Hai... (krik-krik) entahlah postingan ini ada yang nunggu atau engga, bahkan ada yang baca atau engga, entahlah. Saya posting tulisan ini nggak lebih dan nggak kurang hanya karena merasa punya hutang. Hutang yang bertahun-tahun belum saya bayar, padahal saya juga nggak tahu sama siapa saya berhutang. Yang pasti saya merasa ada sesuatu yang belum selesai dan ingin saya selesaikan. Cerita ini sudah sekitar 4 tahun tidak saya teruskan dan untuk memulai sesuatu yang sudah begitu lama saya tinggalkan tentu tidak mudah ya. Saya sudah lama kehilangan 'feel' untuk cerita ini meskipun sesekali di waktu luang saya, saya teringat kisah Rio, Alvin, Gabriel, Ify dan Shilla yang belum selesai di tangan saya. Karena itu dalam satu minggu terakhir ini saya berkali-kali membaca ulang cerita ini dari awal untuk mendapatkan 'feel' itu lagi. dan voila... akhirnya selesailah Rahasia Orion Part 14. semoga tidak mengecewakan pembaca yang menunggu (jika ada). Saya mengubah beberapa plot dan nama, untuk beberapa alasan, jadi saya sarankan jika ada waktu luang untuk membacanya dari part awal, tapi jika tidak pun tidak apa-apa karena part 14 ini akan tetap bisa dimengerti.
*
Rahasia
Orion Part 14
Merah
Darah
*
Merah darah
Darahnya merah
Darah yang membuat salah
Darah yang tak beri celah
Mereka akan kalah
Menyerah pada merah darah
Darah marah memerah
Merah
yang membuat mereka berdarah-darah
***
"Rio
? Rio, gue ?" suara baritone seorang pemuda membuat Cakra sekaligus Ify
kaget. Orang yang sangat tidak diinginkan mendengar ini semua, berdiri kaku.
Entah sejak kapan dia ada disini dan berapa banyak yang telah didengarnya.
“Iya,”
Ify mengangguk mantap, ekspresinya dingin tak tertebak. Otaknya sedang
‘berputar’ dengan kecepatan maksimal, mencari celah agar ia bisa lolos dari
keadaan ini, “Iya, orang itu Rio,” lanjutnya.
Cakra
terlihat bingung, memandang putrinya dan Rio secara bergantian. Laki-laki itu
melepas kaca matanya, wajahnya terlihat sangat letih, ia menghela napas berat
lalu berkata, “Kalian selesaikan dulu urusan kalian berdua,” Cakra beranjak
pergi.
“Nggak,”
tukas Ify, “Papa nggak perlu pergi, ini akan segera selesai,” tangan Ify
bergetar, berikut kaki dan sekujur tubuhnya. Perutnya melilit yang tidak ada
hubungannya dengan rasa lapar, “Ify suka Rio. Tapi…itu dulu. Duluuu sekali.
Sekarang… sekarang…” Ify mengepal tangannya kuat-kuat, ia butuh kekuatan yang
ekstra untuk melanjutkan kalimatnya, “Sekarang yang Ify suka Alvin, Pa,”
tandasnya seraya menunduk.
Kalimat itu akhirnya
meluncur dari bibir tipis Ify. Kebohongan-kebohongan yang lalu, kini telah
beranak-pinak dan meminta untuk terus-menerus ditutupi dengan
kebohongan-kebohongan yang lainnya. Ify terlalu takut, Ify takut untuk
mengatakan segalanya. Ify takut jika ia berkata jujur, ia akan menyakiti hati
Sang Papa. Ia tidak ingin membuat Papanya semakin kecewa. Ify juga takut jika
ia mengatakan segala kebenaran yang ada dalam hatinya, maka Rio akan menjauhinya.
Bagi Ify, Rio sudah sangat baik hati dengan mau menjadi sahabatnya. Ia tidak
ingin dianggap memanfaatkan kebaikan hati Rio dengan berharap hubungan yang
lebih dari sekedar sahabat baik Rio.
Biar. Biarlahakan ia
bendung segenap perasaan yang mengalir kian deras setiap harinya. Biar perasaan
itu menenggelamkan dirinya sendiri saja. Meski dengan tanggul-tanggul berbahan
dasar kebohongan, Ify tidak akan membiarkan perasaannya merembes setetespun.
“Ify suka Alvin Pa, karena itu Ify
setuju dengan perjodohan Ify dan Alvin,” suara Ify melunak, pandangan matanya
sayu.
Tidak,
teriak Rio dalam hatinya. Bukankah tempo hari Ify bilang pada Rio kalau ada
orang lain yang Ify sukai dan itu bukan Alvin. Itu berarti Ify berbohong. Tapi
perkataan mana yang bohong. Ucapannya tempo hari pada Rio atau ucapannya hari
ini pada Papanya. Rio tetap mematung di tempatnya, belum saatnya ia bicara.
“Papa apapun yang Papa minta akan Ify
turuti, apapun itu asalkan Papa bahagia pasti Ify lakukan buat Papa,” Ify
mengusap air mata yang membentuk aliran di kedua pipinya, “Seumur hidup Ify,
Ify tidak pernah dan tidak ingin membantah Papa, tapi Pa, Ify mohon kali ini
saja izinkan Ify tetap menulis. Ify bakal tetap jadi dokter kayak yang Papa
mau. Nulis itu hobi Ify Pa dan Ofy sama sekali nggak akan jadiin itu profesi.
Ify nggak akan jadi penulis kayak Bunda. Ify bakal tetep jadi dokter, Pa. jadi
tolong, Ify mohon, izinin Ify nulis,” Ify berkata penuh harap, ditangkupkan
kedua tangannya di depan wajahnya.
Cakra memandang Ify
sekilas. Ekspresi wajahnya kaku. Ia menyerahkan kembali buku diary milik Ify
dan majalah yang memuat cerpen gadis itu. Ify menerimanya dengan tatapan
bingung. Cakra mengusap puncak kepala Ify sekali. Lalu tanpa kata, tanpa
jawaban, tanpa senyuman, laki-laki itu melangkah pergi dalam diam.
