Kamis, 05 Mei 2011

Malaikat Hidup Gue ( Last Part )

***

"Jadi apa yang dibilang Debo itu benar ? Dia gak bohong, Yo ?" tanya Ify memastikan.

Lagi-lagi Rio mengangguk pasrah, membuat gadis manis didepannya menggigit bibir untuk menahan tangis.

"Trus kenapa lo malah ujan-ujanan sekarang ? Nanti lo sakit." Ify melepas jaket yang sebelumnya Rio sampirkan di pundaknya. Penyodorkan jaket itu, pada sang pemilik, "Ayo pakai !! Lo lebih butuh dari gue." suruh Ify.

Rio terdiam. Tidak bergerak, tidak juga bicara apa-apa. Hanya hembusan nafas panjang yang terdengar dari pemuda itu.

"Sebenarnya....." Rio menggantung kalimatnya, tanpa Ify sadari pemuda itu tengah menarik nafas dalam-dalam, mengambil ancang-ancang untuk segera kabur nantinya, "Makanyaya Fy, lo tu harus rajin belajar bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Jangan bahasa sunda mulu, lo bangga-banggain. Debo kan bilang gue 'pernah' sakit kanker. PERNAH Fy, per-nah. Tapi sekarang gue udah sembuuuh kaleee. Gue masuk RS kemaren karena sakit maag doang. Dodol sih lo, mau aja di bego-begoin si Debo. Bhahaha." Rio tertawa puas, dan lagi-lagi menjulingkan matanya, lalu berlari sekuat tenaga menjauh dari Ify yang sepertinya sudah siap meledak.

"Dasoooorr, Rio kunyuk. Rese lo, jelek, item, pesek, tau gitu males banget gue bela-belain ke Manado. Gue kira hidup lo gak lama lagi, siniii Looo. Jangan kabur, awas kalau kena, abis lo, sama gue." ancam Ify, galak.

"Gak takuut, gak takuut.. Wlek !!"

keduanya terus berlari, saling mengejar. Tanpa sadar, mereka meninggalkan semua hal pahit dan bayang-bayang masa lalu, jauh dibelakang. Membiarkan semua jadi kenangan, menguncinya rapat-rapat, agar tidak lagi mengusik hari esok yang tengah mereka songsong. Rio dan Ify, keduanya siap melangkah bersama, menjalani hari-hari indah yang tengah menunggu mereka, didepan sana.

***

"Yang lalu biarlah berlalu."

terdengar sederhana dan mudah. Tapi ternyata tidak untukku. Butuh lebih dari sekedar tangan takdir untuk membuat yang lalu benar-benar berlalu dari kehidupanku. Butuh keberanian yang cukup untuk mengusir Si-Masa-Lalu itu, agar pergi. tapi ternyata aku tidak seberani itu, sampai-sampai Tuhan harus mengirimkan malaikatnya untuk membantuku. Mengentasku dari belenggu masa lalu. Alyssa Saufika Umari. Entah kekuatan magic apa yang tersimpan dibalik senyumnya, dibalik renyah tawanya, binar cerianya, hingga aku percayakan hari-hariku untuk ia warnai. Aku percayakan hatiku untuk ia genggam, aku percayakan fikiranku untuk ia rasuki dengan pesonanya. Aku percaya Ify, dia masa depanku. Malaikat dalam hidupku.

-Mario Stevano Aditya Haling-

***

seperti yang pernah ia bilang, aku malaikat penolongnya. Maka aku izinkan diri ini untuk jadi orang yang pertama mengulurkan tangan saat ia terjatuh.
Seperti yang ia katakan, aku mataharinya. Maka aku akan dengan senang hati memcurahkan seluruh sinarku, untuk menerangi harinya.
Biar. Biar hanya aku saja yang ada untuknya. Biar hanya aku yang ia butuhkan. Biar hanya aku saja yang memahaminya. Jangan ada orang lain. Karena dengan begitu, dia... Mario Stevano Aditya, tidak akan pernah lagi sanggup jauh dari aku, selayaknya aku yang tak akan mungkin bisa tanpa dia.

-Alyssa Saufika Umari-

***

Singapore, tanggal 30 Maret 2011. Pukul 16.00 waktu setempat.
Seorang pemuda, masih dengan sweater hijau tosca yang menempel erat ditubuhnya, menyeruak masuk dengan wajah bingung. Ia menilik setiap sudut kamar rawat saudara laki-lakinya itu dengan seksama. Tidak banyak yang berubah sejak ia tinggalkan untuk mencari makanan ringan 30 menit yang lalu. Gadis berlesung pipit itu, masih betah menggenggam tangan saudaranya yang kini duduk tegang diatas ranjangnya. Segala macam alat medis dikamar ini juga, tidak bergeser barang seinci pun dari tempatnya tadi. Tapi suasana kamar ini, kenapa berubah ? Ada apa ?

Pemuda tadi, menumpukan pandangannya pada lelaki dan wanita paruh baya yang kini duduk tidak nyaman di sofa biru laut yang ada dikamar V.V.I.P ini. Papa dan mamanya. Seolah, pemuda ini adalah alien yang baru ditemui, kedua orang itu menatap canggung kearahnya.

Masih belum bergerak dari ambang pintu, pemuda
itu melempar tanya, "Ada apa sih ? Kok kayaknya ada yang aneh ya ?"

sepertinya tak ada satu orang pun yang berniat menjawabnya. Pemuda tadi tidak mendengar suara sekecil apapun dari siapapun yang ada dalam kamar ini. Hening. Ia mendesah keras. Diletakkan kantong kresek hitam yang semula ia jinjing. Setelah melepas sweaternya, dan meneguk setengah botol air mineral, ia lantas memilih duduk berhadapan dengan kedua orang tuanya.

"Ada apa ?" ulangnya bertanya. Dua orang didepannya malah saling melempar pandangan, "Jadi gak ada yang mau cerita ? OK. Fine. Gak masalah." tandasnya, sedikit jengkel.

"Lo dapet donor, Yel." sambar Alvin masih dari atas ranjangnya.

"Donor ? Lo bercandanya gini banget sih Vin." Iel memutar kepalanya menghadap Alvin. Walau bagi saudara laki-lakinya itu, kemanapun Iel melihat saat bicara dengannya, sudah tak penting lagi.

"Alvin gak bercanda, Yel. Tadi dokter Fadli kemari. Beliau bilang telah menemukan donor yang cocok untukmu. Ya, walaupun pendonornya bukan dari keluarga kandungmu, yang penting cocok, dan bisa dilakukan pendonoran. Dokter Fadli bilang, meskipun operasi transplantasi ini sudah cukup terlambat, tapi tetap layak untuk dicoba. Tapi..." papa menggantung penjelasannya, membiarkan Iel menampakkan ekspresi bingung yang kian menjadi.

"Tapi.....ekhm." lagi-lagi lelaki itu menunda menuntaskan kalimatnya. Terlihat, ia benar-benar tidak nyaman, menyampaikan kabar itu, "emmh... Alvin dan Sivia tidak jadi mendapat donor. Keluarga korban kecelakaan yang semalam, tidak setuju, kalau mata dan ginjal putri mereka ditransplantasi. Kami sudah menawarkan sejumlah uang sebagai ucapan t'rimakasih, tapi mereka malah mengancam akan melaporkan kami dan pihak rumah sakit kalau sampai melakukan mengambilan organ-organ tubuh putrinya untuk didonorkan."

"Lho kok gitu sih ? Harusnya mereka senang dong, putrinya masih bisa memberikan manfaat untuk kehidupan orang lain, bahkan setelah ia tiada. Toh putrinya gak memerlukan semua itu lagi kan." protes Iel.

"Pemikiran orang berbeda-beda, Nak. Mama juga sangat menyayangkan keputusan keluarga gadis itu." tutur mama, sambil menyandarkan kepalanya pada bahu bidang papa dan menangis disana, "Kasihan Alvin." imbuhnya, kecewa.

"Mama udah dong, Alvin gak pa-pa kok. Alvin malah sedih kalau mama kecewa kayak gitu." ujar Alvin, menenangkan.

"Maafin mama ya Yel. Bu...bukan berarti mama gak senang dengar kamu akhirnya mendapatkan pendonor. Hanya saja.....mama benar-benar ingin kedua pangeran mama bisa sama-sama sembuh." tutur Mama masih dengan sisa-sisa tangisnya.

"Gak pa-pa kok Ma, Iel ngerti. Emm, kalau boleh tau, apa dokter Fadli bilang, siapa pendonor buat Iel ?"

"Dokter Fadli gak menyinggung soal pendonor. Beliau cuma bilang, mulai besok kamu harus rawat inap dirumah sakit Yel. Dokter Fadli akan terus memantau kondisimu sebelum operasi. Operasinya sendiri bisa dilangsungkan secepatnya. 5 atau 7 hari kedepan, tergantung kondisi kamu dan pendonor. Kamu bisa langsung menemui Dokter Fadli untuk lebih jelasnya." ujar Papa.

Iel hanya menanggapi dengan satu anggukan singkat lalu berdiri menghampiri Alvin dan Sivia.
Pemuda manis itu, menepuk pundak Alvin beberapa kali. Lantas berujar, "Lo pasti sembuh Vin. Pasti."

Alvin hanya tersenyum simpul. Tidak munafik, ia sedikit kecewa. Kenapa justru Iel lah yang lebih dulu mendapatkan pendonor ?? Bukankah mereka ke Singapore, justru untuk kesembuhan Alvin ?

"Kamu juga Vi, kita semua pasti sembuh." tambah Iel, setelah melayangkan pandangannya dan mendapati siluet cantik Sivia yang tertegun dengan tatapan menerawang.

"Eh, emm, iya Yel." balas Sivia sekenanya. Karena sejatinya, Sivia sama sekali tidak yakin.

Kini giliran Iel yang tercenung. Masih belum yakin dengan apa yang ia dengar. Ia akan sembuh ? Benarkah ?

Setelah belasan tahun, bertahan tanpa pengharapan untuk sembuh. Setelah belasan tahun berjuang dengan hanya berbekal senyum peri kecilnya. Setelah belasan tahun ia ditemani rasa sakit yang menderanya tanpa jeda. Akhirnya ia akan sembuh ?


Ah, rasanya seperti mimpi saja. Atau Tuhan memang sedang mengizinkannya bermimpi dalam dunia nyata. Menghembuskan angin surga, sebelum akhirnya semua harus berakhir.
Bertepi. Berujung.

***

"Apa kamu yakin Gabriel ?" tanya dokter Fadli, serius. Pria itu tampak sedikit geram menyaksikan pasiennya yang terus terbahak. Padahal yang dibicarakan bukan masalah sepele, seperti betapa datarnya hidung sule atau betapa mempesonanya lesung pipit briptu Norna. Perkara ini lebih dari hal-hal nyeleneh macam itu. Ini masalah penting.

Masih dengan sisa-sisa tawanya, Iel menjawab asal, "Dokter sudah bertanya seperti itu 6 kali semenjak saya duduk disini." Iel lagi-lagi menyeringai.

"Saya rasa surat pernyataan ini sangat tidak perlu. Toh kamu akan sembuh." tukas dokter Fadli.

"Surat ini hanya akan jadi hitam diatas putih kalau operasi itu berhasil. Sedangkan kalau Tuhan berkehendak lain....." Iel memaikan bolpoint hitam di tangannya sambil melempar pandangan nakal yang membuat dokter Fadli semakin jengkel, "Tidak ada hal yang lebih membahagiakan untuk setiap orang, selain saat telah matipun ia masih bisa memberikan manfaat untuk orang lain. Bukan begitu pak dokter ?"

"Fuihh," dokter Fadli membuang nafas dengan kasar, "Entahlah Gabriel, tapi surat ini terkesan seperti wasiat terakhir kamu."

"Ooootidakbisa...seperti yang saya bilang dok. Saya belum mau mati, selama saya masih bisa melihat senyum di wajah cantik Sivia Azizah. Hehe."

"Yayaya. Baiklah, kalau begitu."

"Jadi udah boleh ditanda tanganin nih, dok."

dokter Fadli hanya menimpali dengan anggukan kepala. Seumur hidup pria ini, ia tidak akan pernah melupakan hari ini, 1 April 2011. Ia disadarkan tentang ketulusan oleh seorang anak berusia 17 tahun dalam menjalani titian hidupnya. Tidak ada yang menjanjikan piala, medali atau sekedar satu lembar piagam untuknya, tapi anak muda ini mampu berkorban habis-habisan seolah-olah pengorbanannya kelak akan diganjar kebahagian yang tak ternilai.

Setelah selesai membubuhkan tanda tangannya pada secarik kertas dihadapannya, Iel menyodorkan kertas itu pada dokter Fadli. Dokter Fadli menerimanya, lantas segera
memasukkan surat itu dalam laci meja kerjanya.

"Saya harap, saya tidak perlu mengeluarkan kertas ini lagi. Apalagi harus menyodorkannya kehadapan orang tuamu. Saya yakin, tidak akan perna sanggup melakukannya." tutur dokter Fadli, benar-benar terlihat enggan.

Gabriel hanya menanggapinya dengan senyum simpul.

***

Awal april. Matahari seperti telah menemukan kembali kekuatannya untuk membakar bumi setelah beberapa bulan terakhir mengalah dari hujan. Udara menjadi sangat panas, bahkan setelah malam menjelang. Panasnya tak kunjung lekang.
Dan masih beruntung, orang-orang yang mampu menggerakan tangan mereka untuk sekedar mengibas-ngibaskannya disekitar wajah. Pun dengan mereka yang masih bisa mengayunkan kaki, masih sanggup berjalan mencari dimana kiranya angin berpusar. Lantas bagaimana dengan ia ? Pemuda itu ? Apa ia juga merakan panas dan gerah ?
Lalu bagaimana ia mengusir panas dan gerah itu, sedangkan seluruh tubuhnya kaku, tak bergerak.

Bukan. Bukan karena kabel warna-warni serta alat-alat medis yang menempel pada tubuhnya yang membuat pemuda itu seolah membatu.
Hanya saja, mungkin ia terlalu enggan. Sudah cukup lama ia bertahan. Ia sudah ingin mererah. Lantas lemahkan ia ?
Tentu tidak. Akan ada saatnya untuk berhenti bukan, mungkin saja ini waktunya ia berhenti.

Dengan nyeri yang kian hebat menyiksa tubuh ringkihnya, pemuda itu terlihat mencoba memisahkan anyaman bulu matanya yang terjalin rapat. Sorot nanar itu, lantas muncul.

"Sayaang ?" isak pilu seorang ibu, yang tanpa jeda melafadz doa, tanpa kantuk tetap terjaga demi putra kebanggaanya, yang sudah sekian hari tertidur panjang.

Mata anak laki-laki itu berbinar pedih. "Aku mohon jangan menangis. Aku sedang berjuang. Aku mau sembuh. Jangan menangis." pintanya dalam hati. Ya, hanya hatinya yang sibuk berkoar sejak tadi, karena saat ini, suara seakan jadi sesuatu yang tabu untuknya.

