Kamis, 05 Mei 2011

Adakah Yang Sempurna ?? ( Last Part )

***

Bila ada tawa didunia ini
maka ada tangis disampingnya.
Bila ada keberhasilan didunia ini
maka ada kegagalan disampingnya.

Bila aku bisa memilih, antara sekarang dan masa lalu.
Aku ingin kembali ke masa lalu.

Masa dimana aku masih hidup tanpa rasa sakit.
Masa dimana aku masih bisa menangis karena haru.
Bukan karena kesedihan, melihat tangis orang tuaku.

Tuhan. . .
Hidupku mungkin hanya sesaat.
namun biarkanlah hidupku menjadi cahaya bagi mereka.
Bagi siapapun yang ku cintai.

Bawa aku kembali, Tuhan. . .
Dalam masa indah itu, walau hanya sesaat.
( Agnes Davonar )

***

Mataku mengerjap beberapa kali. Belum terbiasa dengan cahaya putih menyilaukan dari benda bulat yang terpasang dilangit-langit ruangan ini, kamar Anggrek no. 24. Ah, kenapa sih, aku mesti kembali lagi ketempat laknat ini?
Belum sempat pertanyaan itu terlontar, tubuhku sudah menjawabnya. Karena aku sakit lagi, ya mungkin kurang lebih begitu jawabannya.
Seperti ikan yang dipaksa mengunjungi daratan, aku merasa sulit bernafas. Satu-persatu udara yang masuk ke paru-paru serasa seperti batu-batu besar yang semakin ku hirup, semakin terasa menyesakkan. Aku membuka mulutku, berharap dengan begini akan lain ceritanya. Bernafas dengan hidung dan bantuan mulut, haah... Adakah yang hidupnya lebih sesangsara dari ku. Perlahan, aku mengurut dada, deru nafasku mulai teratur. Lantas, ku alihkan fokusku qada 4 siluet yang tengah terduduk di sofa pandang dalam kamar ini. Tidak perlu di beritahupun aku sudah bisa menebaknya. Ekspresi cemas itu, pasti karena aku, lagi-lagi-lagi dan selalu karena aku. Ck.

4 tahun aku tidak lagi melihat sorat kekhawatiran semacam itu, dan ketikan sorot itu kembali berbinar dari mata-mata indah mereka, aku benar-benar merasa menjadi gadis paling tidak berguna di dunia.
Ya allah, sampai kapan aku akan merepotkan mereka seperti ini ?

4 siluet itu terdiam khidmat. Kak Riko bersama Kak Shilla, dan Acha yang terlihat bersandar sedih di pundak Ozy. Entahlah, apa yang ada dalam benak mereka, sampai-sampai mereka terlihat seperti orang-orang terpilih yang kebagian menanggung beban dan keluh kesah dunia, diatas pundak mereka.
Sedangkan satu makhluk disisi kiriku ini, pun tak luput dari perhatianku. Rio. Pemuda jangkung itu, tengah menyangga kepala yang tertunduk dengan kedua tangannya. Tidak jauh berbeda dengan empat orang tadi, wajah Rio kali ini juga sama sekali tidak enak dilihat.

"Yo.." lirihku, berusaha mengalihkan pemuda itu dari lamunannya.

"Eh ? Ify. Kamu sudah sadar ? Tunggu ya, biar ku panggilkan dokter." katanya, seraya bergegas bangkit dari kursi besi tempatnya duduk.

"Tidak perlu. Kamu disini saja." cegahku, menarik satu lengan kokohnya.

"Ify ?" sapa Kak Riko yang mendekat bersama 'pasukannya'. Setelah kelima orang tadi masing-masing berdiri mengelilingi ranjangku, datang lagi 2 orang baru yang aku yakin pasti juga akan turut mengerumuniku. Aku jadi merasa seperti hewan-hewan dalam kerangkeng yang sering dikerumuni para pengunjung kebun binatang.

Bunda dan dokter Aiman menyeruak masuk. Tampak bunda tengan berusaha menyeka sisa air mata dengan selembar tissue ditangannya. Dari gestur tubuh 2 orang ini, aku bisa menyimpulkan bahwa ada sesuatu yang tidak beres.

"Kamu sudah sadar, sayang ?" tanya bunda lembut.

Aku mengangguk lemah.

"Bagaimana keadaanmu Ify ? Apa yang kamu rasakan, sekarang ?" giliran Dokter Aiman yang bersuara.

"Nafas saya sedikit sesak, dok. Tapi saya merasa baik-baik saja."

"Kamu yakin, baik-baik saja ?"

Aku mengangguk mantap. Tentu tidak ingin wajah-wajah cemas itu kian menjadi, kalau aku mengeluh yang macam-macam.

"Saya sudah membicarakan hasil pemeriksaanmu dengan bundamu, Ify. Dan hasilnya sama sekali tidak menunjukkan kondisi kamu baik-baik saja. Kenapa kamu tidak pernah berkonsultasi dengan saya perihal sesak nafas yang belakangan sering kamu alami ?"

"Karena saya rasa, sesak nafas itu hanya efek dari aktifitas saya yang terlalu banyak akhir-akhir ini. Bukan sesuatu yang membahayakan bukan ?" balasku santai.

"Apa kamu lupa ? Kamu berbeda dengan yang lain !!" ujar dokter Aiman sedikit geram, "Maaf, saya tidak bermaksud menyinggungmu, tapi sudah selayaknya kamu itu mengerti bahwa fisikmu tidak sekuat orang-orang pada umumnya. Ada pengkhianat di dalamnya, Lupus. Yang sepele itu bisa jadi berbahaya buatmu. Apa kamu lupa ?"

"Bagaimana mungkin aku lupa dengan penyakit sialan ini." desisku pelan, nyaris tak terdengar.

Dokter Aiman menghela nafas panjang. Dokter tampan itu terlihat begitu lelah, mungkin menghadapi pasien menyebalkan sepertiku, benar-benar menyedot tenaga ekstra.
Ia melepas kaca mata bulan separonya, lalu dengan tatapan penuh kasih sayang, ia berujar, "Ify kamu sudah saya anggap seperti putri saya sendiri. Bahkan, saya begitu kagum dengan usahamu berdamai dengan Lupus. Sungguh saya tidak rela kalau pada akhirnya apa yang kamu perjuangkan hanya akan jadi sesuatu yang sia-sia. Dari awal sudah saya katakan, jaga pola hidup sehatmu, agar Lupus tidak menemukan titik celah untuk menyerang paru-parumu.

Tapi sepertinya pesan itu hanya akan jadi sebuah pesan. Dengan berat hati saya harus memberitahumu, bahwa Lupus telah menemukan celah itu. Paru-parumu mulai terganggu. Di beberapa titik, saluran pernafasanmu mengalami peradangan. itulah penyebab sesak nafas yang belakang sering kamu alami."

Aku melirik bunda sekilas, menelusui lekuk sempurna wajahnya dengan pandanganku. Ada kecemasan disana, juga sisa-sisa air mata. Dan aku tau betul, apa alasan buliran bening itu, meleleh ?

"Oh. Baguslah." tanggapku dingin, "Aku akan cepat mati kan ? Aku juga sudah capek. Aku bosan melihat kalian menangis. Bosan terus-menerus merepotkan kalian." lanjutku sarkatis.

"IFY !!" sentak kak Riko. Aku menoleh, sedikit kaget, karena sebelumnya kak Riko tidak pernah membentakku seperti tadi.

"Kamu bicara apa ? Tega sekali kamu bicara seperti itu didepan kami, orang-orang yang sangat menyayangimu." lanjutnya, kecewa.

"Kalian menyayangiku ? OK. Lalu ? Apa kalian bisa menahan kematian saat ia datang padaku, eh?"

"Ify..." panggil bunda lemah, "Apa kamu mau menyerah Nak ? Tidak kasian pada bunda, Fy ? Bunda tidak ingin kehilangan lagi."

Aku membisu.
Sepasang mata sendu itu, menghayutkanku.
membawaku, mengarungi samudera kasih seorang ibu...

"Dokter pasti salah memeriksa. Kak Ify kan sudah sembuh." tukas Acha, tak terima dengan vonis dokter.

"Acha, dokter akan jadi orang pertama yang mengucap syukur kalau diagnosa ini salah. Tapi itu sangat tidak mungkin, 98 % hasil pemeriksaannya akurat.

Tapi kamu harus selalu ingat kata-kata saya Ify. Seganas apapun, Lupus tidak akan bisa membunuh semangatmu untuk sembuh." tutur dokter Aiman, membesarkan hatiku.

"Tanpa kalian mintapun aku selalu berjuang untuk sembuh. Dan aku ingin disemangati, bukan di tangisi. Melihat kalian sedih karena aku, itu membuatku ingin segera mati saja." imbuhku.

Tok-tok-tok

suara pintu putih disisi kanan kamar ini terdengar diketuk. Seorang suster dengan baju kebangsaannnya -putih-putih-, menyembulkan kepala dari pintu yang sedikit terbuka.

"Dokter Aiman, dokter ditunggu keluarga pasien kamar anggrek no 11 di ruangan dokter." tutur suster tadi dengan suara lembut.

Dokter aiman mengangguk singkat, "Baiklah Ify, istirahatlah. Semoga lekas sembuh. Ingat, Allah bersama orang-orang yang sabar." ujarnya seraya melempar seular senyum.
Aku mengangguk kecil.

"Aku permisi dulu. Segera hubungi aku kalau terjadi sesuatu." Dokter Aiman menepuk pundak bunda, aku tersenyum kecil melihatnya.

Setelah sosok dokter Aiman hilang dibalik daun pintu bercat putih di depan sana, bunda pun pamit sebentar untuk shalat isya' di masjid rumah sakit ini.

"Berhentilah memandangiku seperti itu, Rio." tegurku setelah sekian menit dua manik kecoklatan itu memandangiku tanpa berkedip.

"Apa jadinya aku, kalau tanpa kamu." lirihnya datar.

"Ya, kamu akan tetap jadi kamu. Jadi Rio, manusia normal yang akan tetap melanjutkan kehidupannya."

"Aku tidak yakin, bisa."

"CK. Rio coba kamu lihat sekitarmu, banyak hal-hal indah yang Tuhan ciptakan untuk kau nikmati. Lantas, jangan hanya karena seorang gadis, kamu mengabaikan semua itu."

"Gadis itu nyatanya lebih indah dari dunia dan isinya, apa aku salah kalau begitu enggan merelakan dia pergi ?"

"Tidak ada yang salah. Yang salah, kalau kamu tidak segera pulang ke rumahmu. Besok kembali ke Jakarta kan ?" aku tersenyum manis. Ku tutup pembicaraan sebelumnya, topik semacam tadi tidak akan ada habisnya kalau dibahas dengan Rio. Aku hanya berharap, apapun yang terjadi kelak, Rio akan selalu bahagia dengan atau tanpa aku.

"Apa kamu fikir, aku tega meninggalkanmu dengan kondisi seperti ini ?"

"Kamu tidak perlu khawatir. Aku akan baik-baik saja. Lagi pula disini sudah banyak yang akan merawatku."

"Aku mau disini menjagamu."

"Tidak ada yang tau pasti kapan kondisiku membaik, kalau kamu terlalu lama di Jogja, kuliahmu akan bermasalah. Kamu bisa ketinggalan banyak materi pelajaran dan kuis dari dosen-dosenmu. Akan lebih baik kalau kamu kembali ke Jakarta."

"Kamu tidak mau aku temani ?"

"Bukan tidak mau, Rio. Tapi manusia itu harus pandai-pandai mengatur apa yang harus dijadikan prioritas, atau waktumu akan terbuang sia-sia, hanya karena menuruti perasaan."

"Ya baiklah, baiklah. Aku memang tidak ditakdirkan menang, kalau berdebat denganmu. Aku akan kembali ke Jakarta besok. Senang ?"

Aku terkekeh kecil.

"Kalau begitu, cepat sana pulang. Kamu harus istirahat dan packing kan ?"

"Tidak. Malam ini, aku mau disini."

"Kamu itu kenapa sih ? Senang sekali membantah." gerutuku, kesal.

"Dan kamu Alyssa, kenapa sih senang sekali memaksa, eh ?" balasnya, tak mau kalah.

"Sudahlah Yo. Memang sebaiknya kamu pulang. Besok sebelum berangkat kan bisa kemari lagi." Imbuh kak Riko.

Yeah. Syukurlah, aku punya sekutu. Aku benar-benar tidak enak kalau Rio tetap disini. Selama 5 hari dia di Jogja, selalu menemaniku. Malam ini, sebelum Rio kembali ke Jakarta, biarlah, orang tuanya melepas rindu pada putra tunggal mereka.

Tapi bukannya segera beranjak pergi, Rio malah duduk di sisi ranjangku. Perlahan, pemuda tampan itu mengulurkan tangannya, merengkuh tubuhku dalam pelukan.

