Minggu, 19 Juni 2011

Rahasia Orion Part 5

Rahasia Orion Part 5
Masa Lalu

***

"Aku harus pulang ke kampung Yo."

"Pulang ?" Rio mengerutkan kening, "Kenapa? Lo nggak betah tinggal disini ?"

Shilla menggeleng dengat cepat, hingga sebagian anak-anak rambutnya terkoyak seiring gerakan kepalanya, sedang sisanya direkatkan oleh air mata, pada kedua pipinya. Bibir gadis itu mengukir senyum tipis, "Aku nggak seharusnya tinggal disini, Rio. Aku nggak pantas."

"Kata siapa? Gue senang lo tinggal disini. Eyang, Papa, semua suka sama lo." Rio menghampiri Shilla, masih dengan kedua tangan yang disembunyikan di belakang punggung. Pemuda itu ikut duduk di sisi Shilla yang sedang membenahi isi tas hitam di atas kasur yang sudah di penuhi berlembar-lembar pakaiannya, yang baru saja di jarah dari lemari besar di kamar ini.

"Nggak Yo. Aku cuma bisa bikin masalah. Orang-orang nggak suka sama aku."

"Shilla... Lo ngomong apa sih ? Ada apa sebenarnya ?" Rio memandangi Shilla dengan lembut.

"Yo," Shilla menghentikan aktivitasnya, ia balas memandangi Rio dengan tatapan sendu dari kedua bola matanya, "Baru beberapa hari aku tinggal di sini, aku udah bikin kamu sama Alvin marahan. Aku bikin kamu kehujanan, bikin kamu sakit, bikin Tante Gladys hampir diusir. Aku selalu bikin masalah, Yo."

"Shil, itu bukan-"

"Belum lagi di sekolah," potong Shilla, "Aku tu bingung mau temenan sama siapa, Veronna itu tempat sekolahnya anak orang-orang kaya, obrolan  mereka, gaya mereka, sikap mereka kebanyakan nggak cocok sama aku, Yo. Ify juga, dia belum pernah tu ajak aku ngobrol selama kita sebangku. Kalau ditanya pun jawabannya singkat-singkat, seadanya. Aku sedih Yo, aku kangen kampungku, aku ngerasa asing banget tinggal di sini."

Shilla merasakan pelupuk matanya memanas. Butiran-butiran air mata sudah terakumulasi secara berlebihan disana. Shilla yakin, dengan satu kali kedipan saja, butiran air mata itu akan langsung terjun bebas tanpa bisa lagi dibendung. 

"Itu cuma perasaan lo aja, Shil. Gue sama Alvin udah baikan kok, semua yang terjadi belakangan ini, bukan sepenuhnya salah lo. Lagi pula lo lupa, lo ke sini kan buat sekolah yang benar, raih cita-cita dan bikin bangga Ibu lo. Jangan pulang Shil, gue senang lo ada di sini," pinta Rio.

Shilla menunduk dalam, menyembunyikan semburat rona merah yang tiba-tiba saja memulas pipi pualamnya setelah mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Rio. Seketika, apa yang bergumul di otaknya, tentang beragam alasan yang membuat Shilla ingin segera pulang ke kampong tadi, menguap. Hilang begitu saja. Ah ada apa dengan diri Shilla? Mengapa hatinya bisa begitu mudah dibolak-balikan oleh seorang Rio dan ucapan-ucapannya. Apa mungkin karena hati itu tanpa sengaja telah tertawan oleh pemuda tampan di hadapan Shilla? Sudah Jatuh hatikah Shilla pada Rio?

"Shil," Rio menggumamkan nama Shilla, sudah lebih dari tiga kali ia memanggil gadis itu, hanya saja tak ada respon dari Shilla. Jiwa Gadis itu sepertinya benar-benar belum kembali ke dunia nyata, masih sibuk berfikir perihal hatinya. Pada kali keempat, barulah Rio mendapat sahutan dari Sang Empunya nama yang tadi di rapalnya, "Shilla."

"Eh, hah, iya ? Kenapa Yo ?" tanya Shilla, tergagap.

"Jangan pulang ke kampung ya, gue mohon."

"Emm..." Shilla tampak menimbang, memasang ekspresi khusyuk pada wajah cantiknya.

"Gue sogok deh, nih !!" Rio mengulurkan kedua tangannya yang sejak tadi tersembunyi di belakang punggung. Tangan kanan pemuda itu menjingjing plastik bening berisi beberapa buah kerupuk, sedang yang satunya membawa sebotol kecap manis, "Kata bi Arum, lo suka makan kerupuk pakai kecap ?" imbuh pemuda itu.

"Masa sogokannya kerupuk doang sih ?" gerutu Shilla. Gadis itu melipat kedua tangannya di dada sembari memajukan bibir tipisnya beberapa centi.

"Terus lo maunya apa dong ? Gue kasih deh, apapun yang lo minta tapi jangan pergi ya. Please, jangan ya..." rajuk Rio, ia menelungkupkan kedua tangannya di depan dada.

"Mmh... Kamu betulan nggak mau aku pergi ?"

"Ya betulan dong, Shil."

Shilla mendesah pelan, "Oke. Aku nggak akan pergi, tapi kamu harus cepat masuk sekolah ya, Yo. Gimana ?"

Rio tersenyum lebar, "Sip. Gue bakal cepat masuk sekolah," ujar pemuda itu mantap, "Karena nggak jadi pergi, ajarin dong, gimana caranya makan ini pakai ini !!" pinta Rio, sambil menunjuk kerupuk dan kecap yang tadi di bawanya secara berurutan.

Shilla menarik kedua sudut bibirnnya, keatas. Di hapusnya sisa-sisa lelehan air mata yang menyelusup diantara bulu-bulu lentik yang menghiasi matanya. Gadis itu lantas meraih makanan favouritenya yang tergeletak diantara ia dan Rio, "Masa makan kayak di ginian aja nggak bisa. Caranya gini, " Shilla menuangkan cairan kental berwarna hitam dari botol kecil bertutup merah itu ke telapak tangannya, "Sini deh!" ujar Shilla pada Rio. Pemuda itu menurut, tidak menyadari seringai nakal yang terpeta pada wajah cantik gadis di sebelahnya. Rio mendekat. Dengan cepat, Shilla segera mengoleskan kecap yang menggenang pada telapak tangannya ke pipi kanan Rio, saat pemuda itu lengah, "Kena!" seru gadis itu, langsung bangkit dari duduknya sambil tertawa.

Rio terkesiap, "Errr... Shillaaa, lo apaan sih ?" Ia segera menggerakkan tangannya untuk membersihkan pipi kanan yang dilumuri kecap manis, sebelum akhirnya Shilla mencekal lengan kokoh itu.

"Selama di dalam kamarku, kecapnya nggok boleh di hapus dong." ujar gadis itu sambil mengedipkan sebelah matanya.

Rio menjulurkan lidahnya, "Dasar jail." cibir pemuda itu, "Awas aja, kalau kesasar lagi, lo nggak akan gue cariin." ancam Rio.

"Hahaha," Shilla tertawa renyah, "Biarin aku kan nggak akan nyasar lagi." balasnya. Shilla sudah kembali duduk di sebelah Rio. Tangannya yang tadi mencekal lengan Rio, kini sudah sibuk menuangkan kecap manis pada kerupuk, "Eh, tapi makasih banget ya Yo, kalau waktu itu nggak ada kamu, aku nggak tau deh-"

"Gimana nasib aku." lanjut Rio, "Ya ampun Shil, gue sampai hafal tau nggak sih, sama kata-kata lo. Lo kayaknya udah ratusan kali deh bilang makasih." celetuk Rio sembari menerima kerupuk berkecap yang diangsurkan Shilla, "Ini langsung dimakan ?" tanya pemuda itu dengan kedua alis terangkat.

Shilla yang telah lebih dulu melahap kerupuknya, hanya mengangguk kecil, "Eh, tapi aku masih penasaran Yo, kok waktu itu kamu tau aku ada di lapangan yang itu ?"

"Waktu gue telepon elo, sebenarnya gue udah ada di Neptun Estate. Pas lo bilang ada di dekat pos satpam, gue langsung cari-cari pos satpam di sekitar sana. Dan akhirnya ketemu, gue udah liat lo, pas mau gue panggil, eh lo malah lari. Kita ikutin lo, tapi lo kayaknya bekas atlit marathon ya, cepet banget larinya, udah gitu masuk ke gang-gang kecil pula, mobil gue kan mesti susah payah biar bisa masuk. Coba lo larinya ke jalan-jalan gede, gue sama Ify pasti bisa lebih cepet nemuin lo." papar Rio diiringi bunyi kres-kres-kres dari kerupuk renyah yang di lahap ia dan Shilla.

"Ya namanya juga panik, Yo. Mana sempat pilih-pilih jalan." bela Shilla.

"Eh, iya Shil. Lo kan waktu itu tanya, pajangan kaca yang dikamar gue itu dapat dari mana ? Gue baru inget, itu punya temen kecil gue, namanya-"

"Rio, Shilla, Ayo makan dul-" seorang wanita tua menyeruak masuk ke dalam Krisan room, mata wanita tua itu melebar seketika, melihat wajah Rio dan Shilla, serta lantai kamar itu yang sama-sama di ceceri kecap, "Astaga, kalian ini apa-apa sih ?" serunya seraya menggeleng-gelengkan kepala.

"Eh Eyang" ujar Rio dan Shilla kompak, seraya menyeringai lebar kearah Eyang Putri yang malam ini terlihat sangat anggun dengan pakaian bernuansa batik yang dikenakan. gurat-gurat kecantikan masa muda yang di miliki wanita berusia lebih dari setengah abad itu, memang tidak benar-benar mengelupas di usia senjanya.

"Sudah cepat basuh wajah kalian, dan segera turun. Yang lain sudah menunggu untuk makan malam."tegas Eyang Putri lalu berbalik masih sambil menggeleng-gelengkan kepalanya yang kali ini di hiasi sanggul kecil.