Hati ibu mana yang tidak mencelos, yang tidak terluka, mendapati putra yang bisa begitu semangat dan menyenangkan, kini terkolek tak berdaya dan terlihat begitu rapuh.
"Kamu gak akan ninggalin mama kan sayang ? Jangan ya Nak, mama gak mau kamu pergi. Kamu harus sembuh ya, demi mama, demi papa, demi Alvin, demi sahabat-sahabat kamu. Mereka pasti nungguin kamu pulang lagi ke Bandung. Papa sudah atur semuanya, besok kita berangkat ke London, kamu akan diobati disana." suara itu bergetar, terdengar begitu tulus dan menenangkan. Jemarinya, mengelus lembut, puncak kepala putranya.

Pemuda itu tidak merespon apa-apa, hanya satu bulir air mata yang luruh, kemudian menyusuri pelipis kirinya. Sang mama dengan sigap segera menyeka buliran bening itu. Ini pertama kali ia mendapati putranya itu menangis. Sebegitu sakit kah yang dirasakan ?

"Sakit Nak ? Apanya yang sakit ? Sabar ya, ada mama disini. Kita lawan sakitnya sama-sama ya." tutur lembut wanita tadi, tangannya kini mendekap erat jemari kokoh, milik putranya, Gabriel.

"Tuhan pindahkan sakit yang dirasakan putraku, kepadaku. Biar aku yang menanggungnya, izinkan ia sembuh. Biar aku yang menggantikannya." doa wanita tadi, ikhlas.

"Oya, biar gak terasa sakitnya. Mama cerita aja ya sayang.....ma...mama...hiks." seorang wanita tetaplah wanita, butuh benteng yang lebih kokoh dari sekedar lapisan baja atau besi untuk bisa membendung pasukan air matanya agar tidak tercurah saat ia sedih, "Kamu tau ? Dulu waktu kamu kecil, kamu seneng banget main bola sama Alvin. Kamu juga seneng main hujan. Trus waktu dulu kita sekeluarga liburan ke Paris, Iel kecil dulu pernah janji lho sama mama, suatu saat bakal bikinin mama menara yang gak kalah cantik dari eiffel. Iel harus sembuh ya... Mama mau liat kamu sama Alvin lulus-lulusan. Mau foto bareng, waktu nanti kalian di wisuda..."

Gabriel berulang kali terlihat ingin bersuara, "Ma..ma.. Maka..sih.. Bu..buat se..mua."

tut-tut-tut

layar monitor disamping tempat tidur Iel, yang memperlihatkan garis-garis serupa grafik terus mengalami penurunan.

Waktu terus menggulirkan detik yang tak akan pernah kembali. Masa terus terajut sempurna, bentangan jarak siap terurai. Adakah yang menyadarinya ?
Ada penghabisan pada setiap kata. Ada ujung untuk setiap jalan.

Mama masih terus bercerita dengan tawa-tawa kecil yang jelas di paksaan. Sedangkan pemuda dihadapannya justru semakin gelisah. Merasakan nafasnya yang makin tersengal, padahal alat bantu pernafasan telah dipasang. Jantungnya seperti semakin malas berdenyut. Disela perang melawan rasa sakit dan takut yang memeluknya, pemuda itu berusaha menyentuh wajah Mama tercintanya.
Wanita yang sudah ia anggap, Ibu kandungnya. Yang merawatnya, sekian belas tahun, dengan kasih sayang yang berlimpah meski Iel tidak lahir dari rahimnya.

Jemari pemuda itu, menelusuri paras ibunya yang dibanjiri air mata.

Perpisahan itu kian dekat, tidak mau diajak bernego. Hanya memberinya sedikit kesempatan untuk tersenyum. Hanya seulas senyum.
Senyum terakhir seorang Gabriel yang hanya akan terpatri dalam ingatan Mamanya. Karena, kenyataannya tidak ada orang lain, selain wanita itu, yang melepas kepergiannya. Tidak sahabat-sahabatnya, tidak Alvin, tidak Papanya, tidak juga Sivia, gadis yang telah membawanya bertahan sampai sejauh ini.

Tanggal 8 april. Tepat pukul 9 malam, waktu Singapore. Mulai hari ini dan seterusnya. Seorang Gabriel hanya akan hidup dalam kenangan dan ingatan, orang-orang yang menyayanginya.

***

malam dengan bulan yang membulat sempurna. Cerah. Angin daerah puncak yang biasanya membuat orang enggan beraktifitas malam hari, entah mengapa malam ini berhembus, sangat bersahabat. Pelan, semilir. Sinar putih dari kerlipan bintang, jatuh tepat, terpantul pada sepasang bola mata milik para penghuni taman belakang ini. Membuat benda-benda bening itu berkilat cemerlang.
Derik jangkrik dan kawanannya, berbaur dengan radio tape yang kini tengah melantunkan salah satu lagu hits dari band lokal.

Benar-benar malam yang sempurna.

"Ray !! Itu jagungnya dibakar dong, bukan dipukul-pukulin ke meja begitu. Lo obsesi jadi drummer atau emang gak ngotak sih ?" koar Oik yang ditimpali cengiran tanpa dosa oleh Ray.

"Ozyyy... Ampun deh lo. Kulitnya dikupas dulu dong. Dodol banget sih, kok langsung diolesin bumbu gitu sih ?" protes Gita.

"Biar cepet Git, ntar juga nyerep bumbunya."

"Lo juga ngipasinnya jangan pake tenaga kuli gitu dong, udah sono-sono deh lo, pergi yang jauh, biar gue aja yang kerjain." usir Gita. Yang diusir malah cengengesan gak jelas.

"Dedeepp, aduh lo kalo mau spam iler jangan di pundak gue juga kali yaaa... Ah, jijay banget." keluh Debo pada Deva yang bersandar dibahunya.

"Sewot banget sih, PMS ya lo ?" gerutu Deva.

"Lo tu PMS, Pemuda Mata Super." timpal Debo.

"Achaaaa, lo ngambil kecap apa nge-blow rambuut lama banget... ??" teriak Oik.

"Devaaa, hp Keke lowbat, chargernya manaaaa ?"

"Ozyyy, sticker hadiah dari chiki gue tadi mana, lo colong yaaa ?" koar Ray, menuduh.

Malam ini hangat. Teriakan-teriakan tanpa beban itu pun membahana, menyatu dengan desau angin, menyentuh lereng-lereng bukit, mengusik dedaunan, merambati semak, lantas terarsip rapi dalam memori masing-masing. Yang akan jadi kenangan paling berharga saat mereka harus bertemu dengan perpisahan, kelak. Yang akan jadi pemanggil tangis saat bentangan ruang dan waktu melahirkan serpihan rindu. Yang akan jadi pengundang tawa, saat kotak-kotak cerita kembali dikuar ketika nanti bersua lagi.

"Aduh, please deh. Virus tarzannya si Ipot udah nyebar ya ke elo semua ? Ngapain sih, rusuh banget teriak-teriak ?" gerutu Agni, yang baru keluar membawa sebuah botol, "Berhubung yang punya hajat ngilang gitu aja, mendingan kita..."

"Bakar-bakarannya gak jadi sekarang ? Nunggu Rio dulu, gitu ? Ah, awas aja tu anak. Nyampe kemari, yang ada dia yang gue bakar." sela Deva, kesal.

Agni yang merasa tidak enak hati dan fikiran karena perkataannya dipotong Deva, ia memutar bola matanya, "Mending kita ma..."

"Gak tau apa gue udah laper. Tu anak dua, emang bener-benar ngesel..."

"Gak usah motong omongan gue bisa kali ya, Dev..." sambar Agni jengkel, "Mending kita main ini aja dulu." Agni memamerkan botol yang sejak tadi menghuni genggamannya, "Jadi mainnya gini. Ntar botolnya diputer, kita duduk melingkar. Nah, nanti mulut botolnya berhenti disiapa ? Berarti orang itu harus mau nurutin perintah salah satu dari kita. OK ?!!" Agni menjelaskan, dengan riang gembira.

Teman-teman yang lain, segera duduk melingkar dengan antusiasme tingkat tinggi. Beharap ini adalah waktu yang tepat dari Tuhan Yang Maha Esa untuk membalaskan dendam kesumat yang terpendam demikian lama.

"Mulai ya... Gue yang puter." Ujar Agni. Lalu memutar botol bekas sirup yang diletakkan di tengah-tengah lingkaran. Botol pun berputar teratur.

"Ozy kenaaa..." Seru semuanya kompak, saat mulut botol berhenti tepat menghadap Ozy.

"Pilih jujur atau nekat ?" tawar Agni.

"Jujur aja deh." jawab Ozy pasrah.

"Pilih mana charlie ST12 apa Briptu Norman, hayoo ?!" Debo yang mengajukan pertanyaan.

"Pilihan yang sulit." Ozy sok berpikir serius, seolah-olah tengah memikirkan bagaimana caranya memusnahkan NII dari muka bumi ibu pertiwi.

"Yang sesuih hati aja Zy..." usul Oik.

"Masalahnya gue udah gak punya hati, Ik. Kan udah gue kasih semuanya ke Acha..." tutur Ozy, tersipu-sipu.

"Hoeeks" koor yang lain.

"Udah cepet jawab aja sih, lama deh lo. Daripada lo, gue suruh ngaku waktu kecil pernah didandanin kayak cewek sama nyokap lo, kan bakal lebih malu." cerocos Ray, polos.

"Muhammad Raynald Prasetya, trimakasih telah membongkar aib gue didepan umum," Ozy tersenyum dongkol, "Ya udah deh gue pilih Briptu Norman aja. Callae chaiya chaiya chaiya, callae chaiya chaiya chaiya..." Ozy menyenggol-nyenggol lengan Acha, mirip gerakan yang ia tonton dari salah satu station TV swasta beberapa hari lalu, yang diperagakan oleh idola barunya, Briptu Norman.

"OK. Lanjut ya. Sekarang keke yang puter." ujar Keke.

Untuk kedua kalinya botol berputar ditengah lingkaran anak-anak.

"Gitaaa kenaaa." koor mereka kompak.

"Cium Ray." perintah Agni, spontan.

"Weist. Agni frontal." gerutu Oik.

"Daripada gue cium tu bocah gondrong, mending cium kambing." tolak Gita, sambil terkekeh.

"Lha emang apa bedanya, Ray sama kambing ?" celetuk Deva.

"Udah, udah gak usah ribut. Mending gue aja yang wakilin cium si Ray. cini Ray cuyuuung." Kelakar Debo, dengan wajah sok imut menggelikan.

"Idih apaan sih lo De, ogah. Sono jauh-jauh lo. Hush. Hush. Hush." usir Ray, yang menatap Debo dengan hasrat mual yang membuncah.

"Kalau Ray gak mau, gue juga gak pa-pa De. Gue udah gelap mata nih, gara-gara kelaperan." ujar Deva, asal.

"No. Thanks." balas Debo, cool.

"Dasar, manusia-manusia labil." cibir Agni.

"Eh, ngomong-ngomong, Rio-Ify sama Riko-Shilla mana ya ? Kok gak muncul-muncul ?" tanya Acha heran.

"Palingan lagi pada mojok dibawah pohon Asem. Gak tau aja mereka, sekarang lagi ada wabah ulet bulu. Gatel-gatel nyaho deh tu." timpal Ozy.

"Wooo, lo mah doanya jelek mulu sih Zy. Gak ada amalnya banget jadi orang." Dumel Shilla yang baru muncul, diiringi Riko. Gadis cantik itu melempar senyum pada semua temannya, lalu duduk bergabung bersama mereka.

"Tinggal the best couplenya CB ya yang belum kumpul." tanya Riko.

"Tuuh. Mereka." Agni mengarahkan dagunya ke depan. Dalam remang malam, siluet milik Rio dan Ify mulai terlihat, berjalan kearah mereka.

"Sekarang kayaknya cowok-cowok hitam manis-manis gimana gitu, lagi booming ya. Riko dapet Shilla, most wanted girlnya CB gitu lho. Si Rio dikejar-kejar cewek, sampe disusulin ke Manado pula." bisik Deva pada Ozy yang duduk tepat disampingnya.

"Iye, cowok-cowok yang matanya belo kayak lo mah udah gak diminati." celetuk Ozy yang membuatnya dihadiahi jitakan oleh Deva.

"Apalagi model si Ray. Udah jadoel sekali. Gondrong. Kayak jamannya Ahmad Dani-Maya Estianti aja." ledek Deva pada Ray yang duduk besila disisi Oik, tak jauh dari Deva.

"Wooo, ngatain gue lagi lo. Biarpun gue jadoel, liat dong, disamping gue, gue berhasil menaklukan hati seorang gadis cantik." kata Ray, mulai genit.

"Tu kan betulan jadoel. Gombalannya aja ala-ala Soekarno-Fatmawati." tambah Deva.

"Pokoknya ya Yo, gue maunya anak pertama cewek dulu. Biar bisa bantuin mamanya ngurus rumah." lamat-lamat suara cempreng Ify terdengar tengah mengobrol dengan Rio yang digandengnya.

"Mendingan cowok dulu dong Fy, biar bisa jagain adik-adiknya." balas Rio.

"Idih, ogah Ah, anak cowok kan seringnya bandel. Sukanya main mulu, ntar item lagi kayak lo."

"Tadi idung, sekarang kulit. Mau lo apa sih Fy ?" sewot Rio.

"Hehe peace !! Rio kalau ngambek makin cakep deh." goda Ify cengengesan, "Ya udah biar adil anak pertama kita kembar cewek-cowok aja ya. Gimana ?"

"Kita ? Ish, yakin bener, gue mau married sama lo ?"

"Ya yakinlah. Emang siapa lagi yang mau sama cowok cengeng kayak lo. Kabur-kaburan pula. Gak bertanggung jawab."

"Eh, ralat ya. Gue tu gak cengeng. Gue dulu tu terlalu sedih karena rasa sayang dan kesetian seorang Mario itu benar-benar besar, plus karena gue ganteng dan romantis."

"gak nyambung lo."

"Woy !! Ini pengantin baru, udah ribut aja ngomongin anak. Kita tuh nungguin kalian tau gak ? Malah asik ngobrol ngaler-ngidul tanpa dosa." omel Deva yang memang terlihat paling menyedihkan karena belum makan sejak siang tadi.

"Iya, gimana sih, yang punya acara kok malah ngilang-ngilang." timpal Keke.

"Hehe. Iya, sorry ya. Padahal sih, kalian makan-makan aja duluan." tutur Rio yang kemudian ikut duduk melingkar bersama yang lain.

Malam ini mereka semua berkumpul disini, memang atas undangan Rio. Rio mengajak mereka berlibur di Villa Omnya dikawasan puncak. Sekaligus mengadakan party kecil-kecilan untuk merayakan resminya hubungan Rio dengan Ify. Yang diundang memang hanya kawan-kawan dekat saja, karena kamar Villa pun terbatas jumlahnya.

"Ya udah kalau gitu, mulai aja yuk. Mau bakar-bakar apa dulu nih ?" tanya Ray, antusias.

"Eh, eh, tunggu dong." larang Ify, "Mmh, sebelumnya, mumpung kita ngumpul gini, gue man nanya dong. Selama kita sekelas hampir 2 tahun ini, siapa temen yang paling kalian kagumi. Jawab yang jujur ya." tanya Ify, entah dengan tujuan apa.