"Berjanjilah untuk lekas sembuh. Aku menyayangimu Fy, lebih dari yang kamu tau." bisiknya lembut.

Aku tidak menjawab. Terbius aroma tubuhnya, sentuhan lembutnya, desah suaranya. Darahku berdesir, jantungku bertalu riuh, benar-benar sensasi yang menyenangkan.
Ya Allah betapa Engkau dzat yang maha adil. Masih mengizinkan manusia sepertiku menikmati ketulusan dari sosok sempurna seperti Rio.

Sobat, kalian boleh mengasihani aku, tapi aku tidak pernah merasa layak untuk itu. Lihat !! Aku punya sesuatu yang mungkin begitu kalian idamkan. Kekasih yang bukan hanya tampan, pintar dan baik, tapi juga cukup tangguh untuk kau mintai perlindungan, cukup dewasa untuk menerima segudang kekuranganmu, cukup kuat untuk kau ajak bertahan dalam susah.
Pemuda seperti itu kan yang kalian cari ?

"Aku akan baik-baik saja. Believe me, dear." tuturku menenangkan.

Perlahan, pemuda berkulit sawo matang itu melepas pelukannya. Tubuhnya yang menjulang, lantas berdiri lalu berjalan keluar kamar ini, setelah sebelumnya berpamitan pada aku dan yang lain. Sebelum menghilang, ia sempat melempar senyum manisnya. Senyum yang tak pernah kusangka, akan jadi senyum terakhir yang bisa ku rekam dalam otakku.

"Kakak juga pamit sebentar ya, mau mengantar Shilla pulang. Sudah malam." izin kak Riko, "Yuk, Shil !!" ajaknya, meraih tangan kak Shilla.

"Kakak pulang ya adik-adik, semoga lekas sembuh ya Fy. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam." balasku, Acha dan Ozy hampir bersamaan.

"Kalian tidak ikut pulang ? Sudah malam lho. Kamu juga pasti belum istirahat kan Cha, sejak dari Bandara ?" kataku, melirik kearah Acha dan Ozy yang masih berdiri disamping ranjangku.

"Acha tunggu ibu kembali dulu saja kak. Tidak mungkin kan kalau kak Ify, Acha tinggal sendirian."

"Maafkan kakak ya Cha, seharusnya hari ini kita bisa makan-makan atau jalan-jalan bersama untuk menyambut kedatanganmu, tapi penyakit sial ini benar-benar tidak bisa diajak kompromi."

"Sudahlah kak, tidak apa-apa. Yang penting kak Ify sehat dulu, jalan-jalannya kan bisa kapan-kapan."

aku hanya mengangguk kecil menanggapi kata-kata Acha barusan.

"Maaf ya kak, Ozy akhir-akhir ini tidak pernah membantu kakak lagi di Panti. Kakak jadi sakit begini, pasti karena terlalu sibuk ya ?" tutur Ozy yang sedari tadi hanya jadi lakon pasif dalam ruangan ini.

"Tidak apa-apa Zy. Akhir-akhir ini, kak Shilla juga membantu kok di Panti."

Detik berikutnya terisi oleh keheningan. Bunyi srek-srek-srek dari daun-daun palem yang bergesekan diluar sana, menandakan angin malam ini bertiup cukup kencang. Dinginnya terasa begitu tajam, menembus dinding-dinding tebal ruangan ini, merayapi setiap jengkal tubuhku, dan menusuk-nusuk tulang-belulang dalam balutan kulit.

"Oh ya, Cha. Boleh, kakak meminta satu hal ?" tanyaku, mencoba mencairkan suasana yang beku tadi.

"Tentu saja. Selagi permintaan itu bisa Acha penuhi, kak Ify boleh minta apa saja."

"Mmh.. Tinggallah disini Cha. Jangan kembali ke Perancis. Teruskan kuliahmu disini saja, kamu mau kan ?" pintaku, memohon. Ku pandangi bola mata indah milik Acha, lekat-lekat. Berharap, adik semata wayangku itu, memberikan jawaban 'Ya', karena hanya jawaban itulah yang mau aku dengar.

"Bukan apa-apa Cha, hanya saja kamu kan putrinya bunda. Walau bagaimanapun, anak perempuan kan akan lebih telaten mengurusi orang tuanya dibanding anak laki-laki." lanjutku, memaparkan alasanku.

"Lha, kak Ify kan juga perempuan tah ?" tukas Acha.

"Acha, kamu kan tau sendiri bagaimana kondisiku. Aku malah akan lebih sering merepotkan bunda dibanding merawatnya.

"Akan Acha pertimbang kan kak. Tapi Acha tidak janji, karena walau bagaimanapun kuliah di Perancis itu kan beasiswa. Sayang kalau di lepas begitu saja."

"Lalu ? Lalu apa, kak ?" tanya Acha tak mengerti.

"Lalu bagaimana dengan hubungan kalian berdua ? Sudah sejauh apa kalian memikirkan kelanjutannya ? Apa kamu tidak berniat melamar adikku Zy ?"

Ozy mendelik, "Mmh, niat baik seperti itu tentu saja ada kak." sahutnya, "Tapi kan tidak mungkin dalam waktu dekat ini. Kita kan masih sama-sama sibuk mengejar impian masing-masing. Toh, kalau jodoh tak akan kemana kan ?" tambahya diplomatis.

"Ya, yang penting kalian sudah memikirkannya. Aku akan lebih tenang, kalau adikku tersayang ini sudah memiliki pendamping yang benar-benar cocok untuknya."

"Kakak ini apa sih, dari pada mengurusi hubunganku dengan Ozy, lebih baik kakak fikirkan saja hubungan kakak dengan kak Rio, kapan kalian akan menikah ?" goda Acha.

"Cie, Acha balas dendam nih, ceritanya ?" ledekku.

"Eh, tapi kita juga mau bilang terimakasih yang sebesar-besarnya pada kak Ify, iya kan Cha ?" Ozy melirik Acha, yang tersenyum tipis kearahnya.

Acha mengangguk.

"Terimakasih untuk apa memangnya ?"

"Karena, kalau dulu kak Ify tidak membesarkan hatiku, mungkin sampai detik ini pun aku masih menganggap aku tidak cukup pantas untuk seorang Acha." jawab Ozy, jujur.

Tok-tok-tok

Lagi-lagi, terdengar suara ketukan pintu. Sejurus kemudian, seorang wanita cantik berkulit hitam manis dengan pakaian semi formal, menyeruak masuk.

"Haii !! Mbak sekretaris." selorohku padanya.

Wanita itu lantas berjalan kearahku sambil tersenyum.

"Bonjour kak Dea ? Comment allez-vous ?" sapa Acha, pada wanita tadi, Dea.

"Je vais bien. Mercy." balas Dea, sambil tersenyum.

"Nah Cha, sudah ada kak Dea. Kamu pulanglah, istirahat. Pasti kamu sangat lelah. Zy, antarkan Acha pulang ya." suruhku.

"Baiklah. Acha pulang ya kak, Assalamualaikum." pamit Acha, yang kemudian melangkah keluar disusul Ozy yang mengekor dibelakangnya.

"Waalaikumsalam. Hati-hati ya dijalan."

tak lama, dua sejoli itu pun menghilang dibalik daun pintu yang kembali menutup rapat.

"Hai, ibu sekretaris. Sibuk ya ? Sampai-sampai tidak pernah sempat membesuk Jogja barang sebentar." cerocosku pada Dea, yang sekarang memang telah menjadi seorang sekretaris di salah satu perusahan di Jakarta.

"Kamu kenapa ?" ia malah balik melontarkan pertanyaan padaku, dengan ekspresi sedih.

"Kamu seperti baru mengenalku saja De. Seorang Ify masuk rumah sakit, apa masih perlu ditanya kenapa ? Sudah ah, tidak usah bersedih seperti itu. Aku tidak suka. Kamu tumben pulang ke Jogja, ada apa ?"

"Aku juga baru sampai tadi pagi, kakak menyuruhku pulang. Katanya mamaku kangen sampai sakit."

"Oh begitu, semoga mamamu cepat sembuh ya, salam untuk beliau. Lalu, kamu tau dari siapa aku disini ?"

"Rio mengirimiku SMS, katanya kamu masuk rumah sakit biasa, aku langsung kemari saja. Aku benar-benar merindukanmu Fy, sudah hampir 2 tahun ya kita tidak bertemu. Kamu cepat sembuh, supaya kita bisa jalan-jalan dan mengunjungi SMA Budi dharma."

"Aku juga sangat merindukanmu. Amin, doanya saja ya De, aku juga tidak betah kalau harus berlama-lama ditempat ini. Eh, kata Rio tempat kostnya dekat ya dengan rumah pamanmu ? Kalian juga sering hang-out bareng ya ? Pasti seru."

"Iya Fy, tapi kami tidak ada apa-apa kok, sungguh. Rio cukup setia untuk menjaga perasaanmu. Kamu jangan berfikir macam-macam ya." tegas Dea.

"Hahaha," aku tertawa kecil, "Santai saja De. Ada apa-apapun tidak apa-apa kok, aku tidak akan marah."

"Maksud mu ?"

"Rio berhak mendapatkan wanita yang lebih baik dari aku. Kalau memang dia menyukaimu, aku tidak masalah. Kamu memang jauh lebih baik, segala-galanya dariku. Apalagi.....aku juga tau, kalau kamu.....menyukainya." tuturku hati-hati.

Dea menggeleng, "Kamu tega sekali Fy. Apa kamu kira aku sejahat itu, menyukai orang yang sudah jelas-jelas milik sahabatku. Aku tidak sepicik itu."

Aku bisa melihat kilatan kecewa dimata Dea. Ah, apa aku salah bicara ? Aku tidak bermaksud menyinggung perasaan Dea, aku hanya membukakan jalan untuk menyatukan apa yang sebenarnya memang lebih pantas bersatu.

"Dea, kalaupun kamu menyukainya aku tidak akan marah. Jujur saja, kamu tidak perlu merasa tidak enak."

"Dia punyamu Fy." tegas Dea, sekali lagi. Terlihat ekspresi tidak sukanya dengan topik yang sedang kami bicarakan.

"Entahlah. Aku rasa, akan lebih baik, kalau sekarang Rio menjauh atau membenciku. Aku hanya bisa merepotkannya."

Dea tersenyum sinis, sebelum berkata, "Kamu tidak pernah tau kan Fy, bagaimana Rio membanggakanmu di depan teman-temannya di Jakarta, bagaimana matanya selalu berbinar setiap kali dia membicarakanmu, bagaimana Rio selalu tersenyum setiap menerima telfon darimu. Bagaimana mungkin kamu bisa bilang, Kamu merepotkannya ? Kamu itu sumber kebahagiaan Rio, Fy."

"Tapi De, aku tidak ingin melihatnya hancur saat penyakitku akhirnya membawaku pergi jauh darinya. Aku tidak ingin Rio jatuh, dan itu tidak akan terjadi kalau Rio sudah menemukan penggantiku dari sekarang. Dan kalaupun aku sembuh, aku tidak mungkin bersama Rio. Keyakinan kami berbeda, dia tidak akan bisa jadi imam yang baik unukku." aku mulai terisak, membicarakan hal ini memang tak pernah bisa luput dari iringan air mata, walaupun seluruh tenagaku telah ku kerahkan untuk membendungnya.

"Cukup Ify !! Beberapa minggu lagi kalian akan bertunangan kan, aku yakin kalian sudah membahas soal keyakinan ini berulang kali, sebelumnya. Saat kamu memilih seorang muslim sekalipun belum tentu ia lebih baik dari Rio, Fy. Dan kalau kamu tidak ingin melihat Rio hancur, berjuanglah untuk sembuh, bukan menyodorkannya pada sahabatmu."

"Tapi kamu menyayanginya kan De ? Aku mau kamu bahagia, kamu sahabat terbaikku De."

"Fy..." Dea mengangkat daguku dengan ibu jari dan telunjuknya, mata indahnya menatapku dengan penuh kasih sayang, "Sekalipun benar, aku menyayangi Rio, aku tidak akan pernah mengganggu hubungan kalian. Rio terlihat begitu bahagia disampingmu, Rio bahkan bisa terus tersenyum hanya dengan memandangimu kala terlelap. Jangan melepasnya Fy, aku tidak ingin melihatnya sedih. Kamu beruntung memilikinya. Percayalah."

Aku menangis dalam hati. Dea, bahkan tanpa ia sadari, kata-katanya barusan betapa jelas menggambarkan kecintaannya pada Rio. Aku jadi berfikir. Selama ini, bagaimana perasaan Dea, setiap kali melihat aku dan Rio bersama ? Pasti sakit.

