Senja sore ini... pertanda satu hari lagi yang mulai merenta, tua...
ah ya... jadi teringat batang usiaku yang juga kian menjulang.
Ayah, rasanya baru kemarin ya,
suara beratmu melantunkan adzan di telingaku.
rasanya baru kemarin, kau menaruhku di punggungmu, lalu berdua mengejar kupu-kupu.
Sekarang aku sudah besar, Ayah. Aku sudah besar!!
dan putrimu ini...
sudah sangat pandai!!
pandai menghancurkan hidupnya sendiri.
pandai menciptakan kegagalan, lalu menangis.
pandai mengeluh saat bersua elegi.
Ayah... maaf.
dan mengapa?
mengapa aku tidak tumbuh seperti yang Ayah inginkan?
harapan-harapan terhadap putri kecilmu dulu
dengan riang, kini aku patahkan.
tapi marahmu bergeming, kecewamu terlelap
tetap kau legamkan kulitmu, kau lucuti belulangmu
kau bilang itu, buatku.
buatku, putri yang selalu kau banggakan.
Andai diizinkan berego,
Ayah, aku ingin kau tetap disini, disampingku...
tidak boleh pergi, jangan pergi...
sampai aku bisa membalas sedikit, dari sekian banyak kebaikan yang tanpa cela kau beri.
31 Oktober 2012
untuk yang begitu mencintai pegunungan, Ayah.
Rabu, 07 November 2012
Jumat, 06 Januari 2012
Rahasia Orion Part 13
Rahasia
Orion Part 13
Dia…
Rio
***
"Lo
nggak kenal dia ?"
Rio
menggeleng. Masih mengamati debu-debu yang diterbangkan taksi pembawa gadis
asing tadi.
"Dia...cuma...teman
lama gue, kebetulan ketemu disini." jawab Alvin pada akhirnya.
Tidak pernah Alvin merasa 'abu-abu' seperti ini terhadap semua ucapan atau pun perbuatannya, tapi kali ini dia tidak yakin apa yang diucapkannya pada Rio tadi cukup bijaksana.
Tidak pernah Alvin merasa 'abu-abu' seperti ini terhadap semua ucapan atau pun perbuatannya, tapi kali ini dia tidak yakin apa yang diucapkannya pada Rio tadi cukup bijaksana.
"Kok
langsung kabur gitu pas gue datang ?" selidik Rio.
"Dia
lagi buru-buru."
Rio
membulatkan bibirnya, bergumam oh sambil mengangguk-ngangguk, "Terus, lo
ngapain disini ? Ngikutin gue?" tanya Rio.
Alvin
mengendikkan bahu, "Iseng aja, gue juga nggak ada kerjaan dirumah."
jawabnya, asal.
Rio tertawa mencibir, " Lo kelewat peduli sama gue, " ia terdiam sejenak, menatap berkeliling seolah jalan lengang didepannya cukup membuatnya tertarik, "Kadang gue heran. Kenapa orang sebaik lo, punya Ibu yang kayak Tante Gladys." lanjutnya, enteng.
Rio tertawa mencibir, " Lo kelewat peduli sama gue, " ia terdiam sejenak, menatap berkeliling seolah jalan lengang didepannya cukup membuatnya tertarik, "Kadang gue heran. Kenapa orang sebaik lo, punya Ibu yang kayak Tante Gladys." lanjutnya, enteng.
Alvin
memicing mata. Jelas ia marah dan tidak terima. Rio bicara seakan-akan Mamanya
adalah wanita paling buruk sedunia. Tapi Alvin tetap diam, menjotosi Rio pun
tidak akan menumpulkan perkara. Tidak akan meleburkan kebencian Rio pada wanita
yang sangat menyayanginya. Dia hanya mengepalkan telapak tangannya kuat-kuat
dengan suara datar dia membalas kata-kata Rio, "Dan gue juga sangat heran,
kenapa lo punya emosi yang gampang banget meledak-ledak ? Lo lebih cocok jadi
anak gunung Krakatau daripada anak Papa sama Tante Veronna." Alvin
tersenyum kalem.
Rio
cuma melotot tanpa bisa membalas. Yang Alvin katakan tentang emosinya memang
betul. Rio bisa begitu mudah marah dan membentak orang sesuka hatinya pada
saat-saat tertentu. Rio tahu itu, bahkan tidak jarang satu atau dua temannya
menjauh karena sifat emosionalnya, tapi apa peduli Rio? Toh sejauh ini, dia
tidak pernah kekurangan teman. Rio mudah bergaul, tampan, anak orang kaya dan
cukup berprestasi, itu semua membuatnya lebih mudah menjala kawan daripada
menuai musuh.
"Lo mau bujuk gue pulang ?" Rio bertanya dengan ekspresi malas.
"Nggak
juga." sahut Alvin tenang, "Gue yakin lo lagi nggak bisa dibujuk.
Ya...sekedar takut lo berbuat yang aneh-aneh." imbuhnya seraya
mengetuk-ngetuk dahinya, menunjukkan luka yang membekas disana. Mengingatkan
Rio tentang kecelakaan yang hampir membunuh keduanya hanya karena Rio yang
tersulut emosi.
"Gue
nggak akan kayak gitu lagi." gumam Rio.
"Ya
udah. Gue balik." pamit Alvin yang dibalas Rio dengan sekali lambaian
tangan.
Tubuh
jangkung berbalut kaus pendek warna putih itu menghilang bersamaan dengan bunyi
debam kecil dari pintu mobil yang ditutup. Rio berbaik menuju rumah setelah
sedan hitam Alvin lenyap ditelan jalan yang menikung. Di angkasa, mentari
bergantung rendah, menyisakan cipratan keemasan di ufuk barat.
***
Alvin
berjalan santai, menyusuri koridor utama yang diapit pohon-pohon Asoka
dikanan-kirinya. Belum pernah ia merasa santai dan sebebas ini, semenjak ia
didaulat menjadi ketua OSIS Veronna SHS. Rasanya ada banyak sekali pekerjaan
yang menuntut untuk dikerjakan secara cepat. Sekarang dia sudah lengser dari
jabatannya dan yang membuat bangga sekaligus lega adalah selama masa
kepemimpinan Alvin, semua berjalan lancar, sesuai dengan yang diharapkan banyak
pihak. Tapi tetap saja, Alvin tidak pernah bisa benar-benar lega, karena
belakangan, entah pertanda apa, Aya jadi kerap berkunjung dalam mimpi-mimpi
kecilnya. Gadis cilik berkuncir buntut kuda itu berulang kali menanyakan kemana
pajangan kaca hadiah darinya dan mengatakan, "Kenapa sekarang Lana marah-marahin
aku terus. Kenapa Lana jadi galak ? Apa Lana nggak kangen sama Aku ?" Aya
kecilnya merengut, kemudian saat Alvin ingin meraih tangannya, sepasang tangan
yang lain telah lebih dulu membawa Aya menjauh.
Mimpi itu berulang hampir setiap malam selama dua pekan terakhir. Alvin
benar-benar habis akal, ia tidak juga berhasil mengenyahkan Aya dari hidupnya,
atau paling tidak, sedikitnya dia bisa menyisihkan Aya dari otaknya untuk
memikirkan hal-hal lain yang lebih menyenangkan. Itu sulit sekali.
"Ck,"
Alvin berdetak keras, tidak suka melihat seorang gadis dari arah berlawanan,
berjalan mendekat. Dalam hati dia merutuk, kenapa gadis itu bisa mirip Aya.
Apalagi dengan rambut panjangnya yang diikat sembarang seperti sekarang. Dan
kenapa pula Alvin harus merasa tidak rela ketika sebelah tangan gadis itu
menarik kuncirannya, membiarkan rambutnya jatuh terurai melewati bahu,
"Heh elo !!" panggilnya, niat-tidak niat.
"Apa
?" sahut Shilla ketus, "Oh iya, kalau kamu nggak lupa,
nama aku Shilla. Jadi lain kali bisa kan panggil pakai nama ak-"
"Rambut
lo !" sela Alvin menghentikan cerocosan Shilla.