"Mulai dari Lo, Ray." Intruksi Ify.

"Alvin Jonathan Sindhunata." jawab Ray, mantap.

"Ashilla Zahrantiara." timpal Oik.

"Cakka Kawekas Nuraga." tambah Keke.

"Mario Stevano Aditya." ujar Deva.

"Raissa Arif." aku Ozy.

"Ahmad Fauzi Adriansyah." tutur Acha, manis.

"Ify." ujar Debo, singkat.

"Mmh, Mario Stevano Aditya." Imbuh Gita.

"Cakka Kawekas Nuraga." lirih Agni, dengan sedikit buncahan rindu dihatinya.

"Mmh, kalau gue sih ya, kagum sama Ashilla Zahrantiara." papar Riko.

"Alyssa Saufika Umari." ujar Shilla, yakin.

"Sivia Azizah sama Agni Tri Nubuwati. Gue gak akan pernah bisa milih salah satunya."

"Gabriel Stev-"

Klik

jatuh air mataku
iringi remuk redam hatiku
saat, ku kehilanganmu
dan hanya, rintik hujan yang menemani aku

tiba-tiba, sebelum Rio menyelesaikan kalimatnya, radio tape berukuran sedang disebelah Ozy menyala. Tanpa disetel, dan tanpa harus memutar tuning untuk mencari gelombang, frekuensi yang tertangkap sudah sangat jelas. Sekarang entah station radio mana itu, tengah memperdengarkan salah satu single teranyar milih grup band, Hijau Daun.

Semua mendelik kearah Ozy yang kini mengangkat kedua tangan dengan kata-kata Sumpah-Gak-Gue-Apa-Apain, tercetak besar-besar diwajahnya.

"Hai, hai, GSD Fm semuanya. Udah 10 menit lewat nih dari jam 8 malam, saatnya gue, Irva Lestari nemenin kalian semua di acara kesayangan kita, 'Kisah Putih Abu-Abu" edisi 8 April 2011. OK. OK. Distudio kami, udah hadir satu cowok ganteng yang nantinya akan berbagi cerita sama kita-kita. OK, masnya yang ganjeng, boleh say hi dulu dong sama sobat GSD Fm..."

"Ah, Zy matiin aja napa. Lo kan yang deketan, acara gituan aja lo setel." suruh Deva.

"Gak gue setel kok Dev, sumpah. Nyala sendiri." bela Ozy.

"Hai. Malam, sobat GSD Fm, semuanya." suara berat itu membuat setiap anak, anggota lingkaran kecil dihalaman belakang Villa itu, sama-sama menegang.

Mereka semua tentu kenal, suara siapa yang menyapa tadi.

Disaat aku bertahan
selama ini aku bertahan
lewati semua malam, dingin
yang ku pandangi, hanyalah langkahmu

"OK deh. Mas disamping saya ini katanya mau sharing bareng kita tentang kisah putih abu-abunya. Ya udah, langsung aja ya, check it out."

"Mmh, bingung juga ya mau mulai cerita darimana. Sebenarnya sih, kisah putih abu-abu gue saja aja, gak beda jauh sama masa-masa SMA kalian semua. Sekolah, persahabatan, keluarga sampai hal terklasik seperti percintaan, semua itu juga ada di kisah putih abu-abu gue. Emm, mungkin yang pertama gue ceritain, tentang sekolah gue aja kali ya. Tepatnya kelas kebanggaan gue, XI IPA 1. Di kelas gue, semua udah kayak keluarga. Kita malah punya panggilan-panggilan khusus, kayak Angel yang di panggil bunda, Acha yang di panggil adek, Zeze yang di panggil mbak, ada yang di panggil princess, nenek bawel, gue juga sering di panggil abang. Gue bener-bener ngerasa punya keluarga kedua disekolah.

Kita semua kompak. Kita selalu saling bantu, terutama waktu ulangan. Hehe. Gue gak akan pernah lupa XI IPA 1, yang tiap pagi rusuh ngerjain PR, gitar-gitaran pas jam kosong, tidur massal pas pelajaran sejarah. Hehe. Gue selalu berharap sempet ngerayain lulus-lulusan sama semua anak-anak IPA 1." suara dari radio tape itu terdengar parau.

"Itu Gabriel ya ?" tanya Acha, ragu.

Yang lain pun tampak masih sangat bingung, sehingga hanya merespon dengan gelengan kepala atau sekedar mengangkat bahu.

"Gue juga punya sahabat. Dua orang." lanjut pemuda diseberang sana, "Ada yang sok kecakepan dengan menobatkan diri sebagai playboy. Ada juga yang terlalu pengecut sampai-sampai jadiin cewek tameng buat ngehindarin masa lalunya. Tapi gimana pun, mereka tetep sobat terbaik gue. Mereka jadi satu dari sekian banyak alasan yang bikin gue masih betah tinggal di dunia. Hehe. Ya, kalau diibaratkan anggota tubuh. Mereka tangan gue, satu yang kanan dan yang lain kirinya. Gue bakal cacat tanpa mereka. Gue selalu berdoa semoga keduanya selalu bahagia dan gak akan pernah lupa sama gue, walaupun sekarang gue jauh."

wahai kau air mataku
hanya engkaulah saksi hidupku
saat aku kehilangannya
saat aku kehilangannya

Ify melirik Rio sekilas. Tampak pemuda itu menunduk dengan ekspresi yang sulit diartikan. Teman-teman yang lain pun begitu, larut dalam teka-teka tentang siapa sebenarnya yang tengah berbicara di seberang sana ?
Bahkan Deva yang sedaritadi sibuk mengusulkan agar makan-makannya dipercepat, kini bungkam, bagai dijejali 5 pasang kaos kaki.

"Selanjutnya keluarga gue. Mama sama Papa gue tercinta. Gue ini cuma anak pungut dikeluarga gue, tapi gue gak pernah ngerasa kekurangan kasih sayang. Dari kecil gue gak pernah tau siapa orang tua kandung gue, tapi gue gak sedih, karena gue udah punya Mama sama Papa angkat yang kasih sayangnya lebih besar dari kedua orang tua kandung gue yang tega ninggalin anak usia 2 tahun dipanti asuhan. Sendirian. Seumur hidup gue, hal yang paling pengen gue lakuin adalah selalu bikin Mama sama Papa bangga. Semua yang pernah gue raih selama ini buat mereka, malaikat hidup gue. Mama sama Papa."

Angin berdesau lirih. Dingin. Tak ada yang tau, sejak kapan tepatnya atmosfer hangat tadi menguar, berganti haru biru yang entah karena apa. Bahkan tanpa alasan yang jelas, Shilla mulai berkaca-kaca, "Gue kok nangis ya ?" gumamnya, pada diri sendiri.

Mereka bilang, saat angin menggugurkan dedaunan dari pohonnya, saat itu, entah dibelahan bumi yang mana, seseorang harus terbang jauh meninggalkan orang-orang terkasihnya.
Dan lihat !! Daun-daun trembesi didekat belukar sama, gugur diterpa hembusan angin.

Tak ada yang mengerti...
Meski alam berisyarat.
Harusnya terbaca. Jelas.
Perpisahan itu, telah mengguguskan wujudnya.

"Dan terakhir, tentang cinta gue..." suara berat itu semakin terdengar lirih, seolah sejak tadi ada yang terus-menerus menyedot volumenya.

Tak pernah aku bertahan
selama ini aku bertahan
lewati semua malam
dingin
yang aku pandangi
hanyalah langkahmu

"Gak banyak yang bisa gue ceritain kalau soal yang satu ini. Ya, gue pernah jatuh cinta dan sama seorang cewek pastinya, karena gue masih normal. Tapi sekarang cewek itu udah bahagia sama orang lain. Orang yang bener-bener tepat, orang yang gak pengecut kayak gue, orang yang rela ngelakuin apapun buat cewek itu.

Oh iya, dan ada satu lagi, orang yang juga gak kalah penting dalam hidup gue. Saudara laki-laki gue. Best brother, gue. Gue cuma mau bilang makasih sama dia. Belasan tahun dia mau berbagi orang tua sama gue. Dia orang pertama yang gue cari waktu gue sedih, dia selalu jadi yang paling depan buat ngelindungin gue. Koko, kalau lo denger siaran ini, gue cuma mau bilang, makasih dan maaf karena waktu kecil, gue sering banget ngerebut mainan lo."

wahai kau air mataku
hanya engkaulah saksi hidupku
saat aku kehilangannya
saat aku kehilangannya.

Sudah hampir 30 menit, radio itu terus menghantarkan suara baritone mirip milik Gabriel. Andai tak terlalu sibuk menerka, andai tidak larut dalam tanda tanya, tentu setiap anggota lingkaran kecil ini, bisa menangkap, betapa ada hal yang begitu janggal dari siaran radio itu.

Pertama, kenapa sejak awal acara, sama sekali tidak ada jeda iklan.
Kedua, si pencerita diseberang sana, kenapa sama sekali tidak menyebutkan nama.
Ketiga, GSD Fm, nama yang cukup aneh untuk dijadikan nama sebuah radio, lebih terkesan seperti inisial nama.

"OK. OK. Sobat GSD Fm, bingung gak sih ? Kalau aku rada-rada bingung sih. Mas ganteng ini kok kayaknya sedang mengungkap riwayat hidup seseorang secara keseluruhan, gitu ya ? Karena kan biasanya, kalau kisah putih abu-abu itu, identik cuma tentang sahabat atau pacar gitu." cerocos penyiar yang mengaku bernama Irva itu.

"Hehe. Gitu ya ? Ya, gue emang gak bakat cerita sih. Sorry ya."

"Yowisslah, ora opo-opa, teu kunanaon. Mungkin lain waktu, bisa mampir lagi ya ke studio kami, kalau udah pinter bercerita, hehe. By the way, berhubung durasi tinggal 5 menit lagi, ada pesan-pesan, atau salam-salam yang ingin disampaikan mungkin, sok mangga.." tawar Irva.

"Mmh, apa ya ? Intinya sih, gue mau pamitan aja kali ya, sama semua yang pernah kenal sama gue, temen-temen dibandung, sobat-sobat gue, rukun-rukun terus ya. 11 IPA 1, selalu kompak ya. Terus anak-anak basketnya, terus berprestasi. Gue minta maaf kalau banyak kesalahan. Take care. Udah deh itu aja."

"Wah, masnya mau pindahan ya ? Hehe. Semoga betah ya, dirumah barunya. OK. Guys, itu tadi cerita dari mas ganteng yang namanya gak mau di publish. Semoga bisa diambil hikmah dan positifnya ya. Hari ini cukup sekian, see you next time. Good night and god bless you, all. Bye, bye."

Jatuhnya pun masih di pangkuanku
tak perlu kau sesali
wahai kau air mataku
wahai kau air mataku

di setiap detak jantungku
hanyalah engkau yang menemaniku
saat aku kehilanganmu
saat aku kehilanganmu.

***
***

Ia bahkan tidak sadar, telah menjadi saksi pergantian siang dan malam. Lazuardinya langit yang kemudian menjingga. Lantas, berubah jadi gelap, sama sekali tak tergubris olehnya.
Gadis itu, masih terus saja mengawang dalam lamunan. Ia memeluk kedua lututnya, menumpukan dagu pada kedua lutut yang mencuat keatas. Rambut panjangnya sedari tadi sudah bergerak lincah, diulik angin. Tidak ada bulan, pun dengan bintang. Entahlah, mungkin dua ikon malam yang fenomenal itu, juga tengah tenggelam dalam euforio konser Justin Bieber beberapa pekan lalu. Hingga keduanya lupa untuk menunaikan kewajiban mereka malam ini.

"Fuihh," gadis berpipi chubby itu mendesah keras-keras. Ada sesuatu yang mengganjal hati, yang membuatnya serba salah. Sama sekali tak berniat melakukan kegiatan apapun. Dengan jengah, ia kembali termenung. Jam setengah 11 malam, waktu Singapore. Haah, astaga, jadi telah berapa jam, ia berdiam di selasar rumah ini ? Kenapa waktu begitu cepat bergulir ?
Pantas saja, rumah-rumah disekitarnya sudah mulai menutup pintu dan jendela rapat-rapat. Menghentikan obrolan dan berbagai kegiatan lainnya, mematikan lampu-lampu, lantas beranjak untuk tidur. Ya, tidak aneh, karena hari memang sudah larut malam.

Malam agaknya mulai menunjukkan wujud aslinya, gelap, sepi dan dingin. Itu pulalah yang membuat keresahan gadis tadi kian menjadi.

"Auww." rintihnya. Kedua lengannya, spontan memegangi sekitar perutnya yang terasa sakit. Akhir-akhir ini kondisinya memang terus memburuk, ditambah tak ada ibu disampingnya.
Ia berniat meninggalkan teras rumah milik keluarga Alvin ini. Ia ingin segera berbaring di tempat tidurnya. Tapi, apa daya ? Seluruh tubuhnya serasa berat sekali untuk bergerak seinci pun dari tempatnya.

Bosan. Memandangi ujung-ujung kakinya, gadis berlesung pipit itu pun mengedarkan pandangannya. Pagar-pagar kayu, rimbunan pepohonan, kursi-kursi dari anyaman rotan. Ya, berbanding terbalik dengan rumah keluarga Alvin di Bandung, rumah yang di Singapore ini sangat sederhana. Hanya memiliki 3 kamar tidur, ruang tamu, ruang keluarga, dapur, 2 kamar mandi dan perpustakaan kecil.

"Ini kan hanya rumah singgah untuk kami kalau sedang ada project di Singapore, jadi ya tidak perlu besar-besar." begitulah alasan yang dituturkan sang kepala keluarga saat gadis tadi iseng-iseng mempertanyakan kesederhanaan rumah ini.

Setelah puas menjelajahkan pandangannya, mata gadis tadi terakhir bertumpu pada satu pot bunga euforbhia...

"Ibu..." lirihnya sedih.

Tanpa mampu di bendung, luapan rasa rindu pun akhirnya mengundang satu titik air mata untuk mulai meluruh, menyusuri pipi putihnya yang natural tanpa polesan bedak. Satu scene paling menyakitkan dalam hidupnya pun seakan di putar kembali, saat mengingat sosok Ibunya. Potongan-potongan dialog hari itu lagi-lagi berpusar dalam benak gadis tadi, Sivia.

*Flashback : On*

seorang wanita hampir paruh baya, dengan baju merah marun dan rok bunga-bunga, masuk ke dalam sebuah kamar rawat kelas menengah yang dihuni oleh 3 sampai 4 pasien. Ditangannya terdapat sebuah amplop berwarna coklat. Wajah yang biasanya ayu dan lembut itu, kini terlihat kuyu, membuat anak gadisnya yang terkolek disalah satu ranjang dalam kamar ini, menyadari ada sesuatu yang tidak beres. Ditambah lagi, dengan senyum yang di paksakan serta pelukan wanita tadi yang tiba-tiba, jelas sekali bahwa sesuatu yang buruk tengah terjadi.

"Ibu kenapa ? Ada apa ?"

wanita tadi tidak menjawab pertanyaan putrinya, malah terus asik membelai rambut indah putri tunggalnya itu.

