“Ternyata aku dan menulis tidak pernah bisa dipisahkan oleh satu atau hal lain apapun.” – 11 Januari 2013.
Hari ini aku ingin bercerita, lewat tulisan tentunya. Karena aku merasa lebih didengar ketika menulis dan sering kali gagal setiap bercerita dengan lisan. Aku ingin bicara tentang sebuah buku. Ya, buku milik kamu.
Satu waktu, kamu (yang aku kira bahkan tidak pernah mengenalku) datang, entah karena apa, tiba-tiba saja muncul. Aku takut, ketakutan yang beralasan, kurasa. Takut kalau kedatanganmu akan jadi seperti api, menghampiri hanya untuk pergi, kemudian menyisakan jelaga.
Kamu hadir bersama sebuah buku, lantas mengizinkan aku untuk membaca sedikit dari sekian banyak tulisan yang menyemut rapi dalam lembaran-lembarannya. Meski sangat berharap, tapi aku juga sangat tahu, sekeras apapun mencari tidak akan pernah kutemukan namaku tertulis dalam bukumu. Dan kalau kamu ingin tahu, aku tidak keberatan, tidak sama sekali. Aku juga tidak akan pernah meminta kamu menghapus satu katapun dalam buku itu, agar namaku bisa tertera disana, lagi pula sekalipun aku meminta kamu pasti akan menolaknya. Aku tidak pernah berusaha merusak apapun yang kamu tulis. Aku merasa baik-baik saja, membaca lembar demi lembar bukumu, menyelami setiap kata-katamu yang mengagumkan, meskipun lagi-lagi itu bukan tentang aku, aku tidak apa-apa. Sampai kamu tiba-tiba menarik buku yang sedang aku baca, lalu pergi begitu saja.
Sadarkah kamu? Yang kamu bawa pergi, bukan hanya buku milikmu. Tapi bukuku ikut terbawa. Walaupun ini juga salahku, tidak menjaga bukuku dengan baik dan telah meletakkannya ditempat yang salah. Dan hari ini ketika kamu mengembalikannya, ada tumpahan tinta hitam di dalamnya. Mungkin kamu berniat menuliskan pesan yang baik untukku, tapi harus aku katakan kamu kurang hati-hati. Pasti ada yang salah, entah pena yang kamu gunakan atau tinta yang kamu tuangkan, atau… memang bukuku terlihat lebih pantas ditulisi dengan sembarangan. Apapun itu, yang pasti aku sedih karena sekarang, ada yang berubah, dan bukuku tidak lagi sama. Aku tau, kamu tidak akan mau repot-repot membersihkannya, jadi tentu saja harus kubersihkan sendiri dan itu sulit. Tintanya sulit sekali hilang, tapi aku terus mencoba, sampai ada seseorang yang mengatakan, "Sekuat apapun usahamu untuk menghilangkan tintanya, ia tidak akan pernah benar-benar hilang. Pasti akan ada bagian yang tersisa. Salah-salah kamu malah akan merusak bukumu sendiri jika terlalu memaksa menghapusnya. Satu lembar memang telah terhitamkan, tapi bukankah kamu masih mempunyai halaman-halaman yang lain? Mulailah menulis dalam lembaran yang baru. Tulis hal-hal yang indah dan itu akan menutupi tinta hitamnya.”
Ya mungkin memang benar, tapi tetap saja, andai kamu tidak berusaha menuliskan apapun dalam bukuku, jadinya tidak akan seperti ini. Aku tahu niatmu baik, tapi seharusnya kamu mengerti, tidak semua yang kamu pikir baik akan jadi baik pula untuk orang lain. Aku betul-betul tidak faham bagaimana kamu bisa berfikir pesan itu akan baik untukku sedangkan kamu sama sekali tidak pernah mengenalku dengan baik. Aku tidak mengerti apa yang kamu pikirkan dan apa tujuannya, itu terlalu rumit untuk aku yang menyukai kesederhanaan.
Dan buku itu adalah analogi, tentang emm… perasaan mungkin.
Apa yang aku rasakan sebenarnya sederhana saja, sesederhana menulis dan bercerita, perasaan yang mungkin akan hilang jika sudah saatnya. Lantas mengapa tidak dibiarkan saja dulu. Apa sulitnya berpura-pura tidak tahu kalau ada seseorang yang mengagumimu? Tak acuh saja, tidak sulit kan?
Toh aku tidak mengganggu, aku tidak pernah berusaha merusak apapun. Aku hanya ingin dibiarkan, dibiarkan merasa senang saat melihatmu berjalan diantara lorong-lorong kelas, sementara kamu tidak perlu mengenalku. Dibiarkan menulis apa saja tentangmu, sementara kamu tidak perlu membacanya. Dibiarkan menyapamu sesering mungkin hanya dihadapan sahabat-sahabatku sementara kamu tidak perlu menjawabnya. Seperti itu saja, seperti dulu, sebelum aku tahu ternyata kamu mengenalku. Seperti dulu, saat kamu berlalu begitu saja tanpa kamu tau bahwa orang yang baru saja kamu lewati, mengagumimu.
Ini sebenarnya mudah. Biar aku disini dengan semua yang aku rasakan dan kamu tetap disana, agar tercipta jarak sejauh mungkin, jika kamu menganggap aku mengganggu. Biar aku yang melihat dan kamu tidak perlu menoleh. Biar aku yang memuji dan kamu tidah usah peduli.
Sudah aku katakan bahwa aku tidak pernah berharap ‘pohon’ yang aku tanam akan tumbuh, karena dari awal aku tau, sudah salah menabur benih di ‘tanah’ milik orang lain. Aku yakin kamu bisa mengartikannya, aku tidak berharap apapun. Apapun.
Dan seringkali aku katakan bahwa aku tau, sangaaattt tau, rumah yang aku tuju, rumah yang aku tunggu, sudah berpenghuni dan aku tidak pernah berniat mengusik penghuninya, jika itu yang kamu khawatirkan.
Lalu apa lagi?
Jika kamu ingin aku berada sejauh mungkin dari rumah itu, aku sedang melakukannya, tapi kamu tau? Secara tidak langsung kamu telah membawaku kembali kehadapan rumah itu beberapa hari ini. tapi tenang saja, kali ini ‘I just come and go.’
Maaf jika sudah membuatmu terganggu dengan apapun yang aku kira melakukannya adalah bagian dari HAKku.