"Kenapa
sama rambutku ?"
"Ngapain
digerai-gerai kayak gitu ? Mau sok-sokan jadi model iklan shampoo ?"
ungkap Alvin. Ia tidak bias berterus terang kalau Shilla jauh lebih cantik
dengan rambut dikuncir satu seperti tadi. Mulutnya seakan tabu untuk berujar
demikian.
"Terus
urusan kamu apa? Penting buat kamu ?" sentak Shilla, tersinggung,
"Dan orang bilang rambut aku emang bagus kok, cocok jadi ikon produk
shampoo." Shilla berkacak pinggang, menatap tajam Alvin.
"Orang
? Siapa ? Rio ? Dia memang pintar memuji." ujar Alvin, tenang.
"Maksud
kamu ?"
Alvin
menganggkat bahu, "Ya, siapa tahu Rio bilang begitu cuma supaya lo
senang." katanya dengan gaya yang sangat menyebalkan, lalu pergi.
Shilla
menggeram kesal, memelototi tubuh jangkung Alvin yang menjauh. Mendadak, ia
jadi ingin pergi ke Hogwarts untuk belajar sihir dan mengutuk Alvin dengan
kutukan Cruciatus.
***
"Hei !! Kok sendirian sih, cemberut pula." tegur Ify pada Shilla yang tertegun di meja kantin, mengaduk-ngaduk jus jeruknya tanpa gairah.
***
"Hei !! Kok sendirian sih, cemberut pula." tegur Ify pada Shilla yang tertegun di meja kantin, mengaduk-ngaduk jus jeruknya tanpa gairah.
"Berdua
kan ? Sama kamu."
Ify
tergelak kecil, "Eh iya Shil, boleh minta tolong nggak ?"
Shilla
mengangguk tak bersemangat, membuat Ify enggan untuk melanjutkan, "Nggak
boleh juga nggak apa-apa Shil, nggak usah pasang tampang BT gitu."
"Nggak
kok Fy, aku cuma lagi rada kesal, silakan aja. Apa yang bisa aku bantu ?"
"Itu
Shil, soal tugas Bahasa Indonesia, "Ify bergerak rikuh di kursinya, Shilla
masih menunggunya melanjutkan kalimat, "Lo kan dapat pasangan sama Rio,
nah gue sama Gabriel. Emm...mau nggak kalau kita tukeran. Lo tahu kan gue masih
risih banget sama kejadian dirumah gue waktu itu. Tapi kalau lo nggak setuju
juga nggak apa-apa kok. Mungkin gue bakal minta tugas personal aja ke Pak
Wawan, nggak usah sama Gabriel." Ify menunduk.
Shilla
tersenyum dipaksakan, sebenarnya dia juga tidak suka berurusan dengan Gabriel,
tapi ya sudahlah, dia tidak enak hati kalau harus menolak permintaan Ify,
"Ya udah Fy, aku mau kok kita tukeran. Tapi kamu yang bilang sama Pak
Wawan ya, entar aku yang kasih tahu Rio."
Wajah
Ify berbinar mendengar jawaban Shilla yang sesuai dengan harapannya, "Serius
Shil ?"
Shilla
mengangguk dua kali.
"Aaaaa....makasih
ya Shil." Ify merentangkan kedua tangannya, memeluk Shilla seraya
mengucapkan terimakasih berulang kali, "Gue juga ada sesuatu dari Bunda
buat lo." Ify melepas pelukannya, ganti mengaduk-ngaduk isi tas dan
mengeluarkan sebuah celemek cantik berwarna ungu dengan bordiran benang-benang warna
lylac membentuk namanya ditengah-tengah, ada aksen renda putih terjunjai di
beberapa tempat. Manis sekali.
"Buat
Aku ?" Shilla menerima celemek yang disodorkan Ify kepadanya.
"Iya.
Warna ungu, favourite lo kan ? Anak ceweknya Bunda nggak bisa masak, jadi Bunda
bikinin buat lo. Di pakai ya." Ify tersenyum manis.
"Bilangin
makasih ya Fy sama Bunda kamu. Pasti aku pakai kok." tutur Shilla, senang.
"Ok.
Nanti gue bilangin. Gue duluan ya Shil, mau beli majalah dulu. Beberapa minggu
yang lalu gue coba kirim cerpen ke majalah kayak saran lo, menurut konfirmasi
sih, katanya bakal terbit di edisi minggu ini." ungkap Ify, berseri-seri.
"Wah
selamat ya Fy."
Ify
beringsut bangun, membenahi lipatan-lipatan pada roknya, "Makasih Shil.
Jangan lupa bilang Rio ya, bye !" pamit Ify sambil berlalu.
Shilla
balas melambaikan tangan dan mengangguk.
***
Aku mengenalmu, juga mengenalnya.
Aku mengenalmu, juga mengenalnya.
Aku
memahamimu, dengan cara yang sama seperti aku berusaha memahaminya.
Lantas
kenapa rasa itu muncul hanya saat aku di dekatmu ?
Hahaha...
Tak perlu cemaskan.Aku tidak memintamu memikirkan rasa bodoh yang memuakkan
itu.
Aku
hanya tidak mengerti, apa yang sebenarnya terjadi antara kita.
Dengan
senyum merekah, Ify membaca kata-kata awal dari cerpennya yang benar-benar dimuat
sebuah majah ternama. Cerpen yang diberi judul Aku, Kamu dan Dia itu
menceritakan kisah tiga sahabat yang terlibat cinta segitiga, sangat klasik dan
biasa. Karena itu juga, Ify cukup heran saat diberitahu cerpen yang dia
kirimkan akan dimuat. Ini pertama kalinya Ify berani mempublish karyanya di
luar Aruna. Dan seakan jadi pelengkap kegembiraannya, handphone-nya bergetar,
ify mendapati SMS dari Rio.
From : Rio
congrats!! Crpnnya dimuat d majalah kn?
Udh plg ? Hati2 ya:)
Setelah mengetikkan
jawaban, Ify meninggalkan kios pedagang majalah yang baru saja dia kunjungi. Jalanan
di depan Ify cukup ramai, padahal Ify harus menyebrang untuk kembali ke
sekolah. Alvin pasti sudah menunggunya di parkiran.
Sudah sekitar tiga
menit Ify berdiri di bahu jalan, tidak berani menerobos arak-arakan kendaraan
yang lalu-lalang dengan kecepatan diatas normal. Ia mengibas-ngiibaskan tangan
di depan wajah, tidak suka dengan asap kendaraan yang berseliweran di depannya.
"Ayo, aku bantu nyebrang !"
Gabriel menggandeng lengan kiri Ify, berniat menolong gadis itu untuk menyebrang
jalan.
Ify menepis tangan Gabriel, "Nggak
perlu." sentaknya, kasar.
Gabriel tidak memaksa. Pemuda itu hanya tersenyum seadanya, lalu berjalan seraya merentangkan tangan kanannya, mengisyaratkan agar beberapa kendaraan berhenti sebentar. Sebuah sedan berhenti mendadak. Kurang beberapa centi lagi, bagian depannya akan mencium lutut Gabriel, "Cepat nyebrang !" katanya pada Ify.
Ify
membesi. Ada yang bergetar halus dalam dadanya, melihat apa yang Gabriel
lakukan untuknya.
Tin...tiin..tiiiinnn
"WOII ! Buruan dong, jadi nyebrang nggak lo." umpat salah seorang pengemudi, disusul bunyi-bunyi klakson yang ditekan oleh pengemudi yang lain.
Tin...tiin..tiiiinnn
"WOII ! Buruan dong, jadi nyebrang nggak lo." umpat salah seorang pengemudi, disusul bunyi-bunyi klakson yang ditekan oleh pengemudi yang lain.
"Kamu
senang ya Fy, aku dimarahin ?" celetuk Gabriel lagi-lagi sambil tersenyum,
sama sekali tidak menyiratkan kegusaran atas ulah Ify.