"Sip Eyang !!" ujar Rio dan Shilla hampir bersamaan.

***

Matahari mulai merangkak naik. Menghapus pulasan fajar di ufuk timur. Menyudahi malam yang temaram dan menggantinya dengan cahaya baru. Babak yang baru. Hari yang baru. Bumi telah siap mengantarkan manusia-manusia penghuninya untuk menggapai cita-cita, meraih semua yang mereka mau, menempuh jalan yang telah mereka pilih. Pagi yang indah, dengan denting dawai embun yang bertalu kecil saat merosot ke tanah, setelah kian rapuh bergantung pada dahan-dahan angsana. Bau tanah yang wangi, menyelusup indera pembau, menawarkan aroma ketenangan dan harapan. Seolah berkatalah tanah pada jutaan manusia, selama aku masih kau pijak, maka tidaklah ada sesuatu yang tabu untuk kau raih.
Shilla menyambut hari ini dengan semangat baru. Dengan ceria gadis itu melangkah, menyusuri jalanan berbatu menuju gerbang utama. Bus sekolah berwarna biru pucat telah menunggunya, di depan sana. Selama Rio belum bisa masuk sekolah, Shilla lebih memilih untuk diantar-jemput bus sekolahnya, ketimbang harus pergi dan pulang bersama Alvin. Bukan apa-apa, Shilla sudah cukup trauma dengan kejadian tempo hari, dan tentu ia tidak cukup bodoh untuk mencobanya lagi di kemudian hari. Apalagi sejauh ini, Alvin juga sama sekali belum mengibarkan bendera putih, lambang perdamaian kepadanya.
Rambut pajang gadis itu berurai lincah mengimbangi hentakan langkahnya. Ketika memasuki bus, Shilla melempar senyum ramah pada teman-teman satu sekolahnya. Ia memilih duduk di kursi ke-3 dari pintu, di sebelah Muthia, gadis jangkung berambut sebahu itu mengangguk kecil saat Shilla datang, "Pagi Muthi," sapa Shilla ramah.

Ia benar-benar berharap, mulai hari ini akan mempunyai banyak teman, sehingga tidak perlu mengadu hal-hal tidak penting, kepada Rio seperti semalam. Shilla benar-benar merasa tidak enak, masih untung keluarga Rio mau menampung dan membiayai semua keperluannya, ia malah dengan tidak tahu diri meminta untuk pulang, bahkan Rio harus membujuknya untuk tetap tinggal, dan itu hanya karena hal sepele. Masalah teman? Ah, memangnya apa niat Shilla hijrah ke Jakarta? Cari teman? Tentu saja bukan. Ia ingin sekolah dan menjadi  seorang dokter jantung. Syukur kalau selama proses merintis cita-cita, Shilla mengenal orang-orang baru yang mau dijadikan temannya, tapi kalaupun tidak, ya apa mau di kata?

"Eh, hehe.. Pagi Shil," balas Muthia, sedikit ragu, "Tumben lo nyapa gue Shil, hehe."

"Memang kenapa ? Nggak boleh ya ?"

"Eh, bukan gitu. Boleh kok, boleh banget malah. Cuma tumben aja." balas Muthia, "Lo tinggal di rumahnya Rio ya, Shil ?" tanyanya, ingin tahu. Sebenarnya sudah sejak lama Muthia ingin menanyakan hal itu, tapi Shilla yang kemarin-kemarin lebih banyak diam, membuat Muthia sangsi untuk bertanya.

"Iya," jawab Shilla kalem, "Ayah sama Ibuku udah nggak ada, jadi om Haling ngajak aku tinggal dirumahnya, katanya beliau sahabat dekat ayah sama ibu," papar Shilla jujur.

"Huaaa, mauu bangeett." koar gadis itu dengan wajah berbinar-binar,"Diajak tinggal di rumahnya Oom Rendra, tiap hari lo bisa ketemu Rio sama Alvin dooong. Shilla, beruntung banget sih lo.." dengan gemas, Muthia mencubit kedua pipi Shilla.

"Ya ampun, segitunya kamu, Muth." tanggap Shilla seraya mengelus-ngelus pipinya yang memerah, "Walau gimana pun, lebih beruntung kamu kali Muth, masih punya orang tua." imbuh Shilla.

"Ya, tapi tetep aja Shil, gue envy sama lo. Tapi sebelum tinggal di Jakarta memang lo tinggal dimana, Shil ?"

"Cihideung."

"Wah, kampungnya Rio dong ?"

"Memangnya Rio dari Cihideung ya ?"

"Iya, masa lo nggak tau, Rio kan lahiran Cihideung, setahu gue dia pindah ke Jakarta setelah Mamanya meninggal." tutur gadis ceriwis itu.

Shilla tertegun. Rio berasal dari Cihideung? Gadis itu mulai menyusun puzzle-puzzle harapan sekaligus dugaan yang beberapa kepingannya telah ia temukan.  Apa Rio itu kawan kecilnya dulu...
Shilla membuang pandangannya keluar jendela. Terlihat jejeran gedung-gedung tinggi yang berkelebatan, serta kendaraan-kendaraan berbagai jenis yang sudah ambil bagian dalam menyumbangkan polusi di pagi hari yang masih sejuk ini. Gadis cantik itu menyusuri masa kecilnya, seiring gilasan roda bus yang menyusuri jalanan beraspal ibu kota. Di tapakinya memoar-memoar tentang masa-masa menyenangkan itu. Ah, kemana sebenarnya, kawan kecilnya itu?
Shilla memejamkan matanya, ia tidak pernah merasa serindu ini pada kawan kecilnya itu. Sebenarnya sudah sejak lama Shilla menina-bobokan masa lalu itu. Tapi entah mengapa, setelah mengenal Rio, masa lalu yang telah lama terlelap itu seakan diusik dan terbangun kembali dari tidur panjangnya, "Kamu dimana Lana. Apa masih ingat sama aku ?" lirih gadis itu.

"Apa Shil ?" tanya Muthia.

Shilla menoleh, baru menyadari bahwa ia tidak sedang melamun di dalam kamarnya, ada orang lain yang duduk disebelahnya dan kini tengah memandanginya dengan heran, "Eh, mmh, nggak kok. Nggak. Hehe."

"Oh, kirain tadi lo nanya apa gitu sama gue. Eh iya, lo ambil ekskul apa, Shil ?"

"Emh, Drama Musikal mungkin." balas Shilla.

"Pasti karena Rio anak DM juga yaaaa... Ciee..." tebak seorang pemuda tampan yang tiba-tiba menyembulkan kepala dari belakang kursi, tempat duduk Shilla dan Muthia. Pemuda dengan dasi longgar yang tergantung di lehernya, serta kemeja putih tanpa blazer itu menaik-naikan kedua alis mata hitamnya.

Shilla terkekeh, "Iya, Fel. Lagi pula Drama Musikal kayaknya seru." tambahnya.

"Kalau gitu, lo ikut Club Badminton juga dong Shil, Rio juga kan anak Club Badminton." usul pemuda bernama Feldy itu. Ia adalah salah satu siswa putra yang cukup dekat dengan Rio.

"Nggak deh, Fel. Kalau badminton aku nggak bisa." tolak Shilla.

"Yaaah. Kan belum di coba Shil, ikutan aja, gue ketuanya lho." bujuk Feldy, belum menyerah.

"Terus ngaruh gitu ya, kalau elo ketuanya ?" cibir Muthia, "Udah sana-sana, ganggu aja lho." usir Muthia, setelah sebelumnya melayangkan gulungan kertas karton tepat mengenai kening Feldy. Pemuda yang terkenal playboy itu, sambil bersungut-sungut akhirnya kembali duduk manis di kursinya.

Shilla tertawa kecil. Dalam hati, ia membatin, ternyata tidak sulit juga mengajak anak-anak Jakarta berteman. Mungkin kemarin-kemarin Shilla terlalu minder untuk berbaur dengan mereka, sehingga teman-temannya pun enggan menegur atau mengajak Shilla bergabung.

"Eh, gimana keadaan Rio ? Udah sembuh ?" suara Muthia kembali terdengar, disela raungan mesin bus yang membawa mereka menuju bangunan mewah Veronna High School.

"Udah baikan kok. Sebentar lagi juga udah bisa sekolah."

"Oh gitu. By the way, kalian berdua sebenarnya ada hubungan apa sih ? gosip-gosipnya kalian pacaran ?"

Shilla menggeleng, "Nggak lah."

"Lah, kenapa emangnya, menurut gue kalian cocok lo. Lagian ya Rio itu kan cakep, baik, kaya pula, kurang apa coba ?" Muthia menggerakkan satu-persatu jemarinya. Seperti membuat daftar atas hal-hal mengagumkan yang menurutnya dimiliki oleh seorang Mario, "Atau lo lebih suka tipe yang cuek-cuek kayak Alvin gitu ya ?"

"Aduh, Muthia apaan sih, pagi-pagi udah ngaco banget deh ngomongnya. Aku nggak ada apa-apa kok sama mereka berdua."

"Tapi saran gue sih lo mending sama Rio aja Shil, siapa tau lo malaikat yang di kirimkan Tuhan buat mengobati trauma yang Rio alami," ujar Muthia dengan nada yang di dramatisir. Gadis itu menerawang, sambil meletakkan kedua tangannya di dada. Shilla mengerutkan keningnya, gadis di sebelahnya ini entah tipe manusia ekspresif atau memang suka berlebihan.