“Jadi…apa bener lo suka sama gue?”
Suara pemuda itu
terdengar lemah, entah karena fisiknya yang kurang sehat atau karena keadaan
hatinya yang sedang rapuh mengaduh. Meski pelan, tetap saja suara itu ternyata
mampu membuat Ify terkesiap. Ify menyadari bahwa pembicaraan tadi nyatanya
bukan hanya milik Ify dan Papanya. Ada sosok lain dalam ruangan itu, sosok yang
sekuat tenaga coba Ify abaikan sejak awal kedatangannya yang tak terduga.
Ify berbalik
memunggungi Rio, menghindari tatapan Rio. Ia tidak ingin pemuda itu menemukan
fakta apapun dari balik dua bola matanya yang saat ini pasti sangat
menyedihkan.
“Iya,” jawab Ify singkat untuk
pertanyaan Rio sebelumnya, “Tapi…itu dulu. Sekarang gue udah nggak punya
perasaan apa-apa buat lo,” tegas Ify.
Gadis itu kemudian melangkah pergi.
Menaiki anak tangga satu persatu menuju kamarnya yang berada di lantai atas.
Saat sampai pada anak tangga ke-8, Ify berhenti. Masih dengan posisi yang
membelakangi Rio, ia berkata, “Setelah ini, apapun yang lo denger hari ini
anggap itu semua nggak pernah terjadi. Ini nggak penting, jadi…lupain
semuanya,” Ify kemudian berjalan cepat, hingga sosok gadis itu menghilang di
balik pintu kamarnya yang berdebam tertutup.
Lupain
semuanya? Batin Rio mengulangi kalimat Ify tadi. Tapi
bagaimana bisa?
Ify menyukainya. Pengakuan Ify tadi terus
berdengung di kepalanya.
“Tapi
itu kan dulu,” ujar sebuah suara dalam kepalanya.
“Tapi
bagaimana jika Ify berbohong, bagaimana kalau ternyata Ify masih menyukainya
hingga sekarang?” balas suara lain dalam hatinya.
“Itu
nggak mungkin, sudahlah masih banyak hal yang harus dipikirkan. Lupakan saja
kejadian hari ini, seperti kata Ify tadi,” timpal suara
dari kepalanya.
Rio kemudian
mengacak-ngacak rambutnya dengan frustasi. Entah siapa dulu dan apa dulu yang
harus Rio pikirkan saat ini. Begitu banyak beban yang dilesakkan dalam pikiran
dan hatinya, sampai-sampai rasanya sebentar lagi ia akan meledak. Rio merasa
dirinya ini ibarat magnet yang membuat besi-besi masalah berebutan mendekat ke
arahnya. Rio merasa seakan dirinya sangat menarik hingga masalah-masalah itu
datang mengerubunginya secara bersamaan.
Tante Gladys hami,
Papanya yang menampar Rio, Rio yang terpaksa harus kabur dari rumah, kemudian
masalah Alvin dengan Shilla dan sekarang ditambah lagi dengan pengakuan dari
Ify.
Oh astaga… Rio
melayangkan tinjunya berkali-kali ke udara lalu memutuskan untuk segera pergi
dari rumah Ify dengan perasaan yang campur aduk. Awalnya, Rio berniat untuk
mengobrol dengan Ify, menceritakan segala keluh kesahnya dan berharap Ify bisa
memberikan solusi terutama untuk menyudahi perang dinginnya dengan Alvin dan
Shilla. Tapi niat itu pupus sudah.
Rio baru saja beberapa
langkah keluar dari gerbang putih rumah mewah Ify, saat dua telaga beningnya
menangkap sosok yang sangat ia rindukan sekaligus ia benci. Sosok itu balas
menatap Rio dengan pandangan hampa, ia membawa beberapa tangkai bunga yang
sepertinya baru dibeli dari sebuah florish. Dia Shilla.
Rio berjalan ke arah Shilla yang berdiri
diam di tempatnya, “hai,” sapa Rio terdengar sinis.
Shilla mendelik, “Hai,” katanya, pendek.
Kemudian ada jeda yang cukup lama. Kedua
terdiam seakan sibuk dengan pikirannya masing-masing.
“Kita perlu bicara,” ucap keduanya
secara bersamaan.
Rio dan Shilla
sepertinya mulai sadar bahwa sikap saling diam seribu bahasa seperti yang
mereka lakukan terhadap satu sama lain belakangan ini, tidak akan menyelesaikan
permasalahan di antara keduanya. Mereka harus saling bicara, saling memberi dan
menerima penjelasan.
“Silakan lo duluan,” ujar Rio.
“Disini?” tanya Shilla ragu. Apakah
mereka harus saling bicara di pinggir jalan seperti ini?
“Disini atau enggak sama sekali,” jawab
Rio.
Shilla mengerut kening.
Betul-betul tidak mengerti, mengapa malah pemuda ini yang marah-marah
terhadapnya. Bukan kah hak untuk marah-marah seharusnya ada pada Shilla, yang
dibiarkan menunggu sendiri berjam-jam di malam hari.
“Kemana kamu dua malam yang lalu, kenapa
nggak datang ke taman kota?”
Sekarang giliran Rio yang dibuat
bingung. Dua malam lalu di taman kota? Untuk apa pula Rio kesana? Untuk melihat
Shilla berdua-duaan dengan saudara tirinya. Rio tertawa pendek, “Lo pengen gue
ada disana.”
“Pastilah,” jawab Rio yakin.
“Buat apa? Buat liatin ke gue dimana
romantisnya elo sama Alvin? Gitu? Lo gila ya?”
“Maksud kamu apa sih?”
“Harusnya gue yang tanya gitu ke elo,”
Rio membelalak pada Shilla, wajahnya terlihat sangat marah,
“Kita dekat. Dari
sikap lo ke hue, gue kira… gue kira… lo juga suka sama gue. Tapi kenyataannya…
sekarang lo sama Alvin. Apa maksud lo, Shilla? Apa mau lo?” Rio terbata-bata.