Ify
mengangkat dagunya, melipat tangan di dada, menyebrangi jalan dengan tak acuh
terhadap Gabriel yang mengekorinya. Setelah tiba di seberang pun Ify tidak
mengindahkan pemuda manis itu, "Sama-sama Fy, nggak usah bilang makasih."
sindir Gabriel saat Ify sudah akan pergi.
Ify
memandang datar, "Oh iya," serunya teringat sesuatu, "Tugas
Bahasa Indonesia, lo kerjain sama Shilla, gue sama Rio. Kita tukeran dan Pak
Wawan udah setuju. Perlu juga lo ingat, Gabriel, berani lo macam-macam sama
Shilla, jangan salahin gue kalau elo langsung dicoret dari daftar siswa
Veronna." ancam Ify, sungguh-sungguh, "Satu lagi..." lanjutnya,
sinis.
BBUUG.
Kepalan tangan Ify mendarat tepat di dada kiri Gabriel. Membuat pemuda yang menerima serangan dadakan itu terhuyung ke belakang, "Itu buat Rio yang udah lo bikin babak belur pas camping." imbuhnya kemudian pergi, masih dengan gaya yang angkuh dan aura penolakan terhadap keberadaan Gabriel.
Kepalan tangan Ify mendarat tepat di dada kiri Gabriel. Membuat pemuda yang menerima serangan dadakan itu terhuyung ke belakang, "Itu buat Rio yang udah lo bikin babak belur pas camping." imbuhnya kemudian pergi, masih dengan gaya yang angkuh dan aura penolakan terhadap keberadaan Gabriel.
Kebencian
itu adalah pengingkaran dari getaran halus yang menjamah dinding hatinya.
***
Rahasia yang tanpa sengaja terbongkar tidak akan mengungkap apapun, selain menambah jumlah orang yang harus ikut menutupinya.
***
Rahasia yang tanpa sengaja terbongkar tidak akan mengungkap apapun, selain menambah jumlah orang yang harus ikut menutupinya.
Ia
berbalik. Mengurungkan niat untuk pulang karena ada sesuatu yang terbawa olehnya.
Ia harus mengembalikannya sebelum dibilang pencuri. Baru saja ia merasa lega
telah menyelesaikan tugasnya dan bisa cepat-cepat keluar dari rumah Gabriel,
tapi ternyata ia harus kembali ketempat itu. Untungnya sih, ia belum begitu
jauh saat menyadari flashdisc Gabriel masih menghuni genggamannya. Setelah mengembalikan
benda itu, ia benar-benar akan segera pulang. Tapi ternyata Tuhan berkehendak
lain. Ah entahlah. Apa benar ini kehendak Tuhan atau dirinyalah yang terlalu
ingin tahu urusan orang lain. Saat sampai (lagi) di kediaman Gabriel, ia sudah
berusaha memanggil-manggil pemuda itu, tapi tidak ada yang menyahut. Ia masuk
ke dalam rumah dan mendapati pintu sebuah kamar terbuka sedikit, "Mungkin
Gabriel di dalam." begitu pikirnya. Ia mendekat, mendorong sedikit pintu
kayu di hadapannya.
Kamar itu tidak
berpenghuni, tapi betapa terkejutnya ia melihat apa yang ada dalam kamar itu.
Dan seolah etika dalam bertamu lenyap dari otaknya, ia berjalan
mengendap-ngendap memasuki kamar. Mulutnya ternganga, tidak menyangka. Di
beberapa tempat terpasang banyak sekali foto-foto Ify. Ia meraih satu di antaranya
dengan tangan gemetar, Ify terlihat sangat manis kalau tidak ada noda (entahlah)
seperti darah kering, yang membingkai wajah tirus Ify. Noda-noda semacam itu
juga tercetak pada foto-foto yang lain.
Di
dinding depan tempat tidur, foto Rio tampak sangat mengenaskan. Pisau-pisau
kecil tertancap di mata, dahi, dada, belum lagi kata-kata kotor dan makian yang
ditulis dengan spidol merah. Belum habis keterkejutannya atas semua yang ia
lihat, ditemukan juga sebuah handphone. Gadget mungil itu sangat ia kenali,
milik Rio yang hilang tempo hari. Kenapa bisa ada disini ? Ia mengucek-ngucek
mata, mencubiti kulitnya, memastikan bahwa ini nyata.
Pada
saat itu, sebuah pesan amplop warna kuning muncul pada layar handphone mungil
itu, menendakan ada satu pesan baru masuk, “Princess Ify?” Shilla bergumam
membaca nama pengirim pesan singkat itu. Dengan gemetar ia membuka pesannya.
Iya
Rio, lo jg jgn lupa makan o:)
Begitulah
bunyi pesan yang dikirim kontak dengan nama Princess Ify tadi.
Shilla
mengerutkan kening, bingung, “Ify sms Rio, tapi kenapa ke nomor ini. Nomor Rio
kan udah lama ganti,” gumamnya heran.
"SHILLA !!"
Suara
berat penuh amarah bergaung dalam ruangan. Membuat jantungnya serasa akan melompat
keluar saking kagetnya. Shilla membalikkan tubuh, Gabriel berdiri kaku di ambang
pintu. Pemuda itu sepertinya baru usai mandi karena buliran air masih terselip
diantara helaian rambutnya.
Shilla
tergugu, wajahnya memucat ketakutan.
"Ngapain
lo disini ?"
"Ak...ak...aku
aku cuma...cuma..."
Gabriel
mengibaskan tangannya, "Punya nyawa berapa lo, sampai berani masuk kamar
gue tanpa izin ?"
Celaka,
celaka sekali Shilla masuk ke kamar ini. Tiba-tiba saja keringat dingin
membanjiri tubuhnya, "Ma...maaf Gabriel."
"Bodoh
!" umpat Gabriel, "Lo kira semuanya bisa dengan mudah selesai setelah
lo bilang maaf?"
Shilla
mengumpulkan segenap keberaniannya. Ia harus lari. Ia harus kabur dari tempat
mengerikan ini. Ia bisa menerjang Gabriel lalu lari secepat mungkin.
Tapi itu hanya angan-angan, pada kenyataannya jangankan untuk berlari, menyangga tubuh saja kakinya sudah gemetar.
Tapi itu hanya angan-angan, pada kenyataannya jangankan untuk berlari, menyangga tubuh saja kakinya sudah gemetar.
Seakan
belum cukup buruk, keadaan diperparah oleh mulutnya yang tidak bisa dikontrol,
"Ngelihat semua ini, apa kamu...suka sama Ify ?" tanya Shilla
memberanikan diri menatap wajah Gabriel.
"Nggak," sambar Gabriel, "Gue nggak suka sama Ify, tapi gue cinta. Cinta mati." aku Gabriel seraya menatap satu persatu foto Ify dengan tatapan memuja.
Shilla bergidik jijik mendengarnya, "Apa itu yang menyebabkan kamu benci Rio ? Karena dia dekat sama Ify ?" ia mengarahkan dagunya pada foto Rio yang sudah tercabik-cabik, "Tapi aku rasa itu nggak perlu, mereka dekat kan emang karena udah enam tahun sahabatan."
Gabriel berjalan menghampiri Shilla, tersenyum sinis dan menakutkan, "Nggak salah. Tapi kurang tepat. Selain kedekatan mereka, gue juga benci Rio karena dia PEMBUNUH !" Gabriel berteriak di ujung kalimatnya.
Shilla
menggeleng, "Bohong ! Aku nggak percaya."
"Nggak
ada untungnya buat gue, lo mau percaya atau nggak."
"Tapi
kamu nggak boleh ngomong asal kayak gitu hanya karena iri."
"CIH,
GUE NGGAK IRI SAMA RIO."
"Terus
apa maksud kamu fitnah dia pembunuh ?"
Ketakutan
Shilla sepertinya sudah sirna tidak berbekas. Yang menguasainya saat ini adalah
rasa tidak terima, pemuda sebaik Rio dituduh seperti itu hanya karena cemburu.
Shilla yakin, Rio tidak mungkin membunuh.