"Trauma gimana maksudnya ?" tanya Shilla, sambil mulai membenahi seragam yang ia kenakan. Bus mulai memasuki pelataran Veronna High School. Kedua belia itu, Shilla dan Muthia terpaksa harus menyudahi obrolan mereka. Lantas, ikut turun bersama siswa-siswi yang lain, saat bus berwarna biru pucat yang mereka tumpangi, akhirnya berhenti tepat di halamar parkir Veronna.
Shilla dan Muthia masih berjalan beriringan sampai di koridor utama. Mereka lalu berpisah, saat Muthia pamit ke kantin untuk membeli sarapan. Shilla berjalan sendiri menuju kelasnya. Gadis yang mengenakan bando biru tua sebagai penghias rambut panjangnya itu, terus melempar senyum pada teman-teman sekelasnya yang kebetulan berpapasan di jalan. Beberapa mata yang masih berkilat sinis terhadapnya, coba di abaikan begitu saja.
 "Pagi Fy," tegur Shilla, setelah sampai di kelasnya dan meletakkan tas berwarna ungu miliknya pada kursi kosong di samping Ify.

Gadis berambut ikal itu menoleh, tersenyum tipis, lantas berujar, "Pagi Shil."

"Pagi-pagi udah sibuk aja, Fy ?" tanya Shilla pada gadis manis yang tengah sibuk bergulat dengan laptopnya itu. Shilla ikut memandangi layar laptop Ify yang menampilnya tulisan-tulisan serta tabel-tabel yang tidak Shilla mengerti.

"Iya nih, Shil. Lagi di kebut, bentar lagi kan regen. Supaya program kerja yang belum tercapai sama OSIS angkatan kita, bisa di kerjain sama anak-anak OSIS tahun depan." jelas Ify, masih dengan fokus yang tidak terbagi dari layar laptopnya.

Shilla hanya mengangguk kecil, lantas mengeluarkan buku-buku fisika dan alat tulisnya.

Sejurus kemudian Ify menutup laptopnya dan duduk menyamping menghadap Shilla, "Maaf ya Shil." ujarnya, sedikit tertahan.

Shilla menoleh, kepalanya di miringkan ke sisi kanan, kerutan tipis terpeta pada kening mulusnya, "Maaf buat apa Fy ?" tanyanya keheranan.

Ify mendesah tak kentara, "Semalam, Rio telepon gue. Maaf ya Shil. Gue sering cuekin lo. Tapi gue nggak maksud kayak gitu kok, gue cuma..." Ify terdiam sejenak, membiarkan kalimatnya tergantung disitu, ia belum menemukan kata-kata yang cocok untuk menyambungnya, karena tidak mungkin kalau Ify harus berterus terang bahwa semua sikapnya selama ini karena rasa cemburunya pada Shilla. Apalagi mengingat bagaimana semalam Rio meneleponnya tepat pukul satu dini hari hanya untuk Shilla, bagaimana Rio meminta Ify agar bersikap lebih baik pada Shilla, bagaimana pemuda itu bercerita bahwa ia tidak ingin melihat Shilla sedih, itu benar-benar menyesakkan untuk Ify. Kalau saja Ify tidak pandai-pandai mengontrol emosinya, sudah barang tentu, gadis cantik di hadapannya itu sudah habis dimaki-maki. Untungnya ia sudah cukup terlatih untuk menyembunyikan perasaannya dan menekan segala macam gejolak dalam hatinya.

"Nggak pa-pa kok Fy, harusnya aku yang minta maaf karena udah ngadu-ngadu hal sepele kayak gitu sama Rio," tutur Shilla tidak enak, "Emh, Fy !! Aku boleh tanya sesuatu ?"

"Tanya aja."

"Kata Muthia, Rio itu punya trauma soal cewek ? Memang trauma kenapa sih ?" Shilla membenahi posisi duduknya, menghadap Ify.

Ify tersenyum simpul, "Si Mumuth sih nggak usah di percaya Shil, tu anak memang biang gosip. Trauma sih kayak nggak deh, cuma belum ketemu yang lebih baik dari Acha, mungkin." Ify mengangkat kedua bahunya. Gadis itu memandangi Shilla dengan alis terangkat, seolah mengisyaratkan Shilla agar lanjut bertanya kalau memang masih ada yang ingin di tanyakan. Mendapati Shilla malah bergeming dengan tatapan penuh makna tak terbaca yang terbias dari bola-bola matanya yang indah, Ify memilih untuk memutar tubuhnya. Menghadap papan tulis yang masih berhias coretan-coretan sisa pelajaran kemarin. Petugas piket hari ini sepertinya belum sempat menjamah dua papan tulis itu.
Satu persatu penghuni kelas XII MIPA 1, berdatangan. Mengisi bangku-bangku kosong dalam kelas ini. Bangku-bangku yang akan menemani perjuangan dan tahun terakhir mereka menuntut ilmu dengan seragam putih-abu abu.

Shilla menoleh, saat di dengarnya helaan napas panjang yang di hembuskan oleh teman sebangkunya dengan dramatis, "Kenapa ?" tanya gadis itu, heran.

Ify terlihat menimbang, ada sesuatu yang harus ia ceritakan. Ah, tapi mungkin juga tidak. Bukan porsinya untuk mengungkit masa lalu itu, masa yang mungkin dengan sangat keras telah coba untuk di hapus dari ingatan masing-masing pelakunya. Apa pentingnya ia bercerita tentang semua itu pada Shilla, lagi pula kelak Shilla juga pasti akan tahu, bahkan mungkin dari Rio sendiri. Sementara itu, Shilla bukannya tak acuh dengan nama asing yang tadi di sebutkan Ify. Acha. Mendengar nama itu, tanpa alasan yang pasti tiba-tiba saja ada denyutan nyeri yang menjamah hatinya dan gadis cantik itu nampaknya masih kesulitan untuk memberikan nama yang pas untuk apa yang dirasakannya kali ini. Ia belum pernah merasakan yang seperti ini sebelumnya. Acha. Sepertinya, nama itu begitu lekat dengan kehidupan Rio. Acha. Mungkinkah pemilik nama itu adalah bagian terpenting dalam diri seorang Rio, napasnya kah, atau aliran darahnya ?

"Acha itu cinta pertamanya Rio, Shil." suara lirih Ify, akhirnya jadi jawaban untuk pertanyaan yang Shilla lontarkan dalam hati.

Yang berkecamuk dalam batin Ify pada akhirnya mengguguskan satu keputusan. Ify akan menceritakan semuanya pada Shilla, berharap dengan mengetahui betapa berartinya Acha untuk Rio, Shilla akan mundur teratur dari usahanya mendekati Rio. Shilla melirik Ify sekilas, sebentuk wajah dengan dagu runcing itu menegang kaku. Rautnya begitu dingin dengan tatapan kosong yang terpatri pada papan tulis di depan kelas.

"Acha cantik, pintar, ramah dan putri seorang dokter. Rio bilang sudah menyukainya sejak lama, sejak kecil. Acha cinta pertamanya. Tapi mereka baru resmi jadian pas kelas 3 SMP. Mereka berdua sangat cocok, semua pasangan yang liat mereka pasti iri. Sampai akhirnya, tiba-tiba ada kabar mereka putus, katanya Rio mergokin Acha selingkuh. Pemandangan Acha yang nangis-nangis di depan Rio atau Rio yang bentak-bentak Acha, udah jadi rahasia umum. Setahu gue Acha tu sayang banget sama Rio dan itu terbukti, nilai-nilai Acha langsung merosot setelah putus dari Rio, akhirnya pas mau masuk SMA, Acha dan orang tuanya mutusin buat pindah. Dan setelah itu Rio baru tau apa yang sebenarnya terjadi dari Alvin. Acha minta bantuan Alvin buat ceritain semuanya. Ternyata cowok yang di liat Rio bareng Acha dulu, adalah pasien Papanya Acha. Acha berusaha ngasih perhatian dan semangat hidup buat pasien itu. Sejak saat itu Rio nyesel banget nggak pernah kasih Acha kesempatan buat jelasin semuanya. Dan sampai sekarang pun, gue nggak yakin Rio udah bisa lupain Acha" setelah menyelesaikan ceritanya, Ify menghela nafas panjang. Bukan hal yang mudah baginya mengurai lagi kisah itu, karena tanpa ada seorang pun yang tahu, sedih yang Rio alami kala itu, juga menjadi miliknya. Menyambangi tanpa jeda. Mengusik kala terjaga. Dan Mendekap saat terlelap. Saat melihat Rio tertawa dengan Acha, ia terisak dalam hati. Tapi ketika melihatnya terpuruk, nalurinya ternyata kian tersiksa, menjerit tak karuan.

"Sekarang Acha dimana ?" tanya Shilla, datar.

"Dia pergi. Tinggalin Rio gitu aja. Tanpa kabar apapun."

"Kamu suka Rio, Fy ?" tanya Shilla tiba-tiba, tatapannya begitu lembut memagut coklat gelap manik mata Ify.

Ify mengangkat sebelah alis matanya, ekspresi gadis itu datar, seolah pertanyaan Shilla barusan bukan dan tidak berarti apa-apa, "Nggak lah  Shil. Kita sahabatan." jawabnya berbohong. Kebohongan yang tidak perlu sebetulnya. Kebohongan yang akan membuatnya menyesal.

***

Gambar-gambar bergerak yang tersaji di balik layar kaca televisi di depannya, sama sekali tidak menarik perhatian pemuda ini. Meski rumah yang dihuninya tidak terlalu besar, tapi tetap saja di tinggal seorang diri seperti ini membuatnya kesepian. Apalagi kalau teringat masa-masa dimana keluarga kecilnya dulu begitu harmonis dan bahagia. Ia tidak pernah merasa sepi, tidak pernah sendirian, tidak pernah merasa kekurangan perhatian, karena luapan kasih sayang kedua orang tuanya tak pernah alpa membanjiri hari-harinya. Tapi sekarang, entahlah, menguap kemana tawa dan kehangatan keluarganya yang dulu.
Suara tap-tap-tap dari sepatu yang beradu dengan lantai, memecah lamunan pemuda itu. Ia segera menegakkan posisi duduknya, lantas tersenyum manis. Tak lama, seorang wanita cantik, menyeruak masuk dengan penat yang begitu jelas menggelayuti paras anggunnya. Ada lingkaran kehitaman pada kantung mata wanita tadi. Ia merebahkan tubuhnya yang kelewat letih pada sofa hijau tosca, tak jauh dari tempat duduk Si Pemuda tadi.