“Rio maksud kamu apa sih? Aku nggak ada
apa-apa sama Alvin,” papar Shilla mencoba menjelaskan.
Rio yang sejak tadi
sudah sangat frustasi mencengkram kedua pundak shilla, mengguncang-guncangkan
pundak gadis itu hingga bunga yang pegangnya jatuh mengadukan diri pada jalan
beraspal yang mereka pijak.
“Lo jangan bohong!”
“Aku nggak bohong!”
“Bohong!” tuduh Rio,”Guee lihat sendiri,
lo berdua sama Alvin di taman kota, hujan-hujanan. Apa yang kalian berdua
lakuin di belakang gue HAH?”
“Rio sakit!” Shilla menyentakkan kedua
tangan Rio dan mundur beberapa langkah.
“Sakit?” Rio bertanya, “Gue lebih sakit
Shilla! Sejak kapan kalian deket hah? Sejak gue kabur dari rumah? Gitu?”
“Rio kamu salah faham.”
“Lo yang salah!”
“Rio kamu dengerin aku dulu,” Shilla
masih mencoba menjelaskan, karena tampaknya ia mulai paham alasan di balik
sikap Rio yang dingin terhadapnya belakangan ini, sepertinya Rio salah paham, “Apa
kamu dating ke Taman Kota malam itu?” tanya Shilla, “Berarti kamu terima pesan
yang aku titipin ke Ify? Terus kenapa kamu datang terlambat?” lanjut Shilla.
“Pesan? Pesan apa?”
“Pesan dari aku. Aku minta kamu datang
ke Taman Kota malam itu.”
Rio menggeleng, “Tapi gue nggak terima
pesan apapun dari siapaun. Gue ke Taman Kota karena kebetulan lewat aja, rumah
Feldy oaling dekat kalau lewat sana.”
“Kamu nggak terima pesannya?”
“Enggak.”
“Tapi aku udah titip pesan ke Ify, aku-”
“Whatever,” Rio memotong, “Nggak penting
lah gue terima pesannya atau enggak. Faktanya adalah lo berdua-duaan sama Alvin
dan itu nggak terbantahkan!”
“Jelas pesan itu penting Rio.”
Shilla tersenyum,
berharap agar senyumnya mampu mencairkan ekspresi kaku di wajah Rio. I mulai
menjelaskan segalanya. Menjelaskan apa yang sebenrnya terjadi dari mulai ia
yang menghubungi Rio tapi dijawab oleh Ify, kemudian tentang pesannya untuk Rio
yang tenyata tidak pernah disampaikan, lalu tentang Shilla yang menunggu
berjam-jam sampai kehujanan hingga akhirnya Alvin datang menjemputnya.
“Alvin bahkan bilang kalau dia nyari aku
Cuma karena disuruh Tante Gladys, Rio. Jadi kita benar-benar nggak ada
apa-apa.”
Kemudian terakhir
Shilla menjelaskan tujuannya meminta Rio menemuinya di Taman Kota malam itu
adalah untuk memberikan Rio jawaban atas pertanyaan pemuda itu saat camping
tempo hari.
“Jadi… lo kesana malam itu nungguin gue
dan… dan… lo mau kasih jawaban itu ke gue?”
Shilla mengangguk malu-malu.
Setelah mendengar
penjelasan Shilla barusan, rasanya satu tali yang meliliti hati Rio seakan
terputus, membuatnya sedikit lega. Batu-batu besar yang dilesakkan dalam dada
dan membuatknya sesak pun seakan terangkat satu persatu. Jadi semua ini, rasa
marahnya, cemburunya, kecewanya, hanya kesalah pahaman?
Rio menatap Shilla yang
masih menunduk mengamati kelopak-kelopak bunga yang berhamburan di dekat
kakinya. Gadis itu, entah mengapa kini terlihat berkali-kali lebih cantik dari
saat Rio bertemu dengannya beberapa menit yang lalu.
“Kalau gitu…” Rio tersenyum penuh arti,
“Apa jawaban lo?”
Shilla mengangkat wajahnya, lalu
mengangguk perlahan, “Jawabanya, iya.” Kata-kata itu meluncur dengan cepat,
seolah sudah sangat lama tertahan di ujung lidah perapalnya, “Jangan marah lagi
ya,” rajuk Shilla.
Rio tersenyum lagi.
Saat pemuda itu tersenyum, Shilla merasa hari-hari menyebalkan itu telah
berlalu. Hari-hari saat Rio mendiamkannya dan Shilla merasa waktu-waktu yang ia
lewati hanya sebatas rangkai detik tanpa makna. Rasanya sudah lama sekali
Shilla tidak melihat senyum itu, senyum yang selalu membuatnya ingin ikut
tersenyum.
Kebahagiaan yang
dirasakan Shilla juga dirasakan oleh Rio. Tidak ada kata yang tepat untuk
menggambarkan kebahagian yang tengah dirasakan pemuda itu saat ini.
“Jadi mulai sekarang, lo puny ague,”
vonis Rio, seraya satu tangannya terulur membelai lembut pipi Shilla yang
bersemu merah sedangkan tangan yang lain menggenggam erat jemari gadis cantik
di hadapannya.
Shilla mengangguk kalem.
Keduanya sama-sama bahagia, tapi juga
sama-sama merasakan bahwa ada yang salah dalam hubungan yang baru saja mereka
mulai.
***
Shilla
mengetuk-ngetukkan telunjuknya pada dagu, nampak sedang memilih. Barisan
kue-kue mungil dalam nampan perak di hadapannya membuat Shilla bingung
menentukan pilihannya. Kue-kue itu imut dan lucu dengan berbagai bentuk yang
menggemaskan dan warna-warni yang manis. Shilla sebenarnya ragu, jika ia
membeli salah satu diantara mereka (kue-kue itu) akankah Shilla tega
memakannya? Kue-kue itu terlihat lebih layak untuk dikoleksi dari pada
dikonsumsi.