"Sayangnya
gue nggak cukup baik hati untuk jelasin semuanya sama cewek nggak penting kayak
lo. Kalau lo mau tahu, tanya aja sama Rio langsung. Walaupun gue nggak yakin
dia bakal jujur. Karena anak tengil itu selalu pengin kelihatan sempurna di
depan semua orang." ujar Gabriel penuh kedengkian.
Shilla
tertawa kering, "Kalau kamu mau tahu, kebencian kamu salah alamat. Rio
udah minta aku jadi pacarnya dan Ify setuju dijodohkan sama... Alvin."
Dari
ekspresinya, Gabriel, sepertinyaa dia terkejut, "Gue nggak percaya."
"Nggak
ada untungnya buat gue, kamu mau percaya atau nggak." Shilla membalikkan
ucapan Gabriel sebelumnya, "Dan kamu harus jelasin kenapa benda ini ada
disini ?" Shilla mengangkat handphone yang ia genggam, "Ini
handphonenya Rio yang hilang kan ? Aku yakin kamu ambil bukan karena orang tua
kamu nggak sanggup beliin kan ?" desak Shilla.
Gabriel
meradang, wajahnya merah menahan marah, "Taruh benda itu dan keluar dari
kamar gue, SEKARANG !" salaknya keras-keras. Gabriel ingin sendiri.
Pikirannya kacau mengingat Ify sudah dijodohkan. Dan Alvin ? Kenapa bisa orang
itu ?
Shilla tersenyum mengejek. Seumur hidup, ia tidak pernah begitu benci pada
seseorang, karena kata Ibunya itu tidak baik. Tapi Gabriel pengecualian.
"Dengan
senang hati, Gabriel. Aku bakal keluar." Shilla sudah hampir sampai di depan
pintu saat Gabriel berteriak mencegahnya, "Tunggu !" Gabriel
melangkah pasti ke arah Shilla, tangan kanannya menggenggam sebilah cutter. Ia
terus mendekat. Shilla membeku di tempatnya. Bahkan ketika Gabriel mengarahkan
pisau ke wajahnya, Shilla hanya mampu meneguk ludah, "Lo lancang,"
desis Gabriel tajam, "Lo udah tahu terlalu banyak." ia memainkan
cutternya dekat sekali dengan pipi Shilla.
"Psycho."
cicit Shilla.
"Jangan
pernah kasih tahu ini semua sama orang lain atau..."
"Aku
nggak takut sama apa pun ancaman kamu." potong Shilla.
"Oh...bukan.
Bukan lo. Gue nggak akan sentuh lo sedikitpun karena Ify larang gue. Tapi...
DIA !" Gabriel melempar cutter ditangannya ke arah foto Rio dan tepat
mengenai bagian mata, "Rio yang bakal terima akibatnya. Gue nggak pernah
main-main dan kalau lo nggak lupa, kejadian di Lab waktu itu... Gue bisa
berbuat yang lebih buruk."
Shilla
tidak berani lagi berkata-kata.
"Dan
kalau lo nggak keberatan, lo bisa bantu gue peringatkan Rio buat jauhin Ify.
Satu cewek model lo, gue rasa udah cukup buat dia." tangan Gabriel
bergerak meraih knop pintu di belakang Shilla dan membukanya, "Sekarang
cepat keluar, sebelum gue berubah pikiran dan lo bakal keluar dari sini dalam
keadaan nggak utuh."
Shilla ingin marah.
Kalau saja yang dihadapannya ini bukan cowok psycho macam Gabriel, sudah barang
tentu tangannya akan melayang menampari mulutnya sejak tadi.
Shilla keluar dari rumah Gabriel dengan perasaan campur aduk. Marah, takut dan tidak menyangka. Ia pastikan ini kali pertama dan terakhir berkunjung ke rumah itu.
Shilla keluar dari rumah Gabriel dengan perasaan campur aduk. Marah, takut dan tidak menyangka. Ia pastikan ini kali pertama dan terakhir berkunjung ke rumah itu.
Shilla
langsung menghentikan taksi pertama yang lewat ketika ia sudah berada di jalan
raya.
Apa yang Shilla ketahui hari ini, apa iya harus disimpan seorang diri ? Tapi kalau Shilla nekat, bagaimana nasib Rio ?
Apa yang Shilla ketahui hari ini, apa iya harus disimpan seorang diri ? Tapi kalau Shilla nekat, bagaimana nasib Rio ?
Shilla
masih terus terlongong tanpa fokus. Ketika supir taksi yang dinaikinya bertanya
kemana tujuan mereka, Shilla hanya menjawab, "Jalan dulu aja Pak."
***
Ify
bertepuk tangan heboh seusai Rio menyanyikan sebuah lagu untuknya. Permainan
gitar dan suara Rio memang selalu menakjubkan. Sudah sejak sore Rio bermain di rumahnya.
Mereka menghabiskan waktu dengan melakukan berbagai hal dari mulai yang
baik-baik seperti membantu Mang Suhe menyiangi rumput di kebun belakang sampai
menambah pekerjaan pembantu rumah Ify karena sukses meledakkan dapur. Rio dan
Ify, awalnya berniat mempraktekkan resep membuat makanan kecil dan minuman yang
ada di majalah. Tadi jangankan berhasil, makanan yang mereka buat sama sekali
tidak layak makan. Rasanya tidak keruan. Sementara untuk minuman, rasanya tidak
begitu parah, tapi mereka berani taruhan tidak akan ada yang mau mencicipinya
setelah melihat tampilannya. Warna minuman itu hijau gelap seperti lumut dan
betapa bodohnya Rio menambahkan serbuk bawang goreng diatasnya. Walau pun pada
akhirnya mereka hanya mengotori dapur tanpa bisa menghasilkan sesuatu yang bisa
disantap, tapi Rio dan Ify menikmati acara masak bersama tadi.
Sekarang
keduanya sedang duduk-duduk di ruang TV, Rio meletakkan gitar kepangkuannya
setelah selesai melantunkan lagu yang direquest Ify, "Tepuk tangan aja lo,
ambilin minum kek. Haus ni gue, sealbum gue nyanyiin live buat lo."
seloroh Rio.
Ify
menggerutu, "Gue ambilin minuman buatan kita tadi mau ?" guraunya,
tersenyum jenaka.
"Lo
masih anggap itu minuman ?"
"Ambil
sendiri sana, tahu kan dapurnya dimana ?"
Rio
beranjak ke dapur, sambil bersungut-sungut. Ify pura-pura tidak mendengar
gerutuan Rio dan malah asyik memainkan kuku-kukunya, "Sekalian ya
Yo." teriaknya tanpa beban.
Selepas
kepergian Rio, Ify mendengar handphonenya berbunyi.
Shilla
calling...
Ify
memutar kedua bola matanya. Dengan malas, ia menekan tombol warna hijau,
"Hallo Shil !" sapanya pada orang di seberang sambungan telepon.
"Fy,
ada Rio ? Tadi aku telepon Feldy katanya dia lagi main di rumah kamu."
"Iya,
anaknya lagi ke belakang."
"Ya
udah nanti aku telepon lagi."
"Ada
apa sih Shil ? Kalau penting titip pesan ke gue juga boleh."
"Emm...sampaiin
aja sama Rio, aku tunggu di taman biasa. Kalau kalian udah selesai suruh dia
cepat kesini, aku mau kasih jawabannya."
Hati
Ify berdesir tak keruan, tiba-tiba jadi tidak tenang, "Jawaban apa
emangnya ?"
"Bilang
aja kayak gitu, Rio pasti ngerti."
"Kenapa
lo nggak ke rumah gue aja sekarang ?"
"Nggak
deh Fy, aku titip pesan aja. Tolong sampaiin ya Fy."
"Emm...
Ok deh."
"Thanks
Fy."
"Anytime."