"Mama tumben udah pulang," tegur Si Pemuda sambil berjalan menghampiri wanita yang di panggilnya Mama tadi, "Baru jam 7." tambahnya setelah melirik jam besar yang di pasang bersebelahan dengan sebuah lukisan kawanan kuda, "Tapi nggak pa-pa deh, aku kan jadi bisa minta masakin makan malam sama Mama." Pemuda tadi kini tengah memijit-mijit pundak Mama tercintanya.

Sang Mama mendelik, menatapi putra semata wayangmya dengan raut kesal, "Maaf Yel, tadi Mama lelah, kalau kamu lapar dan ingin makan malam, beli saja di luar."

"Ma, sekali-kali Mama masak kek buat aku. Kapan coba terakhir kali Mama buatin aku makan malam ? Mama tu selalu sibuk, nggak pernah perhatiin aku."

"Yel, kamu jangan manja gitu dong. Mama kerja juga kan buat kamu. Bersikaplah dewasa, kamu sudah besar, Gabriel."

"Aku tu bukannya manja Ma, aku cuma kangen sama Mama. Mama nggak pernah ada waktu buat aku, selalu kerjaan-kerjaan ini yang Mama pentingin." Pemuda tadi, Gabriel, merebut beberapa map yang di tenteng Sang Mama. Dengan cepat, di sobeknya lembaran-lembaran berisi abjad-abjad yang tersusun rapi, itu.

Sang Mama melotot, geram, "YOU'RE STUPID. Apa yang kamu lakukan Gabriel ??" tangan wanita itu sudah terangkat, siap mendaratkan tamparan di pipi putranya.


"Mama nggak berhak tampar Iel." ujar pemuda itu seraya menahan lengan Mamanya yang sudah tergantung di udara, dengan tangan kirinya.

Lantas, di hempaskan lengan wanita yang tengah mengandungnya itu dengan satu sentakan yang sangat kasar. Tanpa berkata apa-apa lagi, Gabriel menyambar jaket hitamnya yang tergeletak diatas sofa. Pemuda itu lalu melengos pergi, mengabaikan suara Sang Mama yang menyerukan namanya berulang-ulang kali.
Tanpa tujuan, Gabriel membiarkan kaki-kakinya melangkah sekehendak hati. Menyusuri kolong langit yang remang di tinggal pulang oleh Sang Raja Siang. Gabriel ingin berbagi. Tapi getir yang dirasa, ketika tersadar ia bahkan tidak punya siapa-siapa lagi selain Mamanya. Mama yang sangat menyebalkan, "Sial," umpatnya dibarengi tinju yang dihantamkan pada udara. Bahkan alam pun seperti memusuhinya. Tidak ada bintang-bintang mungil, yang bisa diajaknya untuk berbagi cerita. Mengapa semua jadi seperti ini ? Kemana perginya, masa-masa indah itu ? Pertanyaan semacam itu terus berpusar bak beliung, melibas seluruh logika dan kesadaran yang tersisa. Semua gara-gara keluarga busuk itu. Akhirnya, pemikiran semacam itulah yang di cetuskan emosinya.       
Gabriel terus berjalan tanpa tujuan, kedua tangan kokohnya terkepal kaku, rahangnya mengeras, matanya berkilat penuh amarah.
Setelah beberapa menit terlewati hanya dengan berjalan tanpa tujuan, sepasang kaki beralas sandal biru tua itu tiba-tiba terhenti, di depan sebuah toko florish langganannya. Gabriel tersenyum cerah. Sepertinya ia tahu, hal apa yang harus ia lakukan, setidaknya untuk mengurangi kekacauan dalam dirinya. Pemuda menjulang itu, kemudian memasuki toko sederhana di pinggir jalan itu. Setelah melakukan transaksi dengan pramuniaga toko itu, berpindahlah sebuket mawar putih ke dalam genggamannya. Dengan langkah yang lebih ringan, Gabriel meninggalkan tempat itu. Menuju rumah dengan sepetak kebun krisan dan dua pohon mangga di muka. Rumah Ify. Kebetulan seingatnya hari ini adalah jadwal Ify les piano di rumahnya. Jadi paling tidak, Gabriel berharap, dentingan permainan piano gadis pujaannya itu bisa meredam kemarahan yang tengah bergolak dalam hatinya.
Jarak Orion Estate dengan perumahan tempat Gabriel tinggal memang tidak begitu jauh, bisa di tempuh dengan hanya berjalan kaki. Tak lama, Gabriel sudah sampai di depan sebuah rumah mewah dengan pagar besinya yang di cat dengan warna putih. Seakan mewakili penghuninya, rumah itu terkesan begitu manis dan sederhana dimata Gabriel.
Pemuda itu baru saja akan meletakkan buket mawar yang di bawanya di tempat biasa, seperti yang selama ini dilakukannya, saat suara lembut seorang gadis menyapanya dari belakang.

"Iel ?"

Gabriel berbalik. Kaget setelah melihat sosok cantik Ify dengan piama coklatnya, berdiri di hadapannya dengan ekspresi heran, "Ngapain lo malam-malam disini ? Ada perlu ya ? Soal Aruna ?"

"Eh, emm, nggak Fy. Anu aku... itu.. aku mau.. itu sebenarnya aku anu... itu mau, mauuu ke rumah Iley. Ya, ke rumahnya Iley." jawab Gabriel asal. Keringat dingin sebesar buliran biji jagung langsung bercucuran membasahi pelipisnya.

"Oh, urusan jurnal ya ?" Ify manggut-manggut faham. Iley dan Gabriel, keduanya memang merupakan anggota jurnal yang paling aktif, "Terus itu ?" Ify menunjukkan rangkaian mawar putih yang bertengger anggun di atas kotak pos rumahnya.

"Oh aku... aku nggak tau Fy, itu bukan punya aku. Tadi aku cuma berhenti buat ngikat tali sepatu aja."

"Sepatu ? Kamu kan pakai sandal, Yel." sergah Ify.

Gabriel menundukkan kepala, menatapi kakinya yang memang dialasi sandal jepit biru tua, "Eh iya. Emh, tadi bersihan celana ding, kecipratan lumpur soalnya."

Kalau di sekolah ada tugas mengarang alasan untuk berkilah, maka pemuda itu lah yang diramalkan mendapat nilai yang paling rendah. Karena sejak tadi, alasan-alasan yang di ucapkan benar-benar tidak berbobot.

"Oh, betulan bukan punya lo ?"

"Bukan Fy."

Ify mengangkat pundaknya, "Oh, punya secret admirer gue kali ya, hehe." Ify terkekeh sambil berjalan ke arah kotak pos rumahnya guna meraih mawar-mawar cantik itu.

"Eh, kamu abis ketemu Alvin ya ? Emang nggak ada jadwal les piano ?"

"Gue abis ketemu Rio sih. Nggak, lesnya gue cancel. Karena Rio minta bantuan buat bikin power point tugas biologi. Eh, tapi lo tau dari mana, hari ini gue ada les ?"

"Oh, itu. Aku sering aja denger kamu main piano setiap hari senin, kalau lagi pas kebetulan lewat sini. Jadi aku fikir kamu pasti lagi les." jawab Gabriel, lidahnya sepertinya semakin lancar dan pintar berbohong.

"Oh. Ya udah deh Yel, kalau nggak ada perlu, gue masuk ya ?"

"Eh, iya. Silakan Fy. Good night ya." Gabriel tersenyum lebar.

"Night too. See you tomorrow." Ify melambaikan tangannya, lalu mulai berjalan memasuki rumahnya.

Sedangkan Gabriel masih mematung di depan rumah Ify, dengan senyum manis tersungging di wajahnya. Mungkin percakapan singkat malam ini, tidak akan berarti apa-apa untuk Ify. Tapi bagi Gabriel sendiri, 10 menit percakapannya dengan Ify barusan, pasti akan bisa membuatnya bermimpi indah, malam in.

Untuk seorang pemuja, tidak ada satu hal sekecil apapun itu, yang tidak berarti tentang sosok pujaannya.

***

Desau angin sore mulai genit menggoda daun-daun mungil pohon angsana yang tumbuh menjadi pelengkap halaman rumah Rio, yang mengagumkan. Setelah puas dengan upaya menggosongkan penduduk bumi dengan teriknya di siang hari, Matahari sore ini mulai mau berdamai. Sinarnya masik cukup cerah, berjatuhan disela semak tanaman bunga pukul empat yang mulai merekah, dan tentu saja tidak begitu panas sampai bisa membuat ubun-ubun mendidih seperti siang tadi.
Kawanan awan putih, berputar-putar dengan siaga, seolah di tugasi menghalau mendung hitam yang berani mengusik keperkasaan Sang Surya. Sedangkan dari balik rimbunan pohon besar di halaman ini, beberapa ekor burung pipit berbulu kecoklatan dengan malu-malu mengintip kebawah. Mengamati gadis cantik yang asik berkutat dengan benang warna-warni dan jarum yang berukuran sedikit lebih besar di banding jarum jahit biasanya. Gadis itu tampak sangat sibuk dan mencurahkan seluruh konsentrasinya pada pola dan simpul yang di buat pada kain strimin di pangkuannya. Gadis itu, tidak menyadari bahwa sejak beberapa menit yang lalu ada seorang pemuda yang telah mengambil posisi duduk di sampingnya, "buat lo." Ujar pemuda berkulit putih itu, dingin.

Baru setelah mendengar suara yang merapal dua kata itu, gadis tadi mengangkat wajahnya. Ia memandang bergantian antara pemuda bermata sipit di hadapannya dengan segulung arum manis yang di sodorkan kearahnya.

"Buat aku ?"

"iya, ambil !!"