"Ada apa sih Bu ? Jangan nangis dong, ntar Via ikutan nangis lho."

Sang Ibu tampaknya berusaha keras untuk mengerem lagu air matanya, setelah berhasil, dicobanya untuk menyusun kata demi kata yang cocok, agar putrinya tidak terlalu terkejut mendengar kabar yang akan disampaikannya
Perlahan, disodorkan amplop coklat yang sejak tadi dibawanya. Sivia menerima dengam ekspresi bingung, apalagi setelah menilik isi amplop itu. Walaupun Sivia adalah juara umum di sekolahnya, sekaligus juara 1 murid teladan se-Jawa Barat, ia masih sedikit awam dengan apa yang dimaksud secarik kertas yang sedang dibacanya.

"Ini maksudnya apa ya Bu ? Via gak ngerti."

Sang Ibu menarik nafas panjang sebelum berkata, "Ginjal kamu rusak Via. Tapi menurut dokter, belum terlalu parah, masih bisa disembuhkan tanpa perlu cangkok ginjal." papar Ibu dengan suara bergetar.

Sivia terdiam. Tidak terlalu mengerti, bagaimana perasaannya sekarang. Semuanya campur aduk, rancuh, dan tidak menentu. Mulai hari itu, segalanya berubah. Ia akan sering merepotkan Ibunya, belum lagi biaya yang perlu dikeluarkan untuk pengobatannya.

"Kenapa harus Via, Bu ?" lirih Sivia tak jelas antara protes atau bertanya.

"Sabar ya sayang, Ibu akan melakukan apapun supaya Via sembuh." tutur Ibu, menenangkan. Wanita itu kembali memeluk putri tercintanya, harta paling berharga dalam hidupnya.

Flashback : Off

kalau dulu, dokter bilang masih bisa sembuh tanpa operasi. Bagaimana dengan sekarang ? Bagaimana sebenarnya kondisinya sekarang ?

"Ibu... Via kangeen, Via takuut, Via mau pulang." lirih Sivia.

"Apa yang kamu takutin Vi ?"

"Astaga !!" pekik Sivia kaget. Mendapati seorang pemuda tengah duduk disisinya. Sejak kapan pemuda itu ada disini ? Kenapa Sivia sama sekali tidak menyadari kedatangannya ? Apa karena ia terlalu sibuk, memikirkan perkembangan kerusakan pada ginjalnya ?

"Iel ? Kamu bikin aku kaget tau gak."

"Apa yang kamu takutin, Vi ?" Pemuda tadi, Gabriel, mengulangi pertanyaannya.

Sivia tidak menjawab. Memilih bungkam. Memainkan jari-jari tangannya.

"Kamu takut mati ya Vi ?" tebak Iel.

Lagi-lagi, pemuda itu tidak mendapat jawaban atas pertanyaan.

"Mati itu kan hal yang paling pasti Vi, kenapa harus takut ? Seorang raja yang paling berkuasa sekalipun, gak akan bisa menghalau kematian. Iya kan ?"

"Bukan Yel. Bukan soal kematian, tapi... Ibu. Siapa yang bakal jagain ibu, kalau aku mati." balas Sivia.

"Tuhan itu maha perkasa, Ia akan selalu menjaga dan melindungi Ibu kamu, Vi. Udah ah, kok jadi mellow gini sih ? Gak perlu ngomongin kematian Vi, karena aku yakin kamu pasti sembuh."

"Amin..." timpal Sivia, mengamini.

"Kalau gitu..." Iel menaruh kedua tangannya pada pipi Sivia. Dibersihkan sisa-sisa air mata gadis cantik itu dengan ibu jarinya, "Jangan nangis lagi ya, aku gak suka liat kamu nangis, dan lagi gak selamanya kan aku bisa ngehapus air mata kamu kayak sekarang. Kamu masih ingat kan pesan aku dulu-"

"Kita punya lebih banyak alasan untuk tersenyum dibanding menangis." ujar Gabriel dan Sivia berbarengan.

Gabriel lantas mengacak poni peri kecilnya itu dengan gemas.

"Makasih ya Yel, kamu selalu bikin aku tenang. Kamu selalu ada buat aku, kamu tu a shoulder to cry on buat aku tau gak ? Hehe."

"Itu semua aku lakuin, karena aku, sayang banget sama kamu Vi."

Sivia tersenyum tipis, "Kalau gitu akasih atas rasa sayang kamu buat aku itu."

Gabriel mengangguk.

"Eh, by the way, kamu udah sadar Yel. Sejak kapan ?" tanya Sivia, cukup heran. Pasalnya sudah 5 hari terakhir ia tidak berkunjung ke rumah sakit. Mama dan Papa Alvin tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk. Jadi setelah Sivia mengeluhkan sering merasa nyeri disekitar perutnya, mereka langsung menyuruh Sivia Istirahat total di rumah. Alhasil, Sivia juga kurang begitu tau kondisi terkini Alvin dan Gabriel pasca operasi transplantasi sumsum tulang.

"Iya, Vi. Mulai sekarang aku gak akan ngerasa sakit kayak dulu lagi. Aku udah sembuh. Dan, aku kesini juga mau sekalian pamit sama kamu. Aku mau pulang."

"Pulang ? Lho, emang kamu gak nunggu Alvin disini ? Kamu gak pulang bareng-bareng sama kita ?"

"Gak bisa Vi, aku harus duluan. Take care ya, inget apapun yang terjadi, kamu gak boleh nangis lagi, nanti cantiknya ilang. Jagain Alvin baik-baik ya, aku titip dia."

Kriing...Kriing...Kriing

Sivia baru saja akan membuka mulut untuk menimpali perkataan Iel, saat telfon berdering dari dalam rumah.

"Telfon bunyi tu, angkat dulu sana." titah Gabriel.

Sivia tidak membantah. Gadis itu segera beringsut dari tempat duduknya, lalu berjalan kd dalam rumah. Sejuruh kemudia, ia sudah mengangkat gagang telepon berwarna merah gelap, di hadapannya.

"Hallo ?" sapanya.

Tidak ada jawaban, yang terdengar hanya isakan entah milik siapa diujung sana.

"Hallo ?" ulang Sivia.

Baru setelah genap 5 kali, Sivia mengulang sapaannxa, orang di sebrang sana mulai berbicara.

"Tante ? Iya, ini Via.....tante kenapa nangis ?.....gak, gak mungkin. Gak mungkin tan, tante pasti bohong. Tante bercanda kan ?" Sivia mulai berkaca-kaca, sekuat tenaga gadis berkulit putih itu menggelengkan kepalanya, "Tapi...tapi...ini gak mungkin tan, ini pasti salah. Ini salah. Via gak percaya."

klik

Sivia segera memutus sambungan telepon. Pasti akan terkesan sangat tidak sopan, tapi ada yang lebih penting dari sekedar telepon. Sivia harus memastikan, ya, ia harus memastikan bahwa berita yang datang padanya barusan itu salah besar. Gadis bermata sipit itu segera berlari keluar rumah.

"Yel, kamu-" ucapannya terpotong saat orang yang dimaksud tidak ada lagi ditempatnya.

"Yel !!" panggil Sivia, "Iel !?" Sivia memutuskan untuk berlari ke jalan raya, mungkin Iel buru-buru pergi untuk mengejar jadwal penerbangan ke Indonesia, "IEL !! GABRIEL !!" teriak Sivia, lagi-lagi memanggil nama pemuda yang di sebut-sebut dalam komunikasi singkat lewat telepon tadi.

Sepi. Jalan raya yang luas itu lengang. Sivia baru menyadari satu hal, dengan apa Gabriel kemari ? Ia tidak membawa mobil. Lalu bagaimana ia bisa masuk, bukankah pintu pagarnya terkunci ? Bulu tengkuk Sivia meremang.

Gadis itu, menjatuhkan diri, lututnya yang beradu dengan aspal, sontak mengeluarkan darah. Tapi tak dirasa, "Kamu bukan pulang ke Indonesia, Yel ? Kenapa Yel, kenapa kamu tinggalin aku ?" ujar Sivia. Ia terceguk berkali-kali, menggigit bibir, mengepalkan tangan kuat-kuat, hingga terasa kuku-kuku yang menancap pada telapak tangannya.
Rasa kehilangan yang maha dahsyat, bahkan membuat gadis ini tak kuasa lagi meneteskan air mata.

Cettarrr

suara petir bergaung, menakutkan.
Bukan sahutan dari Gabriel yang Sivia peroleh. Tapi isyarat tegas dari sang alam bahwa massanya telah tiba, jarak akan segera dibentangkan. Genderang tangis akan segera ditabuh, kesedihan akan segera bernyanyi dan kehilangan akan segera keluar sebagai pemenang.

***

Waktu baru beranjak 15 menit dari tengah malam. Semua anak panti sedang asik tenggelam dalam selimut tebal mereka masing-masing. Tidak hujan saja, Bandung sudah sangat dingin, apalagi di tambah gerimis yang begitu setia sejak sore tadi menemani senandung sang kodok. Tentu hanya orang abnormal saja yang tidak memilìh meringkuk diatas tempat tidur.

"Sil... Silvia !! Anterin Aren pipis yuk, kebelet nih." pinta seorang gadis cilik pada teman satu ranjangnya.

"Ah, gak mau ah, Ren. Kamar mandi kan jauh, serem ah. Udah tahan aja ya." tolak gadis bernama Silvia tadi.

"Yah, gak bisa Sil, ayo dong, udah di ujung nih." desak Aren.

Tidak menggubris, Silvia malah menarik selimutnya hingga menutupi seluruh tubuhnya. Aren merengut. Terpaksa ia bangun dari tempat tidurnya dan beranjak ke kamar mandi.

Saat setelah menutup pimtu kamarnya, Aren hampir saja menjerit histeris saat dilihatnya ada sereorang dengan baju putih terduduk di salah satu kursi yang berjejer di depan ruang perpustakaan panti, tak jauh dari kamar Aren. Tapi kemudian, teriakkan itu ditahannya setelah menyadari siapa seseorang itu. Pelan, aren mencoba mendekat. Wajah pucat orang itu terlihat sedih sekali.

"Kak Iel ?" tegur Aren.

Yang disapa tadi, lantas menoleh. Aren melempar senyum lega, pada Iel. Karena ternyata orang ini betul-betul kak Iel, bukan hantu seperti perkiraannya tadi.

"Kakak kok malem-malem ada disini ? Bukannya kakak di Singapore." tanya Aren.

"Hei, Ren. Sini cantik !!" Iel melambaikan tangannya, mengisyaratkan agar Aren menghampirinya, setelah cukup dekat, Iel meraih tangan Aren, dan mendudukkan gadis kecil itu dipangkuannya, "Iya, ini kakak juga baru sampai Ren. Tadinya pengen langsung nemuin bunda panti, Aren sama yang lain. Tapi kayaknya udah kemaleman ya ? Kakak gak enak kalau mau bangunin kalian. jadi tadi duduk dulu, rehat disini. capek. Aren apa kabar ?"

"Aren baik kok. Eh, tapi bukannya pintu gerbang ditutup ya kak ? Kalau gak bangunin bunda, trus gimana kakak bisa masuk ?"

"Mmh, itu Ren, mmh, kayaknya bunda lupa kunci pintu gerbangnya. Soalnya tadi pas kakak datang, gerbangnya masih ke buka."

"Oh. Gitu ya... Eh, kak. Aren sama temen-temen kanget banget tau sama kakak. Kak Iel kemana aja sih ? Kok udah jarang nemenin kita-kita main, trus kakak cantik yang waktu itu juga gak pernah diajak kesini lagi ?"

"Iya Ren, kakak lagi sibuk banget belakangan ini. Oh iya, kakak kemari juga mau sekalian pamitan. Mungkin kakak gak akan pernah kemari lagi, setelah ini. Tapi nanti kakak suruh temen-temen kakak yang lain buat sering jengukin kalian ya, disini."

"Pamit ? Emang kak Iel mau pergi kemana ? Mau pindah ke Singapore ya ? Yaaah, gak asik dong kalau gak ada kakak. Kak Iel itu udah kayak malaikat buat kami. Jarang-jarang ada orang yang perhatian dan sayang banget sama kita-kita kayak kak Iel."

"Kakak juga sebenarnya gak mau, kakak juga masih pengen main-main sama kalian, tapi..... Kakak tetep harus pergi, Ren. Pokoknya pesen kakak, Aren jangan nakal ya, harus nurut sama bunda, Aren harus selalu yakin dan semangatin temen-temen semua, kalian pasti sembuh. Terus kalau suatu hari ada kakak-kakak yang datang kemari, bilang ya... Kak Iel pengen buat sanggar seni gratis buat anak-anak yang pengen belajar berbagai kesenian."

"Kakak mau kemana sih ? Kakak jangan pergi dong..." Rengek Aren manja. Gadis kecil berponi itu, lalu mengalungkan kedua lengannya pada leher Gabriel.

"Nanti Aren juga tau. Kakak harus tetep pergi sayang. Jangan pernah lupain kakak ya, kakak pengen selalu hidup dihati orang-orang yang pernah kenal sama kakak."

"Mmh, walaupun Aren gak di kasih tau Kak Iel mau kemana, tapi dimanapun kakak nantinya, Aren akan selalu berdoa supaya kakak selaku bahagia dan di lindungi Tuhan. Kakak juga jangan lupain Aren lho."

Iel mengangguk mantap. Lalu dikecupnya kedua pipi gembil Aren dan memeluk tubuh mungil itu erat.

"Ya udah, kakak pamit ya, adik cantik. Take care."

"Tunggu kak !! Sebelum pergi, kak Iel mau gak, anterin Aren pipis dulu. Aren takut nih kak, ke kamar mandi sendirian."

Gabriel terkekeh, sekilas lagi-lagi diacaknya poni tebal Aren yang membingkai bagian atas wajahnya. Gabriel lalu menggandeng Aren, mengantarkannya, hingga ke kamar mandi yang ada di dekat musholla.

"Mau kakak temenin ke dalem ?" tanya Iel dengan tatapan genit.

"Huuuw, ya gak lah. Kak Iel tunggu sini aja." tolak gadis cerita yang kerap dijuluki Si Cabe Rawit itu. Ia segera memasuki kamar mandi. Setelah terdengan bunyi putaran kran air, bunyi gayung yang beradu dengan dinding bak kamar mandi, laku keracak air, tak Lama Aren keluar, "Haah, Lega banget. Makasih ya kak."

Aren celingukan, saat di depan kamar mandi, sudah tidak ada siapa-siapa lagi, "Lho kak Iel mana ya. Kok cepet ilangnya." gumam Aren, heran.

"Kak Iel !! Kak Iel... Kak !!" panggilnya, berulang-ulang kali.

Tapi nihil. Tidak ada sahutan apapun. Hanya kukukan burung hantu yang entah datang dari mana. Terdengar begitu mengerikan.
Ditambah malamnya yang begitu pekat. Karena langit, tak pernah bisa meloloskan diri dari kepungan mendung. Lengkalpah sudah, suasana yang membuat bulu kuduk siapapun meremang.