Sambungan
telepon terputus. Ify mendengus kesal. Kenapa Shilla ini selalu saja mengganggu
saat-saat berduanya dengan Rio. Apa belum puas, selama ini dia yang lebih
sering bersama Rio. Kali ini saja, Ify ingin egois. Ia mau Rio disini,
menemaninya. Biar saja Shilla menunggu, kalau memang penting nanti juga Shilla
menyusul Rio kemari. Ify tidak akan memberi tahu Rio, pasti anak itu akan
segera pergi begitu tahu Shilla menunggunya. Tidak berapa lama, Rio muncul
membawa satu gelas air putih yang disodorkan pada Ify dan gelas lainnya berisi
sirup untuknya.
"Kok buat gue air putih ?" protes Ify.
"Kok buat gue air putih ?" protes Ify.
"Mau
sirup juga ? Ambil sendiri sana, tahu kan dapurnya dimana." Rio mengulang
kalimat Ify lengkap dengan gaya memainkan kuku jarinya.
"Pesek."
umpat Ify tertahan.
"Apaan
?"
"Nggak."
Rio memicing mata, tajam. Sepertinya tadi dia mendengar sebuah kata menyakitkan yang berhubungan dengan hidung.
Rio memicing mata, tajam. Sepertinya tadi dia mendengar sebuah kata menyakitkan yang berhubungan dengan hidung.
"Nggak
usah ngelihatin gue kayak gitu. Naksir bilang !" Ify mendorong wajah Rio
dengan telapak tangan kirinya, "Mau ngapain lagi ni kita ?"
"Main
PS." usul Rio bersemangat.
"Malas
ah, gue kalah terus."
"Main
berantakin-kamar-Ify aja, gimana ?"
"Terus
main dorongin-Rio-dari-atas-balkon." lanjut Ify, ketus.
"Ya
lo maunya ngapain dong ?"
"Lihat
bintang aja yuk ! Sekarang kan Januari, pasti ada Orion."
"Di
luar mendung kali, mana kelihatan bintangnya."
"Huuuh."
Ify mendesah kecewa, "Ya udah kerjain tugas Bahasa Indonesia aja lah,
habis itu kita…"
"Makan."
potong Rio, "Gue lapar." ia menepuk-nepuk perutnya.
"Ok
lah, entar gue buatin mie instan."
"Nggak
ada kemajuan banget sih lo, masih aja mie instan."
"Telur
dadar deh ?"
Rio tidak menggubris,
sahabat ceweknya ini memang sangat payah dalam urusan memasak. Ia berjalan
menaiki tangga, menuju perpustakan rumah Ify, tempat mereka biasa mengerjakan
tugas. Sebenarnya tugas yang diberikan Pak Wawan tidak begitu sulit. Shilla dan
Gabriel saja hanya butuh tiga jam untuk mengerjakannya sampai tuntas. Tapi
karena Rio dan Ify lebih banyak bercanda dan main-main, sudah lewat dari dua
jam mereka baru mengerjakan separuhnya. Belum lagi, sekarang diselingi acara
makan mie instan, karena Rio mengeluhkan cacing-cacing di perutnya sudah
berdemo.
Sedang
konsentrasi, memperhatikan Rio yang menyantap mienya dengan lahap, Ify merasakan
handphonenya bergetar.
1
new message
From : Shilla.
Fy,
Rio msh dsna ? Dia mau temuin aku gaksih ?
Ify
menggigit bibir, resah. Sudah berulang kali Shilla mengiriminya SMS, gadis itu
masih menunggu Rio. Sebenarnya apa sih yang mau mereka bicarakan ?
"Kenyaaangg
!!" seru Rio, memecah lamunan Ify, "Gue balik ya Fy, tugasnya
dilanjut nanti aja. Udah jam sembilan." Rio melirik jam besar yang
terpasang di dinding.
Ify
tidak menjawab. Hanya memandangi tubuh tinggi Rio yang beranjak ke dapur
membawa piring kotor. Tidak lama pemuda itu kembali, "Gue balik ya...
Bye." pamitnya sambil lalu.
"Apa gue sampaiin aja ya pesan Shilla," batin Ify ragu, "Yo !!" panggil Ify sembari berjalan menyusul Rio.
"Apa gue sampaiin aja ya pesan Shilla," batin Ify ragu, "Yo !!" panggil Ify sembari berjalan menyusul Rio.
"Kenapa
Fy ?" tanya Rio yang sudah bertengger di sepedanya.
"Emm...langsung
pulang ya, jangan kemana-mana lagi." kalimat itu yang akhirnya keluar dari
mulut Ify, sementara pesan dari Shilla tersangkut di tenggorokan.
Ada
perasaan tidak enak yang mengganjal hatinya. Tapi Ify tampik mentah-mentah. Dia
hanya ingin sebelum tidur bisa mengenang kebersamaannya dengan Rio beberapa jam
kebelakang tanpa ada rasa cemas memikirkan seperti apa pertemuan Rio dan
Shilla, serta apa saja yang mereka bicarakan. Ify ingin senyum Rio, tawanya,
candanya, jadi pengantar tidur yang sempurna untuk malam ini. Biar saja Rio
tidak bertemu Shilla, besok juga bisa bertemu kan di sekolah. Ini tidak terlalu
jahat menurut Ify.
Sementara Rio, setelah
lewati gerbang kokoh rumah Ify, ia segera melesat dengan sepedanya. Kendaraan
roda dua itu dikayuh secepat mungkin. Angin malam terasa mencubiti kulit
tubuhnya yang hanya berbalut kaus lengan pendek dan celana selutut. Sabetan
kilat yang membelah angkasa, disusul gemuruh guntur, sepertinya membuat
anak-anak awan ketakutan dan akhirnya menangis, membuat tetesan air mulai
tercurah perlahan.
Rio merasakan tubuhnya
beku yang tidak ada hubungannya dengan dingin air hujan yang menerpa tubuhnya. Pemandangan
di depan sana tertangkap tanpa sengaja oleh sepasang mata teduhnya, membuat Rio
terpana. Meski dalam keremangan, Rio bisa memastikan dia mengenali dua orang
yang sedang berpelukan itu. Shilla dan... Alvin. Apa-apaan mereka ?
***
***
Shilla tersenyum manis.
Untuk kedua kalinya, membenahi poni dan letak jepit rambut warna putih gading
senada rok selutut yang dia kenakan. Dia melirik jam tangan cantik yang
melingkari pergelangan tangannya, sudah satu jam dia menunggu Rio. Shilla
mengayun-ayunkan kaki jentangnya, mendepaki udara sekitar. Matanya menjelajah,
mengamati taman yang mulai ramai didatangi pasangan-pasangan muda yang akan
bermalam minggu ria. Beberapa pedagang sudah tampak stand-by dengan gerobak masing-masing.
Taman yang biasa dia kunjungi bersama Rio ini, seingat Shilla memang selalu ramai
setiap sabtu malam. Dipenuhi muda-mudi yang akan menghabiskan satnight mereka bersama
teman-teman atau pacar. Pacar ?
Pipi Shilla jadi merona
merah setiap mengingat status hubungannya dengan Rio setelah dia memberikan
jawabannya nanti. Tadi Shilla sudah menghubungi Ify, meminta gadis itu
menyampaikan pesan pada Rio. Sebentar lagi, pemuda itu pasti datang.
Satu jam telah berlalu...
Kemudian dua jam...
Shilla berusaha untuk sabar, "Sabar
Shila. Rio malah udah tunggu berminggu-minggu." batinnya menyemangati diri
sendiri.
Sambil menunggu, Shilla
mengingat-ingat kejadian yang masih segar dalam otaknya. Kejadian itu terjadi
satu minggu yang lalu dalam misi pencarian jawaban untuk pertanyaan Rio. Sore
itu, Shilla berniat memberanikan diri bertanya pada Bibinya, mumpung timingnya
sangat pas. Dia dan Bi Arum sedang duduk-duduk santai di bale-bale bersama
beberapa pegawai Rumah Besar yang lain. Dengan suara pelan, Shilla bertanya pada
wanita paruh baya yang duduk tenang di sebelahnya, "Bibi belum jawab
Shilla waktu itu. Kenapa Shilla nggak boleh dekat sama Rio ?" Wajah Bi
Arum terlihat menegang, tapi Shilla tak mengacuhkannya, "Apa karena status
sosial kami yang jauh berbeda?"