Aku menarik kedua ujung bibirku, berusaha tersenyum semanis mungkin untuk sahabat terbaikku, "Eh, kamu bawa apa ?" Aku menunjuk kantong kresek putih yang Dea letakkan diatas meja. Sepertinya, objek itu bisa mengalihkan kami dari pembicaraan tidak penting, tadi.

"Bubur ayam. Aku selalu ingat, kamu tidak suka masakan rumah sakit, jadi aku sempatkan membeli bubur ayam sebelum kemari tadi. Kamu mau makan ?" tawar Dea.

"Mmh, boleh deh. Sepertinya enak."

"OK. Aku suapi ya ?"

"Tidak ah, aku mau sendiri saja."

"Tidak apa-apa. Sekali-kali. Ayo buka mulutmu !! Aaa..."

Dea menyodorkan satu sendok bubur ke arah mulutku. Ia tersenyum manis, begitu pun aku."

"Kamu tau Dea ? Aku tidak pernah menganggapmu sahabat. Aku rasa kamu adalah saudara yang lupa Tuhan titipkan dalam rahim bundaku." ujarku, tulus.


Sahabat. Bukan mereka yang selalu mengamini perkataanmu. Yang selalu membenarkan semua polahmu, memberikan jutaan pujian atau rangkaian sanjungan.
Sahabat, ada mereka yang selalu bersedia menemanimu meski ke tepian jurang sekalipun. Mereka adalah yang tidak pernah bosan mendengarkanmu, meski yang terucap haya keluh serta kesah. Mereka, yang tidak akan pergi, meski kau berteriak tidak lagi membutuhkannya.
Sahabat, adalah yang selalu ada untukmu, bagaimanapun keadaanmu.

Sudahkah kamu mendapatkan sahabat yang sepertimu ?
Jika belum. Berkacalah !!

***

Tiga minggu berselang. Meski kondisiku tidak juga membaik, aku memilih untuk di rawat di rumah saja. Karena, seperti yang sering aku bilang, sakitku hanya akan bertambah parah selama berada di rumah sakit.

Jarum pendek dan panjang, jam antik besar yang dipasang diruang keluarga, berkombinasi menunjukkan waktu yang baru 10 menit beranjak dari pukul 9 pagi. Seperti hari-hari sebelumnya, aku masih dilarang beraktifitas diluar rumah. Merasa bosan, terus-menerus berbaring dikamar akhirnya aku memutuskan untuk keluar. Ku langkah kaki menuju dapur. Haah, sejak kapan rumah menjadi begitu luas. Sampai-sampai untuk menuju dapur saja kok rasanya jauh sekali ya ? Kakiku lemas sekali, tapi ku paksakan tetap melangkah. Bunda sepertinya sedang sibuk memasak, dan aku akan merasa sangat-tidak-berguna, kalau tidak bisa sekedar membantu merajang bawang atau mencuci sesuatu.

"Sedang sibuk ya bun ?" tanyaku basa-basi. Aku mencoba tersenyum, tapi bibirku yang dipenuhi sariawan, tampaknya enggan diajak bekerja sama. Berbeda dengan Lupus yang dulu menyerang fisikku habis-habisan, kali ini justru fisikku tidak mengalami banyak perubahan. Hanya ruam-ruam pada wajah, yang terlihat bertambah banyak.
Tapi rasanya malah jauh lebih sakit. Aku bahkan pernah memohon agar Tuhan segera mencabut nyawaku setiap sakitnya mendera tanpa ampun. Tapi melihat semangat orang-orang terkasihku, yang selalu mengharapkan kesembuhanku, aku tidak ingin menyerah. Puluhan tablet obat ku telan tiap harinya, berbagai prosedur pengobatan kujalani, akan ku lakukan semua hal agar aku bisa lebih lama hidup bersama orang-orang yang aku sayangi.

"Boleh Ify bantu, bun ?" tawarku seraya mulai mengirisi buncis dan wortel dalam wadah disamping bunda.

"Tidak usah, Fy. Kamu istirahat saja."

"Tidak apa-apa bun, Ify mau membantu. Sudah lama Ify tidak membantu bunda memasak. Bunda mau masak apa ?"

"Ify mau bunda masakan apa ?"

"Mmh, apa ya ? Ify sih, kangen bakwan jagungnya bunda."

"Ya sudah nanti bunda buatkan ya."

Aku mengangguk senang, "Bun, dokter Aiman itu, istri dan anaknya sudah meninggal ya ?"

"Iya. 10 tahun yang lalu, karena kecelakaan mobil."

"Dulu kata ayah, dokter Aiman itu mantan pacarnya bunda ya ?"

Bunda menghentikan aktifitasnya sebentar. Lantas menoleh kearahku yang berdiri disampingnya. Aku hanya melempar cengiran pada bunda, yang sepertinya tidak suka masa lalunya diungkit-ungkit.

"Ya. Bunda, Ayah dan dokter Aiman dulunya bersahabat. Bunda memang lebih dulu berpacaran dengan dokter Aiman, tapi tidak berjodoh. Lalu kami berpisah saat kuliah, bunda kemudian dijodohkan dengan Ayah, karena orang tua kami saling mengenal."

"Oh begitu. Bun, boleh Ify tanya sesuatu ? Tapi bunda jangan marah ya ?"

bunda hanya mengangguk, tanpa melepas tangan dan pandangannya dari sebaskom adonan dihadapannya.

"Apa bunda tidak berniat.....menikah lagi ?" tanyaku takut-takut, "Maksudku, walau bagaimanapun bunda kan butuh seseorang yang akan mendampingi bunda diusi senja nantinya. Kami tidak apa-apa kok kalau bunda menikah lagi." aku buru-buru menambahh perkataanku.

"Kalian bertiga sudah lebih dari cukup untuk menemani bunda diusia senja nanti."

"Tapi kita kan akan punya kehidupan sendiri nantinya, Bun. Apalagi Ify dan Acha, wanita. Harus ikut sama suami kan. Dan kak Riko juga pastinya akan menetap di Solo, sedang bunda juga kukuh mau tinggal di rumah ini."

"Apa kalian sudah tidak ada yang mau merawat bunda ?"

"Bukan begitu Bun, menurut Ify akan lebih baik kalau bunda menikah lagi. Nantinya akan ada yang selalu menemani bunda, tempat berbagi cerita, mencurahkan kasih sayang." kataku, sambil berjalan untuk mencuci beberapa buah apel.

"Iya, iya. Tapi Fy, apa masih ada yang mau dengan bunda ? Bunda ini sudah tua Fy, sudah kepala empat."

"Bunda masih cantik kok, masih menarik. Masih pantas untuk menikah lagi, lagi pula Ayah sudah 4 tahun yang lalu meninggalkan kita. Dan.....sepertinya dokter Aiman itu, calon suami yang baik. Beliau belum beristri lagi kan Bun ?"

"Kamu ini apa sih, Fy. Kok malah jodoh-jodohin bunda."

"Ih, pipinya bunda merah lhoo" godaku, "Bun, dokter Aiman itu sering menanyakan banyak hal tentang bunda lho pada Ify."

bila ada bohong yang diperbolehkan, aku harap kebohonganku pada bunda kali ini termasuk ke dalam salah satu diantaranya. Juga kebohonganku pada dokter Aiman tempo hari. Hehehe. Aku juga bilang bunda sering memuji dokter Aiman. Bukan apa-apa, aku hanya ini 2 mantan kekasih ini bisa bersatu. Doter Aiman sosok yang baik hati dan lembut. Bunda pasti akan bahagia bersamanya. Dan bukankah tidak ada yang lebih menggembirakan untuk seorang anak, selain melihat orang tuanya bahagia.

"Sudah ah jangan menggoda bunda, kamu ini ada-ada saja. Ngawur." bunda menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Ify tu serius lho bun, bunda maukan menikah dengan dokter Aiman ?"

"Kamu meminta bunda menikah lagi kok ya kayak nyuruh orang beli gula kewarung saja. Semuanya tentu harus dipertimbangkan dulu, Fy. Sudah sana, lebih baik kamu temani mas mu dan mbak Shilla di ruang tamu. Mereka sedang memilih-milih nama untuk calon cucu bunda sepertinya."

"Woo, bunda tu yang ngawur. Wong nikah saja belum, masa sudah memilih nama untuk anak." seruku, sembari melengos meninggalkan dapur, setelah menerima isyarat hush-hush dari lambaian tangan bunda.

Aku berjalan keruang tamu. Benar saja, disana ada kak Riko dan kak Shilla yang duduk berhadap-hadapan dan berbincang cukup seru.

"Lho Fy, kok sudah jalan-jalan, kamu kan harus banyak istirahat." nasehat kak Riko.

"Bicaramu seperti aku baru pulang tamasya dari Parang Tritis saja, kak. Aku juga daritadi istirahat. Ini baru saja keluar kamar."

"Kamu pucat sekali Fy, sudah makan ?" tanya kak Shilla.

"Tiap hari juga pucat seperti ini mbaknyaaa."

Detik berikutnya, jadilah aku obat nyamuk bakar. Kak Riko dan kak Shilla, mulai asik berbincang-bincang, mengamalkan asas "dunia milik berdua". Aku dijadikan patung hias, asbak rokok, taplak meja. Errr... Aku dikacangin.

"Kak Shilla tinggal disini saja ya, setelah menikah. Supaya bunda ada yang menemani." pintaku, berusaha menarik perhatian dua anak manusia ini. Kak Riko dan kak Shilla, 2 minggu lagi akan menikah. 3 hari setelahnya, aku dan Rio, akan bertunangan. Itulah rencana yang telah disusun manusia. Perlu di garis bawahi, MANUSIA bukan Tuhan. Karena nyatanya Tuhan punya rencanya sendiri.

"Ya tidak mungkin dong, Fy. Kamu kan tau, kampus tempat Shilla mengajar itu ya di Solo. Lagi pula, aku kan sudah membeli rumah disana." jawab kak Riko.

"Kan bisa dikontrakkan." sergahku.

"Kita pasti tetap akan sering mengunjungi bunda kok Fy, walaupun menetap di Solo." imbuh kak Shilla.

"Ya sudahlah. Tapi kalau begitu, kakak berdua harus membantu membujuk bunda ya untuk menikah dengan dokter Aiman."

"Kamu serius Fy, akan menjodohkan mereka ?" tanya kak Riko.

"Tentu saja serius. Jangan bilang kalau kakak tidak setuju."

"Selama itu memang akan membuat bunda bahagia, aku sih setuju saja."

"Kami pasti membantu, Fy." sanggup kak Shilla.

Lantas kami terdiam. Aku mamainkan ujung cardigan ungu yang ku kenakan. Kak Shilla sibuk membolak-balikkan sebuah majalah, sedangkan kak Riko tampak sibuk dengan ponselnya.

Diluar sana, pagi sedang mengumbar pesonanya. Dimana ada sisa-sisa embun yang berkilauan diterpa sinar mentari. Bunga-bunga segar dengan kupu-kupu yang menari disekelilingnya. Diufuk timur, bola bumi mulai merambat naik diiringi arak-arakan awan putih. Lalu yang tak kalah istimewa adalah teriakan tukang sayur keliling yang bersahutan dengan cicit-cuit burung gereja.
Ah, pagi memang selalu jadi sesuatu yang sangat ditunggu setelah semalaman berkutat dalam gelap.

"Kak !!" seruku.

"Ya..." sahut kak Riko dan kak Shilla, bersamaan.

"Aku memanggil kak Shilla, bukan kamu, wlek." aku menjulurkan lidah kearah kak Riko.

"Masih untung aku menyahut. Itu berarti aku masih menganggapmu sebagai adik." rutuk kak Riko.

Aku terkekeh sebentar, "Selamat menempuh hidup baru ya kak Shilla. Semoga kerasan jadi nyonya Riko." ujarku.

"Hahaha. Sepertinya kamu jadi orang pertama yang mengucapkan selamat pada kami ya, Fy. Padahal masih 2 minggu lagi lho."

"Ya, lebih cepat kan lebih baik Kak. Hehe." aku melempar cengiran.

"Aku juga mau bilang trimakasih Fy. Karena kalau dulu, kamu tidak meyakinkan aku untuk menyatakan perasaanku pada Shilla, mungkin sampai detik ini, kami masih bertahan dengan status sahabat." seloroh kak Riko, ia tersenyum manis kearahku.

"Sama-sama kak, aku juga turut bahagia. Lagi pula, bukankah hidup yang sebenar-benarnya adalah hidup yang memberikan manfaat untuk orang lain ?" balasku.

"Woalah, sudah dewasa tah, rupanya adikku ini ?" kak Riko mengacak poniku yang duduk disisinya.

"Pasti dong. Memang kamu kak, dari dulu tidak ada dewasa-dewasanya."

"Enak saja. Sudah tentu aku lebih dewasa darimu. Aku kan lebih tua darimu."