***

Sakit. Bukan saat jarum-jarum suntik itu menembus kulitku.
Bukan saat selang-selang dijejalkan melalui hidungku.
Bukan saat kemoterapi yang membuat tubuhku semakin kurus.
Bagiku, Sakit adalah saat melihat orang-orang yang aku sayangi menangis, sedangkan aku tidak pernah lagi bisa untuk menyeka air mata mereka.
Sakit adalah saat orang-orang tercintaku jatuh, sedangkan aku tidak lagi cukup kuat untuk mengulurkan lengan, membantu mereka bangkit.
Sakit adalah saat orang-orang yang aku kasihi bersedih sedangkan aku tidak pernah lagi mampu untuk sekedar membisikkan kalimat-kalimat penghibur.

Mama, Papa, Alvin, Via, semuanya. Kalian malaikat buat aku.

Aku cuma berharap, semua akan tetap baik setelah aku pergi.
Aku dapat banyak hal dari kalian yang selamanya gak akan pernah aku lupa. Semoga perpisahan ini cuma sementara ya, karena aku yakin, suatu hari Tuhan akan mempertemukan kita lagi ditempat yang sangaaat indah.

-Gabriel Stevent-

***

Ify, Agni dan Rio masih mengedarkan pandangan. Pesawat dengan rute penerbangan Singapore-Bandung, baru saja landing. Mereka bertiga masih mencari-cari orang-orang yang mereka tunggu sejak setengah jam lalu. Hari ke-10 dibulan ini. Karena hari libur, jadilah Bandara tak ubahnya pasar tradisional, ramai sekali. Hiruk pikuk dan seliweran ratusan atau bahkan ribuan umat, membuat 3 orang remaja itu, sedikit kesulitan menemukan objek yang dicari.

"Itu mereka !!" Agni menunjukkan ke satu titik. Tampak 5 orang dengan wajah loyo dan kacamata hitam, berjalan menghampiri mereka.

"Kok kayak community tukang pijet gitu ya ? Pake kacamata item segala." Ceplos Rio, yang membuat Ify dan Agni tertawa kecil.

Setelah gerombolan kecil itu mendekat. Barulah terlihat sesuatu yang janggal.

"Lho, bukannya katanya Alvin udah dapet donor mata ya ? Kok masih..." Agni terlihat enggan untuk meneruskan kalimatnya.

"Alvin sama aku emang udah dapet donor, Ag. Tapi kita milih operasi di Indonesia aja." jawab Sivia dengan suara bergetar.

"Trus lo kenapa udah balik Kka ? Bokap lo udah sembuh, gitu ? Dan... Iel. Ielnya mana ?" ganti Rio yang melontarkan pertanyaan.

Semua diam. Tidak ada satupun dari kelima orang itu yang berniat untuk menjawab.
Tiba-tiba saja Sivia berlari memeluk Ify, Ify yang tidak ada persiapan apapun sebelumnya, hampir saja terjengkang menerima pelukan Sivia yang lebih tepat disebut tubrukan.

"Harusnya Iel yang sembuh Fy, harusnya hari ini dia nemuin kalian disini, harusnya Iel yang sembuh, hiks. Aku...aku sama Alvin gak dapet donor, Iel yang lebih dulu dapet pendonor, harusnya...harusnya... Iel yang sembuh." Siva terus meraung dalam pelukan Ify, hingga gadis itu sempat menjadi perhatian beberapa orang di Bandara ini, "Iel... Kenapa harus Iel. Kenapa Tuhan gak pernah ngizinin orang sebaik dia, buat bahagia."

"Iel kenapa Vi ? Emang ada apa ? Kenapa dia gak pulang bareng kalian ?" tanya Ify, tanpa sadar sudah ikut berkaca-kaca.

Melihat mama Alvin juga tersedu dibahu suaminya, Ify, Rio dan Agni, yang memang belum tau apa-apa, menjadi semakin yakin bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi.

Masih dalam rengkuhan sahabatnya, Sivia kembali bicara, "Iel yang lebih dulu dapet donor, Fy. Dia juga yang lebih dulu operasi. Harusnya, Iel sembuh. Iya kan Fy ? Iel keliatan seneng banget, dia selalu bilang sama aku bahwa sebentar lagi dia gak perlu ngerasain sakit kayak dulu-dulu. Tapi...tap...tapi... Operasinya hiks, operasinya gagal. Gak ada yang nyangka bakal gagal, karena Iel yakin kalau dia akan sembuh, begitu juga tim dokter, semua gak ada yang ngira bakal kayak gini. Dokter Fadli sampai mundur dari profesinya dan sekarang menetap di Kanada bersama istri dan anaknya karena beliau merasa sangat gagal, sedih, gak bisa nyelametin...nyelametin...nyawa... Iel." tangis Sivia kian memarah. Terdengar begitu memilukan.

Sedangkan Rio, Ify bn Agni hanya bisa mematung. Masih sulit mengangkap apa yang baru saja Sivia utarakan. Jadi, yang diradio tempo hari itu... Apa benar-benar Gabriel ? Yang berpamitan pada mereka semua ?

"Ginjal Iel cocok sama ginjalku, dia yang jadi pendonor buat aku sama Alvin. Sebelum operasi berlangsung, Iel udah menanda tangani surat penjanjian donor organ tubuhnya kalau operasi itu gagal dan terjadi sesuatu sama dia. Dokter Fadli sendiri yang bilang. Liat Fy !! Bahkan Iel selalu peduli sama orang-orang disekitarnya. Aku belum sempat bilang makasih, kenapa dia udah pergi ?? Hiks hiks. Kenapa harus Iel ? Kenapa Tuhan jahat sama Iel ? Harusnya dia sembuh, harusnya hari ini kalian bisa ketemu lagi sama kalian. Kenapa Iel ? Kenapa Fy ? Kasian Iel."

"Iel orang baik Via. Jadi Tuhan mau lebih cepet ketemu sama dia. Kita... Kita ikhlasin ya Vi, kamunya jangan nangis terus kayak gini, nanti Iel juga ikut sedih. " tutur Ify, lembut.

"Bawa gue pergi dari sini Kka !!" pinta Alvin, tiba-tiba.

Semua mata lantas tertuju padanya. Baru menyadari, bahwa orang yang paling kehilangan tentulah Alvin. Orang yang satu rumah dengan Iel, orang yang mengenal Iel sejak kecil, orang yang begitu menyayangi saudara laki-lakinya itu. Alvin, pasti menyimpan banyak sekali memori tentang senyum seorang Gabriel, keusilannya, semangatnya untuk meraih sesuatu. Alvin pasti mempunyai kenangan yang lebih besar, dari siapapun. Kenangan yang entah bagaimana, kelak, akan dikuburnya.

"Tapi Vin..."

"BAWA GUE PERGI DARI SINI KKA !! SEKARANG !!" raung Alvin.

Cakka akhirnya menurut. Didorongnya kursi roda Alvin menjauh.
Semua mengantarnya, dengan tatapan iba.

***

sebuah gedung berdiri kokoh diatas sebuah lahan cukup luas, di pusat kota Bandung. Dindingnya yang putih, ditambah lampu-lampu ber-watt cukup besar, mampu mengalahkan cahaya bulat sabit yang memang belum seberapa di cakrawala sana. Bila ditilik lebih ke dalam, akan terdapati kursi-kursi yang disusun rapi, semuanya menghadap panggung berukuran sedang yang ada dalam gedung ini. Sebagian kursi telah diisi, sedangkan beberapa, masih menunggu penghuninya yang mungkin tengah dalam perjalanan.

Terlihat beberapa operator, sedang sibuk melakukan check sound, ada juga yang memperbaiki lagi beberapa ornamen diatas panggung, juga letak kursi-kursi dan menyortir tempat ini dari sampah sekecil apapun.

Tak berapa lama, kursi-kursi yang semula kosong, mulai terisi oleh pemuda-pemudi ber-dress code hijam, yang baru saja berdatangan, memasuki gedung dengan plang besar bertulis Sanggar Seni Aluna, dimuka.

Tak ingin membuang waktu, karena dirasa sudah lebih dari 3/4 undangan yang telah hadir, maka, seperti yang telah dijadwalkan sebelumnya, pukul 19.30, Acha yang didakwa sebagai master of cheremony malam ini, segera memulai tugasnya.

"Selamat malam semuaa..." sapa gadis itu, lantang.

"Selamat malaaam..." koor para undangan yang hadir.

"Apa kabar nih kalian semua ??" tanya Acha, ramah.

"Baiiik.," lagi-lagi dijawab dengan kompak oleh seluruh tamu undangan.

"Sebelumnya, Acha atas nama Alvin dan keluarga mau ngucapin terima makasih yang sebesar-besarnya buat temen-temen yang udah nyempetin hadir malam ini. Seperti yang telah dituliskan dalam surat undangan yang sebelumnya sudah disebar, malam ini, selain acara, emm.. ya bisa dibilang syukuran keluarga Alvinlah ya, atas kelulusan Alvin, malam ini juga sebagai Acara peresmian sekaligus pembukaan Sanggar Aluna... Yang menurut informasi, dibangun atas permintaan teman dan sahabat tercinta kita, Gabriel.

Semua pasti masih ingat kan sama Iel ? Ingat sama senyum ramahnya, sama banyolan-banyolannya selama dikelas 11 IPA 1, inget sama gayanya yang bikin melting waktu main basket, semua pasti gak akan ada yang bisa lupa sama sosok abang yang menyenangkan, dan wakil ketua OSIS terbaik yang pernah CB punya, itu..." Acha mengambil nafas sejenak, sebelum melanjutkan ucapannya. Walau bagaimanapun, Acha juga sempat mengenal Gabriel, dan sama seperti Citra Bangsa yang langsung berduka ketika menerima berita kepergian Iel, ia juga masih sulit percaya sampai detik ini, bahwa kapten basket itu telah tiada. Begitupun dengan semua orang yang sempat mengenal Iel, pasti akan sangat merasa kehilangan, sosok hangat itu.

"Gak kerasa ya, Gabriel udah setahun pergi ninggalin kita semua." lanjut Acha.

"Gue malah masing sering berharap liat Iel lagi main basket dilapangan sekolah," gumam Cakka.

"Gue malah masih sering denger Iel gitaran, di kamarnya. Tiap pagi gue gedor-gedor pintu kamarnya, berasa dia masih ada, dan masih betah molor dikamarnya. Padahal udah jelas-jelas kamar Iel udah kosong." timpal Alvin.

"Malam ini ada banyak susunan acara yang bakal kita lalu. Tapi sebelumnya... Ada persembahan kecil dari alumni kelas IPA 1 plus temen-temen excul basket, untuk teman terbaik kami, Gabriel."

Diatas panggung terlihat anak-anak kecil berusia sekitar 8 sampai 10 tahun, mulai berbaris rapi. Ada sekitar 12 anak. Mereka adalah Aren dan kawan-kawannya dari panti asuhan kasih bunda.

"Ini ya adik-adik kesayangannya Iel." tanya Rio.

"Bukan cuma adik, mereka juga semangat hidup seorang Gabriel Stevent." jawab Sivia.

Sedangkan disatu titik diatas panggung, Ify juga telah siap dengan grand piano hitam didepannya. Sekilas gadis berdagu lancit itu melempar senyum kearah sahabat-sahabatnya yang duduk dikursi barisan depan. Perlahan, jemari lentiknya mulai menari, memainkan tuts-tuts piano.

Kau jauh melangkah
melewati batas waktu
menjauh dariku
akankah kita berjumpa kembali ?

Sahabat kecilku...
Masihkah kau ingat aku ?
Saat kau lantunkan segala cita dan tujuan mulia
tak ada satupun masa seindah saat kita bersama
bermain-main
hingga lupa waktu

mungkinkah kita kan mengulangnya ??

Suara anak-anak kecil tadi terdengan kompak melantunkan sebuah lagi, diiringi denting piano ify.

Sedangkan dibelakang mereka, terdapat sebuah layar besar yang menampilkan video dan gambar-gambar kebersamaan Iel dengan teman-teman sekelasnya serta anak-anak dari ekstrakulikuler basket.

"Kasih gue, Kka.. Kasih gue..." suara baritone milik pemuda manis itu terdengar menyayat hati, setiap orang yang memang sangat merindukannya.
Seakan menghidupkan kembali sosok Gabriel yang memang tidak pernah mati dalam hati dan fikiran masing-masing orang.

Potongan video tadi diambil saat Iel bermain basket terakhir kali pada pelajaran olah raga pak Marto yang kosong waktu itu.

"Gue jadi kangen gombalannya Iel diruang OSIS, waktu dulu." Shilla terkekeh, tapi disaat yang bersamaan, air matanya juga meleleh.

"Weist, gue dapet 80 mameen. Keren kan." kali ini video Iel yang waktu itu tertangkap handycamp baru Ozy, saat tengah memamerkan nilai ulangan fisikanya.

Tiada...tiada lagi tawamu
yang selalu menemani segala sedihku
tiada...tiada lagi
candamu yang selalu menghibur disaat ku lara
bila malam tiba
ku selalu memohonkan doa
menjaga jiwamu
hingga suatu masa
bertemu lagi

Anak-anak panti itu terus bernyanyi dengan tulus. Berharap suara mereka terdengar sampai ke surga, agar kakak kebanggaan mereka juga bisa mendengar nyanyian mereka.

Kini giliran beberapa foto yang tayang secara slide. Ada saat Iel begitu tampan berbalut jas putih waktu akan mementaskan drama musikal diacara pesta ulang tahun sekolah, beberapa hari sebelum ia berangkat ke Singapore dan tak kembali lagi untuk selamanya. Lalu foto kelas XI IPA 1 yang begitu mengagumkan (re : sangat berantakan) termasuk Iel didalamnya. Lalu gambar Iel, Alvin, Cakka dan Rio yang kompak memeletkan lidah kearah kamera Shilla ketika sedang menjalani hukuman berdiri hormat ke tiang bendera.

Foto-foto terus berganti. Menegas kan bahwa, telah begitu banyak kenangan yang terlewati selama ini.

Ada juga beberapa kutipan, tulisan tangan Iel,


"mentariku telah ada yang memiliki, tapi aku masih tetap memujanya. Karena aku masih sangat membutuhkan sinarnya.
Semoga kekagumanku terhadapnya, tak akan mengusik kebahagiannya dengan orang yang ia pilih." (re : part 6 )

"Aku takut mati. Takut kehilangan tawa mereka."

"waktu pelajaran sejarah kayak gini, gue yakin kiamat masih lama. karen awaktu berjalan lambat banget. hehe."

"Jika orang sepertiku diciptakan hanya untuk merepotkan orang lain, untuk apa Kau berikan aku umur panjang Tuhan ?"

"Aku ingin sembuh. Aku juga layak bahagia bukan. Aku mau sembuh. Aku mau mengejar matahari, meraih bulan dan menggapai bintang."

kau jauh melangkah melewati batas waktu
menjauh dariku
akankah kita berjumpa kembali ?

Sekarang yang muncul tinggal potret-potret sekolah secara keseluruhan. Tanpa Gabriel tentunya. Karena ia telah menjemput keabadian. Meninggalkan dunia yang fana, yang masih menjadi tempat berpijak orang-orang yang menyayangi dan disayanginya.

