Kamu memanggilnya. Berulang kali.
Berharap iya akan kembali atau perpisahan hanya bagian dari mimpi?
Kamu serukan namanya.
Berharap ia bertahan di tempatnya.
Berbaik hati, membelitkan perban, menuang obat merah, pada hatimu yang berdarah-darah.
Tapi sia-sia. Sungguh tanpa guna.
Ia tetap pergi.
Membiarkanmu mengobati lukamu sendiri.
Tapi lihat dirimu?
Bukan menarik iba tapi mendulang murka?
Lihat sikapmu?
Bukan tercermin sabar malah memancing gusar.
Bagaimana kamu bisa begitu egois?
Tidak ingin disakiti.
Katamu, sudah bertubi-tubi.
Tapi kamu sendiri menebar duri.
Tidak ingin diganggu.
Tapi kamu sendiri melempar kerikil dan batu-batu.
Hei!
Kamu!
Tidakkah terbaca?
luka-luka yang tertera.
setiap kali ceritamu masih tentang dia.
Aku terluka.
Lalu luka itu kamu namai penindasan
Atas dasar ketakutan.
Bagaimana kamu bisa menyebutnya suara ketakutan?
Tidakkah terdengar seperti seruan kekecewaan?
Terhadapmu yang ingkar pada sebuah pernyataan.
Kemana ikhlas yang dulu kamu ucapkan?
Berhentilah bermain dengan kata-kata.
Karena tidak semua orang buta berbahasa.
Biarkan. Boleh abaikan yang tidak mengerti.
Tapi aku bukan bagian dari mereka yang sulit memahami.
bagaimana setiap huruf itu
setiap kata itu
setiap kalimat itu
Masih bercerita tentang orang yang sama.
tentang dia...
Dia
Dia
Dia
Orang yang seharusnya sudah kamu lupa.
best regard
via