"Anggap saja kayak gitu."
balas Bi Arum dingin.
Shilla tidak puas, "Shilla udah
besar, Bi. Kalau Bibi melarang Shilla melakukan sesuatu, Shilla perlu tahu apa
alasannya." desak Shilla, "Atau Bibi nggak bisa salahin Shilla, kalau
nantinya Shilla dan Rio semakin dekat." lanjutnya, mantap.
Bi Arum tidak menjawab,
meletakkan secangkir tehnya lantas segera pergi. Dia mengabaikan Shilla yang
berulang kali memanggilnya. Shilla tidak menyerah, ia bertekat harus dapat
penjelasan, maka dibuntutinya kemana Bi Arum pergi. Wanita itu menghentikan
langkahnya di depan ruang kerja Narendra, mengetuk pintu lalu buru-buru masuk.
Shilla ikut mendekat,
ingin tahu, kenapa Bibinya malah menemui Narendra. Apa dia akan diadukan pada
Oom baik hati itu ? Takut-takut Shilla berdiri di depan pintu. Dia tidak tahu apa
yang terjadi di dalam sana, dia hanya sempat mendengar tiga dialog terakhir
yang diucapkan dua orang di dalam dengan intonasi tinggi.
"Saya lebih berhak atas Rio atau
pun Shilla. Bisa dibilang kamu itu orang luar, tidak usah mengajari saya
bagaimana harus bertindak. Kekhawatiran kamu terlalu berlebihan, Bi. Saya tidak
keberatan Shilla dekat dengan Rio."
"Oh ya, Tuan. Maaf. Saya memang
orang luar. Bukan siapa-siapa. Lupakan ! Lupakan saja bahwa saya adalah kakak
kandung dari Ibu Shilla dan saya yang mengasuh Den Rio dari kecil sejak Nyonya
meninggal. Lupakan saja itu semua. Tapi Tuan perlu tahu, saya hanya tidak ingin
mereka kecewa pada akhirnya. Saya juga sangat menyayangi mereka."
"Sudah cukup. Lebih baik kamu
keluar, Bi. Saya sedang tidak ingin membicarakan hal ini."
Shilla segera menjauh,
ketika mendengar derap-derap kaki yang mendekat ke pintu. Dia pura-pura
mengobrol dengan seorang pembantu yang membersihkan piano cantik, tidak jauh
dari sana. Shilla tidak mengerti apa yang dibicarakan Narendra dan Bibinya,
tapi dia berjanji pada diri sendiri untuk tidak tanya-tanya lagi pada Bi Arum.
Entah karena Shilla atau bukan, dia tetap saja tidak tega mendengar Bibinya
dibentak-bentak seperti tadi, walaupun Shilla maklum pasti Narendra sedang
sangat lelah selepas ke pulangannya dari luar negri.
"Jangan tanyakan soal tadi lagi pada
Bibi. Kamu benar Shilla. Kamu sudah besar dan berhak dekat dengan siapa saja.
Terserah kamu." ujar Bi Arum yang tiba-tiba datang. Shilla tidak menyadari
sejak kapan wanita itu berdiri di sampingnya.
Shilla jadi bingung
harus bagaimana ? Walau pun disampaikan dengan nada kesal, dia senang sekali
akhirnya mendapat izin dari Bi Arum, satu-satunya keluarga yang Shilla miliki
di Jakarta. Tapi dia juga tidak enak hati melihat wajah Bi Arum yang memucat
semenjak keluar dari ruang kerja Narendra.
2 jam lebih 45 menit...
Rio masih juga belum
terlihat. Shilla sudah sangat lelah. Tapi Shilla harus segera memberikan
jawabannya untuk Rio. Shilla pergi tanpa sempat berpamitan, tadi. Shilla ingin
menangis. Rio tega sekali membiarkannya menunggu berjam-jam sendirian, sampai
larut malam. Kalau memang tidak bisa datang, apa susahnya memberikan kabar
lewat Ify. Ify juga ! Bisa-bisanya tidak membalas satu pun pesan yang dia kirimkan.
Sekitar pukul setengah
sepuluh malam, gerimis mulai turun. Kesabaran Shilla sudah kandas. Ia memutuskan
untuk pulang. Semuanya sia-sia. Mungkin Rio memang tidak lagi butuh jawaban.
Shilla kemari dengan
berjalan kaki, tidak ada kendaraan umum yang lewat sini. Jadi kalau tidak
membawa kendaraan pribadi, paling hanya ojeg yang mau mengantar sampai ini.
Tapi untungnya taman ini letaknya tidak begitu jauh dari Rumah Besar. Setengah
jam perjalanan dengan berjalan kaki.
Shilla setengah
berlari, menaungi kepalanya dengan kedua tangan. Sial ! Seribu kali sial.
Sandalnya yang semula baik-baik saja, tiba-tiba putus. Hujan turus bertamah
deras, malam pun kian larut dalam kegelapan. Shilla berhenti, duduk berselonjor
di pinggi jalan. Kecewa, marah sekaligus kesal. Semuanya tidak berjalan sesuai
harapan. Dia bertambah marah setiap ingat Rio mungkin masih asyik berduaan
dengan Ify atau tertidur di bawah selimut tebalnya, membiarkan Shilla terlantar
seperti ini, "Nyebeliiinn... Nyebelin ! Nyebelin." teriak Shilla
sembari menepuk-nepuk air hujan yang mulai tergenang di sekitarnya. Tidak jelas
mana yang lebih deras, airmatanya atau air hujan. Menunggu berjam-jam
sendirian, benar-benar bodoh. Shilla menangis tersedu, memeluk lututnya seperti
anak hilang.
"Ngapain lo disini ? Jadi pawang
hujan ?" suara itu tidak kalah dingin dengan air hujan yang berkeracak
menimpa tanah.
Shilla mendongak, di hadapannya Alvin
berdiri di bawang naungan sebuah payung. Shilla melengos, menutupi wajahnya
dengan kedua tangan. Dari bahunya yang bergetar, Alvin curiga gadis itu sedang
menangis.
"Mau pergi tu pamit dulu kek. Mama
nyuruh gue cariin lo. Ngerepotin aja."
"Kamu tu bisa nggak sih bersikap
baik sama aku sekali aja."
"Lha ? Emang ini kurang baik apa ?
Masih untung lo gue cariin. Jangan harap gue lepasin jaket gue buat lo ! Udah
ayo balik, bisa flu gue lama-lama disini."
"Sandal aku putus. Lihat ini
!" Shilla melemparkan kuat-kuat sebelah sandanya ke arah Alvin.
"Jadi lo nangis dan nggak pulang dari tadi cuma gara-gara sandal lo putus ?" Alvin geleng-geleng kepala, "Parah." katanya dengan nada menghina.
"Jadi lo nangis dan nggak pulang dari tadi cuma gara-gara sandal lo putus ?" Alvin geleng-geleng kepala, "Parah." katanya dengan nada menghina.
"Diam !" sentak Shilla. Ia berdiri
di hadapan Alvin, "Aku tu lagi marah. Kesal banget tahu nggak ? Kamu malah
bikin aku tambah marah. Ngapain sih kamu kemari ?"
"Kan tadi udah gue bilang, gue
disuruh Ma-"
"Diam ! Diam ! Diaamm... Jangan
ngomong kalau aku nggak suruh." Shilla menghentak-hentakkan kakinya,
"Ini lagi, ngapain bawa-bawa payung merah norak kayak gini." dalam
satu gerakan cepat, Shilla menepis payung di tangan Alvin dengan kasar. Membuat
Alvin juga harus merasakan dinginnya air hujan di malam hari.
"Lo kenapa sih ? Kok ngomel-ngomel
nggak jelas."
"Aku tu tunggu Rio, tahu ! Tapi dianya
nggak datang-datang. Udah tiga jam lebih aku tunggu dia. Kasihan banget kan.