Ruang kesenian, lapangan upacara, kantin sekolah, ruang osis, perpustakaan, LAB, aula...

3 tahun sudah bangunan itu menemani hari-hari siswa-siswi kelas XII yang beberapa hari kemarin baru saja menerima surat kelulusan. SMA Citra Bangsa, adalah rumah kedua bagi mereka. Tidak terasa gedung SMA itu sebentar lagi akan ditinggalkan. Ratusan, bahkan mungkin ribuan kisah telah terekam. Tergurat tak kasat mata pada dinding-dinding yang mengukung selama 7 jam setiap harinya. Contek-menyontek, gerutuan terhadap guru fisika, saling mengejek, jatuh cinta, bahkan cerita tentang sosok Gabriel pun sebentar lagi hanya akan jadi kenangan.

Foto terakhir adalah foto seluruh siswa kelas XII IPA 1 yang kali ini minus Gabriel, berdiri berjajar didepan kelas kesayangan mereka.

Selamat jalan Gabriel dan Selamat meniti kehidupan baru teman-temanku.

Itulah kalimat penutup sebelum video dan gambar-gambar di layar besar itu benar-benar hilang.

Semua undangan yang hadir, tampak tidak ingin menahan lelehan air mata. Beberapa ada yang mulai berpelukan, membisikkan kata-kata pengantar dan doa agar masing-masing sukses pada jalan yang akan di pilih. Yang lain, ada yang bergandengan tangan, merangkul pundak temannya, saling meyakinkan bahwa hari esok yang indah telah menunggu mereka.

"Teman-teman gak kerasa, kita udah harus ngelepas seragam putih-abu kita. Udah harus nutup buku-buku SMA. Udah harus ngucapin salam perpisahan untuk sahabat-sahabat terbaik kita, tapi kita semua harus selalu ingat. Ini bukanlah akhir, justru ini adalah awal yang baru untuk kehidupan kita. Acha pribadi mau minta maaf yang sebesar-besarnya kalau selama ini punya banyak kesalahan, makasih kalian udah mau kenal dan temenan sama Acha. Bercermin dari kisah seorang Gabriel, udah sepantasnya kita yang masih diberi nikmat panjang umur ini menghargai waktu dan kesempatan. Selalu berusaha jadi yang terbaik untuk orang-orang yang menyayangi kita. Selamat memulai dunia baru teman-teman, God bless..."

"Lo jadi teladan Yel, gak akan ada satu orang pun yang bakal lupain Lo. Lo tetep hidup di hati kami, sampai kapanpun." ujar Agni, yang diamini dengan anggukan, oleh orang-orang yang mendengarnya.

Tiada...tiada lagi tawamu yang selalu menemani segala sedihku.
Tiada...tiada lagi candamu yang selalu menghibur disaat ku lara
bila malam tiba
ku selalu memohonkan doa
menjaga jiwamu
hingga suatu masa
bertemu kembali.

***

aku tidak pernah menyangka, bahwa kehilangan dia rasanya sama seperti kehilangan separuh dari jiwaku. Dia menitipkan gadisnya padaku. Agar aku jaga ??
Tapi bagaimana mungkin ?
Bahkan ketika memandang dua bola mata bening gadis itu, penyesalan kian bergumul dalam benakku.
Aku merebut satu-satunya, sumber kebahagiannya.
Gabriel. Ya, mungkin ia tidak ditakdir untuk lebih lama tinggal, karena ia punya tugas yang lebih penting. Menjadi malaikat penuntut ku, agar tidak lagi terseret oleh arus ego dan prasangka buruk terhadap orang lain.
Aku akan menjalani hidup baruku, aku harus siap. Untuk Iel, untuk Via dan untuk diriku sendiri.

-Alvin Jonathan Sindhunata-

***

Andai aku tau lebih dulu, senyumku mampu menguatkannya.
Aku tidak pernah merasa keberatan untuk tersenyum setiap detiknya.
Agar ia bisa bertahan lebih lama bersama kami disini.
Andai aku tau lebih dulu, tawaku bisa menepis sakitnya.
Aku ingin menyuguhkan tawaku, setiap berada di dekatnya.
Tapi terlambat. Ia telah pergi. Tak akan pernah kembali sekuat apapun aku memintanya. Tidak akan pernah lagi ku temukan, sekeras apapun aku mencari.
Kalau tawa dan senyum ini tak lagi bisa mengembalikannya, tak bisa di lihatnya, dengan senang hati aku akan terus tersenyum untuk orang-orang yang dicintainya.

Ini hidup baruku, awal yang harus mulai aku jalani. Aku yakin aku bisa. Aku harap dari tempatmu, kamu masih mau menjagaku, Gabriel. Because you're guardian angel in my life.

-Sivia Azizah-

***

Adakah Yang Sempurna ?? ( Last Part )

***

Bila ada tawa didunia ini
maka ada tangis disampingnya.
Bila ada keberhasilan didunia ini
maka ada kegagalan disampingnya.

Bila aku bisa memilih, antara sekarang dan masa lalu.
Aku ingin kembali ke masa lalu.

Masa dimana aku masih hidup tanpa rasa sakit.
Masa dimana aku masih bisa menangis karena haru.
Bukan karena kesedihan, melihat tangis orang tuaku.

Tuhan. . .
Hidupku mungkin hanya sesaat.
namun biarkanlah hidupku menjadi cahaya bagi mereka.
Bagi siapapun yang ku cintai.

Bawa aku kembali, Tuhan. . .
Dalam masa indah itu, walau hanya sesaat.
( Agnes Davonar )

***

Mataku mengerjap beberapa kali. Belum terbiasa dengan cahaya putih menyilaukan dari benda bulat yang terpasang dilangit-langit ruangan ini, kamar Anggrek no. 24. Ah, kenapa sih, aku mesti kembali lagi ketempat laknat ini?
Belum sempat pertanyaan itu terlontar, tubuhku sudah menjawabnya. Karena aku sakit lagi, ya mungkin kurang lebih begitu jawabannya.
Seperti ikan yang dipaksa mengunjungi daratan, aku merasa sulit bernafas. Satu-persatu udara yang masuk ke paru-paru serasa seperti batu-batu besar yang semakin ku hirup, semakin terasa menyesakkan. Aku membuka mulutku, berharap dengan begini akan lain ceritanya. Bernafas dengan hidung dan bantuan mulut, haah... Adakah yang hidupnya lebih sesangsara dari ku. Perlahan, aku mengurut dada, deru nafasku mulai teratur. Lantas, ku alihkan fokusku qada 4 siluet yang tengah terduduk di sofa pandang dalam kamar ini. Tidak perlu di beritahupun aku sudah bisa menebaknya. Ekspresi cemas itu, pasti karena aku, lagi-lagi-lagi dan selalu karena aku. Ck.

4 tahun aku tidak lagi melihat sorat kekhawatiran semacam itu, dan ketikan sorot itu kembali berbinar dari mata-mata indah mereka, aku benar-benar merasa menjadi gadis paling tidak berguna di dunia.
Ya allah, sampai kapan aku akan merepotkan mereka seperti ini ?

4 siluet itu terdiam khidmat. Kak Riko bersama Kak Shilla, dan Acha yang terlihat bersandar sedih di pundak Ozy. Entahlah, apa yang ada dalam benak mereka, sampai-sampai mereka terlihat seperti orang-orang terpilih yang kebagian menanggung beban dan keluh kesah dunia, diatas pundak mereka.
Sedangkan satu makhluk disisi kiriku ini, pun tak luput dari perhatianku. Rio. Pemuda jangkung itu, tengah menyangga kepala yang tertunduk dengan kedua tangannya. Tidak jauh berbeda dengan empat orang tadi, wajah Rio kali ini juga sama sekali tidak enak dilihat.

"Yo.." lirihku, berusaha mengalihkan pemuda itu dari lamunannya.

"Eh ? Ify. Kamu sudah sadar ? Tunggu ya, biar ku panggilkan dokter." katanya, seraya bergegas bangkit dari kursi besi tempatnya duduk.

"Tidak perlu. Kamu disini saja." cegahku, menarik satu lengan kokohnya.

"Ify ?" sapa Kak Riko yang mendekat bersama 'pasukannya'. Setelah kelima orang tadi masing-masing berdiri mengelilingi ranjangku, datang lagi 2 orang baru yang aku yakin pasti juga akan turut mengerumuniku. Aku jadi merasa seperti hewan-hewan dalam kerangkeng yang sering dikerumuni para pengunjung kebun binatang.

Bunda dan dokter Aiman menyeruak masuk. Tampak bunda tengan berusaha menyeka sisa air mata dengan selembar tissue ditangannya. Dari gestur tubuh 2 orang ini, aku bisa menyimpulkan bahwa ada sesuatu yang tidak beres.

"Kamu sudah sadar, sayang ?" tanya bunda lembut.

Aku mengangguk lemah.

"Bagaimana keadaanmu Ify ? Apa yang kamu rasakan, sekarang ?" giliran Dokter Aiman yang bersuara.

"Nafas saya sedikit sesak, dok. Tapi saya merasa baik-baik saja."

"Kamu yakin, baik-baik saja ?"

Aku mengangguk mantap. Tentu tidak ingin wajah-wajah cemas itu kian menjadi, kalau aku mengeluh yang macam-macam.

"Saya sudah membicarakan hasil pemeriksaanmu dengan bundamu, Ify. Dan hasilnya sama sekali tidak menunjukkan kondisi kamu baik-baik saja. Kenapa kamu tidak pernah berkonsultasi dengan saya perihal sesak nafas yang belakangan sering kamu alami ?"

"Karena saya rasa, sesak nafas itu hanya efek dari aktifitas saya yang terlalu banyak akhir-akhir ini. Bukan sesuatu yang membahayakan bukan ?" balasku santai.

"Apa kamu lupa ? Kamu berbeda dengan yang lain !!" ujar dokter Aiman sedikit geram, "Maaf, saya tidak bermaksud menyinggungmu, tapi sudah selayaknya kamu itu mengerti bahwa fisikmu tidak sekuat orang-orang pada umumnya. Ada pengkhianat di dalamnya, Lupus. Yang sepele itu bisa jadi berbahaya buatmu. Apa kamu lupa ?"

"Bagaimana mungkin aku lupa dengan penyakit sialan ini." desisku pelan, nyaris tak terdengar.

Dokter Aiman menghela nafas panjang. Dokter tampan itu terlihat begitu lelah, mungkin menghadapi pasien menyebalkan sepertiku, benar-benar menyedot tenaga ekstra.
Ia melepas kaca mata bulan separonya, lalu dengan tatapan penuh kasih sayang, ia berujar, "Ify kamu sudah saya anggap seperti putri saya sendiri. Bahkan, saya begitu kagum dengan usahamu berdamai dengan Lupus. Sungguh saya tidak rela kalau pada akhirnya apa yang kamu perjuangkan hanya akan jadi sesuatu yang sia-sia. Dari awal sudah saya katakan, jaga pola hidup sehatmu, agar Lupus tidak menemukan titik celah untuk menyerang paru-parumu.

Tapi sepertinya pesan itu hanya akan jadi sebuah pesan. Dengan berat hati saya harus memberitahumu, bahwa Lupus telah menemukan celah itu. Paru-parumu mulai terganggu. Di beberapa titik, saluran pernafasanmu mengalami peradangan. itulah penyebab sesak nafas yang belakang sering kamu alami."

Aku melirik bunda sekilas, menelusui lekuk sempurna wajahnya dengan pandanganku. Ada kecemasan disana, juga sisa-sisa air mata. Dan aku tau betul, apa alasan buliran bening itu, meleleh ?

"Oh. Baguslah." tanggapku dingin, "Aku akan cepat mati kan ? Aku juga sudah capek. Aku bosan melihat kalian menangis. Bosan terus-menerus merepotkan kalian." lanjutku sarkatis.

"IFY !!" sentak kak Riko. Aku menoleh, sedikit kaget, karena sebelumnya kak Riko tidak pernah membentakku seperti tadi.

"Kamu bicara apa ? Tega sekali kamu bicara seperti itu didepan kami, orang-orang yang sangat menyayangimu." lanjutnya, kecewa.

"Kalian menyayangiku ? OK. Lalu ? Apa kalian bisa menahan kematian saat ia datang padaku, eh?"

"Ify..." panggil bunda lemah, "Apa kamu mau menyerah Nak ? Tidak kasian pada bunda, Fy ? Bunda tidak ingin kehilangan lagi."

Aku membisu.
Sepasang mata sendu itu, menghayutkanku.
membawaku, mengarungi samudera kasih seorang ibu...

"Dokter pasti salah memeriksa. Kak Ify kan sudah sembuh." tukas Acha, tak terima dengan vonis dokter.

"Acha, dokter akan jadi orang pertama yang mengucap syukur kalau diagnosa ini salah. Tapi itu sangat tidak mungkin, 98 % hasil pemeriksaannya akurat.

Tapi kamu harus selalu ingat kata-kata saya Ify. Seganas apapun, Lupus tidak akan bisa membunuh semangatmu untuk sembuh." tutur dokter Aiman, membesarkan hatiku.

"Tanpa kalian mintapun aku selalu berjuang untuk sembuh. Dan aku ingin disemangati, bukan di tangisi. Melihat kalian sedih karena aku, itu membuatku ingin segera mati saja." imbuhku.

Tok-tok-tok

suara pintu putih disisi kanan kamar ini terdengar diketuk. Seorang suster dengan baju kebangsaannnya -putih-putih-, menyembulkan kepala dari pintu yang sedikit terbuka.

"Dokter Aiman, dokter ditunggu keluarga pasien kamar anggrek no 11 di ruangan dokter." tutur suster tadi dengan suara lembut.

Dokter aiman mengangguk singkat, "Baiklah Ify, istirahatlah. Semoga lekas sembuh. Ingat, Allah bersama orang-orang yang sabar." ujarnya seraya melempar seular senyum.
Aku mengangguk kecil.

"Aku permisi dulu. Segera hubungi aku kalau terjadi sesuatu." Dokter Aiman menepuk pundak bunda, aku tersenyum kecil melihatnya.

Setelah sosok dokter Aiman hilang dibalik daun pintu bercat putih di depan sana, bunda pun pamit sebentar untuk shalat isya' di masjid rumah sakit ini.

"Berhentilah memandangiku seperti itu, Rio." tegurku setelah sekian menit dua manik kecoklatan itu memandangiku tanpa berkedip.

"Apa jadinya aku, kalau tanpa kamu." lirihnya datar.

"Ya, kamu akan tetap jadi kamu. Jadi Rio, manusia normal yang akan tetap melanjutkan kehidupannya."

"Aku tidak yakin, bisa."

"CK. Rio coba kamu lihat sekitarmu, banyak hal-hal indah yang Tuhan ciptakan untuk kau nikmati. Lantas, jangan hanya karena seorang gadis, kamu mengabaikan semua itu."

"Gadis itu nyatanya lebih indah dari dunia dan isinya, apa aku salah kalau begitu enggan merelakan dia pergi ?"