Lagi-lagi hanya dua kata, dan lagi-lagi bernada dingin. Jadi terkesan lebih seperti menodong di banding memberi, siapa juga yang tidak enggan untuk menerimanya.

"Nggak gue racunin kok Shil, lo tenang aja. Tapi nggak gratis juga."

"Maksudnya ?"

"Lo mesti bantu gue. Buruan ni terima dulu."

Shilla akhirnya mengulurkan tangan kanannya. Meraih arum manis yang sejak tadi sudah berteriak-teriak minta segera di lahap. Gulungan seperti kapas berwana pink itu memang tampak begitu menggiurkan.

"Tolong bilang sama Rio, kalau gue udah bersikap baik sama lo." tutur Pemuda Sipit tadi, setelah arum manis berukuran besar yang susah payah di belinya itu berpindah dari tangannya, "Gimana deal ?"

"Itu aja, Vin?"

"Hm."

"Ok. Deal." sahut gadis tadi, enteng. Serta-merta, segera di lahap arum manis di tangannya dengan sangat bersemangat, hingga bagian wajah di sekitar mulutnya di penuhi makanan yang tak pernah alpa di beli Shilla setiap kali mengunjungi pasar malam sewaktu di desa.

"Eh, aku jadi kayak dèja vu deh. Dulu juga aku sering dikasih arum manis sama La-"

Shilla menghentikan kalimatnya, saat Alvin tiba-tiba saja memajukan wajahnya. Shilla membesi ditempatnya, matanya tak berkedip, sedangkan Alvin masih terus menggeser posisi duduknya menjadi lebih dekat dengan Shilla. Dua mata mereka beradu. Kilatan teduh milik Shilla, ternyata mampu melelehkan bongkahan es milik Alvin. Andai ia punya kuasa, akan di hentikannya detikan waktu. Alvin ingin lebih lama lagi menikmati setiap detail indah paras cantik gadis bermata jernih di hadapannya. Tanpa sadar tangannya terulur, "Lo doyan apa lapar, semangat bener makannya." dengan alibi membersihkan wajah Shilla, tangan kanan pemuda itu menyentuh lembut pipi pualam Shilla.

"Shil," suara baritone Rio, membuat Alvin dengan cepat menjauh dari Shilla. Sedangkan Shilla, merasa tidak ada hal istimewa yang telah terjadi, gadis itu hanya melempar senyum manis pada Rio, "Lo di cari Eyang tuh." ujar Rio santai, dari teras rumah. Pemuda itu berjalan dengan malas ke gazebo. Dari tampangnya yang kusut dan rambutnya yang awut-awutan, terbaca sekali bahwa Rio baru saja usai menunaikan ritual tidur siangnya, "Hooamm," Rio menguap lebar-lebar sambil membentangkan kedua tangannya, "Lo ngapain masih disini, Shilla ? Buruan sono, lo mau di amuk Eyang ?" suruh Rio.

"Ya udah, iya-iya, aku pergi." Shilla menurut. Gadis berbaju jingga dengan bawahan rok putih polos itu, segera beringsut dari duduknya, lantas berjalan ke arah Rumah besar.

Setelah Shilla dan bayangannya menghilang dibalik pintu utama, Rio memicing mata pada Alvin, "Lo ngapain tadi sama Shilla ?" tanya pemuda yang kini tengah merebahkan tubuh dengn posisi terlentang dan kedua tangannya yang terlipat mengalasi kepala.

"Kan lo yang suruh gue baikan sama Shilla." jawab Alvin kalem.

Sebelum sempat Rio menimpali perkataan Alvin, siluet seorang gadis bergerak-gerak mendekat kearah gazebo, "Sore Kia..."

Semua terdiam. Hening.

***


Sabtu, 11 Juni 2011

Rahasia Orion Part 4

Rahasia Orion Part 4
Terulang
 ***
Shilla menyeka buliran keringat di pelipisnya. Gadis itu mulai menghitung dalam hati, telah berapa kali ia lalui pos satpam dekat tiang listrik ini?
Ternyata, ini adalah kali kelimanya. Dan itu berarti, sejak tiga jam yang lalu ia hanya berputar-putar di jalan yang sama. Rumah mewah keluarga Haling, sama sekali belum terlihat. Shilla merogoh saku blazernya, hanya tersisa tiga lembar uang seribuan. Uang saku yang diberikan Gladys (atas perintah Narendra tentu saja) tadi pagi, benar-benar sudah ludes untuk membayar ongkos kendaraan berargo, yang baru 5 menit lalu, Shilla turuni.
Shilla jadi menyesali keputusannya untuk ikut tinggal di Jakarta, tempo hari. Gadis itu merasa tidak cocok hidup di lingkup perkotaan dengan orang-orang yang apatis terhadap sekelilingnya.

"Mungkin Rio sama Om Haling itu stock orang baik terakhir, yang ada di Jakarta." begitu fikir Shilla.

Ia mendesah keras-keras, berharap dengan melepaskan gas karbon dioksida sebanyak-banyaknya, lelah dan takut yang membelit pun ikut terlepas. Gadis cantik itu, baru saja akan melangkah, menyeret kedua kakinya untuk meneruskan pencarian, saat ponsel dalam sakunya bergetar heboh.

"Rio.." desisnya, setelah mendapati nama pemuda itu pada layar ponsel yang berkerjap-kerjap.

Dengan luapan rasa lega dan syukur pada Tuhan, bahwa Ia telah mengirimkan dewa penolong yang memang sejak tadi dipinta Shilla, gadis itu menekan tombol hijau pada keypad ponselnya.
"Riooo... Aku kesasar, Yo." Shilla langsung merajuk, bahkan sebelum lawan bicaranya di seberang sana bersuara, "Aku udah muter-muter tapi rumah kamunya nggak ketemu-ketemu."

"Aku sekarang di ... mmh... nggak tau Yo, tapi tadi aku liat ada plang besar, tulisannya Neptun Estate, aku ada di dekat pos satpam gitu. Pokoknya kamu... yah.. yayayaaah. Mati lagi handphonenya. Aduuh, nyebelin banget sih." Shilla menatapi LCD ponselnya dengan nelangsa. Saat Rio menelpon tadi, baterai ponselnya memang tinggal 1 bar.

"Amira!"

Shilla menoleh. Yakin tidak ada orang lain lagi di dekat sini, berarti suara berat itu menyapanya. Saat gadis itu memutar tubuhnya ke belakang, ia terlonjak kaget. Spontan, Shilla mundur beberapa langkah. Seorang pria tengah menyeringai lebar ke arahnya. Pakaian pria itu kotor dan kumal, rambutnya awut-awutan, satu tangannya menimang-nimang sebuah boneka plastik yang terlihat mengerikan, sedang tangan yang lain memegang sepotong besi besar yang diayun-ayunkan sembarangan. Dan melihat segala macam atribut yang melekat pada tubuh pria itu, Shilla segera menyadari dirinya dalam bahaya kalau terus bertahan disana.

"KYAAAA... Orang gilaaa."

Tanpa harus menunggu sesuatu yang lebih extreme terjadi pada dirinya, Shilla memilih untuk cepat lari. Lari sekencang-kencangnya, beruntung buku-bukunya sudah diinapkan dalam loker sekolah, jadilah tas berwarna ungu muda itu tidak terlalu membebani punggungnya.

"Amira, tunggu, Nak. Tunggu... Ini Papamu. Amira, ayo peluk Papa. Kamu putri Papa yang tertukar!" Si Pria tak jelas tadi terus mengejar Shilla, sambil berkoar tidak penting.

Kalau saja kejadian ini tidak menimpanya, mungkin sekarang Shilla sudah terpingkal-pingkal melihat orang gila yang mengejar seorang gadis yang dikira anaknya, Amira.

"Amira, tunggu Papa. Jangan pergi!" Orang gila itu belum menyerah, masih mengejar Shilla sambil melempar senyum penuh arti.

Shilla semakin bergidik, ngeri. Kenapa sih pria itu tidak berhenti mengejarnya ? Bagaimana kalau sampai ia tertangkap ? Akan diapakan ia oleh pria itu, dipukul dengan besi atau akan dipeluk dan dicium layaknya seorang Papa pada Anaknya ?

"Huaaaa... Aku nggak mau, nggak mauuu." teriak gadis itu, sambil terus menambah kecepatan larinya. Ia tak lagi sempat, untuk mengamati arah yang diambil. Jalan-jalan yang dilalui hanya sepintas berkelebat, dan tentu saja sama sekali tidak bisa diingat-ingat sesudahnya. Apalagi sepertinya, Shilla sudah berlari cukup jauh.

Shilla memberanikan diri untuk menoleh. Dan ternyata orang gila tadi sudah tidak membuntutinya, Shilla menghela napas lega. Tapi udara yang memasuki saluran pernapasannya seketika terasa dicekat. Habislah sudah, sekarang Shilla benar-benar tidak tahu berada di mana. Yang ia lihat hanya rumpun-rumpun bambu yang mengelilingi sebuang lapangan tak terawat. Rumput-rumput tumbuh liar, bersaing dengan belukar ilalang, memenuhi setiap titik tempat ini. Kalau tadi, setidaknya Shilla masih bisa mengingat jalan untuk kembali keperempatan, tempat Alvin menurunkannya. Tapi sekarang, Shilla sama sekali tidak tahu harus kemana dan berbuat apa. Belia itu, terduduk lemas. Hari sudah semakin gelap, sedangkan kediaman keluarga Haling sepertinya masih sangat jauh dari tempat ini. Ia mencoba memusatkan fikirannya, berharap bisa mengingat kembali rute yang dilewati, sampai ia terdampar di tempat ini. Tapi otaknya buntu. Satu-satunya yang terfikir malah hal konyol, bawah ia ingin membeli mesin waktunya Doraemon. Shilla ingin sekali menganulir keputusannya menerima tawaran Alvin untuk pulang bersama beberapa jam yang lalu, itu benar-benar racun berwujud kue tart.