"Usia itu tidak menentukan seseorang sudah bisa bersikap dewasa atau belum. Kau tau ?" balasku tak mau kalah, "Kak kalau nanti sudah jadi istrinya kak Riko, aku sarankan bakar saja semua buku-buku tebalnya. Karena buku-buku itu bisa jadi sainganmu dalam hal merebut perhatian kak Riko, kak." aku beralih pada kak Shilla, malas berdebat dengan kak Riko. Buang-buang energi, apalagi saat ini kondisiku tidak benar-benar prima untuk adu mulut.

"Kalau Shilla sampai melakukan itu, lihat saja kamu Fy." ancam kak Riko.

"Eh, eh, kakak-kakak, aku boleh request ya, kalau nanti kakak-kakak ini punya putri, sertakan namaku ya, Alyssa..."

"Kenapa memangnya ?" tanya kak Shilla.

"Tidak apa-apa, hanya supaya kalian tetap mengingatku." jawabkku santai.

Aku tersenyum tenang. Paling tidak, kalau 'sesuatu' itu memang benar-benar kian dekat, aku sudah lega karena orang-orang yang aku sayangi sudah mendapatkan pasangan yang akan terus mendampingi mereka, dan selalu siap membahagiakan mereka.
Semoga kalian semua selalu ada dalam naungan dan cinta kasih-Mu, Ya Allah.

***

satuan waktu, yang begitu singkat, bagaimana jadinya hidup seorang Ify.
Dihinakan, dikecilkan, dianggap tak kasat mata.

Yang sempurna ?
Adakah ?
Bisakah diraih ?

Nyatanya, sempurna dan cacat bukan lagi pilihan, bukan ?
Tuhan telah mendesain keduanya buat hidupmu, jauh sebelum engkau di lahirkan.
Sempurna dan Cacat.
Tidak perlu dikejar atau dijauhi. Keduanya akan menghampirimu dengan sendirinya sesuai dengan jatah yang telah diatur Tuhan.

Yang sempurna ?

Sahabatku,
jadikan Tuhan tujuanmu. Jangan lagi memacu langkah, menuju sempurna.
Berlarilah kearah ridho Rabb-mu, karena setelah kamu meraihnya, segalanya akan mudah kau dapatkan.

Pasti akan ada batas saat kita mengurai tentang ruang, juga akan ada ujung saat bicara tentang sang waktu dan pasti akan ada akhir saat bercerita tentang sebuah kisah.
Kurasa kalam-Nya telah bergaung, menyeruku agar menjangkau rengkuhannya. Maka ku tulis satu pandanganku tentang hidup. Semoga kelak yang membacanya, memperoleh hikmah tak terbilang, bak selaksa langit.


THE END

***

Senin, 18 April 2011

Malaikat Hidup Gue Part 23

***

Sesuatu yang membuatmu menunggu akan terasa lama datangnya. Nikmatilah, resapilah setiap sedihmu. Renungi tetesan air matamu. Biarkan semua bergulir semestinya. Berjalan selaras alurnya. Dan, kebahagian itu akan menghampirimu. Semua akan jadi sempurna, bila masanya memang telah tiba.


***

Hiruk pikuk dan bising luar biasa yang menjadi backsong untuk satu lagi scene dalam kehidupan berlatar bandara ini, agaknya membuat gerik gelisah seorang pemuda, terabaikan. Jangankan orang-orang dengan koper dan tas-tas besar yang sekedar berlalu lalang didepannya, bahkan gadis berpipi gembil yang duduk disampingnya pun tampaknya tidak bisa membaca gelagat resah pemuda tampan itu. Berselang dua kursi dari pemuda tadi, dua lelaki paruh baya sedang duduk khidmat dalam diam. Pemuda tadi menoleh kearah dua lelaki paruh baya itu, sedetik kemudian ia tersenyum lebar. Seakan memperoleh kembali secerca kemantapan yang tadi sempat menguap, karena bayangan sempurna milik seorang gadis.

"Ini demi, Ayah." bisiknya, pelan.

"Kenapa, Kak ?" sahut, gadis disebelahnya, yang ternyata cukup cermat untuk mendengar ucapannya.

"Eh, gak kok Ke, gak pa-pa." jawab pemuda tadi seraya menggeleng.

"Oh" Keke membulatkan bibir, "Em, Kak Cakka sedih ya harus ninggalin temen-temen Kakak ?" tanyanya, prihatin.

"Bohong Ke, kalau gue bilang gak sedih. Apalagi keadaannya sekarang kayak gini. Harusnya sebagai sahabat gue ada disamping mereka, bukan malah pergi kayak gini. Tapi ya... mau gimana lagi ? Ini semua juga kan demi Ayah." terang Cakka dengan pandangan menatap lurus ke depan, datar tanpa ekspresi.

"Semoga semuanya berjalan lancar ya Kak. Jadi lo bisa cepet balik ke Indo. Em, ngomong-ngomong lo udah pamitan sama Kak Agni kan ?"

Cakka menoleh sekilas pada Keke, lantas mendesah tak kentara, "Udah Ke." timpalnya singkat.

Keke menepuk pundak Cakka, "Gak usah sedih gitu dong mamen. Kakak kan ganteng, di Singapore pasti banyak cewek-cewek cantik yang bakal naksir sama lo, Kak. Keep smile." Keke berusaha menggoda sepupu kesayangannya itu, berusaha membuatnya kembali tertawa.

Tapi sepertinya Cakka benar-benar sudah kehilangan kotak suaranya, ia hanya tersenyum tipis pada Keke.

"Gak asik deh." Keke menyikut pinggang Cakka.

"Gue tu sayang banget sama Agni, Ke. Secantik apapun cewek Singapore, gue gak yakin bisa bikin gue lupa sama Agni."

"Lagian ya, lo tu aneh-aneh aja sih Kak. Perasaan orang lo pake mainan, wajarlah orangnya sakit hati. Udah untung lo gak dibikin bonyok, lo bilang Kak Agni kan jagoan."

"Tapi kan paling nggak, karena taruhan itu gue jadi tau, bahwa gak semua cewek kayak nyokap gue. Yang ninggalin bokap cuma karena harta yang lebih. ada juga cewek yang baik kayak agni misalnya. Kalaupun akhirnya Agni benci sama gue, ya mungkin ini karma atas perbuatan gue selama ini."

Keke tersenyum kecil, "Sabar ya Kak, gue yakin, kalau kak Agni itu jodoh lo, dia bakal balik lagi ke elo." ujar Keke, penuh arti.

"Gue gak berani berharap lebih Ke, buat gue, Agni gak benci sama gue aja itu udah lebih dari cukup." Cakka tertawa miris diujung kalimatnya.

"Siapa bilang gue benci sama lo ?"

Ada bayanganmu dimataku
yang selalu membuatku rindu
aku yakin diantara kita masih ada cinta

bagaimana caranya, oh cintaku
kuingin juga kau mengerti
bagaimana caranya ??

Suara itu, reflek membuat Cakka menoleh. Ketika didapatinya sosok Agni dengan kedua tangan bertumpu pada lutut, nafas yang tersengal dan dandanannya yang berantakan, seluruh otot dalam tubuh Cakka mengejang seakan serentak melakukan kontraksi. Ah, betapa dalam keadaan seperti apapun, gadis itu tetap terlihat sempurna dimata Cakka.

"Agni..." gumam Cakka, setelah yakin kakinya masih berpijak pada bumi. Karena sesaat tadi, mendengar suara Agni membuatnya kepayang dan serasa diterbangkan ke langit tingkat tujuh.

"Kok elo disini, Ag ?" tanyanya, heran.

"Gue mau nganterin lo, sampe Bandara."

Cakka lagi-lagi mengurai senyum, "Gue kira dihari keberangkatan gue ini. Gak ada satu pun diantara kalian yang bakal say good bye sama gue di Bandara. Thanks ya lo udah nyempetin dateng kesini."

Agni mengangguk, "Sekalian Kka, ada yang mau gue omongin sama lo. Lo masih lama kan berangkatnya ?"

"Ya, masih lumayan lama sih. Mau ngomong apa Ag ?"

Agni terdiam sesaat, menatap dua bola mata milik Cakka yang dipenuhi sorot ketidak-mengertian dan satu sorot lagi, yang terasa begitu menohok jantung Agni. Ada sesuatu disana. Begitu nyata. Jelas. Sesuatu yang tidak mungkin bisa direka, butuh kemampuan setingkat lebih tinggi dari peraih piala oscar untuk kategori aktor paling berbakat, kalau ingin menyuguhkan acting sesempurna itu. Binar itu tidak mungkin berbohong. Cakka. Pemuda itu memandangi Agni dengan tatapan penuh kasih. Agni tidak mau menipu diri, ia mengakui tatapan Cakka itu membiusnya.

Ah, astaga... kemana saja gadis ini. Bukankah pemuda tampan dihadapannya itu telah puluhan atau bahkan mungkin ratusan kali menyatakan kesungguhannya. Hanya terabai. Pengakuan Cakka hanya sepintas mengusik gendang telinganya, lalu menghilang tersalip dengung tangis kecewa milik Agni sendiri.

"Cuma dua hal Kka. Pertama, gue udah maafin lo. Dan kedua, jangan... lama-lama ya Kka di Singaporenya." tutur Agni sambil menunduk.

Haruskah ku teteskan air mata dipipi
haruskah ku curahkan s'gala isi di hati
haruskah kau ku peluk dan tak ku lepas lagi
agar tiada pernah ada kata berpisah

Seperti orang yang disuguhi kopi rasa jus jambu, Cakka melongo. Tertegun. Setengah tak percaya, pada akurasi pendengarannya. Tidak lantas tersenyum, Cakka malah jadi sangsi dengan ucapan Agni barusan. Ia yakin ada yang tidak beres. Beberapa hari yang lalu Agni masih menatapnya dengan marah dan menuduh, masih bersikap tak acuh, bahkan seingat Cakka, Agni bilang kalau gadis itu masih begitu sakit hati pada Cakka.
Alih-alih bersorak riang mendengar dua kabar baik yang disampaikan Agni, pemuda itu malah bertanya dengan enggan, "Lo gak lagi bohongin gue kan Ag ?"

"Bohong ? Ya, gak lah. Bukannya yang selama ini suka bohong tu elo ya ?"

"Maksud gue bukan gitu Ag, lo gak lagi disuruh anak-anak kan buat ngomong kayak tadi sama gue, cuma buat bikin gue seneng sebelum ke Singapore ?"

"Ck. Cakka Kawekas Nuraga, gue yang bernama Agni Tri Nubuwati, membuat pernyataan tadi dalam keadaan sadar dan tanpa tekanan dari pihak manapun. Jelas ?" tandas Agni, sedikit geram.

"Ja.. jadi.. Lo gak benci sama gue Ag ?"

"Gue emang sempet marah sama lo, tapi kalau benci sih... kayaknya nggak deh."

"Tapi bukannya dua hari yang lalu pas kita ke rumah pohon, lo masih marah banget sama gue seka.."

"Ya, gue gak tega aja kalau elo sampe nangis-nangis tiap malem cuma gara-gara gue. Makanya hari ini gue bela-belain nyusulin lo kesini." balas Agni santai.

"Nangis ? Gue ?" Cakka mengarahkan telunjuknya kedepan wajah, "Ya, gak mungkinlah. Gue sampe nangis, gue kan cowok." sergahnya.

"Masa sih ? Kata Keke lo suka nangis semenjak gue putusin." goda Agni.

Cakka langsung memandangi Keke dengan tatapan ngomong-apa-aja-lo-mulut-ember.

Faham, medan sudah berubah. Keke langsung mengangkat telunjuk dan jari tengahnya membentuk huruf V, lantas memajang wajah polos bak anak kucing tanpa dosa.

Keke menyeringai lebar, "Pease mamen. Hehe. Kak Cakka jangan melotot gitu dong, serem tauuu." ujar Keke, cengengesan.

"Kok bisa sih kalian ketemuan, gak ngajak-ngajak gue ? Ngomong apa aja lo setan cilik, aib gue yang mana, yang lo bongkar ?" tanya Cakka, berang.

"Aduh please deh kak Cakka. Gak usah nanya yang mana, hidup lo tu kan emang udah aib semua. Lagian gue juga cuma bilang, setelah diputusi kak Agni, lo tu jadi aneh. Gak mau makan, suka bengong, dengernya lagu-lagu mellow, suka ngemil makanan kucing gue, trus jadi sering-sering nulis diary, sama nangis-nangis dipojokan kamar." Keke menganbsen satu persatu aib Cakka.

"Kekeee, lo apa banget deh. Fitnah. Sejak kapan gue suka nulis diary, lo kira gue perawan labil." Cakka mencak-mencak, memarahi Keke yang masih konsisten memajang ekspresi Gue-kan-gak-salah-apaapa.