"Tidak ada yang salah. Yang salah, kalau kamu tidak segera pulang ke rumahmu. Besok kembali ke Jakarta kan ?" aku tersenyum manis. Ku tutup pembicaraan sebelumnya, topik semacam tadi tidak akan ada habisnya kalau dibahas dengan Rio. Aku hanya berharap, apapun yang terjadi kelak, Rio akan selalu bahagia dengan atau tanpa aku.

"Apa kamu fikir, aku tega meninggalkanmu dengan kondisi seperti ini ?"

"Kamu tidak perlu khawatir. Aku akan baik-baik saja. Lagi pula disini sudah banyak yang akan merawatku."

"Aku mau disini menjagamu."

"Tidak ada yang tau pasti kapan kondisiku membaik, kalau kamu terlalu lama di Jogja, kuliahmu akan bermasalah. Kamu bisa ketinggalan banyak materi pelajaran dan kuis dari dosen-dosenmu. Akan lebih baik kalau kamu kembali ke Jakarta."

"Kamu tidak mau aku temani ?"

"Bukan tidak mau, Rio. Tapi manusia itu harus pandai-pandai mengatur apa yang harus dijadikan prioritas, atau waktumu akan terbuang sia-sia, hanya karena menuruti perasaan."

"Ya baiklah, baiklah. Aku memang tidak ditakdirkan menang, kalau berdebat denganmu. Aku akan kembali ke Jakarta besok. Senang ?"

Aku terkekeh kecil.

"Kalau begitu, cepat sana pulang. Kamu harus istirahat dan packing kan ?"

"Tidak. Malam ini, aku mau disini."

"Kamu itu kenapa sih ? Senang sekali membantah." gerutuku, kesal.

"Dan kamu Alyssa, kenapa sih senang sekali memaksa, eh ?" balasnya, tak mau kalah.

"Sudahlah Yo. Memang sebaiknya kamu pulang. Besok sebelum berangkat kan bisa kemari lagi." Imbuh kak Riko.

Yeah. Syukurlah, aku punya sekutu. Aku benar-benar tidak enak kalau Rio tetap disini. Selama 5 hari dia di Jogja, selalu menemaniku. Malam ini, sebelum Rio kembali ke Jakarta, biarlah, orang tuanya melepas rindu pada putra tunggal mereka.

Tapi bukannya segera beranjak pergi, Rio malah duduk di sisi ranjangku. Perlahan, pemuda tampan itu mengulurkan tangannya, merengkuh tubuhku dalam pelukan.

"Berjanjilah untuk lekas sembuh. Aku menyayangimu Fy, lebih dari yang kamu tau." bisiknya lembut.

Aku tidak menjawab. Terbius aroma tubuhnya, sentuhan lembutnya, desah suaranya. Darahku berdesir, jantungku bertalu riuh, benar-benar sensasi yang menyenangkan.
Ya Allah betapa Engkau dzat yang maha adil. Masih mengizinkan manusia sepertiku menikmati ketulusan dari sosok sempurna seperti Rio.

Sobat, kalian boleh mengasihani aku, tapi aku tidak pernah merasa layak untuk itu. Lihat !! Aku punya sesuatu yang mungkin begitu kalian idamkan. Kekasih yang bukan hanya tampan, pintar dan baik, tapi juga cukup tangguh untuk kau mintai perlindungan, cukup dewasa untuk menerima segudang kekuranganmu, cukup kuat untuk kau ajak bertahan dalam susah.
Pemuda seperti itu kan yang kalian cari ?

"Aku akan baik-baik saja. Believe me, dear." tuturku menenangkan.

Perlahan, pemuda berkulit sawo matang itu melepas pelukannya. Tubuhnya yang menjulang, lantas berdiri lalu berjalan keluar kamar ini, setelah sebelumnya berpamitan pada aku dan yang lain. Sebelum menghilang, ia sempat melempar senyum manisnya. Senyum yang tak pernah kusangka, akan jadi senyum terakhir yang bisa ku rekam dalam otakku.

"Kakak juga pamit sebentar ya, mau mengantar Shilla pulang. Sudah malam." izin kak Riko, "Yuk, Shil !!" ajaknya, meraih tangan kak Shilla.

"Kakak pulang ya adik-adik, semoga lekas sembuh ya Fy. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam." balasku, Acha dan Ozy hampir bersamaan.

"Kalian tidak ikut pulang ? Sudah malam lho. Kamu juga pasti belum istirahat kan Cha, sejak dari Bandara ?" kataku, melirik kearah Acha dan Ozy yang masih berdiri disamping ranjangku.

"Acha tunggu ibu kembali dulu saja kak. Tidak mungkin kan kalau kak Ify, Acha tinggal sendirian."

"Maafkan kakak ya Cha, seharusnya hari ini kita bisa makan-makan atau jalan-jalan bersama untuk menyambut kedatanganmu, tapi penyakit sial ini benar-benar tidak bisa diajak kompromi."

"Sudahlah kak, tidak apa-apa. Yang penting kak Ify sehat dulu, jalan-jalannya kan bisa kapan-kapan."

aku hanya mengangguk kecil menanggapi kata-kata Acha barusan.

"Maaf ya kak, Ozy akhir-akhir ini tidak pernah membantu kakak lagi di Panti. Kakak jadi sakit begini, pasti karena terlalu sibuk ya ?" tutur Ozy yang sedari tadi hanya jadi lakon pasif dalam ruangan ini.

"Tidak apa-apa Zy. Akhir-akhir ini, kak Shilla juga membantu kok di Panti."

Detik berikutnya terisi oleh keheningan. Bunyi srek-srek-srek dari daun-daun palem yang bergesekan diluar sana, menandakan angin malam ini bertiup cukup kencang. Dinginnya terasa begitu tajam, menembus dinding-dinding tebal ruangan ini, merayapi setiap jengkal tubuhku, dan menusuk-nusuk tulang-belulang dalam balutan kulit.

"Oh ya, Cha. Boleh, kakak meminta satu hal ?" tanyaku, mencoba mencairkan suasana yang beku tadi.

"Tentu saja. Selagi permintaan itu bisa Acha penuhi, kak Ify boleh minta apa saja."

"Mmh.. Tinggallah disini Cha. Jangan kembali ke Perancis. Teruskan kuliahmu disini saja, kamu mau kan ?" pintaku, memohon. Ku pandangi bola mata indah milik Acha, lekat-lekat. Berharap, adik semata wayangku itu, memberikan jawaban 'Ya', karena hanya jawaban itulah yang mau aku dengar.

"Bukan apa-apa Cha, hanya saja kamu kan putrinya bunda. Walau bagaimanapun, anak perempuan kan akan lebih telaten mengurusi orang tuanya dibanding anak laki-laki." lanjutku, memaparkan alasanku.

"Lha, kak Ify kan juga perempuan tah ?" tukas Acha.

"Acha, kamu kan tau sendiri bagaimana kondisiku. Aku malah akan lebih sering merepotkan bunda dibanding merawatnya.

"Akan Acha pertimbang kan kak. Tapi Acha tidak janji, karena walau bagaimanapun kuliah di Perancis itu kan beasiswa. Sayang kalau di lepas begitu saja."

"Lalu ? Lalu apa, kak ?" tanya Acha tak mengerti.

"Lalu bagaimana dengan hubungan kalian berdua ? Sudah sejauh apa kalian memikirkan kelanjutannya ? Apa kamu tidak berniat melamar adikku Zy ?"

Ozy mendelik, "Mmh, niat baik seperti itu tentu saja ada kak." sahutnya, "Tapi kan tidak mungkin dalam waktu dekat ini. Kita kan masih sama-sama sibuk mengejar impian masing-masing. Toh, kalau jodoh tak akan kemana kan ?" tambahya diplomatis.

"Ya, yang penting kalian sudah memikirkannya. Aku akan lebih tenang, kalau adikku tersayang ini sudah memiliki pendamping yang benar-benar cocok untuknya."

"Kakak ini apa sih, dari pada mengurusi hubunganku dengan Ozy, lebih baik kakak fikirkan saja hubungan kakak dengan kak Rio, kapan kalian akan menikah ?" goda Acha.

"Cie, Acha balas dendam nih, ceritanya ?" ledekku.

"Eh, tapi kita juga mau bilang terimakasih yang sebesar-besarnya pada kak Ify, iya kan Cha ?" Ozy melirik Acha, yang tersenyum tipis kearahnya.

Acha mengangguk.

"Terimakasih untuk apa memangnya ?"

"Karena, kalau dulu kak Ify tidak membesarkan hatiku, mungkin sampai detik ini pun aku masih menganggap aku tidak cukup pantas untuk seorang Acha." jawab Ozy, jujur.

Tok-tok-tok

Lagi-lagi, terdengar suara ketukan pintu. Sejurus kemudian, seorang wanita cantik berkulit hitam manis dengan pakaian semi formal, menyeruak masuk.

"Haii !! Mbak sekretaris." selorohku padanya.

Wanita itu lantas berjalan kearahku sambil tersenyum.

"Bonjour kak Dea ? Comment allez-vous ?" sapa Acha, pada wanita tadi, Dea.

"Je vais bien. Mercy." balas Dea, sambil tersenyum.

"Nah Cha, sudah ada kak Dea. Kamu pulanglah, istirahat. Pasti kamu sangat lelah. Zy, antarkan Acha pulang ya." suruhku.

"Baiklah. Acha pulang ya kak, Assalamualaikum." pamit Acha, yang kemudian melangkah keluar disusul Ozy yang mengekor dibelakangnya.

"Waalaikumsalam. Hati-hati ya dijalan."

tak lama, dua sejoli itu pun menghilang dibalik daun pintu yang kembali menutup rapat.

"Hai, ibu sekretaris. Sibuk ya ? Sampai-sampai tidak pernah sempat membesuk Jogja barang sebentar." cerocosku pada Dea, yang sekarang memang telah menjadi seorang sekretaris di salah satu perusahan di Jakarta.

"Kamu kenapa ?" ia malah balik melontarkan pertanyaan padaku, dengan ekspresi sedih.

"Kamu seperti baru mengenalku saja De. Seorang Ify masuk rumah sakit, apa masih perlu ditanya kenapa ? Sudah ah, tidak usah bersedih seperti itu. Aku tidak suka. Kamu tumben pulang ke Jogja, ada apa ?"

"Aku juga baru sampai tadi pagi, kakak menyuruhku pulang. Katanya mamaku kangen sampai sakit."

"Oh begitu, semoga mamamu cepat sembuh ya, salam untuk beliau. Lalu, kamu tau dari siapa aku disini ?"

"Rio mengirimiku SMS, katanya kamu masuk rumah sakit biasa, aku langsung kemari saja. Aku benar-benar merindukanmu Fy, sudah hampir 2 tahun ya kita tidak bertemu. Kamu cepat sembuh, supaya kita bisa jalan-jalan dan mengunjungi SMA Budi dharma."

"Aku juga sangat merindukanmu. Amin, doanya saja ya De, aku juga tidak betah kalau harus berlama-lama ditempat ini. Eh, kata Rio tempat kostnya dekat ya dengan rumah pamanmu ? Kalian juga sering hang-out bareng ya ? Pasti seru."

"Iya Fy, tapi kami tidak ada apa-apa kok, sungguh. Rio cukup setia untuk menjaga perasaanmu. Kamu jangan berfikir macam-macam ya." tegas Dea.

"Hahaha," aku tertawa kecil, "Santai saja De. Ada apa-apapun tidak apa-apa kok, aku tidak akan marah."

"Maksud mu ?"

"Rio berhak mendapatkan wanita yang lebih baik dari aku. Kalau memang dia menyukaimu, aku tidak masalah. Kamu memang jauh lebih baik, segala-galanya dariku. Apalagi.....aku juga tau, kalau kamu.....menyukainya." tuturku hati-hati.

Dea menggeleng, "Kamu tega sekali Fy. Apa kamu kira aku sejahat itu, menyukai orang yang sudah jelas-jelas milik sahabatku. Aku tidak sepicik itu."

Aku bisa melihat kilatan kecewa dimata Dea. Ah, apa aku salah bicara ? Aku tidak bermaksud menyinggung perasaan Dea, aku hanya membukakan jalan untuk menyatukan apa yang sebenarnya memang lebih pantas bersatu.

"Dea, kalaupun kamu menyukainya aku tidak akan marah. Jujur saja, kamu tidak perlu merasa tidak enak."

"Dia punyamu Fy." tegas Dea, sekali lagi. Terlihat ekspresi tidak sukanya dengan topik yang sedang kami bicarakan.

"Entahlah. Aku rasa, akan lebih baik, kalau sekarang Rio menjauh atau membenciku. Aku hanya bisa merepotkannya."

Dea tersenyum sinis, sebelum berkata, "Kamu tidak pernah tau kan Fy, bagaimana Rio membanggakanmu di depan teman-temannya di Jakarta, bagaimana matanya selalu berbinar setiap kali dia membicarakanmu, bagaimana Rio selalu tersenyum setiap menerima telfon darimu. Bagaimana mungkin kamu bisa bilang, Kamu merepotkannya ? Kamu itu sumber kebahagiaan Rio, Fy."

"Tapi De, aku tidak ingin melihatnya hancur saat penyakitku akhirnya membawaku pergi jauh darinya. Aku tidak ingin Rio jatuh, dan itu tidak akan terjadi kalau Rio sudah menemukan penggantiku dari sekarang. Dan kalaupun aku sembuh, aku tidak mungkin bersama Rio. Keyakinan kami berbeda, dia tidak akan bisa jadi imam yang baik unukku." aku mulai terisak, membicarakan hal ini memang tak pernah bisa luput dari iringan air mata, walaupun seluruh tenagaku telah ku kerahkan untuk membendungnya.

"Cukup Ify !! Beberapa minggu lagi kalian akan bertunangan kan, aku yakin kalian sudah membahas soal keyakinan ini berulang kali, sebelumnya. Saat kamu memilih seorang muslim sekalipun belum tentu ia lebih baik dari Rio, Fy. Dan kalau kamu tidak ingin melihat Rio hancur, berjuanglah untuk sembuh, bukan menyodorkannya pada sahabatmu."

"Tapi kamu menyayanginya kan De ? Aku mau kamu bahagia, kamu sahabat terbaikku De."

"Fy..." Dea mengangkat daguku dengan ibu jari dan telunjuknya, mata indahnya menatapku dengan penuh kasih sayang, "Sekalipun benar, aku menyayangi Rio, aku tidak akan pernah mengganggu hubungan kalian. Rio terlihat begitu bahagia disampingmu, Rio bahkan bisa terus tersenyum hanya dengan memandangimu kala terlelap. Jangan melepasnya Fy, aku tidak ingin melihatnya sedih. Kamu beruntung memilikinya. Percayalah."

Aku menangis dalam hati. Dea, bahkan tanpa ia sadari, kata-katanya barusan betapa jelas menggambarkan kecintaannya pada Rio. Aku jadi berfikir. Selama ini, bagaimana perasaan Dea, setiap kali melihat aku dan Rio bersama ? Pasti sakit.

Aku menarik kedua ujung bibirku, berusaha tersenyum semanis mungkin untuk sahabat terbaikku, "Eh, kamu bawa apa ?" Aku menunjuk kantong kresek putih yang Dea letakkan diatas meja. Sepertinya, objek itu bisa mengalihkan kami dari pembicaraan tidak penting, tadi.