Shilla agak tidak rela
kalau kue-kue itu akhirnya hanya akan jadi bollus yang melewati kerongkongannya
lalu meluncur melewati sistem-sistem pencernaan Shilla yang lain. Tapi walau
bagaimanapu sudah takdir kue inilah untuk dibeli kemudian dimakan.
“Emm…yang itu aja deh pak. Yang di ujung
kanan, sama yang di sebelahnya. Masing-masing dua ya pak, sama jus apelnya
satu,” pesan Shilla pada salah seorang pramniaga.
Si Bapak penerima
pesanan Shilla tadi segera menyiapkan pesanan pelanggannya dengan cekatan.
Shilla akhirnya memilih kue mungil berbentuk minion dan Minnie mouse. Pesanan
Shilla dibungkus dalam sebuah kantong karton kecil dengan nama kedai kue ini
dibagian depannya. Setelah membayar pesanannya, Shilla mengucapkan terimakasih pada
bapak pramuniaga tadi. Kedai kue di seberang Veronna High School ini baru buka
beberapa minggu yang lalu, karena selalu ramai Shilla jadi penaran ingin
mengunjungi kedai kue ini.
“Ni!”
“Astaga,” Shilla mengurut dada karena
kaget tiba-tiba disodori sebuah dompet tepat di depan wajanya.
“Kasih ke Rio ya.”
Alvin (entah dari mana
munculnya pemuda itu) sudah berada di depannya. Shilla tidak begitu heran
melihat pemuda sipit itu berdiri di hadapannya. Di dunia ini, siapa sih manusia
yang datang tak di jemput pulang tak diantar, selain Alvin.
Shilla mengamati dompet
yang disodorkan Alvin di hadapannya, jika dilihat dari ketebalannya, dalam
dompet itu pastilah ‘soekarno-hatta’ sedang berdesakkan mencari tempat yang
tersisa. Atau mungkin ‘soekarna-hatta’ di dalam sana sudah mulai
berteriak-teriak, berorasi minta dibelanjakan.
“Cepet ni ambil pegel tangan gue,”
perintah Alvin.
Shilla mengulurkan
tangannya, menerima dompet yang disodorkan Alvin. Bibirnya mengerucit,
mencibirkan pada Alvin.
“Kamu tu hantu ya? Bisa nggak sih kalau
muncul nggak usah bikin kaget.”
Alvin mengabaikan protes Shilla, “Bilang
aja itu dari Eyang. Eyang masih berusaha bujuk Papa buat mau jemput Rio pulang.
Tebakan gue Rio pasti nolak, jadi tugas lo gimanapun caranat Rio harus terima uang
itu,” instruksi Alvin, jelas,
Shilla mengendikan bahu, “Oke,” jawabnya
singkat.
Alvin kemudian berlalu
tanpa mengucapkan apa-apa lagi pada Shilla, bahkan ucapan terimakasig
sekalipun. Pemuda itu memasukkan telapak tangan kanannya pada saku celana. Berjalan
santai ke arah area parkir Veronna High School, tempat sedan hitam favoritnya
berbaris rapi dengan kendaraan-kendaraan roda empat lainnya.
Shilla memasukkan
dompet Rio ke dalam tasnya. Ia berjalan ke samping gerbang hitam Veronna Senior
High School menuju bus sekolah yang akan mengantarkannya pulang. Semenjak Rio
kabur dan menginap di rumah Feldy, Shilla terpaksa harus pergi dan pulang
sekolah dengan bus sekolah. Sementara Rio bersama dengan Feldy menggunakan
mobil Feldy. Sayangnya rumah Feldy dengan Rumah Besar tidak searah jadi Shilla
tidak bisa menumpang,
Sebelum sampai di
tempat yang Shilla tuju, lagi-lagi ia harus bertemu dengan makhluk yang paling
tidak ingin Shilla temui. Ia berpapasan dengan Gabriel yang sedang
memutar-mutar cutter di tangannta. Shilla buru-buru menunduk dan mempercepat
ayunan langkah kakinya.
Gabriel tersenyum
sinis.
***
Shilla memasuki bus
berwarna biru pucat itu. Di dalamnya sudah hampir penuh. Sebagian besar tempat
duduk sudah terisi. Shilla memilih duduk di kursi pertama dekat pintu. Ia
menyandarakan punggung pada sandaran kursi yang empuk, lalu menikmati kue-kue
lucu yang tadi dibelinya. Selain bentuknya yang unik, rasanya juga tak kalah
enak. Tak berapa lama, supir sekolah sudah masuk ke dalam bus, menempati posisi
di balik kemudi tandanya bus akan segera berangkat. Perlahan ban-ban raksasa
bus yang ditumpangi siswa-siswa Veronna Senior High School mulai bergerak.
Kendaraan besar itu mulai bergerak menjauhi gedung bertingkat Veronna Senior High
School, membaur dengan kendaraan-kendaraan bermotor lainnya, menyususri jalanan
Ibu Kota.
Shilla mengaduk-ngaduk
isi tasnya, mencari handphone. Ia biasa mendengarkan lantunan musik dari
handphonenya untuk menemani perjalanan menuju atau dari sekolahnya. Saat
menarik gadget kesayangannya itu, tanpa sengaja dompet Rio ikut terogoh keluar
dan jatuh ke lantai bus dalam posisi terbuka.
Shilla mengambilnya
dengan perasaan tak enak. Ada selembar foto dalam dompet itu. Bukan. Bukan foto
Si Pemilik dompet ataupun keluarganya, bahkan bukan pula foto Shilla. Foto itu
melukis secara permanen wajah seorang gadis. Gadis itu sedang tersenyum menatap
kamera dengan rambut ikal panjang yang
jatuh membingkai wajah pualamnya. Senyumnya begitu manis seakan-akan senyum itu
bisa memaniskan segala kepahitan dalam hidup.
Gadis dalam foto itu
adalah dia yang pernah membuat Rio ‘berdarah-darah’, seperti kata Alvin dulu, "Lo
sendiri? Foto siapa yang ada di dompet lo, di laci kamar lo, di loker sekolah ?