"Ini sama aja dengan pembunuhan karakter tau. Penghancuran citra dimata public."

"Duh kak Cakka berisik deh. Yang penting kan sekarang hasilnya kak Agni mau ke bandara nganterin kakak. Harusnya kakak tu makasih sama aku."

"Ora sudi."

Agni hanya terkekeh mengamati 2 orang yang terikat tali persaudaraan karena garis keturunan dari sang ayah itu. Ia tidak bisa dan tidak ingin lagi membohongi diri sendiri, bahwa pemuda tampan itu benar-benar sumber kebahagiannya. Kembali melihat kelakarnya seperti sekarang, membuat Agni bagai disuguhi 2 supermoon sekaligus dalam satu malam. Tak peduli apa dan bagaimana Cakka pada masa yang dulu, toh kehidupan akan terus bergerak, berbagai perubahan mutlak terjadi. Yang paling penting bagi Agni ataupun Cakka adalah hati mereka telah sama-sama memilih. Bagaimanapun cara cinta itu datang, tak jadi soal.

"Kalau elo berantem mulu sama adik lo kayak gitu, elo malah kayak anak dibawah umur yang lagi galau Kka." ceplos Agni. Dan berhasil, Keke serta Cakka, akhirnya menuntaskan adu mulut mereka yang sebetulnya sangat tidak penting dan tidak berbobot.

"Cakka, 30 menit lagi pesawat kita berangkat." ujar paman Cakka. Adik dari Ayahnya, sekaligus Papa Keke, setelah beliau melirik arloji keperakan yang digunakan.

Cakka mengangguk kecil. Lantas menyambar jaketnya yang semula tergeletak pada kursi yang tadi ia tempati.

"Ag.. Sebelum gue berangkaat... emmh.. gue pengeen... hubungan kita jelas Ag. Maksud gue, kan lo bilang lo gak benci sama gue dan udah maafin gue, gue juga udah bilang dengan sejujur-jujurnya kalau gue sayang banget, dan gak bakalan kecewain lo lagi. Jadi apa.. emmh, kitaa... bisa balikan Ag ?"

Lupakanlah cerita kelabu
kita susun lagi langkah baru
bagaimana caranya oh cintaku
ku ingin bahagia denganmu
bagaimana caranya ??

"Maaf ya Kka, pada intinya kita emang udah sama-sama tau perasaan masing-masing. Gue juga sama sekali gak ragu sama lo, dan lo juga bisa percaya sepenuhnya sama gue, tapi... kalau buat balikan, maaf Kka, tapi mungkin gak sekarang."

"Tapi... Kenapa Ag, apa udah ada orang lain yang lebih baik dari gue ? Riko ?"

"Riko ?"

"Iya, gue sering liat kalian jalan berdua. Gue juga hampir tiap hari, liat Riko nongkrong depan CB kalau jam pulang."

Agni tertawa kecil, "Jelas lah, pacarnya kan anak CB.."

"Pacar ? Siapa ?"

FlashBack : on

Klenengan yang dipasang didepan pintu cafè, sudah bergerak berkali-kali. Setiap kerincing yang ditimbulkan, membuat dua gadis yang masih mengenakan rok abu-abu yang duduk dimeja no 14 disisi jendela besar Verona cafè, mengangkat wajah. Melongok kearah pintu, kalau-kalau pengunjung yang datang adalah orang yang mereka tunggu. Kedua gadis itu masih bertahan dalam diam, setelah beberapa menit yang lalu obrolan mereka terhenti tepat ketika topik gosip mereka mulai menyerempet-nyerempet, Sivia. Sahabat mereka sendiri. Menggunjingkan sahabat sendiri dibelakangnya, selain sangat pengecut, juga termasuk hal jahat, bukan ?? Maka dari itu, tidak ingin larut dalam perbincangan yang menguak aib orang lain, dua gadis tadi memutuskan lebih baik diam. Toh, tidak akan kentara. Cafè ini memang selalu ramai bila sore hari seperti sekarang. Sehingga, tanpa perlu dua gadis tadi ikut berceloteh pun, tempat ini sudah cukup ramai.

Ting-ting-ting

balok-balok es kecil dalam gelas terdengar beradu dengan wadahnya, ketika oknum pemegang sedotan begitu antusias memutar-mutar sedotan putih polos ditangannya.

"Fuuih." seorang dari mereka mulai mendesah, bosan. Gadis berambut panjang itu melirik jam tangannya, "Udah jam setengah 4 nih, temen lo lama banget sih Ag, gue nemenin Rio nyari gaun aja dulu ya ?" ujar Si Rambut panjang tadi, meminta izin.

"nyari gaun ? Emang sejak kapan Rio pake gaun ?"

"Aduh please deh Ag, gak usah pake ngejayus. Bikin tambah BT, tau." omel Shilla,

"hehe. iya, iya udah sono kalau mau pergi. tapi balik lho, awas aja kalau kagak balik lagi kesini."

"Iya, gue balik lagi kok. Titip tas ya." gadis tadi berlalu, melenggang pergi. Berjalan melewati beberapa meja berpenghuni, lalu menghilang dibalik pintu utama cafè.

Tak lama berselang setelah kepergian gadis tadi, seorang pemuda dengan kemeja kotak-kotak berwarna biru tua, menyeruak masuk kedalam cafè. Beberapa meja yang diisi gadis-gadis remaja mulai berkasak-kusuk. Bahkan ada yang dengan berani menunjuk langsung kearah Pemuda tadi, atau mengantarkannya melalui tatapan sampai ke meja no 14.

"Ekhm." ia berdehem, membuat penghuni lama meja no 14 yang tak lain adalah Agni, mendongak. Pemuda tadi melempar senyum terbaiknya, saat gadis dengan kaos biru gelap didepannya nampak tertegun.

Agni memang sempat pangling. Pemuda itu tidak seperti biasanya. Terlihat jauh lebih... Emm.. Tampan mungkin. Kameja senada kaos Agni yang dikenakan, lengannya di gulung hingga ke siku, dipadupadankan dengan jins hitam dan sepatu kets warna biru gelap. Rambutnya juga tampaknya baru dipotong sedikit lebih pendek, sehingga terlihat lebih fresh. Ditambah aroma maskulin alami yang terkuar dari tubuh pemuda itu. Nah, pantaslah, gadis-gadis penghuni meja dekat pintu utama cafè tadi, langsung ricuh karenanya.

"Hei, kok bengong ?" pemuda tadi mengibaskan lengannya didepan wajah Agni. Agni bahkan tidak begitu menyadari, sejak kapan pemuda itu duduk manis pada kursi di depannya.

"Sorry ya lama." lanjutnya, masih tetap dengan mengurai senyum.

"Hehe. Gak pa-pa kok. Ke salon dulu sih ya ?" celetuk Agni, setelah menuntaskan keterkesimaannya pada pemuda tadi.

"Enak aja. Gue abis nganterin nyokap dulu tadi." protes pemuda tadi.

"Hahaha. Iya, iya, Riko ngambekan nih. Kan bercanda doang." Agni terkekeh.

"Eh, Ag, tadi katanya sama temen lo. Mana orangnya ?"

"Oh, lagi ke mall depan dulu. Udah janji sama orang katanya. Tapi ntaran juga balik kok."

"Bagus deh." desis Riko pelan.

"Apa Ko ?"

"Eh, gak pa-pa Ag. Lo udah pesen makan ?"

"Nggak deh, gue minum aja. Tadi sebelum kesini udah sempet makan juga dirumah Ify. Kalau lo mau pesen, silakan aja."

"Gue juga gak deh, kalau elo gak mau makan."

"Oh. Ya udah."

Keduanya lalu terdiam. Agni sibuk menelusuri bibir gelas lemon teanya yang sudah tinggal setengah gelas, sedang Riko, sepertinya tengah asik memikirkan sesuatu. Suasana dalam cafè semakin lenggang. Beberapa mahasiswa dan anak-anak SMA yang tadi nongkrong-nongkrong di cafè ini, terlihat mulai berkurang. Agni, pun dengan Riko baru menyadari desain cafè ini ternyata cukup romantis. Dengan lilin-lilin aroma teraphy, lalu gemerik air sungai buatan, di tambah lantunan satu lagu barat entah apa judulnya, membuat suasana cafè menjadi lebih tenang.

"Eh, iya Ko. Kalau gak salah pas telepon tadi lo bilang mau ngomong sesuatu sama gue. Mau ngomong apa Ko ?"

Riko tersenyum tipis. Untuk urusan yang seperti ini tidak perlu nervous apalagi gugup, toh ini bukan kali pertamanya untuknya menyatakan perasaan pada seorang gadis. Ya, walaupun Agni memang sedikit berbeda tentunya.

Agni pun demikian. Ia terlalu mengenal Riko, karena pemuda inilah yang pertama kali memperkenalkan cinta kepadanya. Jadi Agni sudah siap dengan berbagai antisipasi, kalau perkiraannya nanti tepat.

"Emm.. Lo sama Cakka, gimana Ag ?" Riko mulai membuka pembicaraan.

"Gimana apanya maksud lo ?"

"Ya, hubungan kalian, apa.. ada kemungkinan kalian emm.. balikan ?"

Agni menyeruput minumannya, sebelum memjawab pertanyaan Riko. Sekilas, diliriknya pemuda yang tengah menset ekspresi harap-harap cemas diwajahnya itu.

"Untuk balikan sih, dari guenya sama sekali gak ada niat Ko. Butuh waktu cukup lama buat maafin dia, dan pasti bakal lebih lama lagi untuk bisa sampai dititik, dimana gue bisa terima dia lagi. Untuk sekarang itu masih imposibble"

"Tapi gak tau kenapa ya Ag, gue kok berasanya lo masih sayang banget ya sama Cakka dan ya... mungkin Cakkanya juga gitu." Riko menyandarkan tubuhnya pada kursi, membuat dirinya serileks mungkin duduk disana.

"Gitu ya ?" sahut Agni, " Ya, gue emang masih susah buat lupain Cakka. Tapi bukan berarti gak bisa kan ?"

"Gue mau bantu lo Ag ?"

"Bantu ?" kening Agni berkerut rapat, "Bantu gimana maksudnya ?" tanyanya tak mengerti.

"Lo pasti butuh seseorang Ag, yang bisa gantiin posisinya Cakka. Lo butuh seseorang yang bisa lo kangenin, yang bisa lo fikirin, lo andelin, dan selain Cakka pastinya."

"Tapi Ko, gue rasa belum saatnya gue cari penggantinya Cakk.."


"Lo gak mungkin bisa lupain dia, kalau tiap harinya elo relain diri lo terus-terusan inget sama Cakka." sela Riko, "Lo harus punya alesan yang cukup kuat supaya bisa lupain dia, iya kan ? Gue tau ini terlalu cepet, lo baru putus sama Cakka, tapi justru karena itu, gue mau ada disamping lo saat lo lagi sedih, gue mau selalu ada buat lo. Gue sayang sama lo, Ag." Riko menggenggam tangan Agni yang memang letaknya semula diatas meja. Dipandangi Agni kian dalam, begitu sungguh-sungguh.

Tapi perlahan Agni menarik tangannya, seperti yang sudah dibilang tadi, Agni telah memprediksi kejadian seperti ini. Bukannya GR, tapi Agni tau hari ini Riko akan menyatakan perasaannya pada Agni. Sesaat, Agni merasa begitu bodoh kalau menolak pemuda dihadapannya itu. Tapi hati kecilnya masih terus berkoar menyebut nama Cakka. Agni tidak ingin membohongi Riko, semua alasan dan jawaban untuk pemuda itu sudah tersusun rapi diujung lidahnya.

"Makasih ya Ko, gue juga sayang sam lo, tapi cuma sebagai temen dan itu gak bisa lebih." tutur Agni selembut mungkin.

"Lo baik Ko, banget malah. Perhatian, romantis, penyayang, tapi justru itu semua yang bikin gue gak nyaman Ko. Gue bukan tipe-tipe cewek berbie, gue gak cocok sama Lo."

"Tapi gue mau berubah buat lo. Dan gue terima lo apa adanya."

"Iya, Ko, gue tau. Tapi masalahnya ada di gue. Gue gak bisa terima lo. Gue gak sayang sama lo. Sorry Ko. Gue gak mau bohongin lo. Gue lebih suka cowok kayak Cakka, yang usil, yang tiap satnite lebih seneng main basket dibanding nonton atau dinner, yang asal nyeplos, yang susah dibilangin, yang.."

"Lo bisa kan gak muji-muji dia didepan gue Ag ?" sela Riko, sewot.

Agni tertawa tertahan, "OK. OK. Maaf. Tapi gue serius. Kita gak cocok. Lo lebih cocok sama temen gue. Dia cantik banget. Manis, trus manja-manja gimana gitu, tipe lo banget kan ? Anaknya juga cerdas, aktif di OSIS, sama kayak lo. Bisa nyanyi dan nari ballet. Cewek barbie banget, klop sama lo yang kayak pangeran-pangeran negri dongeng gitu." ujar Agni antusias. Mirip sales atau tukang obat yang sedang menawarkan produknya pada khalayak.

