panggil kakak, padahal
udah pakai jaster UI. Yang di pasar malam itu, lo kan ?"
Gadis tadi menggangguk. Wajahnya jauh
lebih pucat dari sebelumnya.
"Kangen juga ya sama lo,"
Alvin mengacak poni yang terjuntai luwes menutupi dahi gadis itu,
"Kapan pulang ?"
"Aku nggak pernah pergi."
"Oya ?"
"Panjang ceritanya. Kak, please,
jangan kasih tahu siapapun kalau aku ada di Indonesia, terlebih di
Jakarta."
"Kenapa ?"
"Karen-"
"Alvin !"
Suara Rio terdengar
bersamaan dengan kemunculannya di halaman depan rumah Feldy. Ia berjalan
menghampiri Alvin yang berada diluar gerbang dan terlihat sedang mengobrol
dengan seorang gadis. Tapi Rio tidak mengenali gadis berambut panjang
bergelombang yang kebetulan berdiri memunggunginya. Saat jarak Rio tinggal
beberapa langkah lagi dari mereka, gadis tadi tiba-tiba saja buru-buru menjauh.
"See you next time kak Alvin."
katanya, tanpa menoleh. Suaranya juga dibuat cempreng, tidak seperti biasa.
Rio tampak bingung mengamati gadis yang
berlari tunggang-langgang dan kini menghilang dibawa sebuah taxi, "Siapa
dia ?"
"Lo nggak kenal ?"
Rio menggeleng.
"Dia itu..."
***