Heh ? The most beautiful one. Larissa Kinara."
Sialnya, karena dompetnya sudah lebih dari dua minggu tidak
berada di tangan Rio, sehingga pemuda itu belum sempat mengganti foto gadis itu
dengan foto Shilla yang jelas-jelas menyandang status sebagai kekasihnya
sekarang. Alvin juga tidak ingat sama sekali dengan keberadaan foto gadis itu
dalam dompet Rio, jadilah tanpa rasa bersalah ia memberikan dompet itu paa
Shilla.
Shilla tersenyum kecut, ada denyutan rasa kecewa yang mulai
bertalu-talu dalam hatinya. Ia lantas menarik keluar foto gadis itu dari dompet
Rio. Mengamati sejenak wajah manis dalam foto, kemudian melesakkan lembaran
kertas itu ke dalam tasnya.
“Dia
cuma masa lalu,” katanya meyakinkan diri.
***
Hatinya
diiris tipis-tipis, membuat pemiliknya meringis menahan tangis.
Hatinya
dicacah tipis-tipis, selapis demi selapis, aduhai miris.
Ify
berjinjit-jinjit. Kedua tangannya yang menggenggam tumpukan majalah sudah
terulur secara maksimal namun tetap saja rak tempat penyimpanan majalah itu
terlalu tinggi, hingga tak terjangkau olehnya.
“Sama gue aja,” sebuah suara menghentikan usaha Ify untuk menyimpan majalah-majalah
itu.
Pemilik suara tadi mengulurkan tangannya mengambil alih
tumpukan majalah di tangan Ify. Dengan tubuhnya yang jangkung, ia tidak perlu
bersusah payah, dengan sekali uluran tangan majalah-majalah itu sudah teronggok
di tempatnya.
Ify mendengus. Setelah membantu Ify, pemilik suara tadi
kembali melanjutkan pekerjaannya dalam diam. Pemilik suara sekaligus orang yang
membantu Ify tadi adalah Gabriel.
Sudah sejak setengah jam yang lalu, Ify berusah membutakan
matanya, menulikan telinganya dan membisukan suaranya, menganggap seolah-oleh
tidak ada siapa-siapa selain dirinya sendiri di ruangan itu. Ify berulangkali
meyakinkan dirinya bahwa Gabriel hanya sebatas angin lalu yang tidak perlu ia
pedulikan. Ify dan Gabriel siang ini sedang melaksanaan tugas piket mereka di
ruang redaksi Aruna.
“Fy.”
Suara
itu lagi, Ify pura-pura tuli.
“Ify.”
Ify
bertahan untuk diam.
“Fy,
kita perlu ngomong”
Ify
berbalik ke arah Gabriel, ia memasang wajah jutek luar biasa, “Nggak ada yang
perlu dibicarakan.”
“Ada
Fy.”
“Nggak!”
“Fy,
ada yang harus gue jelasin.”
“Terseralah,”
Ify mengibaskan tangannya, membenahi tasnya dan berniat akan segera pulang
karena ia sudah menyelesaikan tugasnya.
“Fy,
sekaliiii aja,” Gabriel memohon.
Ify
lagi-lagi memilih diam.
Gabriel
menghampiri Ify.
“Jangan
deket-deket sama gue,” larang Ify, gadis itu mundur beberapa langkah menjauhi
Gabriel.
“Oke.
Oke gue nggak akan deket-deket sama lo. Tapi gue mohon Fy, kasih sekali aja
kesempatan buat gue jelasin ke elo. Kalau setelah ini lo mau maafin gue, gue
bakal sangat bersyukur. Tapi kalau lo tetep mau benci ke gue, gue janji… gue
janji nggak bakal ganggu lo lagi,” Gabriel menagngkupkan kedua tangannya,
“Sebentar aja, gue mohon Fy. Please.”
“Nggak,”
kukuh Ify, “Gue nggak mau denger apa-apa dari lo,” tegasnya, galak.
“Fy
beberapa bulan lagi kita lulus dan setelah itu mungkin kita nggak akan pernah
ketemu lagi. Apa mau lo bawa-bawa rasa benci lo ke gue seumur hidup. Gue butuh
jelasin dan lo juga butuh penjelasan Fy.”
Ify
terlihat menimbang, kemudian melipat kedua tangannya di dada, “Oke, kali ini
gue bakal dengerin lo,” Ify mengcungkan jari telunjuknya ke hadapan Gabriel,
“Tapi-kali-ini-aja!” tegasnya.
Gabriel
setuju. Ia kemudian menggeser dua kursi. Satu untuknya dan satu lagi untuk Ify,
“sambil duduk ya,” pintanya halus.
Ify
duduk, masih dengan ekspresi dingin, “Cepet ngomong apa yang mau lo omongin!
Gue nggak punya banyak waktu!” perintanya.
Gabriel
mengangguk. Kemudian memulai ceritanya.
***
Gustav Damanik adalah seorang pengusaha. Bisnisnya
berkembang cukup baik hingga keluarga kecilnya hidup berkucukupan. Ia, istri
dan putranya hidup bahagia dengan segala hal yang mereka miliki, saling
menyayangi dan mengasihi. Gustav meskipun sibuk bekerja ia tidak pernah
melupakan keluarganya, selalu memberikan perhatian yang cukup terutama untuk
keluarganya,
Sampai akhirnya bencana itu datang. Gustav Damanik dituduh
melakukan penipuan yang merugikan partner bisnisnya hingga milyaran rupiah.
Karena tuduhan itu, Gustav harus mencicipi dinginnya lantai prodeo selama
beberapa bulan. Sebelum akhirnya pengacaranya mampu membuktikan bahwa kliennya
tidak bersalah dan dibebaskan dari segala tuduhan. Gustav segera dibebaskan
dengan permintaan maaf penuh dari pihak pelapor.
Tapi terlambat. Ketika Gustav bebas, bisnis yang rintisnya
dari nol sedang dalam keadaan kritis, nyaris gulung tikar. Kemudian salah
seorang rekan lama Gustav menasehatinya agar menjalin kerjasama dengan Veronna
corporation, perusahaan besar milik keluarga Rio.