"Kok lo malah jodoh-jodohin gue sih, Ag ?" gerutu Riko, setengah dongkol.

"Bukan jodoh-jodohin, tapi kita kan temen, gak ada salahnya dong, kalau gue rekomendasiin cewek yang emang bener-bener baik dan cocok buat lo. Gue cuma pengen lo bahagia Ko."

Riko yang semula antipati sekali dengan topik pembicaraan Agni, sedikit demi sedikit mulai melunak.

"Lagian ya Ko, gue yakin kok, lo tu gak sepenuhnya sayang sama gue. Kayak yang pernah lo bilang, lo bakal buktiin sama Cakka, kalau elo bisa gantiin posisinya dia. Ya mungkin perasaan lo buat gue, cuma sesaat doang Ko, cuma karena ego lo." Agni mengangkat kedua bahunya, Riko yang duduk diseberang malah terlihat menunduk.

"Kita tetep temenan kan Ko ?" tanya Agni, setelah dalam hitungan puluhan detik, Riko tidak juga bersuara.

Riko mengangkat wajahnya, tersenyum tipis lalu berkata, "Selalu Agni. Kita tetep akan selalu temenan, anggap aja yang tadi itu cuma bercandaan jayus dari gue. Mungkin lo bener, kita bakal lebih cocok kalau jadi temen aja."

"Nah, gitu dong. Hehe. Gue masih belum mau menjalin hubungan dengan siapapun dalam waktu dekat ini. Masih trauma, takut dijadiin taruhan bakso lagi." papar Agni, terus terang. Sejujurnya, tidak mudah mengucapkan kalimat terakhirnya tadi, tapi itulah kenyataan. Itulah yang Agni alami.

"Jadi gimana nih ? Berminat gak sama temen gue ?"

"Ah, lo apaan sih Ag. Lo kira gue gak laku, sampe harus dijodoh-jodohin begini."

"Yee, bukannya gak laku, justru lo tu orang terpilih. Temen gue nih limited edition lho. Jarang ada cewek paket lengkap kayak gini."

"Apa banget deh lo, Ag."

"Eh, panjang umur. Tuh orangnya datang." Agni menunjuk kearah seorang gadis yang baru saja masuk ke cafè ini, dengan dagunya.

Gadis itu tersenyum kecil pada Agni yang melambaikan tangannya. Sambil berjalan, gadis itu melepas tali rambut yang semula mengikat asal rambutnya. Helaian hitam itu, lantas berkibar lembut ditiup angin. Terlihat cantik sekali. Langkah-langkah gadis itu begitu anggun, menbuat Riko yang sedari tadi ikut menoleh kearahnya, merasakan duk-duk-duk pada jantungnya. Seakan sepatu gadis itu beradu dengan jantungnya, bukan dengan lantai marmer cafè ini.

"Lho Riko ?" ujar gadis tadi setelah sampai dimeja Agni dan Riko.

"Shilla ??"sapa Riko.

"Eh, udah pada kenal ya ?" tanya Agni, seraya tersenyum penuh arti.

Mereka semua saling berpandangan.

"Iya..." jawab Riko dan Shilla, kompak.

FlashBack : Off


"Gitu, Kka. Jadi sebetulnya mereka emang udah deket sebelumnya, katanya sih karena acara baksos gitu deh. Shilla kan Ketos CB, kalau Riko waketos Nusantara. Mereka jauh lagi, ya karena waktu itu Shilla kesengsem sama Rio. Jadi Riko tu ke CB, buat jemput Shilla, bukan jemput gue." tambah Agni setelah selesai menceritakan kejadian di cafè Verona, akhir pekan, sekitar hampir 2 bulan yang lalu.

"Jadi beneran dong Shilla gak suka lagi sama Rio ?"

"Ya iyalah. Orang Riko sama Shilla, udah resmi jadian lebih dari dua minggu yang lalu."

"Kalau bukan karena ada orang lain, trus kenapa lo gak mau balikan sama gue, Ag ?"

"Gue mau balikan sama lo, kalau lo udah balik lagi ke Indo. Gue gak mau LDR. Makanya, kalau sayang sama gue, setelah bokap lo sembuh, lo harus cepet balik ya."

"Cakka, Ayo !!" suara berat sang paman, terdengar memanggil Cakka agar ia segera turut memasuki sebuah ruangan.

"Yeah, it's time to go..." seru Cakka dengan berat, "Take care ya Ag, gue harap masalah temen-temen disini juga cepet selesai. hubungin gue kalau terjadi sesuatu. Gue janji bakal secepatnya balik buat lo, gue minta doanya semoga semua berjalan lancar."

Dengan gerakan cepat, Cakka merengkuh tubuh Agni, memeluknya erat, mengelus rambut Agni perlahan, dibisikannya beberapa kalimat untuk Agni, "Apapun yang terjadi, gue bakal selalu sayang sama lo, Agni Tri Bunuwati. Tunggu gue ya."

"Gue bakal kangen banget sama lo, Kka. Pasti gue doain semuanya lancar." suara Agni bergetar, tapi gadis tomboy ini benar-benar sekuat tenaga menahan tangisnya agar tidak meledak. Agni sama sekali tidak ingin menberatkan Cakka.

"Ekhm." Keke berdehem usil, "Lo, gak kepengen pamitan sama gue ya Kak?" ia menggelembungkan kedua pipinya, pura-pura marah.

Cakka lantas melepaskan pelukannya pada agni. Pelan, wajahnya mulai bergerak maju kearah wajah Agni.

"Weist, mau apa lo ?" Agni mengangkat kepalan tangannya, membentuk sebuah tinju kokoh yang patut diperhitungkan, jika mendarat dibagian tubuh manapun.

"Yaelah, cipika-cipiki doang, boleh kali Ag, kita kan bakalan lama gak ketemu." keluh Cakka.

"Tetep gak boleh. Titik" vonis Agni.

Cakka memanyunkan bibir.

Ia lalu berjalan gontai kearah Keke, "Gue pamit ya Ke. Baik-baik lo disini. Tu kalau si leak Bali macem-macem, lo colok aja matanya."

"Idih, sadis amat sih lo, Kak. kasian dong, kalau deva di colok. Lo juga baik-baik ya disana." Keke memeluk Cakka, pemuda itu mengacak rambut Keke, "Gue pasti balan kangen banget sama lo, Kak." tambah Keke.

"Gue juga." Cakka lantas melepas pelukannya dan benar-benar melangkah pergi, saat Ayah Keke kembali memanggilnya. Beberapa kali Cakka menoleh kebelakang dan melempar senyum, sebelum akhirnya pemuda itu memasuki sebuah ruangan, lalu menghilang.

Haruskah ku teteskan air mata dipipi
haruskah ku curahka s'gala isi di hati
haruskah kau ku peluk dan tak ku lepas lagi
agar tiada pernah ada kata berpisah

"Makasih ya Kak Agni. Kakak udah mau penuhin permintaan Keke buat datang hari ini untuk kak Cakka." tutur Keke pada Agni yang tampak masih menerawang.

Ya, Keke memang sempat mendatangi Agni dua hari yang lalu, tepat setelah Cakka mengantarkan Agni pulang dari rumah pohon. Keke bercerita banyak hal tentang Cakka, termasuk kesungguhannya menyayangi Agni dan perubahan Cakka setelah Agni memutuskan hubungan mereka. Keke juga membawakan sebuah album foto cukup tebal, yang dipenuhi foto-foto Agni dalam berbagai pose. Katanya, Cakka sendirilah yang menyusun dan mengumpulkan semua foto-foto itu, tapi ia tidak pernah berani memberikannya pada Agni.

"Bukan buat Cakka, Ke. Justru buat gue sendiri. Gue bakal nyesel banget kalau gak datang hari ini." kedua gadis manis itu saling melempar senyum, lalu berbalik badan, berniat segera meninggalkan bandara itu.

Agni mungkin tidak bisa berharap kisahnya berakhir romantis seperti dalam FTV-FTV yang marak sekarang ini. Dimana seorang gadis menyusul pemuda yang dicintainya, yang akan segera pergi keluar negri. Lalu dengan
begitu mudah, pemuda itu akan membatalkan kepergiannya. Ah, rasanya akan sangat jarang hal semacam itu terjadi. Keberangkatan keluar negri pasti sudah di planning dengan sangat matang, tidak mungkin dibatalkan begitu saja hanya karena seseorang. Sangat tidak dewasa.

Lihat saja buktinya. Cakka. Ia tetap pergi kan ? Karena memang urusan hati tidak selalu harus jadi prioritas kehidupan. Agni dan Cakka, harus sama-sama merelakan, sampai tiba saatnya nanti, takdir akan berbaik hati mempertemukan keduanya lagi.

***

Kidung klasik. Layaknya dulu.

Jaka Tarub dan Nawang wulan...
Karena kebohongan Jaka Tarub mendapatkan dan ditinggalkan bidadarinya.
Serupa tapi tak sama. Aku lebih beruntung.
Awal yang sama. Kebohongan.
Tapi Tuhan lebih berbaik hati kepadaku.
Kepura-puraan, Kebahagiaan, Kehilangan lalu kesempatan. Aku belajar. Lebih dari satu hal, bukan hanya tentang cinta. Tapi juga perihal hidup. Tuhan mengirimkan malaikatnya pada siapapun yang Ia kehendaki. Dan aku benar-benar beruntung menjadi salah satunya. T'rimakasih Agni Tri Nubuwati. You're my fairy.

-Cakka Kawekas Nuraga-

***

Ia yang memilih sendiri jalannya. Cinta.. Ia punya banyak ragam cara untuk hadir diantara dua manusia pilihannya.
Kebohongan, atas dasar apapun, itu tetap satu dari sekian banyak bentuk kejahatan. Lantas, mau apa ? Bisa apa?
Kalau ini caranya untuk tumbuh, harus berawal dari kebohongan. Adakah aku mempunyai cukup kuasa untuk menolakknya ? Aku rasa jawabannya tidak.
Kebohongan tidak akan membuahkan apapun selain kebohongan-kebohongan yang berikutnya.
Aku harap Cakka bisa mematahkan pernyataan itu. aku percaya dia, sama seperti aku mempercayai hati kecilku.

'mencintaimu adalah hal terbesar di hidupku, jadi jangan kecewakan aku...?'

-Agni Tri Nubuwati-

***

***

Angin berdesau lirih. Seperti mengeluh, setelah lelah di titah berkelana begitu jauh. Dayanya saat menerpa daun-daun kamboja ditempat ini, begitu lemah. Bahkan tidak mampu menerbangkan satu kelopak bunga kamboja yang masih bergelantung lemah pada tangkainya yang mulai goyah. Awan mendung, sudah berarak melingkupi salah satu kota diujung pulau Sulawesi ini. Barisan nisan-nisan ditempat ini, menggetarkan naluri. Tidak ada yang betah berlama-lama disini. Dimana ratusan raga tanpa jiwa tertanam, dipeluk erat oleh bumi. Meremang. Ya tidak ada yang bertahan lama mengunjungi sebuah komplek pemakaman, kecuali pemuda ini. Bukan sepuluh atau dua puluh menit. Entahlah sudah menginjak jam keberapa, selama ia berada disini. Mengelus marmer putih dengan pahatan nama gadis yang begitu ia sayangi. Pemuda ini mengusapnya demikian lembut, seakan yang disentuhnya adalah helaian rambut indah gadis yang hampir 2 tahun terbujur kaku didalam sana. Tak ada air mata, karena ia tidak cengeng. Tak ada ekspresi kalut, karena ia sudah dibebaskan. Tinggal binar ragu yang masih tersisa. Masa lalu atau masa depan. Pilihan yang sangat gampang untuk orang normal. Tapi setelah hampir 2 tahun hidup dengan masa lalunya, pemuda ini menjadi sulit menentukan pilihan.

"Makasih ya De, buat semuanya. Dan seperti yang kamu bilang, aku harus mulai terbiasa menjalani hari-hari aku tanpa kamu lagi. Aku akan terus berusaha De, berusaha untuh bangkit, buat kamu Dea, dan buat diri aku sendiri. Jangan marah ya De, kalau pada akhirnya sekarang aku pilih masa depanku. Aku mau mulai menata hidup De, dan mungkin semuanya harus diawali dengan menata hati terlebih dulu." Pemuda tadi tiba-tiba mengulum senyum. Terbayang olehnya seraut wajah manis milik seorang gadis, yang Dea 'bilang' adalah mataharinya.