"Bubur ayam. Aku selalu ingat, kamu tidak suka masakan rumah sakit, jadi aku sempatkan membeli bubur ayam sebelum kemari tadi. Kamu mau makan ?" tawar Dea.

"Mmh, boleh deh. Sepertinya enak."

"OK. Aku suapi ya ?"

"Tidak ah, aku mau sendiri saja."

"Tidak apa-apa. Sekali-kali. Ayo buka mulutmu !! Aaa..."

Dea menyodorkan satu sendok bubur ke arah mulutku. Ia tersenyum manis, begitu pun aku."

"Kamu tau Dea ? Aku tidak pernah menganggapmu sahabat. Aku rasa kamu adalah saudara yang lupa Tuhan titipkan dalam rahim bundaku." ujarku, tulus.


Sahabat. Bukan mereka yang selalu mengamini perkataanmu. Yang selalu membenarkan semua polahmu, memberikan jutaan pujian atau rangkaian sanjungan.
Sahabat, ada mereka yang selalu bersedia menemanimu meski ke tepian jurang sekalipun. Mereka adalah yang tidak pernah bosan mendengarkanmu, meski yang terucap haya keluh serta kesah. Mereka, yang tidak akan pergi, meski kau berteriak tidak lagi membutuhkannya.
Sahabat, adalah yang selalu ada untukmu, bagaimanapun keadaanmu.

Sudahkah kamu mendapatkan sahabat yang sepertimu ?
Jika belum. Berkacalah !!

***

Tiga minggu berselang. Meski kondisiku tidak juga membaik, aku memilih untuk di rawat di rumah saja. Karena, seperti yang sering aku bilang, sakitku hanya akan bertambah parah selama berada di rumah sakit.

Jarum pendek dan panjang, jam antik besar yang dipasang diruang keluarga, berkombinasi menunjukkan waktu yang baru 10 menit beranjak dari pukul 9 pagi. Seperti hari-hari sebelumnya, aku masih dilarang beraktifitas diluar rumah. Merasa bosan, terus-menerus berbaring dikamar akhirnya aku memutuskan untuk keluar. Ku langkah kaki menuju dapur. Haah, sejak kapan rumah menjadi begitu luas. Sampai-sampai untuk menuju dapur saja kok rasanya jauh sekali ya ? Kakiku lemas sekali, tapi ku paksakan tetap melangkah. Bunda sepertinya sedang sibuk memasak, dan aku akan merasa sangat-tidak-berguna, kalau tidak bisa sekedar membantu merajang bawang atau mencuci sesuatu.

"Sedang sibuk ya bun ?" tanyaku basa-basi. Aku mencoba tersenyum, tapi bibirku yang dipenuhi sariawan, tampaknya enggan diajak bekerja sama. Berbeda dengan Lupus yang dulu menyerang fisikku habis-habisan, kali ini justru fisikku tidak mengalami banyak perubahan. Hanya ruam-ruam pada wajah, yang terlihat bertambah banyak.
Tapi rasanya malah jauh lebih sakit. Aku bahkan pernah memohon agar Tuhan segera mencabut nyawaku setiap sakitnya mendera tanpa ampun. Tapi melihat semangat orang-orang terkasihku, yang selalu mengharapkan kesembuhanku, aku tidak ingin menyerah. Puluhan tablet obat ku telan tiap harinya, berbagai prosedur pengobatan kujalani, akan ku lakukan semua hal agar aku bisa lebih lama hidup bersama orang-orang yang aku sayangi.

"Boleh Ify bantu, bun ?" tawarku seraya mulai mengirisi buncis dan wortel dalam wadah disamping bunda.

"Tidak usah, Fy. Kamu istirahat saja."

"Tidak apa-apa bun, Ify mau membantu. Sudah lama Ify tidak membantu bunda memasak. Bunda mau masak apa ?"

"Ify mau bunda masakan apa ?"

"Mmh, apa ya ? Ify sih, kangen bakwan jagungnya bunda."

"Ya sudah nanti bunda buatkan ya."

Aku mengangguk senang, "Bun, dokter Aiman itu, istri dan anaknya sudah meninggal ya ?"

"Iya. 10 tahun yang lalu, karena kecelakaan mobil."

"Dulu kata ayah, dokter Aiman itu mantan pacarnya bunda ya ?"

Bunda menghentikan aktifitasnya sebentar. Lantas menoleh kearahku yang berdiri disampingnya. Aku hanya melempar cengiran pada bunda, yang sepertinya tidak suka masa lalunya diungkit-ungkit.

"Ya. Bunda, Ayah dan dokter Aiman dulunya bersahabat. Bunda memang lebih dulu berpacaran dengan dokter Aiman, tapi tidak berjodoh. Lalu kami berpisah saat kuliah, bunda kemudian dijodohkan dengan Ayah, karena orang tua kami saling mengenal."

"Oh begitu. Bun, boleh Ify tanya sesuatu ? Tapi bunda jangan marah ya ?"

bunda hanya mengangguk, tanpa melepas tangan dan pandangannya dari sebaskom adonan dihadapannya.

"Apa bunda tidak berniat.....menikah lagi ?" tanyaku takut-takut, "Maksudku, walau bagaimanapun bunda kan butuh seseorang yang akan mendampingi bunda diusi senja nantinya. Kami tidak apa-apa kok kalau bunda menikah lagi." aku buru-buru menambahh perkataanku.

"Kalian bertiga sudah lebih dari cukup untuk menemani bunda diusia senja nanti."

"Tapi kita kan akan punya kehidupan sendiri nantinya, Bun. Apalagi Ify dan Acha, wanita. Harus ikut sama suami kan. Dan kak Riko juga pastinya akan menetap di Solo, sedang bunda juga kukuh mau tinggal di rumah ini."

"Apa kalian sudah tidak ada yang mau merawat bunda ?"

"Bukan begitu Bun, menurut Ify akan lebih baik kalau bunda menikah lagi. Nantinya akan ada yang selalu menemani bunda, tempat berbagi cerita, mencurahkan kasih sayang." kataku, sambil berjalan untuk mencuci beberapa buah apel.

"Iya, iya. Tapi Fy, apa masih ada yang mau dengan bunda ? Bunda ini sudah tua Fy, sudah kepala empat."

"Bunda masih cantik kok, masih menarik. Masih pantas untuk menikah lagi, lagi pula Ayah sudah 4 tahun yang lalu meninggalkan kita. Dan.....sepertinya dokter Aiman itu, calon suami yang baik. Beliau belum beristri lagi kan Bun ?"

"Kamu ini apa sih, Fy. Kok malah jodoh-jodohin bunda."

"Ih, pipinya bunda merah lhoo" godaku, "Bun, dokter Aiman itu sering menanyakan banyak hal tentang bunda lho pada Ify."

bila ada bohong yang diperbolehkan, aku harap kebohonganku pada bunda kali ini termasuk ke dalam salah satu diantaranya. Juga kebohonganku pada dokter Aiman tempo hari. Hehehe. Aku juga bilang bunda sering memuji dokter Aiman. Bukan apa-apa, aku hanya ini 2 mantan kekasih ini bisa bersatu. Doter Aiman sosok yang baik hati dan lembut. Bunda pasti akan bahagia bersamanya. Dan bukankah tidak ada yang lebih menggembirakan untuk seorang anak, selain melihat orang tuanya bahagia.

"Sudah ah jangan menggoda bunda, kamu ini ada-ada saja. Ngawur." bunda menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Ify tu serius lho bun, bunda maukan menikah dengan dokter Aiman ?"

"Kamu meminta bunda menikah lagi kok ya kayak nyuruh orang beli gula kewarung saja. Semuanya tentu harus dipertimbangkan dulu, Fy. Sudah sana, lebih baik kamu temani mas mu dan mbak Shilla di ruang tamu. Mereka sedang memilih-milih nama untuk calon cucu bunda sepertinya."

"Woo, bunda tu yang ngawur. Wong nikah saja belum, masa sudah memilih nama untuk anak." seruku, sembari melengos meninggalkan dapur, setelah menerima isyarat hush-hush dari lambaian tangan bunda.

Aku berjalan keruang tamu. Benar saja, disana ada kak Riko dan kak Shilla yang duduk berhadap-hadapan dan berbincang cukup seru.

"Lho Fy, kok sudah jalan-jalan, kamu kan harus banyak istirahat." nasehat kak Riko.

"Bicaramu seperti aku baru pulang tamasya dari Parang Tritis saja, kak. Aku juga daritadi istirahat. Ini baru saja keluar kamar."

"Kamu pucat sekali Fy, sudah makan ?" tanya kak Shilla.

"Tiap hari juga pucat seperti ini mbaknyaaa."

Detik berikutnya, jadilah aku obat nyamuk bakar. Kak Riko dan kak Shilla, mulai asik berbincang-bincang, mengamalkan asas "dunia milik berdua". Aku dijadikan patung hias, asbak rokok, taplak meja. Errr... Aku dikacangin.

"Kak Shilla tinggal disini saja ya, setelah menikah. Supaya bunda ada yang menemani." pintaku, berusaha menarik perhatian dua anak manusia ini. Kak Riko dan kak Shilla, 2 minggu lagi akan menikah. 3 hari setelahnya, aku dan Rio, akan bertunangan. Itulah rencana yang telah disusun manusia. Perlu di garis bawahi, MANUSIA bukan Tuhan. Karena nyatanya Tuhan punya rencanya sendiri.

"Ya tidak mungkin dong, Fy. Kamu kan tau, kampus tempat Shilla mengajar itu ya di Solo. Lagi pula, aku kan sudah membeli rumah disana." jawab kak Riko.

"Kan bisa dikontrakkan." sergahku.

"Kita pasti tetap akan sering mengunjungi bunda kok Fy, walaupun menetap di Solo." imbuh kak Shilla.

"Ya sudahlah. Tapi kalau begitu, kakak berdua harus membantu membujuk bunda ya untuk menikah dengan dokter Aiman."

"Kamu serius Fy, akan menjodohkan mereka ?" tanya kak Riko.

"Tentu saja serius. Jangan bilang kalau kakak tidak setuju."

"Selama itu memang akan membuat bunda bahagia, aku sih setuju saja."

"Kami pasti membantu, Fy." sanggup kak Shilla.

Lantas kami terdiam. Aku mamainkan ujung cardigan ungu yang ku kenakan. Kak Shilla sibuk membolak-balikkan sebuah majalah, sedangkan kak Riko tampak sibuk dengan ponselnya.

Diluar sana, pagi sedang mengumbar pesonanya. Dimana ada sisa-sisa embun yang berkilauan diterpa sinar mentari. Bunga-bunga segar dengan kupu-kupu yang menari disekelilingnya. Diufuk timur, bola bumi mulai merambat naik diiringi arak-arakan awan putih. Lalu yang tak kalah istimewa adalah teriakan tukang sayur keliling yang bersahutan dengan cicit-cuit burung gereja.
Ah, pagi memang selalu jadi sesuatu yang sangat ditunggu setelah semalaman berkutat dalam gelap.

"Kak !!" seruku.

"Ya..." sahut kak Riko dan kak Shilla, bersamaan.

"Aku memanggil kak Shilla, bukan kamu, wlek." aku menjulurkan lidah kearah kak Riko.

"Masih untung aku menyahut. Itu berarti aku masih menganggapmu sebagai adik." rutuk kak Riko.

Aku terkekeh sebentar, "Selamat menempuh hidup baru ya kak Shilla. Semoga kerasan jadi nyonya Riko." ujarku.

"Hahaha. Sepertinya kamu jadi orang pertama yang mengucapkan selamat pada kami ya, Fy. Padahal masih 2 minggu lagi lho."

"Ya, lebih cepat kan lebih baik Kak. Hehe." aku melempar cengiran.

"Aku juga mau bilang trimakasih Fy. Karena kalau dulu, kamu tidak meyakinkan aku untuk menyatakan perasaanku pada Shilla, mungkin sampai detik ini, kami masih bertahan dengan status sahabat." seloroh kak Riko, ia tersenyum manis kearahku.

"Sama-sama kak, aku juga turut bahagia. Lagi pula, bukankah hidup yang sebenar-benarnya adalah hidup yang memberikan manfaat untuk orang lain ?" balasku.

"Woalah, sudah dewasa tah, rupanya adikku ini ?" kak Riko mengacak poniku yang duduk disisinya.

"Pasti dong. Memang kamu kak, dari dulu tidak ada dewasa-dewasanya."

"Enak saja. Sudah tentu aku lebih dewasa darimu. Aku kan lebih tua darimu."

"Usia itu tidak menentukan seseorang sudah bisa bersikap dewasa atau belum. Kau tau ?" balasku tak mau kalah, "Kak kalau nanti sudah jadi istrinya kak Riko, aku sarankan bakar saja semua buku-buku tebalnya. Karena buku-buku itu bisa jadi sainganmu dalam hal merebut perhatian kak Riko, kak." aku beralih pada kak Shilla, malas berdebat dengan kak Riko. Buang-buang energi, apalagi saat ini kondisiku tidak benar-benar prima untuk adu mulut.

"Kalau Shilla sampai melakukan itu, lihat saja kamu Fy." ancam kak Riko.

"Eh, eh, kakak-kakak, aku boleh request ya, kalau nanti kakak-kakak ini punya putri, sertakan namaku ya, Alyssa..."

"Kenapa memangnya ?" tanya kak Shilla.

"Tidak apa-apa, hanya supaya kalian tetap mengingatku." jawabkku santai.

Aku tersenyum tenang. Paling tidak, kalau 'sesuatu' itu memang benar-benar kian dekat, aku sudah lega karena orang-orang yang aku sayangi sudah mendapatkan pasangan yang akan terus mendampingi mereka, dan selalu siap membahagiakan mereka.
Semoga kalian semua selalu ada dalam naungan dan cinta kasih-Mu, Ya Allah.

***

satuan waktu, yang begitu singkat, bagaimana jadinya hidup seorang Ify.
Dihinakan, dikecilkan, dianggap tak kasat mata.

Yang sempurna ?
Adakah ?
Bisakah diraih ?

Nyatanya, sempurna dan cacat bukan lagi pilihan, bukan ?
Tuhan telah mendesain keduanya buat hidupmu, jauh sebelum engkau di lahirkan.
Sempurna dan Cacat.
Tidak perlu dikejar atau dijauhi. Keduanya akan menghampirimu dengan sendirinya sesuai dengan jatah yang telah diatur Tuhan.

Yang sempurna ?

Sahabatku,
jadikan Tuhan tujuanmu. Jangan lagi memacu langkah, menuju sempurna.
Berlarilah kearah ridho Rabb-mu, karena setelah kamu meraihnya, segalanya akan mudah kau dapatkan.

Pasti akan ada batas saat kita mengurai tentang ruang, juga akan ada ujung saat bicara tentang sang waktu dan pasti akan ada akhir saat bercerita tentang sebuah kisah.
Kurasa kalam-Nya telah bergaung, menyeruku agar menjangkau rengkuhannya. Maka ku tulis satu pandanganku tentang hidup. Semoga kelak yang membacanya, memperoleh hikmah tak terbilang, bak selaksa langit.


THE END

***