Setelah membuat janji dengan prosedur yang rumit, akhirnya
Gustav Damanik mendapatkan jadwal untuk bertemu langsung dengan Narendra
Haling, pemilik Veronna corporation. Pertemuan kedua dijadwalkan lusa pada pukul
11. Gustav menyiapkan segalanya dengan sangat matang. Berkas-berkas, slide
presentasi, surat perjanjian kerjasama semua telah tersusun rapi dalam tas
kerjanya bahkan ia telah menyiapkan pakaian terbaik untuk menemui Narendra
Haling. Ia harus segera menjalin kerjasama dengan perusahaan Narendra agar
bisnisnya tidak benar-benar mati. Bisnis Gustav bergerak di bidang furniture
ini sangat sesuai dengan Veronna corporation yang kabarnya tengah mendirikan
beberapa hotel demi melebarkan kepak sayap perusahaan besar itu.
Akan tetapi, untung tak dapat diraih malang tak dapat
ditolak. Dua jam sebelum waktu yang dijadwalkan untuk pertemuannya dengan
Narendra, Gustav menerima pesan singkat dari sekretaris Narendra.
Selamat
siang
Bapak
tidak bisa bertemu hari ini. Pertemuan dengan Anda akan diatur ulang, untuk
pemberitahuan selanjutnya saya akan menghubungi Anda kembali.
Gustas benar-benar kecewa saat itu. Setelah menunggu lama
dan setelah semua persiapan yang ia lakukan, pertemuan yang sangat penting itu
dibatalkan begitu saja secara sepihaka bahkan hanya via sms. Gustav tidak bisa
terima begitu saja, diputuskan ia akan menemui Narendra di kediamannya. Apapun
yang terjadi, kontrak kerjasama itu harus ia dapatkan hari ini juga. Gustav
bukan tidak pernah mencoba menjalin kerjasama dengan perusahaan lain dengan
berbagai penawaran terbaik yang bisa ia ajukan, tapi semua menolak dengan
berbagai harapan. Gustas yakin alasan sebenarnya adalah karena dirinya yang
seorang mantan narapidana. Meskipun dirinya telah ditanyakan bersih dari segala
tuduhan namun tetap saja predikat mantan narapidana dengan kasus penipuan sudag
terlanjur terpatri pada laki-laki itu.
Hari ini ia akan mencoba peruntungannya dengan menemui
Narendra Haling. Ia menuju kediaman Narendra dengan menggunakan taksi. Ketika
sampai ia melihat sebuah mobil mewah meluncur menuju gerbang kokoh rumah mewah
di depan sana. Gustas berlari kecil ke arah mobil itu. Saat mobil berwarna
putih susu itu berhenti menunggu gerbang terbuka, ia mengetuk-ngetuk kaca di bagian
penumpang.
“Pak…
Pak Narendra!” seru Gustav.
Benar
saja dari balik kaca mobil yang terbuka, menyembul seraut wajah milik Narendra,
“Ya?” katanya dari dalam mobil.
“Saya
Gustav Damanik Pak, yang membuat janji dengan bapak hari ini.”
Narendra
kemudian keluar dari mobilnya, “Begitu ya? Tapi saya tidak bekerja hari ini. Apa
sekretaris saya tidak menghubungi Anda?” tanyanya dengan suara berat berwibawa.
“Iya
Pak, tapi ini sangat penting jadi saya kemari.”
Keluarga
Narendra yang lain turun dari dalam mobil. Gladys, Rio dan Alvin. Ketiganya menghampiri
Narendra, “Ada apa Mas?” tanya Gladys lembut.
Gustav
mengabaikan kehadiran orang-orang baru di sekelilingnya dengan terburu-buru ia
mengeluarkan berkas-berkasnya dari dalam tas, “Saya ingin membicarakan kerja
sama kita. Saya sudah memba-”
“Maaf
Pak Gustav” potong Narendra, “Saya sedang tidak bekerja hari ini.”
“Tapi
Pak, saya sudah menyiapkan berkas-berkasnya dan ini,” Gustav menarik selembar
kertas, “Bapak hanya tinggal menandatanganinya. Saya akan pemberikan barang
dengan kualitas terbaik untuk ho-“
“Pak!”
Narendra kembali memotong kalimat Gustav, “Anak saya baru saja memenangkan
sebuah turnamen,” ia menepuk pundak Rio yang berdiri di sampingnya membawa
sebuah tropi berukura besar, “Dan saya beserta keluarga akan merayakannya. Saya
tidak bekerja hari ini. Silakan hubungi sekretaris saya, dia akan mengatur
ulang jadwal pertemuan kita. Saya akan segera menemui Anda tapi tidak hari ini.
Saya mohon maaf,” papar Narendra dengan sopan.
“Pak
tapi ini sangat penting bagi saya, bis-”
“Pak
putra saya juga sangat penting bagi saya,” Narendra mulai terlihat geram.
“Anda
hanya tinggal menanda-”
“SATPAM!”
Narendra yang mulai kehilangan kesabaran berteriak memanggil satpam rumahnya.
Dua
orang berbadan tegap dengan seragam putih lengkap dengan pentungan hitamnya
datang berlari ke arah majikannya.
“Pak
sebentar saja Pak!”
Tapi Narendra
diam saja terlihat sangat kesal. Gustav yang sudah sangat lelah, frustasi dan
kecewa sudah tidak bisa lagi menahan amarah dan emosinya. Gara-gara bocah
laki-laki itu, bocah laki-laki di samping Narendra, gara-gara dia dan turnamen
bodohnya itu, Gustas harus kehilangan satu-satunya kesempatan untuk
menyelamatkan bisnisnya.
Dengan kemarahan yang luar biasa, Gustav menyerang Rio. Mendorong
pemuda itu dengan sekuat tenaga. Rio tersengkur. Gladys menjerit panik.