Setelah dicekoki berbagai mimpi aneh dengan Dea sebagai tamu bunga tidurnya dan setelah diberi banyak nasehat, kritik dan sarah atau omelan dari Shilla, lebih tepatnya. Pemuda ini tersadar. Hidupnya harus berlanjut. Meski orang normal bisa menjejakan kaki 2 atau 3 langkah dan ia hanya mampu bergerak setengah langkah pun, pemuda ini harus tetap berjalan. Karena tidak ada yang akan ia peroleh, kalau hanya bertahan pada tempatnya, selain kesia-siaan.

"Sejak kapan lo jadi kuncen ??" suara itu menggetarkan gendang telinga pemuda tadi, secara langsung otaknya bekerja lantas tercetuslah satu nama, pemilik suara itu. Pemuda tadi menoleh, untuk menyelaraskan pandangannya dengan prediksi otaknya.

"Ify ?" ucapnya, tertahan.

Gadis yang disapa Ify itu tersenyum remeh. Menghampiri pemuda tadi dengan kedua tangan tersimpul didada.

"Haii Rio," sapanya riang, "Eh, ya ampun udah lama ya gak ketemu. Apa kabar ? Lo kemana aja, tau gak sih kita-kita tu nyariin lo. Eh, taunya lo jadi kuncen disini, betah Yo ?" ujar gadis itu berentet, terlihat sekali nada bicaranya yang dibuat-buat.

"I.. Ify.. Kok.. Kok lo disini ?"

"Lha, emang kenapa ? Gak boleh, ini kan tempat umum." Ify memutar kedua bola matanya.

Rio menarik sedikit kedua ujung bibirnya. Ia baru menyadari, ternyata ia begitu merindukan gadis itu. Merindukan sorot matanya, ekspresi lucunya, celoteh dan keceriannya. Rio benar-benar rindu pada Ify. Terakhir kali, Rio melihat raut gadis itu sarat kesedihan. Menangis karenanya. Dan Rio benci, melihat Ify menangis. Ia tidak suka. Ia berjanji pada dirinya sendiri, tidak akan membiarkan gadis itu menitikkan air mata lagi.

"Gue gak lagi jadi kuncen. Gue lagi cari ilham."

"Oh." timpal Ify singkat.

"Juteknya Shilla pindah ke elo ya Fy ?"

Ify semakin merengut, "Shilla ya ? Gue mau tanya soal tu cewek. Ada apa sih, antara lo sama dia ? Ok. Gak usah dijawab. Pokoknya lo perlu tau ya, Yo. Gue tu benci banget sama dia, kenapa Shilla tau tentang keberadaan lo, sedangkan gue yang udah jatuh bangun plus keinjek-injek bantuin lo, sama sekali gak tau." Ify mencak-mencak dengan penuh hasrat, seolah-olah ia sudah tidak pernah marah-marah dan meluapkan kejengkelannya sejak zaman purbakala.

"Jadi lo kesini cuma buat nanyain kayak ginian doang ?"

"Bukanlah. Gue kesini mau minta pertanggung jawaban lo."

"Ish, sumpah deh Fy. Gue belum ngapa-ngapain lo. Kok udah dimintain pertanggung jawaban sih ?"

"Emang dasar otak lo mesum sih ya, susah jadinya. Pertanggung jawaban karena lo sama Shilla si nenek lampir, udah bikin gue strees dan sakit hati. Faham ?"

"Oh, jadi masih soal Shilla. Ya, kalau gue kasih tau dimana gue, sama lo. Itu namanya gue gak ngehindar dong."

"Terus ngapain lo pake acara ngehindar segala ? Takut lo, sama gue ?"

"Bukan takut Fy, gue cuma gak mau semuanya tambah rumit. Ada baiknya gue mulai ngejauh dari kalian. Waktu itu gue ngerasa dunia kita beda. Kalian orang-orang realistis yang hidup untuk masa depan. Sedangkan gue ? Gue sama sekali gak berani ngusir bayang-bayang masa lalu gue. Gue juga gak yakin kalian bisa maafin semua kesalahan-kesalahan yang gue perbuat. Dan saat itu satu-satunya orang yang mau dengerin gue dan bisa gue mintain tolong tu ya cuma Shilla."

"Please deh Yo, kenapa juga harus Shilla."

"Apa kira-kira lo punya usul, menurut lo siapa yang bisa gue mintain tolong selain Shilla pada saat itu ?"

Ify terdiam.

"Gue gak mungkin minta bantuan Sivia, Agni, ataupun Cakka. Mereka punya masalah masing-masing yang juga belum beres. Alvin ? Waktu itu dia lagi marah banget sama gue. Iel ? Orang waras gak akan tega ngerepotin orang sakit kayak Iel. Gak ada opsi lain kan ? Dan gue gak ada apa-apa sama Shilla, kita temenan. Shilla juga udah punya Riko."

"Gue udah tau."

"Masa sih ? Shilla bilang yang tau cuma Agni aja. Dia gak mau dikatain gak tau sikon sama anak-anak ?"

"Gue udah tau kok. Rikonya langsung yang bilang ke gue. Emmh.. Gara-gara.. Shilla nangis kare..na, karena... gue tampar."

"Hah ? Lo tampar ? Kriminal banget lo, Fy. Anak orang tuh." cibir Rio.

"Ih, ya kan gue kesel banget waktu itu. Semua juga kan gara-gara lo." Ify membela diri.

"Trus lo tau gue di Manado dari siapa ?"

"Debo."

"Debo ?" Rio mengangkat kedua alisnya.

"Iya. Gak usah heran gitu kali, dia udah insaf kok. Kartu matinya ada di gue jadi dia gak bakal macem-macd. Debo juga udah jadian lho sama gita."

"Wah, banyak banget ya yang terjadi selama gue disini."

"Woyadong, masih banyak lagi kabar-kabar terbaru, kayak guru fisika yang di mutasi, Ray yang jadian sama Oik, trus film luar negri yang gak boleh tayang dibioskop indonesia.. Tim basket CB yang jadi juara bertahan. Pokoknya banyak deh. Lo juga pastinya ketinggalan banyak banget materi pelajaran."

"Gue gak ketinggalan kok, Shilla sering kirimin e-mail materi yang dipelajarin disekolah. Terus kontes piano lo gimana ? Gue gak sempet nanya sama Shilla waktu dia kesini."

"Gue juara 3. Eh, emang Shilla suka kesini ? Ke Manado ? Ngapain dia kesini ?" tanya Ify, sarkatis.

"Iya, cuma dua kali sih. Itu juga sama nyokapnya, sekalian liburan gitu."

"Lo kapan balik ke Bandung, Yo ?"

"Berhubung lo udah jauh-jauh jemput gue sampe Manado, kayaknya gue bakal balik ke Bandung bareng lo." jawab Rio.

"Idih, siapa juga yang mau jemput lo, niat banget. Orang gue kesini, mau liat Losari tuh."

"Losari tuh di Makassar kali, bukan di Manado. Ngeles aja lo bisanya."

Pipi Ify bersemu merah, menahan malu, "Kan elo yang ngajarin. Wlek." Ify menjulurkan lidahnya.

"Nyalahin orang pula."

"Lo kan bukan orang."

"CK" Rio berdecak keras, gadis dihadapannya ini memang sangat menggemaskan sekaligus menyebalkan, "Lo kesini sama siapa ? Debo juga ?"

"Bukan. Gue dijemput sama kak Acel."

"Ha ? Kak Acel, kakak gue maksud lo ?"

"Kalau dia masih sudi nganggep lo adik, berarti ya itu dia, kak Acek, kakak lo."

"Bercanda deh lo, gak mungkin Kakak gue mau jauh-jauh ke Bandung cuma buat jemput lo."

"Ya jelas mau lah, daripada adiknya strees karena kangen sama gue."

"iiwaw, gak kebalik tuh."

"Udah deh, Yo. Lo ngaku aja susah banget sih. Lo juga sayang kan sama gue, tapi disisi lain lo gak bisa lupain Dea. Lo gak mau nyakitin gue, jadi lo milih ngehindar dari gue, gitu kan ? Mau sampai kapan sih lo kayak gini Yo ? Gue yakin beribu-ribu persen. Dea sama sekali gak akan bahagia tuh, kalau lo selalu inget sama dia, tapi lo gak peduli sama masa depan lo sendiri."

Tepat. Telak. Paparan Ify barusan, memang benar adanya. Itulah alasan Rio memilih kembali ke Manado. Kotanya, tempat ia dilahirkan, tumbuh, dewasa, jatuh cinta lalu kehilangan.

"aaaa, lo kali yang sayang sama gue. Sampe nangis-nangis waktu itu." Rio menaik-naikan alisnya.

"Ih, Rio apaan sih. Yang itu jangan diungkit-ungkit dong, itu tu aib buat gue, kesalahan terbesar dalam sejarah hidup gue."

"Waktu itu pake acara nyanyi-nyanyi segala lagi didepan gue. Gak nyadar ujan apa, mana jelas lo nyanyi apa." Rio terus menggoda Ify, kedua pipi gadis itu sudah benar-benar merah merona.

"Iiiih, Lo rese banget sih, Riooo." Ify mencubit lengan kiri Rio sekuat tenaga, hingga si empunya tangan meringis kesakitan.

"Ah, lepas dong Fy, sakit tau." Rio mengusap-ngusap lengannya, "Kan selama ini ngeselin adalah hal yang Rio pelajari dari Ify yang unyuuu."

"Mana mungkin ? Udah jelas-jelas lo lebih ngeselin dari gue."

"Ootidakbisa Fy. Gue kan ketularan elo. Nah kalo elo mah emang udah ngeselin dari orok."

"Pokoknya elo ngeselin. Elo kan masternya."

"Elo tu ngeselin."

"Elo. Rio ngeselin. Titik."

"Elo !!"

"Lo !!"

"Lo !!"

"Lo."

"Lo."

"Lo tu."

"Elo. Pokoknya elo."

"Pokoknya elo, elo, elo."

"Iya, iya gue. Capek, berantem sama lo. Baru ketemu udah cari ribut." kata Rio, akhirnya.

"Ada juga lo tu yang ngajak ribut."

"Bodo. Capek gue."

"Ya udah kalau cape diem lah."

"Ini juga diem."

"Apaan, tu masih ngomong."

"Ya, elonya ngajakin gue ngomong mulu sih." timpal Rio sewot.

"Ya, suka-suka gue, mulut juga mulut gue." balas Ify, tak acuh.

"Lo udah bikin gue kesel, Fy. Gak mau tau, pokoknya lo nembak gue sekarang !!"

"HA ?? Sorry, mameen. Ogah gila, gue nembak lo. Dimana-mana tu ya, cowok yang nembak ceweknya."

"Buat cewek spesies lo sih, lain cerita. Udah, buruan nembak gue, yang romantis ya."

"Eh, Rio. Lo tu bener-bener gak tau malu ya. Bodo ah. Pokoknya gue gak mau."

"Beneran ? Mumpung gue punya jawaban yang bagus nih buat lo. Dulu kan lo nyampe nangis-nangis depan gue, sekarang kesempatan buat lo jadian sama Mario Stevano Aditya. Buruan sebelum gue berubah pikiran."

"Harusnya tu elo yang nembak gue, Riooo."

Rio jadi kurang yakin dengan cerita Shilla yang mengatakan bahwa gadis ini begitu rapuh dan sedih setelah, Rio pergi. Terutama dengan kata-kata Shilla, "Ify tu gak pernah ketawa-ketiwi kayak dulu lagi Yo. Senyum aja maksa banget."

Setelah bertemu lagi dengan Ify hari ini, sama sekali tak terbayang, kalau gadis ini pernah menangisinya atau merasa kehilangan atas kepergian Rio. Ify, ya tetap Ify. Bahkan ditengah-tengah orang mati yang seharusnya membawa atmosfer horror, Ify malah membuat hawa panas dan menyulut pertengkaran-pertengkaran kecil yang sama sekali tidak penting. Ify, gadis itu tetap manja dan ceria, tidak ada yang berubah darinya, menurut Rio.
Rio malah merasa, yang aneh itu ya dirinya sendiri. Gundah, takut, sedih, bimbang, perasaan semacam itu, hilang begitu saja setiap Ify didekatnya. Berganti semangat untuk terus menimpali ejekan-ejekan Ify. saat gadis itu jauh, Rio sangat merindukannya, tapi begitu dekat, yang ada bawaanya selalu saja ribut.

"Woi, ngapain lo bengong ?" Ify menyenggol pinggang Rio, "Ngelamun jorok ya lo." tuduh Ify asal.

"Enak aja lo. Ayo buruan dong, katanya mau nembak gue."

"Gue gak mau. Gak mau. Titik."

"nembak."

"gak."

"nembak."

"gak mau."

"gue bilang nembak."

"No."

"Ify !!!"

"gak mau."

"Ah, elah, jadi gue nih yang mesti nembak lo ? Udah lah mending kita langsung jadian aja deh ya, Fy."