Kamu pasti mau ketain aku, iya kan ? Emang orang kaya tu sama aja. Nggak pernah
ngehargain perasaan dan waktu orang lain. Nggak cewek, nggak cowok, semuanya
sama." cerocos Shilla panjang lebar, meluapkan seluruh kejengkelan yang dia
tahan sejak tadi.
"Kebanyakan nonton sinetron sama
baca novel sih, nunggu orang tiga jam pasti lo pikir romantis. Ngapain
segitunya sih, toh besok masih bisa ketemu Rio lagi kan ?"
"Kamu kok malah nyalahin aku ? Kamu
tu nggak ngerti." protes Shilla, "Aku tu lagi sedih."
"Kelihatan kok." sahut Alvin. Dengan lembut ditariknya tubuh Shilla ke dalam pelukannya.
"Kelihatan kok." sahut Alvin. Dengan lembut ditariknya tubuh Shilla ke dalam pelukannya.
Gadis ini tampak kacau
dan butuh ditenangkan, atau Alvin harus membekap mulutnya agar berhenti
mengomel lalu menyeretnya ke mobil supaya mau diajak pulang. Karena dua hal
tadi kedengaran tidak manusiawi, Alvin putuskan memeluk Shilla. Shilla
menghentikan tangisnya. Alvin menepuk puncak kepala Shilla dengan lembut, sama
seperti cara Agan menghentikan tangisnya dan Shilla merasakan kenyamanan yang
sama seperti dulu, "Lana." lirihnya.
"Apa ?" Alvin melepas pelukannya, "Lo bilang apa ?"
"Apa ?" Alvin melepas pelukannya, "Lo bilang apa ?"
"Nggak. Bukan apa-apa."
jawabnya sedikit linglung.
"Ya udah, cepat lo pakai sandal gue
dan kita balik."
"Kamu kesini bawa mobil ?"
"Ya iyalah. Niat banget gue kalau
cariin lo sambil jalan kaki pas hujan-hujan begini." jawab Alvin sambil
berjalan menuju sedan hitamnya.
Shilla mengekor di
belakang. Masih menikmati kehangatan yang menjalari setiap inci tubuhnya
setelah dipeluk Alvin tadi. Keduanya sama sekali tidak tahu, mereka telah
menorehkan luka pada pemilik sepasang mata yang sekilas melihat kebersamaan
Alvin dan Shilla.
***
***
Ify berjalan gontai,
tubuhnya lelah sekali. Padahal aktivitasnya di sekolah tidak begitu banyak. Seharian
ini, Ify melihat Rio yang terus murung, mungkin itu juga yang menyebabkannya
jadi tak bersemangat. Sejak memasuki kelas pagi tadi, Rio terus saja diam dan
bertukar tempat duduk dengan Feldy. Ify yakin ada yang tidak beres dengannya,
wajah Rio pucat. Ify berulang kai menyuruhnya beristirahat di UKS dan
menanyakan apa Rio sakit karena kehujanan setelah pulang dari rumahnya kemarin
? Tapi Rio tidak mau bicara, tetap diam dan hanya memandang kosong kearah kursi
Shilla. Feldy bilang, sudah sejak semalam Rio aneh seperti itu. Rio pulang
tengah malam dan kelihatan sangat kacau. Senasib dengan Ify, Feldy pun tidak
mendapat jawaban dari lusinan pertanyaan yang diajukan pada Rio.
Berlainan dengan Ify,
Alvin dan Shilla malah sama sekali tidak peduli. Saat Ify bertanya pada Shilla,
Rio kenapa, dia malah mendapat jawaban, "Kok tanya aku ? Bukannya kemarin
dia seharian sama kamu ? Aneh !" ungkap Shilla dengan nada super ketus.
Alvin lain lagi. Ify memberi tahunya
bahwa Rio sepertinya sedang sedih, dengan dingin Alvin berkata, "Terus gue
mesti apa ? Nari balet di depannya, biar Rio ketawa ? Berani bayar gue berapa
lo ?” Ify menghadiahkan satu pukulan di kepala pemuda sipit itu dengan gulungan
karton atas ucapannya.
Ify menduga pastilah
ada hubungannya dengan pesan Shilla yang tidak dia sampaikan. Memang sepenting
apa sih pertemuan-di-taman-biasa itu ? Dan kenapa pula Alvin jadi ikut-ikutan
tak acuh terhadap Rio ?
"Huuhh." Ify membuang napas
berat. Memikirkan keanehan Rio membuat tubuhnya puluhan kali lebih lelah.
Kepalanya pening, ingin sekali cepat-cepat merebahkan diri dikasuk empuknya. Dia
membuka pintu rumah dengan ogah-ogahan. Begitu memasuki ruang tamu, Ify heran
melihat Ayahnya sudah duduk kaku di salah satu sofa.
"Ayah udah pulang ?" Ify meraih
dan mencium tangan Cakra.
"Duduk kamu." perintah Cakra
dengan kaku.
Ify menurut, memilih
sofa yang berseberangan dengan Sang Ayah, sehingga mereka duduk berhadapan. Ada
sebuah majalah yang tergeletak diatas meja kaca di depannya. Ify menunduk. Dia
mengerti penyebab Ayahnya tampak kaku dan dingin, beliau sedang marah rupanya.
"Cerpen karya Saufika Ayyara. Apa
maksud kamu berbuat memalukan seperti ini ?"
"Memalukan ? Tapi Yah, Ify nggak
mencuri, Ify nggak berbuat hal-hal yang buruk. Karya Ify dimuat di majalah.
Bukannya seharusnya...seharusnya... Ayah bangga ? Bunda bilang, Bunda bangga
sama Ify."
"Jadi kamu mau membanding kan Ayah
sama Bundamu ?"
"Bukannya gitu maksud Ify."
"Gadis seusia kamu ini seharusnya
sudah pintar memasak, pintar mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah, melakukan
hal-hak yang lebih berguna. Tapi ini apa ? Kamu menghabiskan waktu kamu cuma
dengan diam di kamar dan menulis cerita-cerita ini ? Apa menurut kamu Ayah
tidak pantas marah ? Apa sih yang sebenarnya kamu cari Fy... APA ? Menjadi
author sebuah majalah, apa yang kamu inginkan ? Honor ? Apa uang yang Ayah
kasih masih kurang ?"
"Yah, Ify suka, Ify cinta menulis itu aja kok."
"Yah, Ify suka, Ify cinta menulis itu aja kok."
"Lalu
apa kamu nggak cinta sama Ayah ?"
Ify
diam saja.
"Mencoba
hal-hal baru itu kuncinya cuma butuh sedikit keberanian. Kalau jatuh ya wajar
namanya juga pertama kali. Yang penting kan dapat pengalaman baru."
Itu adalah kalimat Shilla yang diucapkannya saat pertama kali mengajari Ify memanjat pohon.
Itu adalah kalimat Shilla yang diucapkannya saat pertama kali mengajari Ify memanjat pohon.
Kali
ini, Ify sangat menghargai keberaniannya mengirimkan cerpen ke sebuah majalah
diluar Aruna untuk pertama kalinya, hasilnya juga cukup memuaskan. Ify
memperingatkan diri sendiri agar tidak menyesal, apapun hukuman yang akan dia
terima harusnya tidak bisa mengurangi rasa puas serta kegembiraannya. Ify
berdiri, bergegas pergi karena menganggap perkara ini telas selesai. Hakim
telah menjatuhkan vonis tanpa mau mendengan pembelaan dari terdakwa. Tidak adil
memang, serupa dengan hukum di Indonesia. Tapi suka atau pun tidak, Ify tak
punya pilihan dan harus menerima hukumannya.
"Mau
kemana kamu ? Ayah belum selesai."
Ify mengurungkan
langkah, kembali duduk ditempat semula. Matanya menelusuri pergerakan tangan
Cakra yang mengeluarkan sesuatu dari balik punggungnya. Benda yang berukuran
lebih kecil dari buku tulis, bersampul merah muda dengan jalinan pita senada
ditengah-tengahnya, tempat Ify mencurahkan isi hatinya. Ify menggumamkan kata
aduh tanpa suara. Dia tidak ingat, apa saja yang pernah dia tulis di dalamnya,
tapi jika Cakra sampai meluangkan waktu untuk membahasnya, pastilah ada sesuatu
yang salah.