Narendra, Alvin, dua orang satpam dan supir yang tadi mengantar Narendra serta
keluarga, berusaha menarik Gustav agar menjauhi Rio.
Tapi laki-laki itu sudah kalap, ia mengeluarkan segenap
tenaga dan kemampuannya. Ia memukul, menendang, menyumpahi Rio dengan kata-kata
kotor bahkan berusah mencekik Rio. Aksi Gustav yang membabi buta itu baru bisa
dihentikan setelah, satpam-satpam Narendra berhasil mengikat tangan Gustav
dengan tali-tali besar.
Gladys sudah menangis panik, memeluk Rio yang entah masih
sadar atau tidak. Rio segera dilarikan ke rumah sakit karena Narendra khawatir
pukulan-pukulan Gustav tadi mencederai organ-organ krusial tubuh Rio. Sedangkan
Gustav lagi-lagi harus dibawa ke kantor polisi. Narendra bersumpah agar Gustav
menerima balasan atas perbuatan terhadap putranya, ia menjanjikan balasan yang
lebih daripada yang bisa dibayangkan Gustav. Tak lama berselang dari peristiwa
penyerangan itu, Gustav ditemukan meninggal. Bunuh diri dalam kamar tahanannya.
***
Ify ternganga tak percaya. Kisah yang baru saja diceritakan
Gabriel membuatnya takjub. Berita tentang Ayah Gabriel yang seorang narapidanya
memang sudah menjadi rahasia umum, tapi Ify tidak pernah (mau) tahu apa yang
menyebabkan Ayah pemuda itu harus mendekam di penjara. Kemudian Ayah Gabriel
yang dikabarkan meninggal karena bunuh diri, itu pun bukan hal yang aneh bagi
Ify karena berita itu pernah menjadi skandal di Veronna Senior High School.
Berita itu pernah menjadi memnjadi buah bibir dalam beberapa
pecan. Akan tetapi apa dan bagaimana peristiwa terjadi tidak pernah ada yang
tahu kebenarannya. Pada saat itu yang berkembang hanyalah dugaan-dugaan,
spekulasi, prasangka dan gossip. Ada yang menyebutkan Ayah Gabriel bunuh diri
karena bangkrut, ada yang bilang karena malu karena di penjara bahkan
sampai-sampai ada yang dengan jahat mengatakan bahwa Ayah Gabriel bunuh diri
karena istrinya selingkuh dengan orang yang lebih kaya.
Ify sama sekali tidak menyangka bahwa yang terjadi pada
Gabriel berhubungan langsung dengan Rio. Pilihan untuk mengakhiri hidupnya
adalah pilihan Gustav sendiri, Ify tidak bisa mengatakan bahwa Rio bersalah
atas hal ini tapi Ify juga tahu pasti bahwa dalam kemarahannya Gabriel
membutuhkan seseorang untuk ia salahkan. Ify juga yakin dalam diri Gabriel ia
kecewa terhadap keputusan Ayahnya untuk mengakhiri hidup, tapi sebagai seorang
anak tentu Gabriel tidak ingin mencederai kenangan indah tentang Ayahnya yang
telah tiada, karena itu Riolah yang harus menerima kekecewaan Gabriel. Rio
harus menanggung kemarahan yang bahkan ia tidak tahu karena apa.
Gabriel menoleh ke arah Ify, ia menarik napas panjang
sebelum meneruskan ceritanya, “Jadi coba lo bayangin rasanya jadi gue Fy. Waktu
itu… malam waktu gue… gue ngelakuin hal… hal yang… nggak pantes ke elo. Malam itu
gue lagi stress banget Fy, gue tertekan,” Gabriel meremas rambutnya dengan
kesal, “Keluarga gue hancur dan itu karena Rio, tapi nyokap gue masih terus
belain Rio dan keluarganya di depan gue. Seolah-olah kematian bokap gue nggak
penting lagi, gue berantem sama nyokap. Dan lo… lo selalu belain Rio. Di mata
lo Rio itu sempurna dan nggak pernah salah. Lo batalin pergi sama gue cuma buat
Rio, lo pergi gitu aja dan nggak peduli sama gue…padahal… padahal…gue sayang
sama lo Fy, dari dulu.”
Lagi-lagi Ify ternganga. Apa-apaan Gabriel ini. Bohong. Ini semua
pasti bohong. Gabriel pasti sedang bercanda. Ify menggeleng pelan.
“Maafin
gue Fy, malam itu…gue bener-bener nggak sengaja. Gue nggak maksud berbuat
kurang ajar sama lo.”
Gabriel menyembunyikan wajah di balik kedua tangan kokohnya.
Pemuda itu terdiam. Bahunya bergetar pelan, entah karena menahan tangis atau
karena kepedihan yang tengah berusaha ia lawan.
Meski Ify berharap semua yang dikatakan Gabriel adalah tidak
benar (termasuk pengakuan cinta Gabriel tadi), tapi toh pemuda itu tidak
menenunjukkan tanda-tanda sedag berbohong. Ify pun bisa merasakan bahwa yang
dikatakan dan dirasakan pemuda itu adalah benar adanya.
Sebagai teman Ify ingin sekali bisa menggenggam tangan
Gabriel. Ingin mengucapkan kata-kata penghibur, ingin menceritakan sebuah
lelucon yang akan membuat pemuda di hadapannya tertawa dan sedikit melupakan
luka hatinya. Ify tidak ingin diam saja seperti sekarang sementara di depannya
ada seseorang yang jelas-jelas sedang kelimpungan menghadapi rasa sakit
hatinya.
Ify tahu bagaimana rasanya tertekan karena urusan keluarga
dan cinta yang bertepuk sebelah tangan. HA! Siapa yang lebih hafal bagaimana
rasanya selain Ify sendiri.
Tapi untuk saat ini Ify tidak bisa melakukan apa-apa. Tidak sementara
hatinya masih diliputi rasa ketidak-percayaan. Maka Ify memilih bangkit dari
kursinya, dengan gerakan halus ia menepuk-nepuk pundak Gabriel.