"Mana bisa kayak gitu ?"

"Abisan gue gak bisa nembak lo Fy. Gak pernah kebayang aja, bakal nembak lo, mana dikuburan pula."

"aaaa... gue tau, lo gak bisa nembak gue, karena 'dia' kan ?" Ify berkacak pinggang, dengan dagu terangkat.

"Dia, siapa ?" tanya Rio heran.

"Itu lho yang waktu itu lo bilang ditaman. Kalau ada yang bisa gantiin Dea ya cuma 'dia' (re : part10)"

"Oh, itu. Emang lo gak tau ya, siapa 'dia' itu ?"

"Kalau gue tau, udah gue bejek-bejek tu cewek kali." batin Ify dongkol.

"Masa sih gak tau ? Itu lho, orang yang banyangannya gue tunjukkin dikolam renang rumah lo dulu (re : part13)" Rio tersenyum penuh arti.

Ify melirik Rio sekilas, kemudian bertanya, "Gue boleh GR gak ?"

Rio mengeluarkan senyum miringnya, "GR aja udah kayak mau gak masuk sekolah lo, pake izin segala. KeGRan sama kePDan kan emah udah Ify banget." lagi-lagi Rio meledek Ify.

"Yang lo maksud dia itu... Gue ?" Ify mengarahkan telunjuknya ke depan wajah, lengkap dengan ekspresi polos bercampur mimik penuh harap.

Rio terkekeh. Sesaat kemudian, pemuda tampan itu mengubah air wajahnya menjadi lebih serius. Perlahan diraihnya kedua tangan Ify, lalu didekatkan pada dada bidang Rio. Lembut, Rio mulai merapal nama gadis yang entah bagaimana bisa menggantikan Si-Masa-Lalu itu, "Fy..."

"Ya ?" balas Ify, tidak kalah lembut.

"Je t'aime beaucoup. J'ai besoin de toi. Maaf Fy, gue baru berani ngakuin itu semua sekarang. Gue gak punya cukup kekuatan buat lupain kenangan pahit di hidup gue. Tapi gue janji bakal terus berusaha, asal elo selalu ada di samping gue. Dia itu elo, Alyssa Saufika Umari."

kalau saja ini bukan kuburan dan urat malunya sudah putus, ingin sekali sekarang ini juga Ify berteriak, melompat, menari atau apapun, untuk meluapkan rasa gembiranya. Dilanjutkan dengan, gerakan memeluk pemuda menjulang yang tengah berdiri di depannya dengan sorot mata yang lembut dan penuh kasih sayang itu.

Tapi saat itu juga, ditekannya buncahan kebahagiannya sekuat mungkin. Hingga yang muncul adalah senyum tipis dan sorot matanya yang usil.

"Udah nih, gitu doang ?" ucapan tadi sama sekali tidak terdengar sebagai sebuah pertanyaan, tapi lebih kepada cibiran untuk Rio.

"Ya, elo maunya gimana ? Udah bagusan gue yang nembak lo. Harusnya kan elo. Elo kan yang duluan suka sama gue." Rio memeletkan lidahnya dan menjulingkan matanya.

"Ya.. Lo kan sukanya sama mojang Bandung, berarti nembaknya pake bahasa sunda dong. Jangan sok-sokan pake bahasa prancis. Kita kan harus mencintai budaya sendiri." Ify mengangkat dagu tirusnya, memandang menantang pada Rio.

"Please deh Fy, lo tau sendiri kan nilai bahasa sunda gue gak pernah jauh dari angka 6. Yang lain deh, apa kek gitu ?" tawar Rio.

"Emmh," Ify mengetuk-ngetukan telunjuknya ke pelipis. Nampak seperti berfikir, sesaat kemudian ia memasang mimik penuh sesal, "Yaaah, sayang sekali Yo, gue maunya ditembak pake bahasa sunda gak ada opsi lain."

Rio melempar tatapan membunuh pada Ify. Ify semakin tidak bisa menahan tawanya. Rasanya tangisan Ify beberapa malam terakhir ini, terbanyar lunas hari ini. Ify benar-benar merasakan hidupnya lengkap dan sempurna.

"Ok. Ok. Bahasa sunda ya ?"

"Tunggu. Lo harus berlutut dong Yo, biar kayak di film-film." intruksi Ify, ia lantas mengulurkan tangannya yang kemudian disambut genggaman hangat lengan kokoh Rio.

"Neng Ipy..."

"Ify, Yo. 'ef' bukan 'pe."

"Orang sunda kan katanya begitu. Udah deh, jangan bawel."

"Ya udah, ya udah. Sok mangga dilajeungkeun. Gitu aja sewot."

"Neng Ipy anu geulis kacida, dangukeun yak. Upami neng Ipy palay terang mah, abdi teh deudeuh pisan ka eneng. Bilih kersa, purun teu eneng janten kabogoh abdi." tutur Rio kikuk. Tidak perlu dikomentari, Rio sudah tau, betapa hancurnya kata-kata yang ia lafalkan barusan.

"BHAHAHA..." Ify tertawa, sampai menyentakkan kedua tangannya dari genggaman Rio dan genti memegangi perut. Rio memang menggunakan bahasa sunda, tapi aksen manado lah yang justru kental terdengar. Sangat, sangat, sangat menggelikan. Terutama bagi Ify yang memang orang sunda tulen.

"HAHAHAaaduhuh, gue gak bisa berhenti, hahaha." gadis itu masih terpingkal-pingkal. Sedangkan si objek tertawaan masih merengut kesal.

"Puas cantik, heuh ? Ketawa lo pengen gue bayarin deh, Fy." gerutu Rio.

Ify tidak menanggapi, setelah puas dengan tawanya, Ify mengalihkan pandangannya pada nisan Dea. Dielusnya batu marmer putih itu, sambil tersenyum.

"Dea.." panggilnya, pelan, "Kenalin, ini gue Ify. Rio pasti udah cerita banyak kan tentang gue ke elo."

"Ish, kagak pernah." sela Rio.

"Sst, berisik." Ify meletakkan telunjuknya ke bibir, sesaat.

"Gue mau minta izin De. Emmh... Rionya sekarang sama gue ya. Tenang aja, gue gak akan nyuruh dia lupain lo kok. Gue yakin lo cewek yang baik banget, jadi lo gak pantes di lupain sama siapapun yang pernah kenal sama lo, termasuk Rio. Gue janji De, bakal sayang sama Rio, gak bakal bikin dia sedih dan kecewa. Gue gak akan macem-macem. Janji."

Rio yang mendengar janji Ify, tersenyum lebar seraya menggelengkan kepalanya. Ya, Rio memang tidak mengerti, bagaimana mungkin, dari seorang Dea yang 'cewek' banget, lemah lembut, kalem dan dewasa. Rio kini bisa menyayangi seorang gadis 'ajaib' yang terus mengaku bahwa dirinya manis. Tapi yang paling penting, dan yang Rio tau, Ify telah membuat hari-harinya penuh warna dan kejutan. Dea mungkin mengajarinya cara meraih berbagai hal positif, tapi Ify lebih daripada itu. Ia mengajari Rio, bagaimana caranya bertahan saat yang teraih, tiba-tiba terlepas seluruhnya.

"Gue juga selalu berdoa, semoga lo bahagia ya De, disana. Amin." Ify mengusapkan kedua tangannya ke wajah setelah selesai dengan kalimat-kalimat yang ia tujukan untuk Dea.

"Udah kan, pulang yuk kerumah gue, nanti gue kenalin orang tua gue." ajak Rio.

"Lo gak mau denger jawaban gue Yo ?" tanya Ify.

"Ngapain ? Cuma dua kemungkinan kak, kalau gak 'mau' paling 'iya', bener kan?" jawab Rio sambil berlalu.

"dasar." cibir Ify, "Emang udah ketemu ya ilhamnya ? Tadi katanya lo cari ilham."

Rio yang semula sudah melangkah pergi, berbalik dan kembali menghampiri Ify yang tertinggal beberapa langkah dibelakangnya.

"Tuhan sayang banget sama gue. Bukan cuma ilham, tapi gue langsung dikirimin malaikatnya." bisik Rio, tepat ditelinga Ify. Bulu kuduk gadis berdagu tirus itu meremang, karena saat ini ia begitu dekat dengan Rio. Ify sampai bisa merasakan, deru nafas pemuda itu yang berlandas dikedua pipinya.

Tiba-tiba, awan hitam yang memang sudah berarak pekat sejak tadi, meluncurkan titik-titik air langit. Semakin lama, rinainya kian cepat dan banyak, menghujam bumi. Rio dan Ify tergagap. Dengan gerakan cepat, Rio menyambar lengan gadisnya dan mengajak Ify segera berlari menerobos hujan. Mereka berlari dengan satu tangan masing-masing memayungi kepala, sedang yang lain tetap bertautan. Tapi setelah keluar dari komplek pemakaman dan tiba disebuah tanah lapang yang terlihat kurang terurus, karena ilalang-ilalang mulai tumbuh setinggh pinggang, Ify menarik lengannya.

"Kenapa ?" tanya Rio yang reflek menoleh pada gadisnya.

Ify tersenyum lebar, gadis itu berjalan ke sisi Rio lantas memeluk lengan kanan pemuda itu dan bergelayut manja disana.

Ajari aku 'tuk bisa
menjadi yang engkau cinta
agar ku bisa memiliki
rasa yang luar biasa
untukmu dan untukku.

Ify bersenandung merdu. Lantunan lagu itu diiringi keracak air hujan yang kian deras.

Rio membimbing tubuh Ify agar kembali berdiri tepat di hadapannya.

Ku harap engkau mengerti
akan semua yang ku pinta
karena kau cahaya hidupku
malamku
'tuk terangi jalanku yang berliku

Rio meneruskan lagu yang Ify lantunkan sebelumnya. Kepala mereka bergerak kekiri-kekanan, sesuai ritme lagu. Tanpa sadar keduanya menari ditengah guyuran air hujan. Rio melingkarkan kedua lengannya dipinggal Ify. Sedangkan Ify mengalungkan lengannya dileher Rio. Tatapan mereka beradu. Senyum terkulum sempurna. Beruntung tempat ini selalu sepi, karena kalau tidak mereka pasti akan langsung jadi tontonan.

Hanya engkau yang tau
hanya engkau yang bisa
hanya engkau yang mengerti
semua inginku.

Keduanya bernyanyi bersama, seperti hari-hari mereka kedepannya, akan selalu bersama-sama apapun aral yang melintang nantinya.
Andai waktu bisa dihentikan, tentu saat inilah waktu yang paling tepat untuk Ify dan Rio, berharap agar masa berhenti menggulirkan detiknya.
Hujan terus menunaikan tugasnya membasahi bumi. Tapi lebih dari itu. Hujan sore ini sepertinya akan bertahan lama, tidak ingin melewatkan potongan adegan romantis yang di lakonkan Ify dan Rio.

Tidak ada lagi susah, sedih, gundah, mulai sekarang dan seterusnya, Ify dan Rio telah mengikat janji tak terikrar dengan saksi sang alam, bahwa keduanya akan mulai menata hidup. Mengisi lembaran-lembaran kosong hari-hari mereka, dengan kisah-kisah emas, tinta warna-warni, menulis bersama, dan akan saling mengingatkan saat bait-bait yang tertoreh mulai melenceng dari kaidah hidup sejatinya.

Ajari aku tuk bisa...

Rio melepaskan jaket yang ia kenakan, menyampikannya dipundak Ify.

Ajari aku tuk bisa... Mencintaimu.

Berbeda dengan senyum sumringah yang Rio pamerkan setelah menutup lagu hits Adrian Marthadinata itu, Ify malah menitikkan air mata. Ia ingat satu kalimat yang Debo teriakkan di depan kediamannya waktu itu. Kalimat yang membuat Ify akhirnya bersedia datang ke Manado.

"Hey, kok nangis sih ? Kenapa ?" Rio menghapus air mata di pipi Ify dengan ibu jarinya.

"Lo sakit Yo ?" tanyanya.

Rio menatap Ify dengan heran, "Nggak deh, gue baik-baik aja." sahutnya.

"Bohong ?"

"Gue gak bohong Fy, gue baik-baik aja."

"Tapi Debo bilang lo... Debo.. Bilaang.." Ify menarik nafasnya dalam-dalam sebelum melanjutkan ucapannya, "Waktu itu gue gak mau ikut ke Manado, tapi Debo bilang lo sakit, dirawat dirumah sakit, dan.. dan.. Lo pernah kena kanker darah. Apa itu bener Yo ?"

Rio mulai mengerti kemana arah pembicaraan Ify dan apa maksudnya. Rio bisa menangkap gurat khawatir benar-benar menguasai gadis itu.

Tanpa banyak mengelak, Rio hanya mengangguk pasrah.

***