Shilla masih duduk berselonjor, kedua tangan memukul-mukul kaki yang terasa sangat pegal.

"Capek ya Neng, sini Abang pijitin."

Matanya yang semula menumbuk pada tanah berlapis rumput yang mengalasi duduknya, kini tertancap pada empat pasang kaki yang berjajar di depannya. Shilla mendongak. Glek. Ia menelan ludah. Gadis berambut panjang itu segera bangkit dan mundur perlahan. Ada empat orang pemuda yang berdiri berjajar dihadapannya. Dua di antaranya bertubuh tinggi besar, sedang sisanya meski ukuran tubuhnya normal, tapi tindik dan tatto yang menghiasi Dua tubuh itu, jelas menunjukkan bahwa kesemuaan dari mereka bukanlah orang baik. Plus baju compang-camping berwarna hitam dan jeans belel yang mereka kenakan, rasanya empat pemuda itu tidak jauh berbeda penampilannya dengan pria stres yang tadi mengejar Shilla.
Shilla menepis kasar lengan salah satu dari mereka yang mencolek dagunya. Ia terus mundur, sampai punggungnya terasa nyeri karena membentur batang kasar pohon mangga yang juga menjadi bagian dari tempat ini.

"Duh, judes amat sih, Neng." ujar pemuda bertatto yang sepertinya ketua kelompok orang-orang aneh ini, "Mau kemana? Ikut kita-kita aja yuk, Neng!" pemuda tadi mencolek lengan Shilla.

"Jangan macam-macam ya, atau saya bakal teriak."

Mendengar ancaman bodoh, gadis yang tampak ketakutan di depan mereka, 4 orang pemuda tadi tertawa lepas.

"Silakan, gue mau denger, seberapa kenceng terikan lo, cantik." tantang Si Tinggi Besar.

Shilla tertunduk lesu. Sadar, mau berteriak sampai urat leher putus pun tidak akan ada yang mendengarnya. Tempat ini sepertinya jarang dilintasi penduduk setempat.

"Ayo, katanya mau teriak?" tantang pemuda yang sama, matanya berkilat nakal membuat Shilla bertambah pucat. Keringat dingin, seketika membanjiri tubuhnya.

"Udahlah boss, nggak usah basa-basi, langsung seret aja ke markas." usul salah satu dari mereka. Pemuda berkalung rantai besar dengan bandul tengkorak.

"Tuh, dengar kan manis? Jadi mau ikut dengan suka rela atau kita..."

"Jangan ganggu dia."

Suara baritone bernada datar itu hampir saja membuat Shilla menangis seketika, karena lega. Shilla tahu pasti, siapa pemilik suara itu, ia memberanikan diri untuk mengangkat wajahnya dan menerjang salah satu pemuda yang berdiri di hadapannya. Gadis itu berlari ke arah Rio dan langsung membenamkan diri di balik punggung tegap pemuda itu.

"Cepat masuk mobil. Di sana udah ada Ify." bisik pemuda tampan itu, pada Shilla yang sudah berkaca-kaca.

Shilla mengangguk faham, ia menuju sedan hitam milik Rio yang terparkir tak jauh dari situ, dengan setengah berlari. Benar saja, di dalam sudah ada Ify yang langsung menyambutnya dengan pertanyaan yang semenjak tadi juga berlintasan dalam benak Shilla, "Nggak apa-apa tu Rio ngadepin orang-orang itu sendirian?" ujar gadis berdagu runcing itu, dengan siratan khawatir yang terpeta jelas pada seraut paras ayunya.

Sedangkan Rio masih berdiri santai menghadapi empat orang pemuda yang menatap tak suka pada dua telaga bening miliknya.

Rio tersenyum mengejek, "Kalian nggak malu gangguin cewek?" cibir Rio, sinis.

"Jelaslah kita gangguin cewek, lo kira kita maho doyan sama cowok. Mikir dong lo." balas salah satu dari mereka.

"Badan ceking begitu aja mau sok-sokan jadi pahlawan lo, heh? Hahaha." timpal yang lain, disahuti derai tawa teman-temannya.

Percakapan lima orang pemuda itu sama sekali tidak terdengar oleh Shilla dan Ify. Dua gadis cantik yang kelak dipaksa takdir untuk saling melukai itu, hanya bisa menyertakan doa untuk Rio. Memperhatikan lekat-lekat, setiap gerakan yang muncul. Tak lama berselang, dua gadis itu bisa tersenyum lega ketika Rio berjalan ke arah mobil, lalu membuka pintu dan duduk manis di samping Ify, tanpa kurang suatu apapun.

"Lo nggak pa-pa, Yo ?" tanya Ify.

"Nggak Fy. Udah buruan jalan." intruksi Rio.

"Kok bisa ?"

"Hah? Apanya?"

"Kok bisa, lo nggak diapa-apain sama mereka ? Gue kira tadi bakal tonjok-tonjokkan."

"Ya bagus dong. Emang lo mau gue bonyok-bonyok?"

"Ya, nggak sih. Tapi kan aneh aja, tadi padahal kayaknya mereka marah banget."

Suara yang terdengar mengisi hening dalam mobil yang menggilas jalanan itu, masih milik Ify dan Rio, sedang lakon lain di dalam sana hanya mendengarkan dengan seksama. Tidak punya niat untuk menimpali, karena rasanya seluruh tenaganya sudah benar-benar terkuras habis.

"Gampang aja, gue bilang ke mereka, banci kalau main keroyokan. Dan gue bakal bawa genk gue buat lawan genk mereka besok sore."

"Emang, sejak kapan lo punya genk, Yo ? Kok gue nggak tau ya ?" tanya Ify, sambil terus fokus pada jalanan di depannya. Pukul 6 sore, jam pulang kerja. Tentu saja seperti hari-hari sebelumnya, Jakarta selalu macet. Membuat gadis berambut ikal itu, dengan tidak sabar, berkali-kali memencet klakson.

"Gue nggak punya genk. Asal aja ngomong begitu. Yang jelas, lo jangan sampai nyasar ke sana lagi, Shil. Bisa dikulitin entar kita, kalau ketemu mereka lagi." Rio melirik ke kursi belakang, ternyata Shilla sudah tertidur pulas. Gadis itu mendendangkan napas teratur dengan wajah pualamnya yang terlihat damai diseret alam mimpi.

Rio tersenyum tipis, mengerti betul kelelahan yang Shilla rasakan.

"Oh, jadi ceritanya, lo kabur gitu ya? Ah, nggak keren banget sih lo." cibir Ify, sembari mengetuk-ngetukkan jemari pada kemudinya, menunggu antrian panjang kendaraan bermotor yang berjejalan memenuhi jalan raya ini, bahkan trotoar yang seharusnya digunakan para pejalan kaki, malah dilalui sepeda motor.

"Ya, ini kan bukan sinetron, Fy. Logikanya, cowok dengan satu tangan di perban kayak gue, mana mungkin bisa menang, lawan mereka. Yang ada gue bakal bonyok, terus entar lo sama Shilla gimana coba? Selagi ada kesempatan, mendingan gue meloloskan diri kan? Nggak selamanya berantem itu mesti pakai otot."

"Bisa banget deh lo nge-les-nya."

Saat mobil Rio akhirnya melewati gapura depan Orion Estate, Rio membangunkan Shilla dengan suara lembut. Gadis itu mengerjap beberapa kali, sebelum akhirnya menegakkan tubuhnya.

"Lo, nggak pa-pa kan Shil ?" tanya Rio.

Shilla menggeleng. Kalau saja yang bertanya tadi bukan Rio, Shilla akan langsung mencak-mencak memaki si penanya. Bagaimana mungkin, ia tidak apa-apa. Setelah dikejar-kejar orang gila, dan diganggu pemuda-pemuda sarap itu, apa masih kurang tragis hingga masih layak di bilang tidak apa-apa? Hanya saja, Shilla tidak ingin terlihat manja dengan mengeluhkan ini-itu di depan Rio. Toh, sekarang ia sudah selamat.

"Abis ini lo mandi, makan terus istirahat ya, kayaknya lo capek banget." imbuh Rio.

Perhatian kecil yang diberikan Rio pada Shilla, tanpa sadar menyayat sebentuk hati yang lain. Pemiliknya mulai membongkar kotak-kotak kenangan yang disimpan rapi dalam ingatan, mencari tahu, pernahkah pemuda di sampingnya itu memberikan perhatian yang sama terhadapnya. Dan akhirnya, ia tersenyum cerah. Pernah. Ya, bahkan lebih dari ini. Rio pernah meminjamkan punggungnya untuk Ify bersandar, selama pemuda itu menggendongnya menuju tenda, saat mereka camping dan Ify terjatuh hingga kakinya terkilir.
Bila saat di mana ia harus berpura-pura mati rasa dan kembali mengenakan topeng ketegaran, datang lagi. Bila masa itu terulang lagi... Ah, apa iya, pengganti cinta pertama Rio datang secepat ini ? Tidak. Ify mengerang dalam hati. Berteriak, untuk mensugesti dirinya sendiri. Ada sebersit rasa khawatir, tapi segera ditepisnya. Bahkan, Rio dan Shilla baru saling mengenal. Di antara keduanya pasti tidak ada apa-apa. Mungkin ia yang terlalu sensitif mengartikan tatapan lembut yang dilayangkan Rio untuk Shilla.
Ify menarik kembali fokusnya pada jalanan beraspal yang mulai menggelap dihujam tangisan langit. Ia tidak ingin terlalu lama memikirkan hal-hal yang hanya akan membuatnya bersedih. Sejurus kemudian, mobil yang dikemudikan Ify, berbelok memasuki halaman Rumah Besar. Wangi bunga Mandevilla yang khas, langsung menyapa indera pembau ketiga orang dalam mobil, berbaur dengan aroma tanah yang menguar bersama rinai hujan.

"Eyang ?" lirih Rio.