Gariel
mengangkat wajahnya, menatap Ify yang berdiri di hadapannya, “Fy, maafin gu-”
“Udah,”
potong Ify, “Gue tau apa yang lo rasain dan kalo maaf gue bisa bikin lo ngerasa
sedikit lebih baik, gue mau maafin lo,” Ify berkata sambil meraih tas dan
menyampirkannya di pundak.
Ify lalu pergi. Ia mungkin tidak bisa membalas perasaan yang
dimiliki Gabriel untuknya tapi bukankah ia masih bisa berteman dengan Gabriel.
Ia akan memaafkan Gabriel dan melupakan kejadian malam itu karena seperti
Gariel katakana tadi, kejadian itu adalah ketidak-sengajaan.
***
Udara siang ini benar-benar panas, Shilla mengipas-ngipaskan
kedua tangannya di depan wajah. Matanya menyipit mengurangi intensitas cahaya
yang masuk pada dua bola mata coklatnya. Shilla duduk di sebuah halte bus
bersama beberapa orang yang lain. Bedanya Shilla tidak sedang menunggu angkutan
umum seperti mereka yang duduk di kanan-kirinya. Shilla sedang menunggu Rio
menjemputnya.
Tadi Shilla sempat mengirimi Rio sms, menanyakan alamat
Feldy karena ia harus bertemu dengan Rio dan menyerahkan dompet yang dititipkan
Alvin. Kemudian Rio membalas dan menyuruh Shilla untuk menunggu di halte bus
ini, Rio akan menjemputnya disana.
Shilla baru menunggu sekitar tiga menit semenjak bus biru
pucat dengan lambang gagah Veronna Senior High School tercetak di kanan-kiri
badan bus itu berlalu dan hilang dari pandangannya. Ya baru tiga atau empat menit
tapi rasanya sudah berjam-jam. Shilla berharap Rio tidak membuatnya lama
menunggu karea cuaca siang ini sangat panas, Shilla ingin segera berada di
dalam ruangan agar terhindar dari teriknya sinar matahari.
“Hei, Arum Manis.”
Walaupun itu
bukan namanya dan walau Shilla tidak mengenal suara itu, tapi saja bola mata
gadis itu berputar ke kanan dank ke kiri mencari sumber suara tadi.
Seorang
gadis berjalan ke arah Shilla, rambutnya yang bergelombang berayun-ayun indah
saat ia melangkah, “Kamu arum manis kan?” sapanya.
“Hah?”
“Iya
kamu yang waktu itu kan? Yang arum manisnya aku jatuhin, yang di pasar malam
itu lho. Kamu ingat?”
Shilla
membulatkan bibirnya, “Oh…” selorohnya, “Iya iya aku ingat,” imbuhnya.
Gadis itu tersenyum. Shilla terkesima, dengan senyum itu
pemiliknya terlihat lebih dari sekedar cantik. Dia terlihat…emm apa ya? Menyenangkan.
Jika Shilla ini seorang pria pasti ia akan langsung jatuh cinta pada pandangan
pertama karena senyuman gadis di hadapannya. Tapi rasa-rasanya Shilla pernah
melihat senyum yang sama seperti itu tapi dimana ya?
“Wah
kita ketemu lagi,” katanya ceria, “Itu artinya aku harus ganti arum manis kamu
ya waktu itu kan akau bilang akan ganti kalau kita ketemu lagi. Tapi…” Gadis
itu celingak-celinguk mengedarkan pandangannya pada setiap penjuru yang bisa ia
jangkau lewat pandangan mata bulatnya, “Disini nggak ada yang jual arum manis,”
lanjutnya dengan nada menyesal.
“Aduh
nggak apa-apa ko, nggak perlu diganti,” ujar Shilla.
“Ya
nggak bisa gitu, aku kan udah bilang mau ganti. Tapi…” ia melirik jam tangan
warna pink pucat yang melingkari pergelangan tangannya, “Tapi aku buru-buru ni.
Jadi gimana ya…” Ia mengetuk-ngetukka jarinya ke kening.
“Udah
nggak apa-apa ko nggak perlu diganti kan cuma arum manis,” timpal Shilla.
“Aha,
gini aja…” gadis itu mulai mengaduk-ngaduk isi sling bag mungilnya,
mengeluarkan secarik kertas dan bolpoin lalu menuliskan beberapa angka pada
kertas tadi, “Ini nomor aku, hubungin aja nanti kalau kamu punya waktu luang
kita cari arum manis sama-sama ya,” katanya sambil mengangsurkan kertas yang
tadi ia tulisi.
Tak
berapa lama sebuah sedan hitam mengkilap berhenti tepat di pinggir jalan di
depan gadis itu, “Aku duluan ya,” ujarnya seraya masuk ke dalam mobil dan
melambaikan tangan.
Shilla
mengangguk, “Iya hati-hati,” balasnya.
Shilla mengeluarkan handphonenya, mengetikkan beberapa nomor
yanga tertera pada carikan kertas di tangannya. Saat ia harus mengisikan nama
untuk kontak baru yang akan disimpannya, Shilla baru ingat ia belum menanyakan
nama gadis berjaster kuning itu. Mereka sudah bertemu dua kali tapi sama sekali
belum sempat berkenalan. Tapi kemudian Shilla menemukan nama yang cocok untuk
gadis itu sebelum Shilla tahu nama aslinya. Ia mengetikkan sebuah nama pada
layar handphonenya. Nama yang manis, semanis senyum gadis itu.
Arum Manis.
***
Well, itu tadi part
14nya. bagaimana?
Jika ada yang masih
membaca kelanjutan cerita ini, boleh dong ya meninggalkan jejaknya, supaya jadi
motivasi untuk menulis part-part selanjutnya. Saya juga menjanjikan kepada
beberapa orang untuk memberitahu saat cerita ini saya lanjutkan tapi karena
sudah sangat lama jadi saya lupa siapa saja orang-orang itu. Jadi, saya minta
bantuannya untuk memberitahu jika memang ada yang masih menunggu kelanjutan
cerita ini.
Terimakasih banyak.
Best regard
Via.