Haah.
Lagi-lagi ini karena sifat Ify yang teledor. Dia meninggalkan majalah berisi
cerpennya di dapur setelah acara memasak bareng Rio kemarin, lalu Ify juga
membiarkan diarynya tergeletak begitu saja di tempat tidur karena tadi pagi ia
terlambat bangun, tidak sempat merapikan kamarnya lebih dulu.
Cakra
membuka halaman-halaman diary cantik itu secara acak. Berhenti di salah satu
halaman, kemudian membacakannya di depan Ify. Dari tanggal yang tertera pada
sudut kanan kertas, tulisan ini dibuat Ify sekitar satu bulan yang lalu.
Siang ini, aku lihat
kamu main basket bersama Alvin. Kamu selalu hebat dan Alvin payah...hahaha.
Menurutku, kamu bisa terlihat berkali-kali lipat lebih keren tiap bermain
basket atau bernyanyi. Walau pun orang-orang bilang, apa pun yang kamu lakukan,
jatuhnya selalu terlihat Wah. Dari lapangan, kamu sering melihat
kearahku...hahaha...anggap aja begitu, meski aku juga tau kamu hanya sibuk
melempat senyum pada Shilla. Cinta itu memang bukan perkara waktu ya. Hati kamu
lebih mudah tertaut pada orang yang baru beberapa bulan kamu kenal.
Cinta datang tanda topeng, kalimat ini aku kutip dari dialogmu dalam drama musikal yang dulu kita mainkan bersama. Jika benar begitu, pantas aja yang namanya cinta tidak pernah datang kepadaku. Karena, topeng sudah terekat permanen dalam kehidupanku semenjak kamu cerita tentang cinta pertamamu. Aku harus terus memasang senyum dan berpura-pura semuanya baik. Ya tidak sepenuhnya bohong, tiap kali dekat kamu, aku memang selalu merasa semuanya akan baik saja. Aku merasa aman dan dilindungi, mesti kamu tidak pernah melakukan usaha apa pun untuk menjagaku. Menyedihkan!
Cinta datang tanda topeng, kalimat ini aku kutip dari dialogmu dalam drama musikal yang dulu kita mainkan bersama. Jika benar begitu, pantas aja yang namanya cinta tidak pernah datang kepadaku. Karena, topeng sudah terekat permanen dalam kehidupanku semenjak kamu cerita tentang cinta pertamamu. Aku harus terus memasang senyum dan berpura-pura semuanya baik. Ya tidak sepenuhnya bohong, tiap kali dekat kamu, aku memang selalu merasa semuanya akan baik saja. Aku merasa aman dan dilindungi, mesti kamu tidak pernah melakukan usaha apa pun untuk menjagaku. Menyedihkan!
Cakra
menatap tajam putri kesayangannya yang terus menunduk gelisah, "Kamu tidak
menuliskan satu nama pun. Tapi ayah yakin sekali, yang kamu ceritakan dalam
hampir semua halaman di diary ini, bukan Alvin kan ?" Cakra berhenti,
memberika kesempatan anak tunggalnya untuk menjawab. Tapi sekian puluh detik
berlalu, sepatah kata pun tidak keluar dari mulut Ify, "Ini sangat...sangat…"
Cakra kehilangan kata-kata untuk mengungkapkan betapa kecewanya dia, "Kamu
bayangkan! Ayah, Bundamu, orang tua Alvin, kami melihat kalian baik-baik saja
dan terlanjur berharap lebih pada hubungan kalian. Ayah tidak habis pikir, ada
duri sebesar ini dan itu tumbuhkan oleh putri Ayah sendiri. Kamu menyukai orang
lain ? Kamu mengkhianati Alvin yang sudah sangat baik kepadamu ?"
Ify
menggeleng samar, "Ayah nggak ngerti. Ayah nggak ngerti." jerit Ify
dalam hati.
"Apa
sih kurangnya Alvin ? Kamu bukan hanya akan membuat Alvin sakit hati, tapi juga
keluargamu, keluarga Alvin. Kalau Oom Rendra tahu, Ayah akan sangat malu, Fy.
Kalau kamu sudah punya perasaan sedalam itu untuk orang lain, kenapa kamu
terima perjodohan ini ?”
"Ayah
betul. Ayah betul. Harusnya aku menolak ini semua dari awal." Ify
membatin. Dadanya sesak. Matanya mulai terasa panas.
Dulu Alvin bilang, ini
hanya akan menambah daftar orang yang tersakiti dan benar saja kan ?
Perjodohan ini membuat da dan Alvin tidak nyaman. Harus terlihat mesra dan bahagia. Kemana-mana berdua, pergi berkencan di malam minggu dan lain-lain. Tentu bukan tanpa alasan mereka melakukan itu semua, Alvin dan Ify memang pernah sepakat untuk mencoba membuka hati. Siapa tahu mereka ditakdirkan untuk bersama. Tapi sia-sia saja. Dan sekarang, semua diperburuk dengan orang tua mereka yang tampaknya terlalu berharap.
Perjodohan ini membuat da dan Alvin tidak nyaman. Harus terlihat mesra dan bahagia. Kemana-mana berdua, pergi berkencan di malam minggu dan lain-lain. Tentu bukan tanpa alasan mereka melakukan itu semua, Alvin dan Ify memang pernah sepakat untuk mencoba membuka hati. Siapa tahu mereka ditakdirkan untuk bersama. Tapi sia-sia saja. Dan sekarang, semua diperburuk dengan orang tua mereka yang tampaknya terlalu berharap.
Kenapa Ify tidak
memikirkan betapa besar, kemungkinan mengecewakan orang tua mereka saat dulu
bilang setuju terhadap perjodohan konyol ini. Para orang tua itu awalnya memang
bilang tidak memaksa, tapi apa bedanya kalau sudah begini ? Sekarang malah
Ayahnya mengira Ify selingkuh dari Alvin. Parah.
"Kenapa
dari tadi kamu cuma diam ? Hari ini Ayah benar-benar marah sama kamu dan jangan
buat Ayah tambah marah, sekarang jawab Ayah. Siapa orang itu ? Kalau Ayah tidak
salah, semua halaman dalam diary ini menceritakan satu orang yang sama kan ?
Siapa dia?"
Ify
mengangkat wajah, untuk pertama kalinya sejak berada dalam ruang 'eksekusi' ini, ia berani menatap wajah tegang Sang Ayah,
"Jangan paksa Ify, Ayah..." ucapnya diselilingi beberapa isakan.
"Apa
? Jangan paksa ? Kamu keterlaluan. Bilang pada Ayah atau Ayah akan cari tahu
sendiri dan larang orang itu bertemu kamu lagi."
"Ayah
nggak akan bisa lakuin itu."
"Kenapa
kamu bisa seyakin itu?"
"Karena
dia...dia..." Ify mengatur napas, mungkin ini saatnya dia mesti jujur,
paling tidak pada Ayah kandungnya sendiri, "Karena dia...anaknya om
Rendra."
Cakra
mendelik, "Apa maksud kamu ?"
"Dia...Rio."
bisik Ify, pelan sekali.
"Siapa ?" Cakra sebetulnya sudah bisa membaca sebuah nama dari gerakan bibir tipis putrinya, ia hanya ingin memastikan dugaannya.
"RIO,
AYAH!! DIA RIO!!" teriak Ify sembari memejamkan mata, menunggu ledakan
kemarahan Ayahnya.
"Rio
? Rio, gue ?" suara baritone seorang pemuda membuat Cakra sekaligus Ify
kaget. Orang yang sangat tidak diinginkan mendengar ini semua, berdiri kaku.
Entah sejak kapan dia ada disini dan berapa banyak yang telah didengarnya.
***
Label:
Rahasia Orion