Pemuda itu segera melompat dari dalam mobil, bahkan sebelum putaran rodanya benar-benar terhenti. Ify dan Shilla segera menyusul Rio dengan tubuh menegang, karena mendengar teriakan-teriakan seorang wanita tua terhadap Gladys. Segala umpatan dan kata-kata menyakitkan, meluncur deras menyaingi keracak air langit yang tercurah. Gladys terlihat pasrah, kedua tangannya mengelus dada yang naik-turun mengimbangi tangisan yang seumpama luapan air langit di musim penghujan, deras. Tapi sepertinya, wanita tua itu terlalu enggan untuk iba terhadap istri dari anak tunggalnya itu.

"Jaga dua anak saja tidak becus. Baru saya tinggal satu minggu saja Rio sudah sakit. Apa yang kamu lakukan kepadanya, heh ? Kamu pasti tidak memperhatikannya, iya ? Kamu pasti membeda-bedakan Rio dengan Alvin ? Memang dasar kamu penjilat, hanya ingin hidup enak saja di sini," umpat wanita tua, tadi.

Mendengar rentetan kalimat yang dilontarkan Eyangnya, Rio menaikkan alis matanya, sambil berlari kecil menghindari hujan, pemuda itu mendekati Eyangnya di selasar rumah, "Eyang!" panggil Rio.

"Eh, hi dear. Kemari cucuku sayang," wanita tua berdarah Belanda-Indonesia itu merentangkan kedua tangannya, seraya menghampiri cucu kesayangannya, "Lho, lho, tanganmu kenapa Yo ?" Eyang Putri memeluk dan mencium Pipi Rio. Pemuda itu sebenarnya risih juga, tapi memaklumi karena  ia adalah cucu tunggal di keluarga Haling.
Setelah menyelesaikan prosesi melepas rindu dengan cucunya, Eyang Putri berjalan dengan dagu terangkat, berbalik kearah Gladys yang masih menangis dalam pelukan Alvin.

"Kenapa masih disini? Kalian sudah saya usir kan tadi. Cepat pergi. Ambil pakaian kalian di dalam, jangan membawa apa yang bukan hak kalian. Dari awal saya memang sudah tidak setuju, anak saya menikahi wanita seperti kamu." tandas Eyang Putri dengan pongah.

"Rio," Shilla mendekat, memegangi satu lengan pemuda itu dengan kedua tangannya, "Jangan biarin Tante Gladys sama Alvin diusir, Yo. Eyang kamu salah faham. Kamu sakit kan karena hujan-hujanan sama aku, dan... dan tangan kamu.. itu kan di luar tanggung jawab Tante Gladys. Ayo bilang sesuatu sama Eyang kamu, Yo. Jangan biarin Tante Gladys pergi, aku mohon." pinta Shilla, sungguh-sungguh. Gadis itu hampir melelehkan cairan bening yang sering disebut senjata kaum hawa dari sudut matanya, menyaksikan Gladys yang tersedu di pundak Alvin. Sekarang ia tahu, apa yang mendasari kemarahan Alvin kepadanya tempo hari. Jadi inilah bencana yang dulu di maksud Alvin, Eyang Rio ternyata bisa begitu marah hanya karena cucunya terserang demam yang tidak seberapa, menyadari hal itu, Shilla semakin merasa bersalah.

"Ini bukan salah Mama, Eyang." tukas Alvin. Benar kan prediksinya tempo hari mengenai Mamanya yang harus membayar mahal demam yang diderita Rio. Alvin sudah hafal, bukan sekali dua kali, Eyang Putri marah-marah pada Mamanya hanya karena hal sepele.

"Siapa yang meminta pendapatmu, Alvin ?" sinis Eyang Putri.

"Alvin Benar." timpal Rio, "Tante Gladys nggak salah Eyang, jangan usir mereka. Tapi... Ada syaratnya..." Rio memicing mata, mengadu pandangan dengan sorot dingin dari kedua mata Alvin, "Alvin harus minta maaf sama Shilla!" perintah Rio.

Shilla melirik Rio, "Nggak perlu kok. Aku udah ma-"
  
"Dia harus minta maaf sama lo, Shil. Gara-gara Alvin lo kesasar seharian." kukuh Rio.

Alvin menghembuskan nafas berat, menghampiri Shilla lantas berujar, "Maafin gue Shilla, gue salah."

"Iya... Vin, aku udah maafin kamu kok." jawab Shilla, takut-takut. Jelas takut, tidak berbuat apa-apa saja Alvin sudah tidak menyukainya, lalu bagaimana nasibnya setelah ini ?

"Ok.e Cukup." ujar Rio dingin. Pemuda itu menarik lengan Shilla dan membimbingnya menjauh dari Alvin, "Ayo masuk, Shil." Rio lantas meletakkan kedua tangannya dipundak Shilla, mendorong gadis itu dengan perlahan. 

Eyang Putri, mengekori kedua remaja itu, setelah sebelumnya berkata, "Berterimakasihlah pada Rio. Karena berkat dia, kalian tidak jadi gembel malam ini." wanita yang terlihat awet muda itu berjalan anggun meninggalkan Alvin dan Mamanya.

***

Menjaring desau angin
sia-siakah ?
Tapi aku senang melakukannya
senang membumbungkan harap,
bahwa suatu ketika
desauan itu bisa ku genggam.
Ah, aku selalu bisa merasakan semilirmu
yang tak pernah kau tawarkan untukku

sreeett

suara ujung bolpoint yang bergesekkan dengan kertas, mengusik kekuasaan hening yang tengah bertahta sejak tadi di ruangan ini. Gadis pecinta bunga mawar, penghuni kamar bercat baby pink itu, menahan laju penanya. Menyudahi tumpahan-tumpahan tinta yang tercetak pada secarik kertas di depannya. Jari-jarinya lantas menelusur, menyunting barisan-barisan kalimat yang ia susun sejak satu jam yang lalu. Sampai di beberapa kalimat akhir yang berhasil ia bubuhkan, gadis itu mendesah keras, "Ini sih bukan puisi, tapi curhat colongan. Come on Ify, masa puisi kayak gini yang mau lo kasih ke editor Aruna, besok?" ia menggerutu, jengkel. Merutuki otaknya yang tiba-tiba saja kehilangan kemampuan untuk merangkai kata-kata, pada saat Ify benar-benar dikejar deadline.

Gadis dengan piama pink bercorak minnie mouse itu, perlahan beringsut dari duduknya. Matanya memandang nanar pada setumpuk kertas yang menggunduk di sudut ruangan dekat tempat sampah. Beberapa kali ia meremas kertas dan melakukan lemparan jarak jauh dengan fokus keranjang sampah, tapi berulang kali pula lemparan bola-bola kertas itu meleset.
Ia mengedarkan pandangan, meneliti setiap sudut kamar beserta pernak-pernik bernuansa putih dan pink yang mengisi ruangan itu, berharap satu diantara objek-objek yang tertangkap sepasang mata beningnya, mampu memberikan inspirasi untuknya. Ify selain aktif di OSIS, gadis manis itu juga merupakan salah satu author kebanggaan sekolah, puisi dan cerita-ceritanya sering kali dimuat di Aruna. Aruna adalah majalah sekolah yang dikelola oleh anak-anak dari ekstrakulikuler jurnal, yang secara rutin terbit setiap hari sabtu. Aruna merupakan salah satu ikon kebanggaan Veronna Senior High School, majalah sekolah itu telah beberapa kali memenangkan lomba-lomba membuat artikel, cerpen, puisi , essai taupun karya-karya tulis lainnya.

"Mana harus gue kasih ke Gabriel, besok pula. Ah, mau nulis apa coba gue, nggak ada ide." keluh Ify.

Setelah menghabiskan puluhan detik hanya dengan mondar-mandir mengitari kamarnya yang luas, seperti yang biasa dilakukan Ify kalau sudah merasa bosan, akhirnya Ify memutuskan melangkah menuju balkon. Dengan satu tangan, digesernya pintu kaca yang menjadi pembatas antara kamar dengan balkon. Seketika, angin malam dengan dinginnya yang khas langsung menyapa gadis berdagu runcing itu. Kontan, Ify memasukkan kedua tangan ke dalam saku piamanya. Ify tersenyum masam, ketika mendapati alpanya dua ikon malam yang fenomenal itu. Tak ada kedipan-kedipan nakal dari bintang-bintang kecil kesukaannya. Pun dengar berkas cahaya anggun sang dewi malam. Langit benar-benar kosong dan gelap. Yang ada hanya desau lirih angin malam yang mempermainkan rumpun tanaman bambu hias di halaman depan rumah Ify. Ify termenung, kembali teringat kejadian kemarin lalu yang meskipun susah payah Ify lupakan tapi terus menggelayuti pikirannya belakangan ini. Kejadian itu, saat Rio dengan lembut membangunkan Shilla yang tertidur di mobil. Mata indah gadis itu berkilat menyedìhkan. Apa masa itu benar-benar akan datang lagi? Haruskah digunakannya topeng itu lagi ?
Ify tak pernah tahu kalau ternyata cahaya mampu menyesatkan. Seperti cahaya milik Rio yang terus-menerus menyeretnya dalam dunia mimpi, hingga sulit bagi Ify untuk menyadarkan diri bahwa hidupnya adalah sebuah kenyataan. Ify merasakan ada yang diam-diam mengembang hening di matanya. Bergulir perlahan di pipinya. Dengan punggung lengan kanannya, gadis manis itu menyeka air mata, beberapa tetesan tidak lagi sempat tersentuh tangan. Terlanjur jatuh, mengadu diri dengan lantai, lalu terpecah menjadi partikel-partikel air yang lebih kecil dan meninggalkan jejak-jejak basah di sana.

"Kamu bodoh, Fy !! Kamu terlambat." ejek lantai dingin yang ia pijak.

"Apa gunanya menangis, sekarang?" kali ini tembok-tembok kaku itu, ikut berseru.

Serpihan angin kembali menerpa parasnya, terasa basah, karena membawa buliran air hujan. Sepertinya, mendung yang bergantung rapuh sejak tadi akan segera menebar hujan. Mendendangkan elegi bumi yang seolah tahu kesedihan yang di derita Ify. Kenapa rasanya jauh lebih sakit dari yang dulu ? Ingin sekali, Ify menarik Shilla agar menjauh setiap kali ia melihat gadis itu duduk-duduk berdua dengan Rio. Ingin sekali Ify mengingatkan gadis itu agar tidak mendekati Rio lagi, agar Shilla tidak membuat Rio tersenyum atau tertawa lagi, tapi apa haknya ?
Ify mendesah pasrah. Kalau memang ia harus mengalah, sekali lagi, itu bukan masalah. Bukankah menunggu dan mengalah telah jadi kawan karibnya selama ini ?
Gadis itu berjalan gontai ke dalam kamarnya. Ify merebahkan tubuh pada kasur empuknya. Tidak munafik, ada atau pun tidak ada hubungan antara Rio dan Shilla, Ify tetap merasa kecewa. Ia ingin marah. Tapi siapa yang pantas ia marahi ?
Shilla ?
Ah, bahkan gadis itu selalu berusaha bersikap ramah dan menyenangkan, selama duduk satu bangku dengan Ify.
Atau Rio ?
Tentu saja bukan. Dengan bodohnya, dulu Ify pernah menampik pertanyaan yang Rio ajukan. Rio pernah menanyakan bagaimana sebenarnya perasaan Ify terhadapnya ? Apa perhatian yang Ify berikan, karena gadis itu menyukai Rio ? Dan sambil terbahak, Ify malah berujar bahwa itu adalah pertanyaan paling bodoh yang pernah di dengarnya. Satu-satunya yang layak dimarahi pasti adalah Ify sendiri.
Dengan gamang, Ify meraih ponselnya. Ia merasa perlu berbagi, menceritakan semua unek-unek yang ada dalam hatinya. Ia butuh teman untuk berkeluh kesah dan otaknya langsung mencetuskan satu nama. Sejurus kemudian, gadis itu mulai sibuk dengan ponsel di tangan kanannya, menekan beberapa tombol lalu mendekatkannya ke telelinga.

"Vin gue mau cerita....."

***

Rio mengulurkan satu tangannya, sedang yang lain menenteng sebuah bungkusan berbalut kertas coklat. Belum sempat lengan kokoh pemuda itu mendarat pada knop pintu jati dengan pahatan nama Edelweiss Room, ia kembali menariknya. Setelah berfikir sebentar, tangan Pemuda itu kembali terulur, tapi kemudian dengan cepat ditariknya lagi. Begitulah yang terjadi sejak beberapa menit lalu. Rio hanya berdiri dengan bimbang di depan pintu kamar Alvin.

"Ayolah Rio. Lo mau sampai kapan berdiri disini ?" katanya, pada diri sendiri.
Rio meyakinkah dirinya, ia tidak mungkin mengulur waktu lagi. Itu sama saja dengan merentangkan jarak antara ia dengan penghuni kamar di hadapannya. Dengan mantap, di putarnya knop pintu, selembar papan dari jati itupun berdecit terbuka, didapati Alvin tengah berkutat dengan buku-buku tebalnya di meja belajar. Pemuda sipit itu hanya menoleh sebentar, lalu membuang muka saat tahu Riolah yang datang mengunjunginya.
Rio menyeret kakinya yang tiba-tiba saja enggan bergerak, sebelumnya ia tidak pernah merasa secanggung ini setiap memasuki kamar Alvin. Untuk beberapa saat, dua pemuda tampan itu terdiam. Akhirnya, suara baritone Rio lah yang memecah hening.

"Vin," sapanya kikuk, "Lo masih marah sama gue gara-gara kejadian Shilla itu ?"

Alvin bergeming. Tidak ada komentar apapun yang keluar dari bibirnya.

"Gue... Gue minta maaf, Vin. Gue nggak bisa, diem-dieman terus sama lo, kayak gini. Udah tiga hari lo nggak ngajak gue ngomong. Jangan lama-lama dong ngambeknya, kayak anak cewek aja sih lo." ujar Rio setengah memohon, setengah mencibir.

Alvin tetap tak merespon. Seolah-olah Rio ini adalah makhluk kasat mata dan ocehannya bak desau angin lalu.

"Vin!" panggil Rio.

Lawan bicaranya tetap bisu.

"Alvin!!"

"Hm ?"

"Ck," Rio berdecak kesal, "Gue minta maaf, Vin. Gue tahu, gue keterlaluan. Gue cuma nggak mau, kejadian kayak gini keulang lagi sama Shilla, Ify ataupun cewek-cewek lain yang nebeng lo. Gimana pun, lo nggak seharusnya turunin cewek di tengah jalan. Itu nggak jantan, Vin." ujar Rio, diplomatis.

Alvin tak kuasa untuk menahan ujung-ujung bibirnya agar tidak tertarik ke atas mendengar penuturan Rio, "Terus kalau nggak jantan, gue apa dong ? Betina ? Udah kayak ayam aja." ceplos pemuda berwajah oriental itu, dengan nada yang sepertinya mengumandangkan perdamaian.

"Hehehe," Rio terkekeh lebar, "Gue juga mau minta maaf Vin, udah bilang klub fotografi lo nggak penting, waktu itu. Kita damai kan ?" Rio menaik-naikkan kedua alis matanya.

Alvin hanya memandang datar ulah saudara tirinya itu, lalu melongos tanpa berkomentar.

"Elo masih belum mau maafin gue ?"

Alvin lagi-lagi bertahan dalam diam. Membuat Rio merutuk kesal dalam hati.

"Elah lo samaannya aja ni sama Gabriel mau sok jadi pangeran es?"

Pemuda penghuni Edelweiss Rom itu menatap Rio dengan gusar, sepertinya kehadiran Rio benar-benar telah mengganggunya, "Apa kita harus tautin kelingking dulu kayak anak TK, supaya lo berhenti ngerecokin gue ?"

"Sorry deh kalau gue ganggu. Ya udah, gue bakal keluar, ni buat lo." Rio meletakkan bungkusan coklat yang tadi dibawanya, di atas meja belajar Alvin.

"Apa ni ?"

"Sogokan, supaya lo nggak jutek lagi sama Shilla."

Rio tersenyum kalem. Sementara Alvin sibuk menerka-nerka isi dari bungkusan yang ada di hadapannya. Dan seperti bisa membaca fikiran Alvin, Pemuda yang sedang bersandar di meja belajar Alvin dengan kedua tangan terlipat di dada itu, berujar, "Itu isinya SLR. Kata Ify, lo pingin beli SLR buat lomba fotografi. Itu sebenarnya hadiah dari koleganya Papa buat ulang tahun gue tahun lalu, tapi gue nggak tertarik sama potret-memotret. Jadi buat lo aja, itu belum pernah gue pakai kok. Jadi bukan bekas."

"Enggak deh Yo. Simpan aja, gue udah nabung kok, dan minggu ini Mama janji mau temenin gue beli SLR."

"Ngapain beli sih Vin, kalau udah ada. Pakai ajalah Vin, dari pada cuma jadi penghuni lemari gue, kan sayang. Tabungannya kan bisa di pake keperluan yang lain." saran Rio, "Dan lo tau kan, gue paling nggak suka penolakan." tegas Tuan Muda itu.

"Gaya lo udah kayak boss besar aja Yo." cibir Alvin, "Ok deh gue terima, thanks ya."

Rio mengangguk dua kali.

"Eh, iya Yo, gue mau ingetin lo sesuatu. Emm, mending lo jaga jarak deh sama Gabriel, tu orang kayaknya punya dendam pribadi sama lo." kata Alvin, serius.

Rio mengerutkan kening, "Masa sih ? Kayaknya gue nggak ada masalah deh sama dia. Lo berlebihan, kalau soal kejadian di Lab tempo hari, itu murni kecelakaan kok." kilah Rio.

"Tapi Yo, gue-"

"Udah lah Vin, nggak usah parno. Gue nggak ada masalah sama Gabriel kok," setelah berujar demikian, pemuda tampan itu lantas berjalan dengan santai kearah pintu kamar Alvin, sebelum benar-benar meninggalkan ruangan itu, Rio berkata, "Oh, Iya. Gue juga mau ingetin lo, karena sogokannya udah lo terima. Berarti lo harus baik-baik sama Shilla mulai sekarang.”

Sejurus kemudian, terdengar bunyi ceklik dan tap-tap-tap yang menyamar, menandakan Rio sudah beranjak jauh dari kamar Alvin.

Perlahan, pemuda itu menggeser buku-buku dan alat tulis yang berserakan memenuhi permukaan meja kecoklatan di depannya. Lantas, diraihnya satu pigura yang mengukung selembar masa lalu yang terabadikan dalam sebuah foto. Seperti orang yang kehilangan akal sehatnya, Alvin berbicara dengan benda mati yang menghuni genggaman tangannya itu, "Shilla. Dia mirip kamu Aya."

***

Rio mematung di depan pintu yang sedikit terbuka, dengan kedua lengan yang tersembunyi di balik punggungnya.

"Lo mau kemana, Shil ?" tanya Pemuda itu, ketika melihat Shilla yang menyambar pakaian-pakaiannya dari dalam lemari dengan kasar, lalu melemparkannya ke dalam tas hitam besar diatas kasur. Gadis cantik itu tak begitu menggubris pertanyaan Rio, "Lo kok cemberut gitu sih, Shil ? Ada apa ?" tanya Rio lagi.

Shilla masih membisu.

"Shil, kenapa ? Gue bikin lo marah ya, gue bikin salah ?" dakwa Rio pada dirinya sendiri.

Shilla menghentikan aktivitasnya. Ternyata ia memang tidak benar-benar bisa mengabaikan kehadiran Rio. Dengan senyum masam, gadis itu berseru, "Aku harus pulang ke kampung Yo."


***